-->

Perang Melawan Kolonialisme

Perang Melawan Kolonialisme - Sebelumnya admin telah membagikan artikel yang membahas tentang Antara Kolonialisme Dan Imperialisme. Dan untuk lebih jelas dan lengkapnya, langsung saja anda menyimak penjelasan di bawah ini.

Untuk mencapai kemerdekaan kita, kita harus bersatu, Untuk mentjapai kemerdekaan kita, kita harus membinasakan imperialisme dan kapitalisme H.A. Notosoetardjo -Bung Karno dihadapan Pengadilan Kolonial (1963)

Bangsa Indonesia memang cinta perdamaian, tetapi tentu lebih cinta kemerdekaan, karena secara fitrah setiap orang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak kemerdekaan dan kedaulatan. Kedaulatan baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, sudah selayaknya sesuai dengan fitrah kemerdekaan dan kedaulatan itu maka setiap bentuk dominasi asing dan penjajahan harus kita lawan. Jiwa dan semangat untuk melawan setiap bentuk penjajahan ini seharusnya ada pada diri setiap warga Indonesia. Banyak orang mengatakan dalam arti politik secara formal kita sudah merdeka tetapi banyak kritik dilontarkan bahwa kita masih mengalami “penjajahan” dalam bidang ekonomi dan kebudayaan dalam arti kurang memiliki kemandirian. Oleh karena itu, dengan segala daya upaya kita harus memperjuangakan kemandirian dan kedaulatan di bidang ekonomi dan kebudayaan. Untuk memperkuat daya upaya dan perjuangan itu, kita perlu meneladani atau mencontoh semangat juang para pendahulu kita, misalnya para pahlawan yang telah berjuang melawan penjajahan, keserakahan dan kolonialisme. Pada bab ini kita akan belajar tentang sejarah perjuangan rakyat dan para tokoh pejuang Indonesia pada kurun waktu sekitar abad ke-16 sampai dengan abad ke-20.

A. Mengevaluasi Perang Melawan Keserakahan Kongsi Dagang (abad ke-16 sampai abad ke-18)

Ilustrasi kapal-kapal VOC yang berlayar menuju Nusantara

Ilustrasi pertempuran rakyat di bawah Pangeran Nuku di Tidore

Ilustrasi atau gambar di atas menunjukkan adanya sebuah perlawanan bangsa Indonesia terhadap kezaliman kolonialisme Belanda. Gambar di atas melukiskan kapal-kapal dagang dari Papua dan Halmahera yang dijadikan kapal armada laut untuk memperkuat pasukan Pangeran Nuku dari Tidore untuk melawan kekejaman kompeni Belanda. Sungguh heroik perlawanan rakyat Kepulauan Maluku dan sekitarnya di bawah pimpinan Pangeran Nuku.
Pangeran Nuku
Dari pulau yang satu ke pulau yang lain Nuku berhasil menggerakkan berbagai lapisan kekuatan baik dari bangsawan maupun rakyat untuk melawan kezaliman Belanda. Politik devide et impera diterapkan oleh Belanda, tetapi Nuku bergeming. Dengan dukungan para penguasa dari Papua dan Halmahera, bahkan juga Inggris, pasukan Nuku semakin berjaya. Belanda harus mengakui keunggulan Sultan Nuku.

Uraian di atas menunjukkan salah satu perlawanan terhadap kezaliman dan dominasi asing yang menjajah bumi Nusantara ini. Kekuatan penjajahan itu telah merendahkan martabat bangsa dan membuat penderitaan rakyat, sehingga perlawanan itu terjadi di berbagai daerah. Berikut ini akan kita pelajari tentang berbagai perlawanan untuk melawan keserakahan VOC.

1. Aceh Versus Portugis dan VOC

Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, justru membawa hikmah bagi Aceh. Banyak para pedagang Islam yang menyingkir dari Malaka menuju ke Aceh. Dengan demikian perdagangan di Aceh semakin ramai. Hal ini telah mendorong Aceh berkembang menjadi bandar dan pusat perdagangan. Perkembangan Aceh yang begitu pesat ini dipandang oleh Portugis sebagai ancaman, oleh karena itu, Portugis berkehendak untuk menghancurkan Aceh. Pada tahun 1523 Portugis melancarkan serangan ke Aceh di bawah pimpinan Henrigues, dan menyusul pada tahun 1524 dipimpin oleh de Sauza. Beberapa serangan Portugis ini mengalami kegagalan. Portugis terus mencari cara untuk melemahkan posisi Aceh sebagai pusat perdagangan. Kapal-kapal Portugis selalu mengganggu kapal-kapal dagang Aceh di manapun berada. Misalnya, pada saat kapal-kapal dagang Aceh sedang berlayar di Laut Merah pada tahun 1524/1525 diburu oleh kapal-kapal Portugis untuk ditangkap. Sudah barang tentu tindakan Portugis telah merampas kedaulatan Aceh yang ingin bebas dan berdaulat berdagang dengan siapa saja, mengadakan hubungan dengan bangsa manapun atas dasar persamaan. Oleh karena itu, tindakan kapal-kapal Potugis telah mendorong munculnya perlawanan rakyat Aceh. Sebagai persiapan Aceh melakukan langkah-langkah antara lain:

Melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, meriam dan prajurit

Mendatangkan bantuan persenjataan, sejumlah tentara dan beberapa ahli dari Turki pada tahun 1567.

Mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut dan Jepara.

Setelah berbagai bantuan berdatangan, Aceh segera melancarkan serangan terhadap Portugis di Malaka. Portugis harus bertahan mati-matian di Formosa/ Benteng. Portugis harus mengerahkan semua kekuatannya sehingga serangan Aceh ini dapat digagalkan. Sebagai tindakan balasan pada tahun 1569 Portugis balik menyerang Aceh, tetapi serangan Portugis di Aceh ini juga dapat digagalkan oleh pasukan Aceh.

Rakyat Aceh dan para pemimpinnya selalu ingin memerangi kekuatan dan dominasi asing, oleh karena itu, jiwa dan semangat juang untuk mengusir Portugis dari Malaka tidak pernah padam. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639), semangat juang mempertahankan tanah air dan mengusir penjajahan asing semakin meningkat. Iskandar Muda adalah raja yang gagah berani dan bercita-cita untuk mengenyahkan penjajahan asing, termasuk mengusir Portugis dari Malaka. Iskandar Muda berusaha untuk melipatgandakan kekuatan pasukannya. Angkatan lautnya diperkuat dengan kapal-kapal besar yang dapat mengangkut 600-800 prajurit. Pasukan kavaleri dilengkapi dengan kuda-kuda dari Persia, bahkan Aceh juga menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri. Sementara itu untuk mengamankan wilayahnya yang semakin luas meliputi Sumatera Timur dan Sumatera Barat, ditempatkan para pengawas di jalur-jalur perdagangan. Para pengawas itu ditempatkan di pelabuhan-pelabuhan penting seperti di Pariaman. Para pengawas itu umumnya terdiri para panglima perang.

Setelah mempersiapkan pasukannya, pada tahun 1629 Iskandar Muda melancarkan serangan ke Malaka. Menghadapi serangan kali ini Portugis sempat kewalahan. Portugis harus mengerahkan semua kekuatan tentara dan persenjataan untuk menghadapi pasukan Iskandar Muda. Namun, serangan Aceh kali ini juga tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka. Hubungan Aceh dan Portugis semakin memburuk. Bentrokan-bentrokan antara kedua belah pihak masih sering terjadi, tetapi Portugis tetap tidak berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka. Yang berhasil mengusir Portugis dari Malaka adalah VOC pada tahun 1641.

2. Maluku Angkat Senjata

Portugis berhasil memasuki Kepulauan Maluku pada tahun 1521. Mereka memusatkan aktivitasnya di Ternate. Tidak lama berselang orang-orang Spanyol juga memasuki Kepulauan Maluku dengan memusatkan kedudukannya di Tidore. Terjadilah persaingan antara kedua belah pihak. Persaingan itu semakin tajam setelah Portugis berhasil menjalin persekutuan dengan Ternate dan Spanyol bersahabat dengan Tidore.

Pada tahun 1529 terjadi perang antara Tidore melawan Portugis. Penyebab perang ini karena kapal-kapal Portugis menembaki jung-jung dari Banda yang akan membeli cengkih ke Tidore. Tentu saja Tidore tidak dapat menerima tindakan armada Portugis. Rakyat Tidore angkat senjata. Terjadilah perang antara Tidore melawan Portugis. Dalam perang ini Portugis mendapat dukungan dari Ternate dan Bacan. Akhirnya Portugis mendapat kemenangan. Dengan kemenangan ini Portugis menjadi semakin sombong dan sering berlaku kasar terhadap penduduk Maluku. Upaya monopoli terus dilakukan. Maka, wajar jika sering terjadi letupan-letupan perlawanan rakyat.

