-->

Konflik Sosial

Konflik Sosial - Sebelumnya admin telah membagikan artikel, yang membahas tentang Struktur Sosial dalam Fenomena Kehidupan Masyarakat. Pastinya anda tentu sudah memahami tentang perbedaan manusia dalam masyarakat, yakni suatu masyarakat yang memiliki keragaman suku bangsa (etnis), agama, ras, dan golongan atau kelompok sosial. Perbedaan-perbedaan tersebut sering menimbulkan ketegangan sosial apabila setiap kelompok dalam masyarakat memiliki kecenderungan kuat untuk memegang identitas dalam hubungan antargolongan, budaya, dan agama.

Konsekuensi dari adanya perbedaan tersebut sering mengakibatkan benturan kepentingan antarindividu atau antar-kelompok yang mengarah pada terjadinya pertentangan atau konflik sosial. Seperti dikemukakan Koentjaraningrat, masyarakat cenderung berorientasi ke dalam (kelompoknya) merupakan faktor yang dapat mempertajam konflik serta memperluas kesenjangan dan jarak sosial.

Dengan mengetahui faktor penyebab konflik, diharapkan Anda dapat memahami berbagai cara menangani konflik sosial sehingga dapat dicari alternatif pemecahan masalah dan tercapainya suatu integrasi dalam kehidupan bermasyarakat.

A . Konflik dalam Kehidupan Masyarakat

Manusia sangat beragam karena dipengaruhi oleh faktor ras, etnis, agama, dan status. Konflik selain banyak terjadi pada masyarakat kalangan menengah ke bawah, juga dapat terjadi pada masyarakat yang memiliki lapisan sosial kelas atas, misalnya konflik antaranggota dewan yang terjadi di dalam gedung MPR/DPR. Para pejabat yang merupakan anggota dewan dari setiap fraksi atau organisasi kepartaian saling mengajukan pendapat dan mempertahankan argumentasinya dalam sidang. Untuk mencapai kemufakatan hasil sidang, tidak jarang para anggota dewan berselisih dan berbeda pendapat.
Konflik Sosial
Konflik Sosial

Setelah Anda mengetahui beberapa contoh konflik sosial yang terjadi pada masyarakat, tentunya Anda dapat memahami bahwa konflik dalam kehidupan sosial masyarakat memiliki jenis dan tingkatan yang berbeda-beda. Solusi yang diambil untuk menangani konflik tersebut pun beragam sesuai dengan intensitas dampak yang akan ditimbulkannya.

1. Pengertian Konflik Sosial

Atas dasar contoh tersebut, dapat digaris bawahi bahwa konflik merupakan proses sosial yang pasti akan terjadi di tengah-tengah masyarakat yang dinamis. Konflik terjadi karena adanya perbedaan atau kesalahpahaman antara individu atau kelompok masyarakat yang satu dan individu atau kelompok masyarakat yang lainnya.

Dalam konflik pasti ada perselisihan dan pertentangan di antara pihak-pihak yang berkonflik. Konflik bisa dialami oleh siapa saja pada berbagai lapisan sosial masyarakat. Konflik bisa dimulai dari keluarga, masyarakat sekitar, nasional, dan global. Jenis-jenis konflik pun dapat beragam.

Untuk mendapatkan gambaran lebih luas tentang pengertian konflik, berikut ini merupakan beberapa definisi yang dikemukakan para ahli.

Robert M.Z. Lawang, mengatakan bahwa konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka, seperti nilai, status, kekuasaan, dan sebagainya, yang tujuan mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dan kelompok lain dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial, dan budaya) yang relatif terbatas.

Kartono, berpendapat bahwa konflik merupakan proses sosial yang bersifat antagonistik dan terkadang tidak bisa diserasikan karena dua belah pihak yang berkonflik memiliki tujuan, sikap, dan struktur nilai yang berbeda, yang tercermin dalam berbagai bentuk perilaku perlawanan, baik yang halus, terkontrol, ter-sembunyi, tidak langsung, terkamuflase maupun yang terbuka dalam bentuk tindakan kekerasan.

Konflik yang terjadi antar individu, misalnya konflik di antara sesama teman di sekolah. Konflik antara individu dengan kelompok, misalnya konflik antara seorang majikan dan buruhnya; atau konflik antara kelompok dan kelompok, misalnya para pedagang kaki lima dengan para petugas ketertiban. Bahkan, konflik dapat melibatkan antarnegara, seperti konflik antara Irak dan Amerika.
Peter Harris dan Ben Relly (1998), berpendapat bahwa sifat konflik yang tajam di dunia telah berubah dalam satu dekade terakhir, baik dalam inti permasalahan maupun dalam bentuk pengekspresiannya.

Salah satu perubahan yang paling dramatis adalah pergeseran dari konflik antarnegara yang tradisional (perang antarnegara berdaulat) menuju konflik dalam negara. Konflik-konflik yang paling kejam sepanjang abad ke-20 adalah konflik antarnegara. Akan tetapi, pada tahun 1990-an hampir semua konflik besar di dunia terjadi dalam negara atau konflik internal, misalnya perang saudara, pemberontakan bersenjata, gerakan separatis dengan kekerasan, dan peperangan domestik lainnya.

Anda dapat mengidentifikasi lebih lanjut bahwa jenis konflik sosial yang terjadi di Indonesia secara umum terdiri atas dua jenis, yaitu sebagai berikut.
  • Konflik vertikal, contohnya konflik negara versus warga, buruh versus majikan.
  • Konflik horizontal, contohnya konflik antarsuku, antaragama, dan antarmasyarakat. Konflik-konflik tersebut bisa berlatar belakang ekonomi, politik, agama, kekuasaan, dan kepentingan lainnya.
Apabila kita memperhatikan fenomena kehidupan sehari-hari, baik yang kita alami sendiri maupun melalui berbagai sumber informasi di media massa (seperti surat kabar, majalah, radio, dan TV) tentang konflik, diperkirakan ada sejumlah pola konflik yang perlu diwaspadai, yaitu:
  • konflik internal di dalam suatu masyarakat lokal;
  • konflik antara masyarakat lokal dan pemerintah daerah;
  • konflik masyarakat antardaerah;
  • konflik antara dua atau lebih pemerintah daerah;
  • konflik antara masyarakat lokal dan pemerintah pusat sebagai penyelenggara negara;
  • konflik antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat;
  • konflik antarelite di pemerintah pusat yang berimbas pada konflik masyarakat di tingkat lokal.
Oleh karena itu, di dalam masyarakat yang majemuk perlu waspada dalam bertindak, terutama yang berhubungan dengan masalah SARA (Suku, Agama, dan Ras) yang dapat menimbulkan konflik sehingga dapat membahayakan stabilitas nasional. Adanya dominasi dalam bidang-bidang kehidupan seperti ekonomi ataupun pemerintahan oleh suatu etnis tertentu, dapat memancing perasaan tidak senang etnis lain sehingga dapat menimbulkan benih-benih konflik dalam masyarakat.

2. Konflik dan Kekerasan

Berbicara tentang terjadinya konflik di masyarakat, tidak terlepas dari adanya kekerasan. Padahal, tidak semua konflik yang terjadi harus diakhiri dengan tindakan kekerasan. Perhatikan dua contoh konflik berikut ini.

Contoh 1: 

Anda sebagai pelajar yang selalu ingin berprestasi. Anda mencari kepuasan dalam belajar. Untuk mendapatkan hasil belajar yang baik, tidak jarang Anda harus berhadapan dengan perbedaan pendapat, baik dengan guru di dalam kelas maupun dengan sesama teman di dalam sebuah diskusi. Sebagai bukti bahwa Anda tidak puas, Anda akan bertanya atau menyanggah pendapat yang dikemukakan oleh guru atau teman Anda dengan argumen-argumen yang Anda miliki. Untuk mencari kemufakatan dalam diskusi kelas tersebut, Anda ataupun teman Anda tidak perlu mengakhiri diskusi tersebut dengan perkelahian atau perusakan fasilitas sekolah. Guru akan menengahi perbedaan pendapat di antara Anda dan teman Anda sehingga kemufakatan terjadi dan dapat mengakhiri konflik tanpa ada kekerasan.

Contoh 2: 

Pertentangan yang terjadi antara kaum buruh di sebuah pabrik tekstil yang menuntut kenaikan gaji atau dikeluar-kannya THR (Tunjangan Hari Raya). Masalah pendapatan atau gaji sangat berhubungan dengan hajat kehidupan maka tidak jarang dalam mengajukan tuntutannya tersebut, para buruh melakukan tindak kekerasan dengan merusak fasilitas pabrik.

Berdasarkan dua contoh tersebut, tentunya Anda diharapkan dapat membedakan antara konflik dan kekerasan.

Tidak selamanya konflik harus diakhiri oleh tindakan kekerasan karena kekerasan tidak sama dengan konflik. Konflik merupakan proses sosial yang akan terus terjadi dalam masyarakat, baik individu maupun kelompok, dalam rangka perubahan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, dengan cara menentang lawannya. Adapun kekerasan, merupakan gejala yang muncul sebagai salah satu efek dari adanya proses sosial yang biasanya ditandai oleh adanya perusakan dan perkelahian.

Seringkali tindakan kekerasan muncul secara spontan pada masyarakat. Tindakan kekerasan spontan ini tujuannya tidak jelas, kadangkala ditumpangi oleh kepentingan pihak-pihak tertentu yang sengaja ingin menciptakan kekacauan.

Sebagai contoh, tindakan kekerasan yang dilakukan suporter sepak bola. Oknum-oknum pendukung sebuah kesebelasan sepak bola melakukan pengrusakan dan pembakaran fasilitas-fasilitas umum, seperti rambu-rambu lalu lintas dan taman kota, melempari rumah-rumah penduduk sepanjang lintasan kereta api, dan lain sebagainya. Tindakan tersebut dilakukan sebagai bentuk kekecewaan karena kesebelasan yang didukungnya kalah dalam permainan. Apakah tindakan kekerasan dari para suporter membuat tim kesebelasan sepak bola tersebut menjadi menang atau wasit akan mengubah skor kalah menjadi menang? Jelas jawabannya tidak mungkin. Tindakan kekerasan tersebut tidak memiliki tujuan apapun yang tertinggal hanyalah kerugian-kerugian bagi semua pihak.

Contoh lain adalah tawuran antarpelajar yang akhir-akhir ini kerap terjadi. Tawuran antarpelajar bahkan melibatkan antarsekolah, dan tidak jarang menimbulkan kerusakan fasilitas umum, serta banyak meminta korban. Berbagai sebab yang menyulut terjadinya tawuran tersebut memang beraneka ragam, yang intinya menjunjung tinggi solidaritas antarteman.

Kekerasan hanya merupakan salah satu indikator kerusuhan dalam menilai intensitas konflik atau pertentangan-pertentangan yang terjadi di masyarakat. Charles Lewis Taylor dan Michael C. Hudson membuat beberapa indikator dalam menggambarkan intensitas konflik yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Indikator-indikator tersebut adalah sebagai berikut.

Demonstrasi (a Protest Demonstration)

Demonstrasi adalah sejumlah orang yang dengan tidak menggunakan kekerasan, kemudian mengorganisasi diri untuk melakukan protes terhadap suatu rezim, pemerintah, atau pimpinan dari rezim atau pemerintah tersebut; atau terhadap ideologi, kebijaksanaan, dan tindakan, baik yang sedang direncanakan maupun yang sudah dilaksanakan oleh pemerintah atau pihak yang sedang berkuasa. Contoh gerakan mahasiswa se-Jabotabek yang menggelar demonstrasi di Gedung MPR/DPR.

Kerusuhan

Kerusuhan pada dasarnya sama dengan demonstrasi. Hal yang membedakannya adalah kerusuhan mengandung penggunaan kekerasan fisik yang diikuti dengan perusakan fasilitas umum, pemukulan oleh aparat keamanan atas pelaku-pelaku kerusuhan, penggunaan alat-alat pengendalian kerusuhan oleh aparat keamanan, dan penggunaan berbagai macam senjata atau alat pemukul oleh para pelaku kerusuhan. Kerusuhan biasanya dilakukan dengan spontanitas sebagai akibat dari suatu insiden dan perilaku kelompok yang kacau.

Serangan Bersenjata (Armed Attack)

Serangan bersenjata adalah tindakan kekerasan yang dilakukan untuk kepentingan suatu kelompok tertentu dengan tujuan melemah-kan atau bahkan menghancurkan kekuasaan dari kelompok lain. Indikator ini ditandai oleh terjadinya pertumpahan darah, pergulatan fisik, atau perusakan fasilitas umum.

Jelaslah bahwa kekerasan hanya merupakan akibat dari adanya pertentangan-pertentangan atau konflik sosial. Konflik-konflik sosial yang terjadi tidak selamanya harus diikuti dengan kekerasan yang akan memunculkan masalah baru. Banyak kerugian dan penderitaan yang akan diakibatkan apalagi jika konflik tersebut tidak memiliki tujuan yang berarti, pengorbanan yang dilakukan oleh pihak yang berkonflik menjadi sia-sia.

Konflik-konflik sosial yang diakhiri dengan tindakan kekerasan seperti beberapa contoh tersebut, merupakan tahapan penyelesaian konflik yang paling buruk. Dengan kata lain kekerasan sangat rendah tingkatannya dalam mencari alternatif pemecahan masalah untuk dapat menghindari atau keluar dari konflik yang sedang terjadi.

Sebenarnya konflik yang terjadi dapat berfungsi sebagai faktor positif (pendukung) dan faktor negatif (perusak) bagi modal kedamaian sosial. Secara positif, konflik dapat berfungsi sebagai pendorong tumbuh-kembangnya kedamaian sosial. Namun, konflik dapat memunculkan kekerasan yang menjurus kepada perpecahan.

B. Sebab-Sebab Konflik Sosial

Penyebab konflik sangatlah kompleks dan tidak berdiri sendiri, tetapi dilatarbelakangi oleh berbagai dimensi dan latar peristiwa. Konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat bisa berlatar belakang ekonomi, politik, kekuasaan, budaya, agama, dan kepentingan lainnya. Simaklah contoh konflik berikut.

Keluarnya keputusan Menteri Perdagangan Marie E. Pangestu mengenai impor beras dari Vietnam sebanyak 70.050 ton mulai menuai kecaman. Kurang lebih 600 petani yang berasal dari Karawang, Bogor, Batang, Pekalongan, Cibaliung (Banten), dan Lampung yang mengaku tergabung dalam Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) berunjuk rasa di depan kantor Departemen Perdagangan, Jakarta. Para pengunjuk rasa menolak keputusan impor beras yang dikeluarkan oleh pemerintah pada 1 November 2005. (Pikiran Rakyat, 19 November 2005).

Apa yang menjadi latar belakang munculnya konflik tersebut? Apabila Anda amati dengan saksama, setidaknya ada dua kepentingan berbeda yang menjadi penyebab munculnya konflik tersebut. Kepentingan pertama, kebijakan pemerintah untuk melakukan impor beras dari Vietnam merupakan kepentingan politik. Kepentingan kedua, para petani yang tergabung dalam FSPI menolak adanya impor beras karena dapat menurunkan harga beras di pasar nasional sehingga dapat merusak pendapatan petani dan ini merupakan kepentingan ekonomi. Dua kepentingan tersebut (politik dan ekonomi) telah melatarbelakangi munculnya konflik tersebut.