Sementara itu untuk menyelesaikan persaingan antara Portugis dan Spanyol dilaksanakan perjanjian damai, yakni Perjanjian Saragosa pada tahun 1534. Dengan adanya Perjanjian Saragosa kedudukan Portugis di Maluku semakin kuat. Portugis semakin berkuasa untuk memaksakan kehendaknya melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Kedudukan Portugis juga semakin mengganggu kedaulatan kerajaan-kerajaan yang ada di Maluku. Pada tahun 1565 muncul perlawanan rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Khaerun/Hairun. Sultan Khaerun menyerukan seluruh rakyat dari Irian/Papua sampai Jawa untuk angkat senjata melawan kezaliman kolonial Portugis. Portugis mulai kewalahan dan menawarkan perundingan kepada Sultan Khaerun. Dengan pertimbangan kemanusiaan, Sultan Khaerun menerima ajakan Portugis Perundingan dilaksanakan pada tahun 1570 bertempat di Benteng Sao Paolo. Ternyata semua ini hanyalah tipu muslihat Portugis. Pada saat perundingan sedang berlangsung, Sultan Khaerun ditangkap dan dibunuh. Apa yang dilakukan Portugis kala itu sungguh kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Demi keuntungan ekonomi Portugis telah merusak sendi-sendi kehidupan kemanusiaan dan keberagamaan.

Setelah Sultan Khaerun dibunuh, perlawanan dilanjutkan di bawah pimpinan Sultan Baabullah (putera Sultan Khaerun). Melihat tindakan Portugis yang tidak mengenal nilai-nilai kemanusiaan, semangat rakyat Maluku untuk melawannya semakin berkobar. Seluruh rakyat Maluku berhasil dipersatukan termasuk Ternate dan Tidore untuk melancarkan serangan besar-besaran terhadap Portugis. Akhirnya Portugis dapat didesak dan pada tahun 1575 berhasil diusir dari Ternate. Orang-orang Portugis kemudian melarikan diri dan menetap di Ambon sampai tahun 1605. Tahun itu Portugis dapat diusir oleh VOC dari Ambon dan kemudian menetap di Timor Timur.

Serangkaian rakyat terus terjadi terhadap Portugis maupun VOC yang melakukan tindakan kejam dan sewenang-wenang kepada rakyat. Misalnya pada periode tahun 1635-1646 terjadi serangan sporadis dari rakyat Hitu yang dipimpin oleh Kakiali dan Telukabesi. Perlawanan rakyat ini juga meluas ke Ambon. Tahun 1650 perlawanan rakyat juga terjadi di Ternate yang dipimpin oleh Kecili Said. Sementara perlawanan secara gerilya terjadi seperti di Jailolo. Namun berbagai serangan itu selalu dapat dipatahkan oleh kekuatan VOC yang memiliki peralatan senjata lebih lengkap. Rakyat terus mengalami penderitaan akibat kebijakan monopoli rempah-rempah yang disertai dengan Pelayaran Hongi.

Pada tahun 1680, VOC memaksakan sebuah perjanjian baru dengan penguasa Tidore. Kerajaan Tidore yang semula sebagai sekutu turun statusnya menjadi vassal VOC, dan sebagai penguasa yang baru diangkatlah Putra Alam sebagai Sultan Tidore (menurut tradisi kerajaan Tidore yang berhak sebagai sultan semestinya adalah Pangeran Nuku). Penempatan Tidore sebagai vassal atau daerah kekuasaan VOC telah menimbulkan protes keras dari Pangeran Nuku. Akhirnya Nuku memimpin perlawanan rakyat. Timbullah perang hebat antara rakyat Maluku di bawah pimpinan Pangeran Nuku melawan kekuatan kompeni Belanda (tentara VOC).
Makam Sultan Nuku kini menjadi objek wisata sejarah di Tidore 
Sultan Nuku mendapat dukungan rakyat Papua di bawah pimpinan Raja Ampat dan juga orang-orang Gamrange dari Halmahera. Oleh para pengikutnya, Pangeran Nuku diangkat sebagai sultan dengan gelar Tuan Sultan Amir Muhammad Syafiudin Syah. Sultan Nuku juga berhasil meyakinkan Sultan Aharal dan Pangeran Ibrahim dari Ternate untuk bersama-sama melawan VOC. Bahkan dalam perlawanan ini Inggris juga memberi dukungan terhadap Sultan Nuku. Belanda kewalahan dan tidak mampu membendung ambisi Nuku untuk lepas dari dominasi Belanda. Sultan Nuku berhasil mengembangkan pemerintahan yang berdaulat melepaskan diri dari dominasi Belanda di Tidore sampai akhir hayatnya (tahun 1805).

3. Sultan Agung Versus J.P. Coen

Sultan Agung adalah raja yang paling terkenal dari Kerajaan Mataram. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Mataram mencapai zaman keemasan. Cita-cita Sultan Agung antara lain: (1) mempersatukan seluruh tanah Jawa, dan (2) mengusir kekuasaan asing dari bumi Nusantara. Terkait dengan cita-citanya ini maka Sultan Agung sangat menentang keberadaan kekuatan VOC di Jawa. Apalagi tindakan VOC yang terus memaksakan kehendak untuk melakukan monopoli perdagangan membuat para pedagang Pribumi mengalami kemunduran. Kebijakan monopoli itu juga dapat membawa penderitaan rakyat. Oleh karena itu, Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia. Ada beberapa alasan mengapa Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia, yakni:
  1. tindakan monopoli yang dilakukan VOC,
  2. VOC sering menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram yang akan berdagang ke Malaka,
  3. VOC menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram, dan
  4. keberadaan VOC di Batavia telah memberikan ancaman serius bagi masa depan Pulau Jawa.
Pada tahun 1628 telah dipersiapkan pasukan dengan segenap persenjataan dan perbekalan. Pada waktu itu yang menjadi gubernur jenderal VOC adalah J.P. Coen. Sebagai pimpinan pasukan Mataram adalah Tumenggung Baureksa. Tepat pada tanggal 22 Agustus 1628, pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa menyerang Batavia. Pasukan Mataram berusaha membangun pos pertahanan, tetapi kompeni VOC berusaha menghalang-halangi, sehingga pertempuran antara kedua pihak tidak dapat dihindarkan. Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan itu pasukan Mataram yang lain berdatangan seperti pasukan di bawah Sura Agul-Agul yang dibantu oleh Kiai Dipati Mandurareja dan Upa Santa. Datang pula laskar orang-orang Sunda di bawah pimpinan Dipati Ukur. Pasukan Mataram berusaha mengepung Batavia dari berbagai tempat. Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Mataram melawan tentara VOC di berbagai tempat. Tetapi kekuatan tentara VOC dengan senjatanya jauh lebih unggul, sehingga dapat memukul mundur semua lini kekuatan pasukan Mataram. Tumenggung Baureksa sendiri gugur dalam pertempuran itu. Dengan demikian serangan tentara Sultan Agung pada tahun 1628 itu belum berhasil.
Sultan Agung

Sultan Agung tidak lantas berhenti dengan kekalahan yang baru saja dialami pasukannya. Ia segera mempersiapkan serangan yang kedua. Belajar dari kekalahan terdahulu Sultan Agung meningkatkan jumlah kapal dan senjata, Ia juga membangun lumbung-lumbung beras untuk persediaan bahan makanan seperti di Tegal dan Cirebon. Tahun 1629 pasukan Mataram diberangkatkan menuju Batavia. Sebagai pimpinan pasukan Mataram dipercayakan kepada Tumenggung Singaranu, Kiai Dipati Juminah, dan Dipati Purbaya. Ternyata informasi persiapan pasukan Mataram diketahui oleh VOC. Dengan segera VOC mengirim kapal-kapal perang untuk menghancurkan lumbung-lumbung yang dipersiapkan pasukan Mataram. Di Tegal tentara VOC berhasil menghancurkan 200 kapal Mataram, 400 rumah penduduk dan sebuah lumbung beras. Pasukan Mataram pantang mundur, dengan kekuatan pasukan yang ada terus berusaha mengepung Batavia. Pasukan Mataram berhasil mengepung dan menghancurkan Benteng Hollandia. Berikutnya pasukan Mataram mengepung Benteng Bommel, tetapi gagal menghancurkan benteng tersebut. Pada saat pengepungan Benteng Bommel, terpetik berita bahwa J.P. Coen meninggal. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 September 1629. Dengan semangat juang yang tinggi pasukan Mataram terus melakukan penyerangan. Dalam situasi yang kritis ini pasukan Belanda semakin marah dan meningkatkan kekuatannya untuk mengusir pasukan Mataram. Dengan mengandalkan persenjataan yang lebih baik dan lengkap, akhirnya dapat menghentikan serangan-serangan pasukan Mataram. Pasukan Mataram semakin melemah dan akhirnya ditarik mundur kembali ke Mataram. Dengan demikian serangan Sultan Agung yang kedua ini juga mengalami kegagalan.

Dengan kegagalan pasukan Mataram menyerang Batavia, membuat VOC semakin berambisi untuk terus memaksakan monopoli dan memperluas pengaruhnya di daerah-daerah lain. Namun di balik itu VOC selalu khawatir dengan kekuatan tentara Mataram. Tentara VOC selalu berjaga-jaga untuk mengawasi gerak-gerik pasukan Mataram. Sebagai contoh pada waktu pasukan Sultan Agung dikirim ke Palembang untuk membantu Raja Palembang dalam melawan VOC, langsung diserang oleh tentara VOC di tengah perjalanan.

Perlawanan pasukan Sultan Agung terhadap VOC memang mengalami kegagalan. Tetapi semangat dan cita-cita untuk melawan dominasi asing di Nusantara terus tertanam pada jiwa Sultan Agung dan para pengikutnya. Sayangnya semangat ini tidak diwarisi oleh raja-raja pengganti Sultan Agung. Setelah Sultan Agung meninggal tahun 1645, Mataram menjadi semakin lemah sehingga akhirnya berhasil dikendalikan oleh VOC.

Sebagai pengganti Sultan Agung adalah Sunan Amangkurat I. Ia memerintah pada tahun 1646 -1677. Ternyata Raja Amangkurat I merupakan raja yang lemah dan bahkan bersahabat dengan VOC. Raja ini juga bersifat reaksioner dengan bersikap sewenang-wenang kepada rakyat dan kejam terhadap para ulama. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Amangkurat I itu timbul berbagai perlawanan rakyat. Salah satu perlawanan itu dipimpin oleh Trunajaya.

4. Perlawanan Banten

Banten memiliki posisi yang strategis sebagai bandar perdagangan internasional. Oleh karena itu sejak semula Belanda ingin menguasai Banten, tetapi tidak pernah berhasil. Akhirnya VOC membangun Bandar di Batavia pada tahun 1619. Terjadi persaingan antara Banten dan Batavia memperebutkan posisi sebagai bandar perdagangan internasional. Oleh karena itu, rakyat Banten sering melakukan serangan-serangan terhadap VOC.
Sultan Ageng Tirtayasa
Tahun 1651, Pangeran Surya naik tahta di Kesultanan Banten. Ia adalah cucu Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Karim, anak dari Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yang wafat pada 1650. Pangeran Surya bergelar Sultan Abu al-Fath Abulfatah. Sultan Abu al-Fath Abdulfatah ini lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. la berusaha memulihkan posisi Banten sebagai Bandar perdagangan internasional dan sekaligus menandingi perkembangan di Batavia. Beberapa yang dilakukan misalnya mengundang para pedagang Eropa lain seperti Inggris, Perancis, Denmark dan Portugis. Sultan Ageng juga mengembangkan hubungan dagang dengan negara-negara Asia seperti Persia, Benggala, Siam, Tonkin, dan Cina. Perkembangan di Banten ternyata sangat tidak disenangi oleh VOC. Oleh karena itu, untuk melemahkan peran Banten sebagai Bandar perdagangan, VOC sering melakukan blokade. Jung-jung Cina dan kapal-kapal dagang dari Maluku dilarang meneruskan perjalanan menuju Banten. Sebagai balasan Sultan Ageng juga mengirim beberapa pasukannya untuk mengganggu kapal-kapal dagang VOC dan menimbulkan gangguan di Batavia. Dalam rangka memberi tekanan dan memperlemah kedudukan VOC, rakyat Banten juga melakukan perusakan terhadap beberapa kebun tanaman tebu milik VOC. Akibatnya hubungan antara Banten dan Batavia semakin memburuk.

Menghadapi serangan pasukan Banten, VOC terus memperkuat kota Batavia dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan seperti Benteng Noordwijk. Dengan tersedianya beberapa benteng di Batavia diharapkan VOC mampu bertahan dari berbagai serangan dari luar dan mengusir para penyerang tersebut. Sementara itu untuk kepentingan pertahanan, Sultan Ageng memerintahkan untuk membangun saluran irigasi yang membentang dari Sungai Untung Jawa sampai Pontang. Selain berfungsi untuk meningkatkan produksi pertanian, saluran irigasi dimaksudkan juga untuk memudahkan transportasi perang. Pada masa pemerintahan Sultan Ageng ini memang banyak dibangun saluran air/irigasi. Oleh karena jasa-jasanya ini maka sultan digelari Sultan Ageng Tirtayasa (tirta artinya air).

Serangan dan gangguan terhadap VOC terus dilakukan. Di tengah-tengah mengobarkan semangat anti VOC itu, pada tahun 1671 Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkota Abdulnazar Abdulkahar sebagai raja pembantu yang lebih dikenal dengan nama Sultan Haji. Sebagai raja pembantu Sultan Haji bertanggung jawab urusan dalam negeri, dan Sultan Ageng Tirtayasa bertanggung jawab urusan luar negeri dibantu puteranya yang lain, yakni Pangeran Arya Purbaya. Pemisahan urusan pemerintahan di Banten ini tercium oleh perwakilan VOC di Banten W. Caeff. Ia kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji agar urusan pemerintahan di Banten tidak dipisah-pisah dan jangan sampai kekuasaan jatuh ke tangan Arya Purbaya. Karena hasutan VOC ini Sultan Haji mencurigai ayah dan saudaranya. Sultan Haji juga sangat khawatir, apabila dirinya tidak segera dinobatkan sebagai sultan, sangat mungkin jabatan sultan itu akan diberikan kepada Pangeran Arya Purbaya. Tanpa berpikir panjang Sultan Haji segera membuat persekongkolan dengan VOC untuk merebut tahta kesultanan Banten. Timbullah pertentangan yang begitu tajam antara Sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Dalam persekongkolan tersebut VOC sanggup membantu Sultan Haji untuk merebut Kesultanan Banten tetapi dengan empat syarat.

Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC, (2) monopoli lada di Banten dipegang oleh VOC dan harus menyingkirkan para pedagang Persia, India, dan Cina, (3) Banten harus membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji, dan (4) pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan segera ditarik kembali. Isi perjanjian ini disetujui oleh Sultan Haji.

Pada tahun 1681 VOC atas nama Sultan Haji berhasil merebut Kesultanan Banten. Istana Surosowan berhasil dikuasai. Sultan Haji menjadi Sultan Banten yang berkedudukan di istana Surosowan. Sultan Ageng kemudian membangun istana yang baru berpusat di Tirtayasa. Sultan Ageng berusaha merebut kembali Kesultanan Banten dari Sultan Haji yang didukung VOC. Pada tahun 1682 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa berhasil mengepung istana Surosowan. Sultan Haji terdesak dan segera meminta bantuan tentara VOC. Datanglah bantuan tentara VOC di bawah pimpinan Francois Tack. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dapat dipukul mundur dan terdesak hingga ke Benteng Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya meloloskan diri bersama puteranya, pangeran Purbaya ke hutan Lebak. Mereka masih melancarkan serangan sekalipun dengan bergerilya. Tentara VOC terus memburu. Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya yang kemudian bergerak ke arah Bogor. Baru setelah melalui tipu muslihat pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan ditawan di Batavia sampai meninggalnya pada tahun 1692.
Sisa-sisa istana Surosowan

Namun harus diingat bahwa semangat juang Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya tidak pernah padam. Ia telah mengajarkan untuk selalu menjaga kedaulatan negara dan mempertahankan tanah air dari dominasi asing. Hal ini terbukti setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal, perlawanan rakyat Banten terhadap VOC terus berlangsung. Misalnya pada tahun 1750 timbul perlawanan yang dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus. Perlawanan ini ternyata sangat kuat sehingga VOC kewalahan menghadapi serangan itu. Dengan susah payah akhirnya perlawanan yang dipimpin Ki Tapa dan Ratu Bagus ini dapat dipadamkan.

5. Perlawanan Goa

Kerajaan Goa merupakan salah satu kerajaan yang sangat terkenal di Nusantara. Pusat pemerintahannya berada di Somba Opu yang sekaligus menjadi pelabuhan Kerajaan Goa. Somba Opu senantiasa terbuka untuk siapa saja. Banyak para pedagang asing yang tinggal di kota itu. Misalnya, orang Inggris, Denmark, Portugis, dan Belanda. Mereka diizinkan membangun loji di kota itu. Goa anti terhadap tindakan monopoli perdagangan. Masyarakat Goa ingin hidup merdeka dan bersahabat kepada siapa saja tanpa hak istimewa. Masyarakat Goa senantiasa berpegang pada prinsip hidup sesuai dengan kata-kata “Tanahku terbuka bagi semua bangsa”, “Tuhan menciptakan tanah dan laut; tanah dibagikannya untuk semua manusia dan laut adalah milik bersama.” Dengan prinsip keterbukaan itu maka Goa cepat berkembang.

Pelabuhan Somba Opu memiliki posisi yang strategis dalam jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Somba Opu telah berperan sebagai bandar perdagangan tempat persinggahan kapal-kapal dagang dari timur ke barat atau sebaliknya. Sebagai contoh kapal-kapal pengangkut rempah-rempah dari Maluku yang berangkat ke Malaka sebelumnya akan singgah dulu di Bandar Somba Opu. Begitu juga barang dagangan dari barat yang akan masuk ke Maluku juga melakukan bongkar muat di Somba Opu.

Dengan melihat peran dan posisinya yang strategis, VOC berusaha keras untuk dapat mengendalikan Goa dan menguasai pelabuhan Somba Opu serta menerapkan monopoli perdagangan. Untuk itu VOC harus dapat menundukkan Kerajaan Goa. Berbagai upaya untuk melemahkan posisi Goa terus dilakukan. Sebagai contoh, pada tahun 1634, VOC melakukan blokade terhadap Pelabuhan Somba Opu, tetapi gagal karena perahu-perahu Makasar yang berukuran kecil lebih lincah dan mudah bergerak di antara pulau-pulau, yang ada. Kemudian kapal-kapal VOC merusak dan menangkap kapal-kapal pribumi maupun kapal-kapal asing lainnya.
Sultan Hasanuddin

RajaGoa,SultanHasanuddininginmenghentikan tidakan VOC yang anarkis dan provokatif itu. Sultan Hasanuddin menentang ambisi VOC yang memaksakan monopoli di Goa. Seluruh kekuatan dipersiapkan untuk menghadapi VOC. Beberapa benteng pertahanan mulai dipersiapkan di sepanjang pantai. Beberapa sekutu Goa mulai dikoordinasikan. Semua dipersiapkan untuk melawan kesewenang-wenangan VOC. Sementara itu VOC juga mempersiapkan diri untuk menundukkan Goa. Politik devide et impera mulai dilancarkan. Misalnya VOC menjalin hubungan dengan seorang Pangeran Bugis dari Bone yang bernama Aru Palaka.