Indonesia memiliki struktur masyarakat yang unik. Secara horizontal, Indonesia ditandai oleh adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, bahasa, dan perbedaan yang bersifat kedaerahan. Perbedaan secara horizontal ini menjadi ciri khas masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk. Istilah majemuk mula-mula diperkenalkan oleh Furnivall untuk menggambar kan masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.

Indonesia memiliki kompleksitas budaya yang plural (plural societies) dan heterogen (masyarakat majemuk), yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen -elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam satu kesatuan politik. Pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk itu adalah tidak adanya kehendak bersama (common will). Elemen-elemen masyarakat Indonesia secara keseluruhan terpisah satu sama lain. Setiap elemen lebih merupakan kumpulan individu-individu daripada suatu keseluruhan yang bersifat organis. Sebagai individu, kehidupan sosial mereka tidaklah utuh. Oleh karena itu, konflik yang terjadi di Indonesia seringkali bersumber dari adanya perbedaan dan pertentangan antarlatar belakang sosio kultural. Indonesia dapat dianggap sebagai negara yang memiliki modal kedamaian sosial yang rendah.

Kerusuhan demi kerusuhan terus terjadi di berbagai pelosok tanah air di Indonesia. Terlebih lagi ada keinginan setiap daerah untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia karena salah menafsirkan Undang-Undang Otonomi Daerah.

Menurut DuBois dan Miley, sumber utama terjadinya konflik dalam masyarakat adalah adanya ketidakadilan sosial, adanya diskriminasi terhadap hak-hak individu dan kelompok, serta tidak adanya penghargaan terhadap keberagaman. Ketiga faktor tersebut biasanya sangat berkaitan dengan sikap-sikap dan perilaku masyarakat yang ditandai dengan hal-hal berikut.
  • Rasisme, merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya atau perasaan superioritas yang berlebihan terhadap kelompok sosial tertentu. Rasisme sering diberi legitimasi atau klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan yaitu individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan, dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.
  • Elitisme, merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial yang berdasarkan pada kekayaan, kekuasaan, dan prestise. Individu atau kelompok yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.
  • Gender, merupakan keyakinan bahwa jenis kelamin tertentu memiliki kelebihan atas jenis kelamin lainnya. Pandangan ini seringkali didukung oleh penafsiran (interpretation), tradisi-tradisi budaya, dan atau kebiasaan keagamaan yang pada umumnya memandang wanita lebih rendah daripada laki-laki.
  • Usia, menunjuk pada sikap-sikap negatif terhadap proses ketuaan. Proses ini sangat meyakini bahwa kategori usia tertentu memiliki sifat yang rendah (inferiority) dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Oleh karena itu, perlakuan yang tidak adil dapat dibenarkan. Meskipun hal ini umumnya diterapkan kepada manusia lanjut usia (manula), sikap ini sering pula ditujukan kepada anak-anak.
Prasangka atau sikap-sikap negatif terhadap orang yang memiliki kecacatan. Orang yang memiliki kecacatan (tubuh, mental) secara otomatis sering dianggap berbeda dan tidak mampu melakukan tugas-tugas kehidupan sebagaimana orang normal. Orang dengan kecacatan atau penyandang cacat (persons with disabilities) seringkali dipandang sebagai orang yang secara sosial tidak “matang” dan tidak mampu dalam segala hal.
Konflik sosial yang terjadi umumnya melalui dua tahap yang dimulai dari tahap disorganisasi atau keretakan dan terus berlanjut ke tahap disintegrasi atau perpecahan. Timbulnya gejala-gejala disorganisasi dan disintegrasi adalah akibat dari hal-hal berikut.
  • Ketidaksepahaman para anggota kelompok tentang tujuan masyarakat yang pada awalnya menjadi pedoman bersama.
  • Norma-norma sosial tidak membantu anggota masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah disepakati.
  • Kaidah-kaidah dalam kelompok yang dihayati oleh anggotanya bertentangan satu sama lain.
  • Sanksi menjadi lemah bahkan tidak dilaksanakan dengan konsekuen.
  • Tindakan anggota kelompok sudah bertentangan dengan norma-norma kelompok.
  • Dari beberapa penjelasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadinya konflik disebabkan oleh hal-hal berikut.
  • Adanya perbedaan pendirian atau perasaan antara individu dan individu lain sehingga terjadi konflik di antara mereka.
  • Adanya perbedaan kepribadian di antara anggota kelompok disebabkan oleh perbedaan latar belakang kebudayaan.
  • Adanya perbedaan kepentingan atau tujuan di antara individu atau kelompok.
  • Adanya perubahan-perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat yang diikuti oleh adanya perubahan nilai-nilai atau sistem yang berlaku dalam masyarakat.

C. Akibat-Akibat Konflik Sosial

Mungkin masih segar dalam ingatan Anda tentang konflik antara Indonesia dan Malaysia pada pertengahan tahun 2005. Malaysia mengklaim wilayah Blok Ambalat yang merupakan bagian dari Kepulauan Nusantara. Konflik tersebut telah menyulut amarah bangsa Indonesia yang bersatu bersama-sama melawan sikap pemerintahan Malaysia. Sebelumnya, masyarakat Indonesia sedang mengalami krisis kesatuan dan persatuan nasional akibat pergolakan politik yang terus terjadi selama masa reformasi.

Contoh tersebut merupakan salah satu akibat positif dan negatif yang ditimbulkan oleh adanya konflik. Konflik mempunyai fungsi bagi kehidupan masyarakat. Meskipun demikian, konflik banyak juga menimbulkan bentuk-bentuk negatif dalam interaksi sosial.

Konflik dapat berfungsi sebagai faktor positif yang berdampak konstruktif (membangun) dan faktor negatif yang bersifat destruktif (perusak) bagi modal kedamaian sosial. Secara positif, konflik dapat berfungsi sebagai pendorong tumbuh Seperti dinyatakan para ahli sosiologi Parsons, Jorgensen, dan Hernandez, manfaat konflik ialah:
  • konflik dapat meningkatkan kohesivitas kelompok;
  • memunculkan isu-isu dan harapan-harapan yang terpendam;
  • memperjelas batas-batas dan norma-norma kelompok;
  • mempertegas tujuan yang hendak dicapai.
Selain itu, konflik juga bisa bersifat destruktif terhadap keutuhan kelompok dan integrasi sosial masyarakat dalam skala yang lebih luas. Jika melampaui batas toleransi dan kapasitas pihak-pihak yang terlibat serta tidak segera dicarikan solusinya, konflik dapat menjurus pada “disintegrasi” sosial.

Telah dikemukakan sebelumnya bahwa terjadinya konflik banyak menimbulkan bentuk-bentuk negatif dalam interaksi sosial. Akan tetapi, konflik juga mempunyai fungsi positif bagi kehidupan masyarakat. Berikut ini akan diuraikan akibat-akibat dari konflik.

Akibat negatif dari adanya konflik

Retaknya persatuan kelompok. Hal ini terjadi apabila terjadi pertentangan antaranggota dalam satu kelompok.
  • Perubahan kepribadian individu. Pertentangan di dalam kelompok atau antarkelompok dapat menyebabkan individu-individu tertentu merasa tertekan sehingga mentalnya tersiksa.
  • Dominasi dan takluknya salah satu pihak. Hal ini terjadi jika kekuatan pihak-pihak yang bertikai tidak seimbang, akan terjadi dominasi oleh satu pihak terhadap pihak lainnya. Pihak yang kalah menjadi takluk secara terpaksa, bahkan terkadang menimbulkan kekuasaan yang otoriter (dalam politik) atau monopoli (dalam ekonomi).
  • Banyaknya kerugian, baik harta benda maupun jiwa, akibat kekerasan yang ditonjolkan dalam penyelesaian suatu konflik.