VOC begitu bernafsu untuk segera dapat mengendalikan kekuasaan di Goa. Oleh karena itu, pimpinan VOC, Gubernur Jenderal Maetsuyker memutuskan untuk menyerang Goa. Dikirimlah pasukan ekspedisi yang berkekuatan 21 kapal dengan mengangkut 600 orang tentara. Mereka terdiri atas tentara VOC, orang-orang Ambon dan juga orang-orang Bugis di bawah Aru Palaka. Tanggal 7 Juli 1667, meletus Perang Goa. Tentara VOC dipimpin oleh Cornelis Janszoon Spelman, diperkuat oleh pengikut Aru Palaka dan ditambah orang-orang Ambon di bawah pimpinan Jonker van Manipa. Kekuatan VOC ini menyerang pasukan Goa dari berbagai penjuru. Beberapa serangan VOC berhasil ditahan pasukan Hasanuddin. Tetapi dengan pasukan gabungan disertai peralatan senjata yang lebih lengkap, VOC berhasil mendesak pasukan Hasanuddin. Benteng pertahanan tentara Goa di Barombang dapat diduduki oleh pasukan Aru Palaka. Hal ini menandai kemenangan pihak VOC atas kerajaan Goa. Hasanuddin kemudian dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667, yang isinya antara lain sebagai berikut.
  1. Goa harus mengakui hak monopoli VOC
  2. Semua orang Barat, kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah Goa
  3. Goa harus membayar biaya perang
Sultan Hasanuddin tidak ingin melaksanakan isi perjanjian itu, karena isi perjanjian itu bertentangan dengan hati nurani dan semboyan masyarakat Goa atau Makasar. Pada tahun 1668 Sultan Hasanuddin mencoba menggerakkan kekuatan rakyat untuk kembali melawan kesewenang-wenangan VOC itu. Namun perlawanan ini segera dapat dipadamkan oleh VOC. Dengan sangat terpaksa Sultan Hasanuddin harus melaksanakan isi Perjanjian Bongaya.
Benteng Rotterdam
Bahkan benteng pertahanan rakyat Goa jatuh dan diserahkan kepada VOC. Benteng itu kemudian oleh Spelman diberi nama Benteng Rotterdam.

6. Rakyat Riau Angkat Senjata

Ambisi untuk melakukan monopoli perdagangan dan menguasai berbagai daerah di Nusantara terus dilakukan oleh VOC. Di samping menguasai Malaka, VOC juga mulai mengincar Kepulauan Riau. Dengan politik memecah belah VOC mulai berhasil menanamkan pengaruhnya di Riau. Kerajaan-kerajaan kecil seperti Siak, Indragiri, Rokan, dan Kampar semakin terdesak oleh pemaksaan monopoli dan tindakan sewenang-wenang dari VOC. Oleh karena itu, beberapa kerajaaan mulai melancarkan perlawanan.

Salah satu contoh perlawanan di Riau adalah perlawanan yang dilancarkan oleh Kerajaan Siak Sri Indrapura. Raja Siak Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723 – 1744) memimpin rakyatnya untuk melawan VOC. Setelah berhasil merebut Johor kemudian ia membuat benteng pertahanan di Pulau Bintan. Dari pertahanan di Pulau Bintan ini pasukan Sultan Abdul Jalil mengirim pasukan di bawah komando Raja Lela Muda untuk menyerang Malaka. Uniknya dalam pertempuran ini Raja Lela Muda selalu mengikutsertakan puteranya yang bernama Raja Indra Pahlawan. Itulah sebabnya sejak remaja Raja Indra Pahlawan sudah memiliki kepandaian berperang. Sifaf bela negara/ tanah air sudah mulai tertanam pada diri Raja Indra Pahlawan.
Istana Peninggalan Kerajaan Siak

Dalam suasana konfrontasi dengan VOC itu, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah wafat. Sebagai gantinya diangkatlah puteranya yang bernama Muhammad Abdul Jalil Muzafar Syah (1746 -1760). Raja ini juga memiliki naluri seperti ayahandanya yang ingin selalu memerangi VOC di Malaka dan sebagai komandan perangnya adalah Raja Indra Pahlawan. Tahun 1751 berkobar perang melawan VOC. Sebagai strategi menghadapi serangan Raja Siak, VOC berusaha memutus jalur perdagangan menuju Siak. VOC mendirikan benteng pertahanan di sepanjang jalur yang menghubungkan Sungai Indragiri, Kampar, sampai Pulau Guntung yang berada di muara Sungai Siak. Kapal-kapal dagang yang akan menuju Siak ditahan oleh VOC. Hal ini merupakan pukulan bagi Siak. Oleh karena itu segera dipersiapkan kekuatan yang lebih besar untuk menyerang VOC. Sebagai pucuk pimpinan pasukan dipercayakan kembali kepada Raja Indra dan Panglima Besar Tengku Muhammad Ali. Dalam serangan ini diperkuat dengan kapal perang “Harimau Buas” yang dilengkapi dengan lancang serta perlengkapan perang secukupnya. Terjadilah pertempuran sengit di Pulau Guntung (1752 – 1753). Ternyata benteng VOC di Pulau Guntung itu berlapis-lapis dan dilengkapi meriam-meriam besar. Dengan demikian pasukan Siak sulit menembus benteng pertahanan itu. Namun banyak pula jatuh korban dari VOC, sehingga VOC harus mendatangkan bantuan kekuatan termasuk juga orang-orang Cina. Pertempuran hampir berlangsung satu bulan. Sementara VOC terus mendatangkan bantuan. Melihat situasi yang demikian itu kedua panglima perang Siak menyerukan pasukannya untuk mundur kembali ke Siak.

Sultan Siak bersama para panglima dan penasihat mengatur siasat baru. Disepakati bahwa VOC harus dilawan dengan tipu daya. Sultan diminta berpura-pura berdamai dengan cara memberikan hadiah kepada Belanda. Oleh karena itu, siasat ini dikenal dengan “siasat hadiah sultan”. VOC setuju dengan ajakan damai ini. Perundingan damai diadakan di loji di Pulau Guntung. Pada saat perundingan baru mulai justru Sultan Siak dipaksa untuk tunduk kepada pemerintahah VOC. Sultan segera memberi kode pada anak buah dan segera menyergap dan membunuh orang-orang Belanda di loji itu. Loji segera dibakar dan rombongan Sultan Siak kembali ke Siak dengan membawa kemenangan, sekalipun belum berhasil mengenyahkan VOC dari Malaka. Siasat perang ini tidak terlepas dari jasa Raja Indra Pahlawan. Oleh karena itu, atas jasanya Raja Indra Pahlawan diangkat sebagai Panglima Besar Kesultanan Siak dengan gelar: “Panglima Perang Raja Indra Pahlawan Datuk Lima Puluh”

7. Orang-orang Cina Berontak

Sejak abad ke-5 orang-orang Cina sudah mengadakan hubungan dagang ke Jawa dan jumlahnya pun semakin banyak. Pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan Islam banyak pedagang Cina yang tinggal di daerah pesisir, bahkan tidak sedikit yang menikah dengan penduduk Jawa. Begitu juga pada masa pemerintahan VOC di Batavia, banyak orang Cina yang datang ke Jawa. VOC memang sengaja mendatangkan orang-orang Cina dari Tiongkok dalam rangka mendukung kemajuan perekonomian di Jawa. Orang-orang Cina yang datang ke Jawa tidak semua yang memiliki modal. Banyak di antara mereka termasuk golongan miskin. Mereka kemudian menjadi pengemis bahkan ada yang menjadi pencuri. Sudah barang tentu hal ini sangat mengganggu kenyamanan dan keamanan Kota Batavia.

Untuk membatasi kedatangan orang–orang Cina ke Batavia, VOC mengeluarkan ketentuan bahwa setiap orang Cina yang tinggal di Batavia harus memiliki surat izin bermukim yang disebut permissiebriefjes atau masyarakat sering menyebut dengan “surat pas”. Apabila tidak memiliki surat izin, maka akan ditangkap dan dibuang ke Sailon (Sri Langka) untuk dipekerjakan di kebun-kebun pala milik VOC atau akan dikembalikan ke Cina. Mereka diberi waktu enam bulan untuk mendapatkan surat izin tersebut. Biaya untuk mendapatkan surat izin itu yang resmi dua ringgit (Rds.2,-) per orang. Tetapi dalam pelaksanaannya untuk mendapatkan surat izin terjadi penyelewengan dengan membayar lebih mahal, tidak hanya dua ringgit. Akibatnya banyak yang tidak mampu memiliki surat izin tersebut. VOC bertindak tegas, orang-orang Cina yang tidak memiliki surat izin bermukim ditangkapi. Tetapi mereka banyak yang dapat melarikan diri keluar kota. Mereka kemudian membentuk gerombolan yang mengacaukan keberadaan VOC di Batavia.