Akibat positif dari adanya konflik

  • Konflik dapat meningkatkan solidaritas di antara anggota kelompok, misalnya apabila terjadi pertikaian antar-kelompok, anggota-anggota dari setiap kelompok tersebut akan bersatu untuk menghadapi lawan kelompoknya.
  • Konflik berfungsi sebagai alat perubahan sosial, misalnya anggota-anggota kelompok atau masyarakat yang berseteru akan menilai dirinya sendiri dan mungkin akan terjadi perubahan dalam dirinya.
  • Munculnya pribadi-pribadi atau mental-mental masyarakat yang tahan uji dalam menghadapi segala tantangan dan permasalahan yang dihadapi sehingga dapat lebih men-dewasakan masyarakat.
  • Dalam diskusi ilmiah, biasanya perbedaan pendapat justru diharapkan untuk melihat kelemahan-kelemahan suatu pendapat sehingga dapat ditemukan pendapat atau pilihan-pilihan yang lebih kuat sebagai jalan keluar atau pemecahan suatu masalah.


Pada gambar tersebut terlihat bahwa konflik yang bersifat konstruktif memiliki dampak positif terhadap meningkatnya tampilan kerja dibandingkan dengan konflik yang bersifat destruktif atau negatif. Demikian pula halnya dengan tingkat intensitas konflik yang harus seimbang. Semakin rendah atau tinggi konflik maka lebih bersifat destruktif.

Penilaian masyarakat terhadap kon flik yang selalu negatif harus dibenahi. Banyaknya manfaat atau akibat positif dari suatu konflik, hendaknya dapat menjadi hikmah bagi masyarakat. Konflik merupakan bagian dari proses sosial yang wajar dan tidak harus dihindari.

D. Penanganan Konflik

Setiap individu atau kelompok masyarakat memiliki jenis dan bentuk konfliknya sendiri-sendiri. Setiap individu atau kelompok dalam masyarakat juga memiliki gaya tersendiri dalam menghadapi dan menyelesaikan konflik tersebut. Anda simak dengan saksama kedua contoh konflik berikut ini.

Contoh 1: 

Udin merupakan seorang anak yang berasal dari desa di Sukabumi. Untuk mengadu nasibnya, si Udin pergi ke Jakarta mencari pekerjaan agar dapat membantu kehidupan keluarganya di kampung. Pertama kali si Udin menginjakkan kakinya di kota metropolitan, ia dihadapkan pada sekelompok preman yang sedang mabuk-mabukan. Keluguan dan kepolosan si Udin menjadi sasaran sekelompok preman tersebut. si Udin yang penyabar berusaha mengalah untuk menghindari preman-preman itu karena ia merasa tidak berdaya untuk menantang mereka dan lebih baik menarik diri dari situasi tersebut daripada menghadapinya.

Contoh 2 :

Menjelang HUT Kemerdekaan RI, para remaja yang tergabung dalam kelompok Karang Taruna Desa Mardika mengadakan rapat tentang kegiatan yang akan diselenggarakan pada HUT tersebut. Budi sebagai ketua karang taruna sudah memiliki program tersendiri dengan mengadakan kegiatan parade band. Hal tersebut ditujukan untuk dapat mewadahi kreativitas para pemuda dalam bermain musik yang selama ini sedang menjadi trend di desanya. Akan tetapi, gagasan Budi tersebut mendapatkan tentangan dari para anggotanya karena acara tersebut membutuhkan biaya sangat besar. Budi dan para anggota karang taruna berusaha mencari jalan keluar dari perbedaan pendapat tersebut agar kegiatan dapat terlaksana tanpa mengeluarkan biaya yang besar.

Dari kedua contoh tersebut, tentunya Anda dapat memahami bahwa dalam menghadapi konflik, setiap orang atau kelompok memiliki cara penanganan konflik yang berbeda-beda. Contoh merupakan cara menghindar dari situasi konflik yang sedang dihadapi, sedangkan contoh 2 adalah cara musyawarah sehingga konflik dapat diselesaikan dengan baik.

Tiap orang mempunyai cara yang berbeda dalam menangani konflik. Cara ini dipelajari sejak masih anak-anak dan tampaknya berfungsi secara otomatis.

Dalam konflik selalu ada dua kepentingan utama, yaitu sebagai berikut.
  1. Kepentingan untuk mencapai tujuan pribadi. Misalnya, dalam hal ini Anda berada dalam konflik karena Anda mempunyai tujuan pribadi yang bertentangan dengan tujuan orang lain. Tujuan tersebut bisa sangat penting bagi diri Anda, tetapi bisa juga kurang penting.
  2. Kepentingan untuk tetap memelihara hubungan baik dengan orang lain. Dalam hal ini, Anda harus mampu bekerja sama secara efektif dengan orang tersebut pada masa yang akan datang. Hubungan itu mungkin sangat penting bagi diri Anda, tetapi mungkin juga kurang penting.
Apakah Anda mempunyai sahabat? Di antara dua orang atau lebih yang menjalin persahabatan, biasanya memiliki hubungan yang baik, toleransi yang tinggi, saling membantu dan bekerja sama, serta saling menolong dalam kesusahan. Sikap seperti ini hendaknya tertanam dan terus dijaga dalam diri Anda. Akan tetapi, pribadi Anda tidak harus selamanya sama dengan orang lain karena memiliki keinginan dan kebutuhan yang berbeda. Pada saat keinginan Anda tersebut berbeda dengan sahabat Anda maka sebagai sahabat akan saling menghargai dan bekerja sama agar keinginan masing-masing dapat tercapai tanpa ada memaksakan kehendak. Dengan demikian, hubungan baik Anda dengan sahabat akan tetap terjaga dan terpelihara walaupun ada dua kepentingan yang berbeda.

Adanya dua kepentingan yang berbeda tersebut dapat memengaruhi cara bertindak dalam suatu konflik. Dengan melihat dua kepentingan tersebut, dapat diungkapkan lima cara dalam menangani konflik, yaitu sebagai berikut.

1. Menghindar

Cara ini seolah-olah seperti kura-kura yang menarik diri ke dalam tempurungnya untuk menghindari konflik. Tipe ini mengorbankan tujuan pribadi ataupun hubungannya dengan orang lain. Orang ini berusaha menjauhi masalah yang menimbulkan konflik ataupun orang yang bertentangan dengannya. Orang yang menggunakan cara ini yakin bahwa tidak ada gunanya berusaha menyelesaikan konflik, ia merasa tak berdaya. Ia yakin akan lebih mudah menarik diri (secara fisik ataupun psikologis) dari situasi konflik daripada harus menghadapi konflik.

2. Memaksakan Kehendak

Orang dengan cara ini berusaha menguasai lawan-lawannya dengan memaksa mereka untuk menerima penyelesaian konflik yang diinginkannya. Tujuan pribadinya dianggap sangat penting, sedangkan hubungan dengan orang lain kurang begitu penting. Tipe ini tidak peduli terhadap kebutuhan orang lain, ia tidak peduli apakah orang lain menyukai dan menerima dirinya atau tidak. Ia menganggap bahwa konflik harus diselesaikan dengan cara satu pihak menang dan pihak yang lain kalah. Orang ini ingin menjadi pemenang karena kemenangan akan memberi rasa bangga dan sebaliknya, kekalahan akan menimbulkan perasaan lemah, rasa tidak mampu, dan rasa gagal. Ia berusaha menang dengan menyerang, menguasai, mengatasi, dan melakukan intimidasi terhadap orang lain.

3. Menyesuaikan pada Keinginan Orang Lain

Pada gaya ini, hubungan dengan orang lain sangat penting, sedangkan tujuan pribadi kurang begitu penting. Orang tipe ini ingin diterima dan disukai orang lain. Ia merasa bahwa konflik harus dihindari demi keserasian (harmoni) dan ia yakin bahwa konflik tidak dapat dibicarakan jika merusak hubungan baik. Ia khawatir apabila konflik berlanjut, seseorang akan terluka dan hal itu akan menghancurkan hubungan pribadi dengan orang tersebut. Ia mengorbankan tujuan pribadi untuk mempertahankan hubungan dengan orang lain. Orang dengan cara ini seolah-olah berkata: “aku mengorbankan tujuanku dan membiarkanmu mendapat apa yang kau inginkan agar kau menyukai diriku”. Orang ini berusaha memperhalus situasi konflik yang terjadi.