Pada suatu ketika tahun 1740 terjadi kebakaran di Batavia. VOC menafsirkan peristiwa ini sebagai gerakan orang-orang Cina yang akan melakukan pemberontakan. Oleh karena itu, para serdadu VOC mulai beraksi dengan melakukan sweeping memasuki rumah-rumah orang Cina dan kemudian melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Cina yang ditemukan di setiap rumah. Sementara yang berhasil meloloskan diri dan melakukan perlawanan di berbagai daerah, misalnya di Jawa Tengah. Salah satu tokohnya yang terkenal adalah Oey Panko atau kemudian dikenal dengan sebutan Khe Panjang, kemudian di Jawa menjadi Ki Sapanjang. Nama ini dikaitkan dengan perannya dalam memimpin perlawanan di sepanjang pesisir Jawa.

Perlawanan dan kekacauan yang dilakukan orang-orang Cina itu kemudian meluas di berbagai tempat terutama di daerah pesisir Jawa. Perlawanan orang-orang Cina ini mendapat bantuan dan dukungan dari para bupati di pesisir. Bahkan yang menarik atas desakan para pangeran, Raja Pakubuwana juga ikut mendukung pemberontakan orang-orang Cina tersebut. Pada tahun 1741 benteng VOC di Kartasura dapat diserang sehingga jatuh banyak korban. VOC segera meningkatkan kekuatan tentara maupun persenjataan sehingga pemberontakan orang-orang Cina satu demi satu dapat dipadamkan. Pada kondisi yang demikian ini Pakubuwana II mulai bimbang dan akhirnya melakukan perundingan damai dengan VOC.

8. Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said

Perlawan terhadap VOC kembali terjadi di Jawa, kali ini dipimpin oleh bangsawan kerajaan yakni Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Perlawanan berlangsung sekitar 20 tahun.

Pada uraian terdahulu sudah disinggung bahwa beberapa raja Mataram setelah Sultan Agung merupakan raja yang lemah bahkan bersahabat dengan kaum penjajah. Begitu juga pada saat pemerintahan Pakubuwana II terjadi persahabatan dengan VOC. Bahkan VOC semakin berani untuk menekan dan melakukan intervensi terhadap jalannya pemerintahan Pakubuwana II. Wilayah pengaruh Kerajaan Mataram juga semakin berkurang. Persahabatan antara Pakubuwana II dengan VOC ini telah menimbulkan kekecewaan para bangsawan kerajaan, apalagi VOC melakukan intervensi dalam urusan pemerintahan kerajaan. Hal ini mendorong munculnya berbagai perlawanan misalnya perlawanan Raden Mas Said.

Raden Mas Said adalah putera dari Raden Mas Riya yang bergelar Adipati Arya Mangkunegara dengan Raden Ayu Wulan putri dari Adipati Blitar. Pada usia 14 tahun Raden Mas Said sudah diangkat sebagai gandek kraton (pegawai rendahan di istana) dan diberi gelar R.M.Ng. Suryokusumo. Karena merasa sudah berpengalaman, Raden Mas Said kemudian mengajukan permohonan untuk mendapatkan kenaikan pangkat. Akibat permohonan ini Mas Said justru mendapat cercaan dan hinaan dari keluarga kepatihan, bahkan dikait-kaitkan dengan tuduhan ikut membantu pemberontakan orang-orang Cina yang sedang berlangsung. Mas Said merasa sakit hati dengan sikap keluarga kepatihan. Muncullah niat untuk melakukan perlawanan terhadap VOC yang telah membuat kerajaan kacau karena banyak kaum bangwasan yang bersekutu dengan VOC. Ia diikuti R. Sutawijaya dan Suradiwangsa (yang kemudian dikenal dengan Kiai Kudanawarsa) pergi keluar kota untuk menyusun kekuatan. Kemudian Mas Said pergi menuju Nglaroh untuk memulai perlawanan. Oleh para pengikutnya Mas Said diangkat sebagai raja baru dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Senopati Sudibyaning Prang. Hingga kini sebutan Mas Said yang sangat dikenal masyarakat yakni Pangeran Sambernyawa. Perlawanan Mas Said ternyata cukup kuat karena mendapat dukungan dari masyarakat dan ini merupakan ancaman yang serius bagi eksistensi Pakubuwana II sebagai raja di Mataram. Oleh karena itu, pada tahun 1745 Pakubuwana II mengumumkan barang siapa yang dapat memadamkan perlawanan Mas Said akan diberi hadiah sebidang tanah di Sukowati (di wilayah Sragen sekarang). Mas Said tidak menghiraukan apa yang dilakukan Pakubuwana II di istana, ia terus melancarkan perlawanan kepada kerajaan maupun VOC.

Mendengar adanya sayembara berhadiah itu, Pangeran Mangkubumi ingin mencoba sekaligus menakar seberapa jauh komitmen dan kejujuran Pakubuwana II. Pangeran Mangkubumi adalah adik dari Pakubuwana II. Pangeran Mangkubumi dan para pengikutnya berhasil memadamkan perlawanan Mas Said. Ternyata Pakubuwana II ingkar janji. Pakubuwana II kehilangan nilai dan komitmennya sebagai raja yang berpegang pada tradisi, sabda pandhita ratu datan kena wola-wali (perkataan raja tidak boleh ingkar). Karena bujukan Patih Pringgalaya, Pakubuwana II tidak memberikan tanah Sukowati kepada Pangeran Mangkubumi. Terjadilah pertentangan antara Raja Pakubuwana II yang didukung Patih Pringgalaya di satu pihak dengan Pangeran Mangkubumi di pihak lain. Dalam suasana konflik ini tiba-tiba dalam pertemuan terbuka di istana itu Gubernur Jenderal Van Imhoff mengeluarkan kata-kata yang menghina dan menuduh Pangeran Mangkubumi terlalu ambisi mencari kekuasaan. Hal inilah yang sangat mengecewakan Pangeran Mangkubumi, pejabat VOC secara langsung telah mencampuri urusan pemerintahan kerajaan. Pangeran Mangkubumi segera meninggalkan istana. Tidak ada pilihan lain kecuali angkat senjata untuk melawan VOC yang telah semena-mena ikut campur tangan pemerintahan kerajaan. Hal ini sekaligus untuk memperingatkan saudara tuanya Pakubuwana II agar tidak mau didikte oleh VOC.

Pangeran Mangkubumi dan pengikutnya pertama kali pergi ke Sukowati untuk menemui Mas Said. Kedua pihak bersepakat untuk bersatu melawan VOC. Untuk memperkokoh persekutuan ini, Raden Mas Said dijadikan menantu oleh Pangeran Mangkubumi. Mangkubumi dan Mas Said sepakat untuk membagi wilayah perjuangan. Raden Mas Said bergerak di bagian timur, daerah Surakarta ke selatan terus ke Madiun, Ponorogo dengan pusatnya Sukowati. Sedangkan Mangkubumi konsentrasi di bagian barat Surakarta terus ke barat dengan pusat di Hutan Beringin dan Desa Pacetokan, dekat Pleret (termasuk daerah Yogyakarta sekarang). Diberitakan pada saat itu Pangeran Mangkubumi membawahi sejumlah 13.000 prajurit, termasuk 2.500 prajurit kavaleri.
Pada tahun 1749 dalam suasana perang sedang berkecamuk di berbagai tempat, terpetik berita kalau Pakubuwana II jatuh sakit. Dalam keadaan sakit ini Pakubuwana II terpaksa harus menandatangani perjanjian dengan VOC. Perjanjian itu ditandatangani pada tanggal 11 Desember 1749 antara Pakubuwana II yang sedang sakit keras dengan Gubernur Baron van Hohendorff sebagai wakil VOC. Isi perjanjian itu sangat menyakitkan hati para punggawa dan rakyat Mataram. Mengapa?
Karena perjanjian itu berisi pasal-pasal antara lain: (1). Susuhunan Pakubuwana IImenyerahkan Kerajaan Mataram baik secara de facto maupun de jure kepada VOC. (2). Hanya keturunan Pakubuwana II yang berhak naik tahta, dan akan dinobatkan oleh VOC menjadi raja Mataram dengan tanah Mataram sebagai pinjaman dari VOC. (3). Putera mahkota akan segera dinobatkan. Sembilan hari setelah penandatanganan perjanjian itu Pakubuwana II wafat. Tanggal 15 Desember 1749 Baron van Hohendorff mengumumkan pengangkatan putera mahkota sebagai Susuhunan Pakubuwana III.

Perjanjian tersebut merupakan sebuah tragedi karena Kerajaan Mataram yang pernah berjaya di masa Sultan Agung harus menyerahkan kedaulatan atas seluruh wilayah kerajaan kepada pihak asing. Hal ini semakin membuat kekecewaan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said, sehingga keduanya harus meningkatkan perlawanannya terhadap kezaliman VOC.

Perlawanan Pangeran Mangkubumi berakhir setelah tercapai Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755. Isi pokok perjanjian itu adalah bahwa Mataram dibagi dua. Wilayah bagian barat (daerah Yogyakarta) diberikan kepada Pangeran Mangkubumi dan berkuasa sebagai sultan dengan sebutan Sri Sultan Hamengkubuwana I, sedang bagian timur (daerah Surakarta) tetap diperintah oleh Pakubuwana III. Sementara perlawanan Mas Said berakhir setelah tercapai Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 yang isinya Mas Said diangkat sebagai penguasa di sebagian wilayah Surakarta dengan gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.
Surat Perjanjian Giyanti

KESIMPULAN

  1. Perlawanan yang terjadi pada abad ke-16 di berbagai daerah ditujukan kepada Portugis, Spanyol dan Belanda. Kemudian perawanan rakyat pada abad ke 17 dan 18 umumnya ditujukan kepada dominasi kongsi dagang VOC (Belanda).
  2. Perlawanan rakyat Indonesia dilatarbelakangi karena tidakan monopoli, keserkahan dan intervensi politik dengan devide et impera dari pemerintahan kongsi dagang itu.
  3. Perlawanan rakyat Indonesia itu umumnya memang dapat dipatahkan oleh kekuatan musuh yang sering berlaku licik dan memiliki persenjataan yang lebih lengkap.
  4. Akibat dominasi pemerintahan kongsi dagang dan kekalahan perlawanan rakyat berdampak sebagian besar Kepulauan Indonesia dikuasai kekuasaan asing terutama VOC.
  5. Perilaku penjajahan itu tidak sesuai dengan fitrah dan hak asasi manusia maka harus dilawan.

B. Mengevaluasi Perang Melawan Penjajahan Kolonial Hindia Belanda

Ilustrasi tentang situasi Perang Aceh
Gambar di atas menunjukkan ilustrasi yang berkaitan dengan Perang Aceh, Perang Sabil, perang yang sangat lama dalam melawan kezaliman dan kekejaman pemerintah kolonial Hindia Belanda. Rakyat Aceh bersama para pemimpinnya baik tuanku maupun tengku mampu bertahan dan membuat tentara Belanda kewalahan, karena rakyat Aceh memiliki motivasi yang bersifat spiritual, yakni sebuah keyakinan Islam. Rakyat Aceh yakin bahwa perang yang mereka kobarkan adalah perang melawan kafir. Nah, bagimana perlawanan dan perang yang terjadi di berbagai daerah dalam melawan penjajahan pemerintah Hindia Belanda. Pelajari dan telaah uraian-uraian berikut.

1. Perang Tondano

“Perang Tondano yang terjadi pada 1808-1809 adalah perang yang melibatkan orang Minahasa di Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial Belanda pada permulaan abad XIX. Perang pada permulaan abad XIX ini terjadi akibat dari implementasi politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para pejabatnya di Minahasa, terutama upaya mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi tentara “ (Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, 2012:375)

a. Perang Tondano I

Sekalipun hanya berlangsung sekitar satu tahun Perang Tonando dikenal dalam dua tahap. Perang Tonando I terjadi pada masa kekuasaan VOC. Pada saat datangnya bangsa Barat orang-orang Spanyol sudah sampai di tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara. Orang-orang Spanyol di samping berdagang juga menyebarkan agama Kristen. Tokoh yang berjasa dalam penyebaran agama Kristen di tanah Minahasa adalah Fransiscus Xaverius. Hubungan dagang orang Minahasa dan Spanyol terus berkembang. Tetapi mulai abad XVII hubungan dagang antara keduanya mulai terganggu dengan kehadiran para pedagang VOC. Waktu itu VOC telah berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. Bahkan Gubernur Terante Simon Cos mendapatkan kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan Minahasa dari pengaruh Spanyol. Simon Cos kemudian menempatkan kapalnya di Selat Lembeh untuk mengawasi pantai timur Minahasa. Para pedagang Spanyol dan juga Makasar yang bebas berdagang mulai tersingkir karena ulah VOC. Apalagi waktu itu Spanyol harus meninggalkan Kepulauan Indonesia untuk menuju Filipina VOC berusaha memaksakan kehendak agar orang-orang Minahasa menjual berasnya kepada VOC. Oleh karena VOC sangat membutuhkan beras untuk melakukan monopoli perdagangan beras di Sulawesi Utara. Orang-orang Minahasa menentang usaha monopoli tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi VOC kecuali memerangi orang-orang Minahasa. Untuk melemahkan orang-orang Minahasa, VOC membendung Sungai Temberan. Akibatnya aliran sungai meluap dan menggenangi tempat tinggal rakyat dan para pejuang Minahasa. Orang-orang Minahasa kemudian memindahkan tempat tinggalnya di Danau Tondano dengan rumah-rumah apung. Pasukan VOC kemudian mengepung kekuatan orang-orang Minahasa yang berpusat di Danau Tondano. Simon Cos kemudian memberikan ultimatum yang isinya antara lain: (1) Orang-orang Tondano harus menyerahkan para tokoh pemberontak kepada VOC, (2) orang-orang Tondano harus membayar ganti rugi dengan menyerahkan 50-60 budak sebagai ganti rugi rusaknya tanaman padi karena genangan air Sungai Temberan. Ternyata rakyat Tondano bergeming dengan ultimatum VOC tersebut. Simon Cos sangat kesal karena ultimatumnya tidak berhasil. Pasukan VOC akhirnya ditarik mundur ke Manado. Setelah itu rakyat Tondano menghadapi masalah dengan hasil pertanian yang menumpuk, tidak ada yang membeli. Dengan terpaksa mereka kemudian mendekati VOC untuk membeli hasil-hasil pertaniannya. Dengan demikian terbukalah tanah Minahasa oleh VOC. Berakhirlah Perang Tondano I. Orang-orang Minahasa itu kemudian memindahkan perkampungannya di Danau Tondano ke perkampungan baru di daratan yang diberi nama Minawanua (ibu negeri).

b. Perang Tondano II

Perang Tondano II sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels. Daendels yang mendapat mandat untuk memerangi Inggris, memerlukan pasukan dalam jumlah besar. Untuk menambah jumlah pasukan maka direkrut pasukan dari kalangan pribumi. Mereka yang dipilih adalah dari suku-suku yang memiliki keberanian berperang. Beberapa suku yang dianggap memiliki keberanian adalah orang-orang Madura, Dayak dan Minahasa. Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para ukung(Ukung adalah pemimpin dalam suatu wilayah walak atau daerah setingkat distrik). Dari Minahasa ditarget untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2.000 orang yang akan dikirim ke Jawa. Ternyata orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Daendels untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru ingin mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Mereka memusatkan aktivitas perjuangannya di Tondano, Minawanua. Salah seorang pemimpin perlawanan itu adalah Ukung Lonto. Ia menegaskan rakyat Minahasa harus melawan kolonial Belanda sebagai bentuk penolakan terhadap program pengiriman 2.000 pemuda Minahasa ke Jawa serta menolak kebijakan kolonial yang memaksa agar rakyat menyerahkan beras secara cuma-cuma kepada Belanda.

Dalam suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Gubernur Prediger kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang Minahasa di Tondano, Minawanua. Belanda kembali menerapkan strategi dengan membendung Sungai Temberan. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh. Pasukan yang satu dipersiapkan menyerang dari Danau Tondano dan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat. Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berkobar. Pasukan Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak pagar bambu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua, sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua. Walaupun sudah malam para pejuang tetap dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke rumah. Pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga beberapa korban berjatuhan dari pihak Belanda. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu juga serangan yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang Tondano, Minawanua. Bahkan terpetik berita kapal Belanda yang paling besar tenggelam di danau.
Danau Tondano, usai pemusnahan hunian di atas air


Perang Tondano II berlangsung cukup lama, bahkan sampai agustus 1809. Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok pejuang yang memihak kepada Belanda. Namun dengan kekuatan yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati dari pada menyerah.

2. Pattimura angkat senjata

Maluku dengan rempah-rempahnya memang bagaikan “mutiara dari timur”, yang senantiasa diburu oleh orang-orang Barat. Namun kekuasaan orang-orang Barat telah merusak tata ekonomi dan pola perdagangan bebas yang telah lama berkembang di Nusantara. Pada masa pemerintahan Inggris di bawah Raffles keadaan Maluku relatif lebih tenang karena Inggris bersedia membayar hasil bumi rakyat Maluku. Kegiatan kerja rodi mulai dikurangi. Bahkan para pemuda Maluku juga diberi kesempatan untuk bekerja pada dinas angkatan perang Inggris. Tetapi pada masa pernerintahan kolonial Hindia Belanda, keadaan kembali berubah. Kegiatan monopoli di Maluku kembali diperketat. Dengan demikian beban rakyat semakin berat. Sebab selain penyerahan wajib, masih juga harus dikenai kewajiban kerja paksa, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi. Kalau ada penduduk yang melanggar akan ditindak tegas. Ditambah lagi terdengar desas desus bahwa para guru akan diberhentikan untuk penghematan, para pemuda akan di kumpulkan untuk dijadikan tentara di luar Maluku, ditambah dengan sikap arogan Residen Saparua. Hal ini sangat mengecewakan rakyat Maluku.

Pattimura
Menanggapi kondisi yang demikian para tokoh dan pemuda Maluku melakukan serangkaian pertemuan rahasia. Sebagai contoh telah diadakan pertemuan rahasia di Pulau Haruku, pulau yang dihuni orang-orang Islam. Selanjutnya pada tanggal 14 Mei 1817 di Pulau Saparua (pulau yang dihuni orang-orang Kristen) kembali diadakan pertemuan di sebuah tempat yang sering disebut dengan Hutan Kayuputih. Dalam berbagai pertemuan itu disimpulkan bahwa rakyat Maluku tidak ingin terus menderita di bawah keserakahan dan kekejaman Belanda. Oleh karena itu, perlu mengadakan perlawanan untuk menentang kebijakan Belanda. Residen Saparua harus dibunuh. Sebagai pemimpin perlawanan dipercayakan kepada pemuda yang bernama Thomas Matulessy yang kemudian terkenal dengan gelarnya Pattimura. Thomas Matulessy pernah bekerja pada dinas angkatan perang Inggris.