4. Tawar-Menawar

Tawar-menawar ini cukup memperhatikan tujuan pribadi dan juga hubungannya dengan orang lain. Orang seperti ini biasanya mencari kompromi, ia mengorbankan sebagian tujuan pribadi dan membujuk orang lain yang berkonflik dengan dirinya agar ikut berkorban juga. Tipe ini mencari penyelesaian terhadap konflik yang menempatkan kedua belah pihak memperoleh sesuatu, seolah-olah bertemu di tengah antara kedua kedudukan ekstrim (mementingkan tujuan pribadi dan mementingkan hubungan dengan orang lain). Ia ingin mengorbankan sebagian tujuan pribadi ataupun hubungannya dengan orang lain untuk mencapai persetujuan ke arah kebaikan bersama.

5. Kolaborasi

Cara ini sangat menghargai tujuan pribadi dan hubungannya dengan orang lain. Ia memandang konflik sebagai masalah yang harus diselesaikan. Orang tipe ini memandang konflik untuk meningkatkan hubungan dengan cara mengurangi ketegangan kedua belah pihak. Ia berusaha memulai sesuatu pembicaraan yang dapat mengenali konflik sebagai suatu masalah. Tipe ini memelihara hubungan dengan cara mencari pemecahan yang memuaskan kedua belah pihak. Ia tidak akan merasa puas sampai menemukan suatu penyelesaian yang dapat mencapai tujuan pribadinya dan tujuan orang lain. Ia juga tidak akan merasa puas sampai ketegangan dan perasaan negatif dapat diselesaikan sepenuhnya.

Kapan Anda harus menggunakan cara tersebut untuk menangani konflik? Berikut ini terdapat beberapa petunjuk yang bisa membantu.
  • Apabila tujuan pribadi tidak begitu penting dan Anda juga merasa tidak perlu memelihara hubungan dengan orang lain maka Anda dapat menghindar. Menghindari rasa permusuhan orang yang tak dikenal di jalan, di mall, atau di terminal merupakan cara paling baik yang dapat dilakukan.
  • Jika tujuan pribadi sangat penting, tetapi hubungan dengan orang lain tidak begitu penting maka Anda dapat bertindak dengan memaksakan kehendak. Misalnya, pada saat Anda membeli barang-barang “obralan”, berusaha memasuki restoran yang penuh sesak pengunjung, atau berdesakan untuk memperoleh tempat di bus pada saat mudik.
  • Jika tujuan pribadi tidak begitu penting, tetapi hubungan dengan orang lain sangat penting maka Anda dapat memakai cara menyesuaikan pada keinginan orang lain. Pada waktu salah seorang rekan Anda berkukuh pada pendapatnya sendiri dan Anda bisa bersikap tak peduli terhadap hal tersebut.
  • Jika tujuan pribadi ataupun hubungan dengan orang lain cukup penting bagi Anda dan orang lain, itu sama-sama tidak akan memperoleh apa yang diinginkan bersama maka bisa dilakukan cara tawar-menawar. Misalnya, apabila kapasitas ruangan terbatas, padahal Anda dan rekan kerja menggunakannya bersama maka melakukan negosiasi untuk memperoleh kompromi akan merupakan jalan paling baik untuk menyelesaikan konflik.
  • Jika tujuan pribadi dan hubungan dengan orang lain sangat penting, Anda bisa bertindak dengan cara kolaborasi. Anda dan kelompok belajar Anda memiliki perbedaan pendapat dalam mengerjakan atau menyelesaikan salah satu tugas sekolah maka penggunaan cara kolaborasi merupakan tindakan paling baik. Anda bersama teman Anda bisa bersama-sama mencari cara memecahkan masalah tersebut tanpa ada yang tersinggung dan tugas sekolah pun dapat diselesaikan dengan baik.

E. Pendekatan Pluralisme Budaya dalam Menangani Konflik di Indonesia

Indonesia merupakan suatu gugusan kepulauan yang terdiri atas berbagai ragam kebudayaan. Adapun masyarakatnya merupakan masyarakat yang multikultural. Banyak konflik terjadi di Indonesia seperti kasus Sampit di Kalimantan, konflik di Poso dan Ambon, konflik antarsuku di Papua, dan konflik-konflik lain. Konflik tersebut lebih banyak diakibatkan oleh kemajemukan dalam masyarakat, baik secara vertikal maupun horizontal.

Secara sosiologis, masyarakat multikultural memiliki potensi rawan konflik yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:


  • harga diri dan kebanggaan setiap pihak terusik;
  • adanya perbedaan kebudayaan yang dimiliki setiap etnis;
  • adanya benturan kepentingan (politik, ekonomi, kekuasaan);
  • perubahan sosial yang terlalu cepat dapat mengganggu keseimbangan sistem.

Konflik yang sering terjadi di Indonesia merupakan suatu permasalahan yang kompleks dan membutuhkan penyelesaian yang menyeluruh dan integratif dari berbagai pendekatan.

Terdapat dua elemen kuat yang sering bergabung dalam konflik internal, seperti halnya yang terjadi di Indonesia, yaitu:
  1. identitas, yang berkaitan dengan mobilisasi orang dalam kelompok-kelompok identitas komunal yang berdasarkan ras, agama, bahasa, dan seterusnya;
  2. distribusi, yaitu cara untuk membagi sumber daya ekonomi, sosial, dan politik dalam sebuah masyarakat. Ketika distribusi dianggap tidak adil yang berkaitan dengan perbedaan identitas. Misalnya, suatu kelompok agama kekurangan sumber daya tertentu yang didapat dari kelompok lain. Kita menemukan adanya potensi konflik yakni kombinasi dari faktor kuat yang didasarkan pada identitas dengan persepsi yang lebih luas tentang keadilan ekonomi dan sosial yang sering menyalakan konflik yang mengakar.
Karakteristik yang menonjol dari konflik internal adalah tingkat ketahanannya karena konflik seperti ini sering didasarkan pada isu identitas. Istilah yang sering digunakan dalam konflik seperti ini adalah konflik etnis. Konflik disebabkan oleh faktor apapun (agama, ras, budaya, keturunan, sejarah) yang dianggap sebagai identitas fundamental dan yang menyatukan mereka menjadi sebuah kelompok maka merasa berkewajiban untuk melakukan kekerasan demi melindungi identitas mereka yang terancam.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan identitas fundamental sering bercampur dengan konflik dalam pendistribusian sumberdaya. Misalnya wilayah, kekuasaan ekonomi, prospek lapangan kerja, dan sebagainya. Ketika identitas dan isu pendistribusian dibaurkan, akan menjadi kesempatan bagi pemimpin yang oportunistik untuk mengeksploitasi dan memanipulasi. Hal ini menjadi potensi konflik yang paling tinggi dan banyak terjadi di Indonesia, terutama setelah masa reformasi sampai sekarang.

Pendekatan pluralisme budaya merupakan sebuah alternatif dalam kaitannya dengan relasi sosial di antara kelompok-kelompok etnis dan kebudayaan. Pendekatan ini dapat dijadikan sebagai strategi pe-mecahan konflik dan pembangunan modal kedamaian sosial. Pluralisme menunjuk pada sikap penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Daripada berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman, seperti kata Kleden (2000:5), “...penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat, dan terhadap potensi manusia.”

Tabel berikut menunjukkan model sederhana mengenai pendekatan pluralisme budaya dalam memahami dan memecahkan konflik antaretnis. Fokus intervensinya mencakup tiga wilayah: mikro, messo dan makro yang melibatkan berbagai isu personal, interpersonal, dan sosiokultural.