Gerakan perlawanan dimulai dengan menghancurkan kapal-kapal Belanda di pelabuhan. Para pejuang Maluku kemudian menuju Benteng Duurstede. Ternyata di benteng itu sudah berkumpul pasukan Belanda. Dengan demikian terjadilah pertempuran antara para pejuang Maluku melawan pasukan Belanda. Belanda waktu itu dipimpin oleh Residen van den Berg. Sementara dari pihak para pejuang selain Pattimura juga tampil tokoh-tokoh seperti Christina Martha Tiahahu, Thomas Pattiwwail, dan Lucas Latumahina. Para pejuang Maluku dengan sekuat tenaga mengepung Benteng Duurstede, dan tidak begitu menghiraukan tembakan-tembakan meriam yang dimuntahkan oleh serdadu Belanda dari dalam benteng.
 Christina MarthaTiahahu
Sementara senjata para pejuang Maluku masih sederhana seperti pedang dan keris. Dalam waktu yang hampir bersamaan para pejuang Maluku satu persatu dapat memanjat dan masuk ke dalam benteng. Residen dapat dibunuh dan Benteng Duurstede dapat dikuasai oleh para pejuang Maluku. Jatuhnya Benteng Duurstede telah menambah semangat juang para pemuda Maluku untuk terus berjuang melawan Belanda.

Belanda kemudian mendatangkan bantuan dari Ambon. Datanglah 300 prajurit yang dipimpin oleh Mayor Beetjes. Pasukan ini kawal oleh dua kapal perang yakni Kapal Nassau dan Evertsen. Namun bantuan ini dapat digagalkan oleh pasukan Pattimura, bahkan Mayor Beetjes terbunuh. Kembali kemenangan ini semakin menggelorakan perjuangan para pejuang di berbagai tempat seperti di Seram, Hitu, Haruku, dan Larike. Selanjutnya Pattimura memusatkan perhatian untuk menyerang Benteng Zeelandia di Pulau Haruku. Melihat gelagat Pattimura itu maka pasukan Belanda di benteng ini diperkuat di bawah komandannya Groot. Patroli juga terus diperketat. Oleh karena itu, Pattimura gagal menembus Benteng Zeelandia.

Upaya perundingan mulai ditawarkan, tetapi tidak ada kesepakatan. Akhirnya Belanda mengerahkan semua kekuatannya termasuk bantuan dari Batavia untuk merebut kembali Benteng Duurstede. Agustus 1817 Saparua diblokade, Benteng Duurstede dikepung disertai tembakan meriam yang bertubi-tubi. Satu persatu perlawanan di luar benteng dapat dipatahkan. Daerah di kepulauan itu jatuh kembali ke tangan Belanda. Dalam kondisi yang demikian itu Pattimura memerintahkan pasukannya meloloskan diri dan meninggalkan tempat pertahanannya. Dengan demikian Benteng Duurstede berhasil dikuasai Belanda kembali. Pattimura dan pengikutnya terus melawan dengan gerilya. Tetapi pada bulan November beberapa pembantu Pattimura tertangkap seperti Kapitan Paulus Tiahahu (ayah Christina Martha Tiahahu) yang kemudian dijatuhi hukuman mati. Mendengar peristiwa ini Christina Martha Tahahu marah dan segera pergi ke hutan untuk bergerilya.

Belanda belum puas sebelum dapat menangkap Pattimura. Bahkan Belanda mengumumkan kepada siapa saja yang dapat menangkap Pattimura akan diberi hadiah 1.000 gulden. Setelah enam bulan memimpin perlawanan, akhirnya Pattimura tertangkap. Tepat pada tanggal 16 Desember 1817 Pattimura dihukum gantung di alun-alun Kota Ambon. Christina Martha Tiahahu yang berusaha melanjutkan perang gerilya akhirnya juga tertangkap. Ia tidak dihukum mati tetapi bersama 39 orang lainnya dibuang ke Jawa sebagai pekerja rodi. Di dalam kapal Christina Martha Tiahahu mogok tidak mau makan dan tidak mau buka mulut. Ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada tanggal 2 Januari 1818. Jenazahnya dibuang ke laut antara Pulau Buru dan Pulau Tiga. Berakhirlah perlawanan Pattimura.

3. Perang Padri

Perang Padri terjadi di tanah Minangkabau, Sumatera Barat pada tahun 1821–1837. Perang ini digerakkan oleh para pembaru Islam yang sedang konflik dengan kaum Adat. Mengapa dan bagaimana Perang Padri itu terjadi?

Perang Padri sebenarnya merupakan perlawanan kaum Padri terhadap dominasi pemerintahan Hindia Belanda di Sumatera Barat. Perang ini bermula adanya pertentangan antara kaum Padri dengan kaum Adat. Adanya pertentangan antara kaum Padri dengan kaum Adat telah menjadi pintu masuk bagi campur tangan Belanda. Perlu dipahami sekalipun masyarakat Sumatera Barat sudah memeluk agama Islam, tetapi sebagian masyarakat masih memegang teguh adat dan kebiasaan yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Sejak akhir abad ke-18 telah datang seorang ulama dari kampung Kota Tua di daratan Agam. Karena berasal dari kampung Kota Tua maka ulama itu terkenal dengan nama Tuanku Kota Tua. Tuanku Kota Tua ini mulai mengajarkan pembaruan-pembaruan dan praktik agama Islam. Dengan melihat realitas kebiasaan masyarakat, Tuanku Kota Tua menyatakan bahwa masyarakat Minangkabau sudah begitu jauh menyimpang dari ajaran Islam. Ia menunjukkan bagaimana seharusnya masyarakat itu hidup sesuai dengan Al Quran dan Sunah Nabi. Di antara murid dari Tuanku Kota Tua ini adalah Tuanku Nan Renceh. Kemudian pada tahun 1803 datanglah tiga orang ulama yang baru saja pulang haji dari tanah suci Mekah, yakni: Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piabang. Mereka melanjutkan gerakan pembaruan atau pemurnian pelaksanaan ajaran Islam seperti yang pernah dilakukan oleh Tuanku Kota Tua. Orang-orang yang melakukan gerakan pemurnian pelaksanaan ajaran Islam di Minangkabau itu sering dikenal dengan kaum Padri. Mengenai sebutan padri ini sesuai dengan sebutan orang Padir di Aceh. Padir itu tempat persinggahan para jamaah haji. Orang Belanda menyebutnya dengan padri yang dapat dikaitkan dengan kata padre dari bahasa Portugis untuk menunjuk orang-orang Islam yang berpakaian putih. Sementara kaum Adat di Sumatera Barat memakai pakaian hitam.

NAMA PADRI

“Ada beberapa pendapat mengenai istilah padri. Ada yang mengatakan, padri berasal dari kata Portugis, padre yang artinya “bapak”, sebuah gelar yang biasa diberikan untuk golongan pendeta. Ada pula yang mengatakan berasal dari kata Pedir, sebuah kota Bandar di pesisir utara Aceh, tempat transit dan pemberangkatan kaum muslimin yang akan melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Di Minangkabau pada awal abad XIX istilah padri belum dikenal. Waktu itu hanya popular sebutan golongan hitam dan golongan putih. Penamaan ini didasarkan pada pakaian yang mereka kenakan. Golongan putih yang pakaiannya serba putih adalah para pembaru, kemudian oleh penulis-penulis sejarah disebut sebagai kaum Padri/Padri. Belum diketahui mengapa golongan putih ini mereka sebut sebagai kaum Padri, sedangkan untuk golongan hitam merupakan kelompok yang memakai pakaian serba hitam. Kelompok ini merupakan kelompok yang mempertahankan paham yang terlebih dahulu sudah berkembang lama di Minangkabau, sehingga juga dikenal sebagai golongan adat” (Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012: 415)
Dalam melaksanakan pemurnian praktik ajaran Islam, kaum Padri menentang praktik berbagai adat dan kebiasaan kaum Adat yang memang dilarang dalam ajaran Islam seperti berjudi, menyabung ayam, minum-minuman keras. Kaum Adat yang mendapat dukungan dari beberapa pejabat penting kerajaan menolak gerakan kaum Padri. Terjadilah pertentangan antara kedua belah pihak. Timbullah bentrokan antara keduanya.

Tahun 1821 pemerintah Hindia Belanda mengangkat James Du Puy sebagai residen di Minangkabau. Pada tanggal 10 Februari 1821, Du Puy mengadakan perjanjian persahabatan dengan tokoh Adat, Tuanku Suruaso dan 14 Penghulu Minangkabau. Berdasarkan perjanjian ini maka beberapa daerah kemudian diduduki oleh Belanda. Pada tanggal 18 Februari 1821, Belanda yang telah diberi kemudahan oleh kaum Adat berhasil menduduki Simawang. Di daerah ini telah ditempatkan dua meriam dan 100 orang serdadu Belanda. Tindakan Belanda ini ditentang keras oleh kaum Padri, maka tahun 1821 itu meletuslah Perang Padri.

Perang Padri di Sumatera Barat ini dapat dibagi dalam tiga fase.