F. Hubungan Antara Konflik dan Terjadinya Integrasi Sosial

Konflik merupakan bagian dari proses sosial yang wajar dan tidak harus dihindari. Sebenarnya, konflik yang terjadi dapat berfungsi sebagai faktor positif atau pendukung bagi tumbuh kembangnya modal kedamaian sosial. Konflik juga bisa bersifat konstruktif (membangun) terhadap keutuhan kelompok dan integrasi sosial masyarakat dalam skala yang lebih luas.

Manusia memiliki keinginan untuk bergaul. Dalam pergaulannya terdapat suatu hubungan yang saling mempengaruhi sehingga akan menimbulkan suatu perasaan yang saling membutuhkan. Untuk mengenal upaya manusia yang merupakan bagian dari masyarakatnya, terdapat beberapa perilaku yang berhubungan dengan tindakan dan interaksi sosial sebagai jalan untuk mencapai tujuan manusia sebagai makhluk sosial. Selain itu, dalam menjaga segala tindakan dan interaksi sosial, juga terdapat nilai dan norma sosial sebagai standar penilaian umum yang dapat membentuk keteraturan hubungan antarmanusia menuju terciptanya integrasi sosial yang mantap.

Dalam pelajaran Sosiologi di Kelas X, Anda telah mempelajari bentuk-bentuk proses sosial yang timbul akibat adanya interaksi sosial. Di antaranya terdapat proses asosiatif. Proses asosiatif adalah proses sosial yang mengarah kepada keterpaduan atau integritas sosial. Hal ini dicirikan dengan hubungan antara perorangan atau kelompok yang mengacu kepada adanya kesamaan, keserasian, dan keseimbangan. Proses ini meliputi kerja sama (cooperation), akomodasi (accommodation), dan asimilasi (assimilation). Adanya kerja sama, akomodasi, dan asimilasi dalam kehidupan masyarakat merupakan proses sosial yang mengarah kepada bentuk-bentuk masyarakat yang terintegrasi.

Pada dasarnya, masyarakat itu berada dalam keadaan integrasi dalam norma-norma dan nilai-nilai. Integrasi normatif dianggap perlu, karena:

  • terwujudnya keserasian norma, berhubungan dengan berbagai tingkah laku manusia dalam situasi yang berlainan;
  • terwujudnya tingkat kepatuhan yang tinggi antara norma-norma dan tingkah laku warga masyarakat yang sebenarnya. Oleh karena itu, kesepakatan dan konsensus nilai-nilai merupakan asas integrasi sosial dalam suatu masyarakat.
Masyarakat merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponennya. Sebagai suatu sistem, masyarakat memiliki fungsi integrasi untuk mencapai keadaan serasi, atau hubungan serasi di antara bagian-bagian dari suatu sistem sosial. Hal ini mencakup identitas masyarakat, keanggotaan seseorang dalam masyarakat, dan susunan normatif dari bagian-bagian tersebut.

Sebagai contoh : 

Ada masyarakat petani, pedagang, pegawai pemerintah, pejabat, polisi, hakim, dan sebagainya. Semua itu merupakan identitas manusia dalam masyarakat yang memiliki fungsi antara yang satu dan yang lainnya (saling bergantung). Setiap anggota masyarakat tersebut akan berjalan sesuai aturan-aturan dalam bidang kehidupannya yang dianut sebagai nilai-nilai bersama. Misalnya petani, akan berperilaku sebagai petani yang menggarap lahan pertaniannya sampai panen dan mendapatkan hasil berupa bahan pangan. Pedagang akan berperilaku sebagai penjual barang dagangannya. Demikian juga polisi, dia akan mengatur lalu lintas atau ketertiban di masyarakat. Semuanya saling bergantung dan tidak mungkin polisi berperilaku sebagai pedagang karena hal ini akan memunculkan ketidakserasian.

Anda pasti mengetahui melalui sejarah tentang bagaimana para pemuda seluruh Indonesia bersatu pada 28 Oktober 1928 di Jakarta. Mereka bersama-sama berikrar Sumpah Pemuda untuk “satu tanah air satu bangsa, dan satu bahasa, yaitu Indonesia”. Sebuah nilai yang sangat tinggi dijunjung oleh para pemuda atau mungkin kita juga masih mengingat tentang bagaimana para mahasiswa seluruh Indonesia bersatu untuk menggulingkan pemerintah Orde Baru karena membela nasib bangsa dan negara dalam agenda reformasi tahun 1998 lalu. Dari dua contoh sejarah tersebut, diharapkan Anda bisa mengambil makna dari pentingnya nilai persatuan, kesatuan, dan kebersamaan. Ingatlah suatu peribahasa “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”.

Asas integrasi sosial tidak hanya dilandaskan karena adanya saling kebergantungan dalam kebutuhan ekonomi, juga dapat muncul dari pengaruh adanya kon flik terlebih dahulu. Konflik yang dimaksud tentunya adalah yang menumbuhkan perasaan atau solidaritas ke dalam. Sebagai contoh, di Afrika Selatan yang warga masyarakatnya merasakan kehidupan penuh dengan konfl ik dan paksaan dari orang kulit putih terhadap kulit berwarna gelap. Faktor yang mendorong integrasi sosial mereka adalah paksaan politik.

Contoh lain integrasi yang dilandasi konflik, misalnya terjadi perkelahian antara pelajar di dua sekolah, maka untuk memper-satukan dan menumbuhkan integrasi di antara mereka, dapat dilakukan melalui penggabungan ke dalam satu tim olahraga, dan setiap sekolah mewakili setengah pemain. Apabila tim telah terbentuk, dilakukan pertandingan persahabatan. Dengan demikian, kedua sekolah yang terlibat tawuran akan bersatu menjadi pendukung tim olahraga yang telah dibentuk bersama.

Agar di dalam masyarakat integrasi dapat berjalan dengan baik, perlu diperhatikan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, seperti tujuan yang hendak dicapai masyarakat, sistem sosial, sistem tindakan, dan sistem sanksi. Dengan kata lain, faktor-faktor yang memengaruhi proses integrasi sosial adalah :
  • tercapainya suatu konsensus mengenai nilai-nilai dan norma-norma sosial;
  • norma-norma yang berlaku konsisten dan tidak berubah-ubah;
  • adanya tujuan bersama yang hendak dicapai;
  • anggota masyarakatnya merasa saling bergantung dalam mengisi kebutuhan-kebutuhannya;
  • dilatarbelakangi oleh adanya konflik dalam suatu kelompok.
Integrasi sosial juga dapat terwujud karena adanya keteraturan sosial. Adapun faktor-faktor yang memengaruhi keteraturan sosial; antara lain pengendalian sosial dan wewenang, adat istiadat, norma hukum, prestise, dan kepemimpinan.

Untuk menciptakan integrasi sosial dalam rangka mewujudkan keteraturan sosial diperlukan upaya-upaya dari berbagai komponen masyarakat melalui langkah-langkah yang optimal dan berkesinam-bungan. Di antara sekian banyak langkah yang dapat dilakukan dalam penanganan sosial budaya menuju integrasi sosial adalah sebagai berikut.

1. Pembangunan Pendidikan

Pendidikan pada hakikatnya adalah proses menemukan identitas seseorang. Proses pendidikan yang benar adalah yang membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, atau penyadaran akan kemampuan seseorang. Proses pendidikan tidak hanya dilihat sebagai suatu proses yang terjadi dalam lembaga formal seperti sekolah. Lembaga informal pun merupakan sarana yang mampu mendidik seseorang. Sebagai lembaga sosial, sekolah merupakan bagian dari proses pendidikan yang juga merupakan proses pembudayaan.

Pengembangan sistem pendidikan yang diselenggarakan harus mempertimbangkan dan mengacu pada prinsip-prinsip berikut.
  • Moral agama. Hal ini berkaitan dengan upaya peningkatan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta berbudi pekerti luhur.
  • Ideologis filosofis. Pelaksanaan proses pendidikan hendaklah berasaskan Pancasila (sebagai dasar serta pandangan hidup berbangsa dan bernegara) yang mengarah pada penguatan integritas nasional.
  • Psikologis, mengupayakan peningkatan atau pencapaian keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestetika.
  • Sosial budaya, berkaitan dengan upaya peningkatan atau pencapaian kepribadian yang mantap dan mandiri serta ber-tanggung jawab.
  • Demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif, menjunjung tinggi hak azazi manusia, nilai keagamaan, dan nilai kultural, serta kemajemukan bangsa. Tumbuhnya demokrasi dalam proses pendidikan mendorong tumbuhnya pendekatan multikulturalisme dalam pendidikan.
  • Sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
  • Sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
  • Memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembang-kan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran
  • Mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
  • Memberdayakan seluruh komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan masyarakat.
Prinsip-prinsip tersebut dapat dijadikan sebagai landasan sistem pendidikan dengan harapan mampu memberikan kontribusi bagi pencapaian pembangunan nasional. Tentunya dengan memperhatikan juga pelaksanaan sistem pendidikan yang semesta (terbuka bagi seluruh rakyat dan berlaku di seluruh wilayah negara), menyeluruh (mencakup semua jalur, jenjang, serta keterkaitan antara pendidikan nasional dan usaha pembangunan nasional), dan terpadu.

2. Manajemen Konflik

Terdapat banyak konflik yang terjadi dalam kehidupan ber-masyarakat. Ross (1993) mengemukakan dua sumber konflik yang terjadi dalam sebuah organisasi atau kelompok, yaitu teori struktur sosial dan teori psychocultural. Teori struktur sosial menekankan persaingan antara pihak-pihak yang berkepentingan sebagai motif utama sebuah konflik, sedangkan teori psycocultural lebih menekankan kekuatan psikologi dan kultural.

Kedua sumber konflik tersebut memerlukan penanganan yang berbeda. Teori struktural menerangkan bahwa strategi manajemen konflik memerlukan perubahan kondisi organisasi pihak tersebut secara mendasar. Kepentingan yang bermacam-macam sangat sulit untuk dijembatani. Adapun teori psycocultural dalam melakukan manajemen konflik memfokuskan pada proses yang dapat mengubah persepsi atau memengaruhi hubungan antara pihak-pihak kunci. Dalam teori ini, kepentingan lebih bersifat subjektif dan dapat berubah dibandingkan dalam pandangan teori struktural.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah konflik yang mengarah pada kekerasan adalah melalui manajemen konflik dengan mekanisme dan model pengelolaan konflik. Konflik sosial budaya yang terjadi sebenarnya dapat dinetralisasi dengan menciptakan konsensus. Konsensus ini pada gilirannya akan dapat mengatasi perbedaan pendapat dan kepentingan antargolongan dalam masyarakat. Setiap ketegangan dan penyimpangan yang terjadi akan selalu dapat dicarikan rujukannya melalui konsensus yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, konflik yang terjadi tidak akan menjurus ke arah kekerasan sehingga integrasi sosial budaya akan dapat tercapai.

3. Meningkatkan Modal Sosial

Konsep ini diperkenalkan oleh Robert Putnam sewaktu meneliti masyarakat Italia tahun 1985. Mereka memiliki kesadaran politik yang tinggi dan setiap individu mempunyai minat besar untuk terlibat dalam masalah publik. Hubungan antaranggota masyarakat lebih bersifat horizontal karena semua masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama.

Modal sosial adalah norma dan jaringan yang melancarkan interaksi dan transaksi sosial sehingga segala urusan bersama dalam masyarakat dapat diselenggarakan dengan mudah. Dalam modal sosial memuat kemampuan warga masyarakat untuk mengatasi masalah publik dalam iklim demokratis. Oleh karena itu, terjalin kerja sama antarwarga untuk menghasilkan tindakan kolektif.

Pengembangan praktik modal sosial tumbuh dari prinsip seperti kita harus berbaik sangka pada sesama dan menghindari rasa curiga. Prinsip tersebut sangat baik untuk membangun modal sosial karena sikap toleran yang harus dipelihara sehingga tercipta suatu kerja sama antarindividu atau antarkelompok masyarakat. Modal sosial positif, seperti arisan, gotong royong, dan lainnya dapat digunakan sebagai kosmetik kebijaksanaan pembangunan ekonomi.

4. Pembangunan Komunitas

Komunitas mengacu pada kesatuan hidup sosial yang ditandai dengan interaksi sosial yang lebih jelas dikenali dan disadari oleh anggota-anggotanya. Pengertian komunitas tidak selamanya mengacu pada individu dan perkotaan secara keseluruhan. Komunitas bisa tersusun dari kelompok-kelompok permukiman di lingkungan RT, RW, desa, kecamatan. Komunitas juga dapat berbentuk partai politik, organisasi profesi, organisasi swadaya masyarakat yang formal dan perkumpulan agama, budaya, hobi, atau paguyuban keluarga, dan sebagainya. Ciri yang penting dari komunitas adalah bahwa interaksi antaranggota berlangsung dalam intensitas dan frekuensi yang tinggi, saling mengenal, saling menolong, dan kerja sama.

5. Demokratisasi

Secara umum diyakini bahwa demokratisasi dapat bekerja sebagai sistem pengelolaan ataupun pencegahan konfl ik. Hal ini terbukti dari beberapa catatan sejarah yang mengangkat demokrasi memiliki fungsi lebih baik dalam pengelolaan damai bagi konflik-konflik dibandingkan sistem-sistem lain. Fakta nyata bahwa negara demokratis lebih kecil kemungkinannya untuk berperang dengan sesama negara demokratis.

Melalui demokratisasi, setiap perselisihan yang timbul diproses, diperdebatkan, dan direspons. Pemerintahan yang demokratis memperbolehkan ketidakpuasan diekspresikan secara terbuka dan mendapat respons. Dengan kata lain, demokrasi bertindak sebagai sistem pengelolaan konflik tanpa kembali terjebak pada kekerasan. Sebagai contoh, sering terjadinya demonstrasi di Indonesia akhir-akhir ini setelah masa reformasi adalah wujud dari kebebasan negara dalam menuju demokratisasi. Bandingkan dengan zaman sebelum reformasi, masyarakat dikungkung dan dibungkam kebebasannya dalam berekspresi dan berpendapat tentang ketidakpuasannya.

6. Memberdayakan Pekerjaan Sosial

Pekerjaan sosial adalah sebuah profesi pertolongan kemanusiaan yang fokus utamanya membantu fungsi dari sosial individu, keluarga, dan masyarakat dalam melaksanakan peran-peran sosialnya. Penanganan konflik ataupun pembangunan modal kedamaian sosial dalam perspektif pekerjaan sosial dilakukan melalui tiga arah secara terintegratif, yaitu mikro (individu dan keluarga), messo (kelompok dan lembaga-lembaga swadaya), dan makro (negara). Dalam konteks makro, misalnya, kebijakan publik yang kondusif diyakini sebagai piranti penting dalam pembangunan modal kedamaian sosial. Di negara-negara Barat, sistem kebijakan sosial dan jaminan sosial pada hakikatnya merupakan upaya untuk mereduksi ketimpangan dan keadilan sosial secara melembaga yang pada gilirannya menjadi penopang modal kedamaian sosial.

Model dan peranan pekerja sosial dalam menangani konflik bisa dipertimbangkan sebagai masukan bagi pendekatan strategi pembangunan serta integrasi bangsa Indonesia. Ada beberapa peran yang dapat dilakukan ketika menangani konflik dalam pekerjaan sosial.

Tiga peran berikut yaitu mediator, fasilitator, dan broker, sangat relevan dalam proses penanganan konflik dan dapat dijadikan model bagi para pendamai, khususnya bagi mereka yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan pembimbingan sosial yang bertugas di lapangan. Peran mediator dilakukan pada tahap berlangsungnya kon flik. Adapun peran fasilitator dan broker umumnya dilakukan pada fase “pascakonflik” yang “pertempuran” dan “benturan-benturan fisik” sudah menurun. Dua peran ini sering pula diterapkan pada tahap prakonflik atau pencegahan konflik.

a. Mediator

Peran mediator dilakukan pada saat terdapat perbedaan yang mencolok dan mengarah pada pertentangan fisik antara berbagai pihak. Mediator dapat berperan sebagai orang ketiga di antara anggota kelompok yang terlibat kelompok.

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam melakukan peran mediator meliputi kontrak perilaku, negosiasi, pendamai pihak ketiga, serta berbagai macam penanganan situasi kedaruratan. Dalam mediasi, upaya-upaya yang dilakukan pada hakikatnya diarahkan untuk mencapai “solusi menang-menang” (win-win solution). Hal ini berbeda dengan peran sebagai “pembela” (advocate) yang bantuan diarahkan untuk memenangkan kasus klien atau membantu klien memenangkan dirinya sendiri. 

Beberapa teknik dan keterampilan yang dilakukan peran mediator:
  • mencari persamaan nilai dari pihak-pihak yang terlibat konflik;
  • membantu setiap pihak agar mengakui legitimasi kepentingan pihak lain;
  • membantu pihak-pihak yang bertikai dalam mengidentifikasi kepentingan bersama;

b. Fasilitator

Peranan “fasilitator” sering disebut sebagai “pemungkin” (enabler ). Keduanya bahkan sering dipertukarkan satu-sama lain. Seperti dinyatakan Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994), “The traditional role of enabler in social work implies education, facilitation, and promotion of interaction and action”. Fasilitator bertanggung jawab membantu klien menjadi mampu menangani tekanan situasional atau transisional. Adapun kerangka acuan mengenai tugas yang dapat dilakukan oleh seorang fasilitator, antara lain:
  • mendefinisikan keanggotaan atau siapa yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan;
  • mendefinisikan tujuan keterlibatan;
  • mendorong komunikasi dan relasi, serta menghargai pengalaman dan perbedaan-perbedaan;
  • memfasilitasi keterikatan dan kualitas sinergi sebuah sistem, menemukan kesamaan dan perbedaan;
  • memfasilitasi pendidikan, membangun pengetahuan dan keterampilan;
  • memberikan model atau contoh dan memfasilitasi usaha untuk pemecahan masalah bersama sehingga mendorong kegiatan kolektif;
  • mengidentifikasi masalah-masalah yang akan dipecahkan;
  • memfasilitasi penetapan tujuan;
  • merancang solusi-solusi alternatif;
  • mendorong pelaksanaan tugas;
  • memelihara relasi sistem; dan
  • memecahkan konflik.

c. Broker

Pada pengertian umum, seorang broker membeli dan menjual saham dan surat berharga lainnya di pasar modal. Seorang broker berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dari transaksi tersebut sehingga klien dapat memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Pada saat klien menyewa seorang broker, klien meyakini bahwa broker tersebut memiliki pengetahuan mengenai pasar modal, pengetahuan yang diperoleh terutama berdasarkan pengalamannya sehari-hari.

Dalam konteks penanganan konflik, broker sukarelawan tidak jauh berbeda dengan peran broker di pasar modal. Seperti halnya di pasar modal, dalam penanganan konflik terdapat “klien” atau “konsumen”, yakni kelompok-kelompok yang bertikai. Namun, sukarelawan melakukan transaksi dalam pasar lain, yakni jaringan pertolongan sosial. Selain pengetahuan mengenai kualitas pelayanan sosial di sekitar lingkungannya, pemahaman dan penghargaan sukarelawan terhadap nilai-nilai pluralisme (non- judgemental, individualisation, self determination) sangat penting untuk menghindari konflik kepentingan dan menjaga kenetralan.

Dalam proses penanganan konflik, ada tiga prinsip utama dalam melakukan peranan sebagai broker, yaitu :
  • mampu mengidentifikasi dan melokalisasi sumber-sumber kemasyarakatan yang tepat;
  • mampu menghubungkan konsumen atau klien dengan sumber secara konsisten;
  • mampu mengevaluasi efektivitas sumber dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan klien.
Prinsip-prinsip tersebut sesuai dengan makna broker seperti telah dijelaskan di muka. Peranan sebagai broker mencakup “menghubungkan klien dengan barang-barang dan jasa serta mengontrol kualitas barang dan jasa tersebut. Dengan demikian, ada tiga kata kunci dalam pelaksanaan peran sebagai broker, yaitu: menghubungkan (linking), barang-barang dan jasa (goods and services), dan pengontrolan kualitas (quality control).
  • Parsons, Jorgensen dan Hernandez, menerangkan ketiga konsep tersebut, yaitu sebagai berikut.
  • Linking adalah proses menghubungkan orang dengan lembaga-lembaga atau pihak-pihak lainnya yang memiliki sumber-sumber yang diperlukan. Linking tidak sebatas hanya memberi petunjuk kepada orang mengenai sumber-sumber yang ada. Lebih dari itu, ia juga mengaitkan klien dengan sumber referal, mendistribusikan sumber, dan menjamin bahwa barang-barang dan jasa dapat diterima oleh klien, melakukan tindak lanjut.
  • Goods meliputi yang nyata, seperti makanan, uang, pakaian, perumahan, obat-obatan. Adapun service mencakup keluaran pelayanan lembaga yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan hidup klien. Misalnya, perawatan kesehatan, pendidikan, pelatihan, konseling, dan pengasuhan anak.
Quality Control adalah proses pengawasan yang dapat menjamin bahwa produk-produk yang dihasilkan lembaga memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan. Proses ini memerlukan monitoring terus-menerus terhadap lembaga dan semua jaringan pelayanan untuk menjamin bahwa pelayanan memiliki mutu yang dapat dipertanggungjawabkan setiap saat.

Anda sebagai bagian dari anggota masyarakat perlu kiranya memahami konflik yang kerap terjadi. Dengan memahami konflik, diharapkan tumbuh sikap dan tindakan toleransi yang tinggi, dapat mengurangi konflik, dan mewujudkan integrasi sebagai bentuk kedamaian sosial.

7. Strategi Kebijakan Publik

Secara garis besar, kebijakan-kebijakan publik dapat di-kelompokkan ke dalam empat sasaran berikut.
  • Membangun masyarakat dalam membantu pencapaian tujuan-tujuan pemerintah. Peningkatan investasi-investasi sosial dan pendistribusian pelayanan-pelayanan sosial dasar yang lebih luas dan adil.
  • Membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebu-tuhannya. kebijakan dalam kategori ini meliputi desentralisasi pembuatan keputusan dan peningkatan program-program pengembangan masyarakat yang dapat meningkatkan kemam puan mereka dalam merealisasikan kepentingan-kepentingannya.
  • Peningkatan masyarakat madani, meliputi perlindungan hak asasi manusia, kebebasan berorganisasi, mengemukakan pendapat, dan penetapan struktur-struktur hukum bagi lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
  • Peningkatan partisipasi masyarakat. Kebijakan ini ditujukan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat agar dapat memberikan masukan bagi perumusan kebijakan dan praktik-praktik pemerintahan yang menjamin konsultasi dan pengakuan hakiki terhadap fungsi organisasi lokal.
Lihat juga
Mobilitas Sosial Dan Hubungannya Dengan Struktur Sosial
Demikianlah postingan yang kami bagikan tentang Konflik Sosial. Semoga bermanfaat dan semoga saja konflik yang ada di Indonesia tidak seperti dengan konflik-konflik yang terjadi di negara lain. Aamiin

0 Response to "Konflik Sosial"

Posting Komentar

-->