Fase pertama (1821-1825)

Pada fase pertama, dimulai gerakan kaum Padri menyerang pos-pos dan pencegatan terhadap patroli-patroli Belanda. Bulan September 1821 pos-pos Simawang menjadi sasaran serbuan kaum padri. Juga pos-pos lain seperti Soli Air, Sipinang dan lain-lain. Kemudian Tuanku Pasaman menggerakkan sekitar 20.000 sampai 25.000 pasukan untuk mengadakan serangan di sekitar hutan di sebelah timur gunung. Pasukan Padri menggunakan senjata-senjata tradisional, seperti tombak, dan parang. Sedangkan Belanda dengan kekuatan 200 orang serdadu Eropa ditambah sekitar 10.000 pasukan orang pribumi termasuk juga kaum Adat, menggunakan senjata-senjata lebih lengkap, modern seperti meriam dan senjata api lainnya. Pertempuran ini memakan banyak korban. Di pihak Tuanku Pasaman kehilangan 350 orang prajurit, termasuk putra Tuanku Pasaman. Begitu juga Belanda tidak sedikit kehilangan pasukannya. Tuanku Pasaman dengan sisa pasukannya kemudian mengundurkan diri ke Lintau. Sementara itu pasukan Belanda setelah berhasil menguasai seluruh lembah Tanah Datar, kemudian mendirikan benteng di Batusangkar yang kelak terkenal dengan sebutan Front Van der Capellen.

Perlawanan kaum Padri muncul di berbagai tempat. Tuanku Pasaman memusatkan perjuangannya di Lintau dan Tuanku Nan Renceh memimpin pasukannya di sekitar Baso. Pasukan Tuanku Nan Renceh harus menghadapi pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Goffinet. Periode tahun 1821

1825, serangan-serangan kaum Padri memang meluas di seluruh tanah Minangkabau. Bulan September 1822 kaum Padri berhasil mengusir Belanda dari Sungai Puar, Guguk Sigandang dan Tajong Alam. Menyusul kemudian di Bonio kaum Padri harus menghadapi menghadapi pasukan PH. Marinus. Pada tahun 1823 pasukan Padri berhasil mengalahkan tentara Belanda di Kapau. Kemudian kesatuan kaum Padri yang terkenal adalah yang berpusat di Bonjol. Pemimpin mereka adalah Peto Syarif. Peto Syarif inilah yang dalam sejarah Perang Padri dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol. Ia sangat gigih memimpin kaum Padri untuk melawan kekejaman dan keserakahan Belanda di tanah Minangkabau.

Karena merasa kewalahan dalam melawan kaum Padri, maka Belanda mengambil strategi damai. Oleh karena itu, pada tanggal 26 Januari 1824 tercapailah perundingan damai antara Belanda dengan kaum Padri di wilayah Alahan Panjang. Perundingan ini dikenal dengan Perjanjian Masang. Tuanku Imam Bonjol juga tidak keberatan dengan adanya perjanjian damai tersebut. Akan tetapi Belanda justru dimanfaatkan perdamaian tersebut untuk menduduki daerah-daerah lain. Kemudian Belanda juga memaksa Tuanku Mensiangan dari Kota Lawas untuk berunding, tetapi ditolak. Tuanku Mensiangan justru melakukan perlawanan. Tetapi Belanda lebih kuat bahkan pusat pertahannya kemudian dibakar dan Tuanku Mensiangan ditangkap. Tindakan Belanda itu telah menimbulkan amarah kaum Padri Alahan Panjang dan menyatakan pembatalan kesepatakan dalam Perjanjian Masang. Tuanku Imam Bonjol menggelorakan kembali semangat untuk melawan Belanda. Dengan demikian perlawanan kaum Padri masih terus berlangsung di berbagai tempat.

Fase kedua (1825-1830)

Coba ingat-ingat angka tahun 1825-1830 itu. Kira-kira terkait dengan peristiwa apa angka tahun tersebut. Peristiwa itu jelas di luar Sumatera Barat. Tahun itu merupakan tahun yang sangat penting, sehingga bagi Belanda digunakan sebagai bagian strategi dalam menghadapi perlawanan kaum Padri di Sumatera Barat. Bagi Belanda tahun itu digunakan untuk sedikit mengendorkan ofensifnya dalam Perang Padri. Upaya damai diusahakan sekuat tenaga. Oleh karena itu, Kolonel De Stuers yang merupakan penguasa sipil dan militer di Sumatera Barat berusaha mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh kaum Padri untuk menghentikan perang dan sebaliknya perlu mengadakan perjanjian damai. Kaum Padri tidak begitu menghiraukan ajakan damai dari Belanda, karena Belanda sudah biasa bersikap licik. Belanda kemudian minta bantuan kepada seorang saudagar keturunan Arab yang bernama Sulaiman Aljufri untuk mendekati dan membujuk para pemuka kaum padri agar dapat diajak berdamai. Sulaiman Aljufri menemui Tuanku Imam Bonjol agar bersedia berdamai dengan Belanda. Tuanku Imam Bonjol menolak. Kemudian menemui Tuanku Lintau ternyata merespon ajakan damai itu. Hal ini juga didukung Tuanku Nan Renceh. Itulah sebabnya pada tanggal 15 November 1825 ditandatangani Perjanjian Padang. Isi Perjanjian Padang itu antara lain :

  1. Belanda mengakui kekuasaan pemimpin Padri di Batusangkar, Saruaso, Padang Guguk Sigandang, Agam, Bukittinggi dan menjamin pelaksanaan sistem agama di daerahnya.
  2. Kedua belah pihak tidak akan saling menyerang
  3. Kedua pihak akan melindungi para pedagang dan orang-orang yang sedang melakukan perjalanan
  4. Secara bertahap Belanda akan melarang praktik adu ayam.

Fase ketiga (1830 – 1837/1838)

Nah, tentu anda sudah menemukan jawaban peristiwa tahun 1825-1830 di Jawa. Peristiwa itu adalah Perang Diponegoro. Setelah Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830, semua kekuatan Belanda dikonsentrasikan ke Sumatera Barat untuk menghadapi perlawanan kaum Padri. Dimulailah Perang Padri fase ketiga .

Pada pertempuran fase ketiga ini kaum Padri mulai mendapatkan simpati dari kaum Adat. Dengan demikian kekuatan para pejuang di Sumatera Barat akan meningkat. Orang-orang Padri yang mendapatkan dukungan kaum Adat itu bergerak ke pos-pos tentara Belanda. Kaum Padri dari Bukit Kamang berhasil memutuskan sarana komunikasi antara benteng Belanda di Tanjung Alam dan Bukittinggi. Tindakan kaum Padri itu dijadikan Belanda di bawah Gillavry untuk menyerang Koto Tuo di Ampek Angkek, serta membangun benteng pertahanan dari Ampang Gadang sampai ke Biaro. Batang Gadis, sebuah nagari yang memiliki posisi sangat strategis terletak antara Tanjung Alam dan Batu Sangkar juga diduduki. Tahun 1831 Gillavary digantikan oleh Jacob Elout. Elout ini telah mendapatkan pesan dari Gubernur Jenderal Van den Bosch agar melaksanakan serangan besar-besaran terhadap kaum Padri.

Elout segera mengerahkan pasukannya untuk menguasai beberapa nagari, seperti Manggung dan Naras. Termasuk daerah Batipuh. Setelah menguasai Batipuh, serangan Belanda ditujukan ke Benteng Marapalam. Benteng ini merupakan kunci untuk dapat menguasai Lintau. Karena bantuan dua orang Padri yang berkhianat dengan menunjukkan jalan menuju benteng kepada Belanda, maka pada Agustus 1831 Belanda dapat menguasai Benteng Marapalam tersebut. Dengan jatuhnya benteng ini maka beberapa nagari di sekitarnya ikut menyerah.

Seiring dengan datangnya bantuan pasukan dari Jawa pada tahun 1832 maka Belanda semakin meningkatkan ofensif terhadap kekuatan kaum Padri di berbagai daerah. Pasukan yang datang dari Jawa itu antara lain pasukan legium Sentot Ali Basah Prawirodirjo dengan 300 prajurit bersenjata. Tahun 1833 kekuatan Belanda sudah begitu besar. Dengan kekuatan yang berlipat ganda Belanda melakukan penyerangan terhadap pos-pos pertahanan kaum Padri. Banuhampu, Kamang, Guguk Sigandang, Tanjung Alam, Sungai Puar, Candung dan beberapa nagari di Agam. Dalam catatan sejarah kolonial penyerangan di berbagai tempat itu, penyerangan terhadap Guguk Sigandang merupakan cacatan hitam karena disertai dengan penyembelihan 
Ilustrasi pertempuran sengit antara pasukan Padri melawan Belanda di bukit selatan Bonjol.

dan penyincangan terhadap tokoh-tokoh dan pasukan kaum Padri bahkan terhadap mereka yang dicurigai sebagai pendukung Padri. Pada waktu penyerbuan Kamang, pasukan Belanda dapat mendapat perlawanan sengit, bahkan 100 orang pasukan Belanda termasuk perwira terbunuh. Baru hari berikutnya dengan mengerahkan kekuatannya, Belanda dapat menguasai Kamang. Dalam serangkaian pertempuran itu banyak kaum Padri telah menjadi korban, termasuk tokoh Tuanku Nan Cerdik dapat ditangkap.

Di samping strategi militer, setelah Van den Bosch berkunjung ke Sumatera Barat, diterapkan strategi winning the heart kepada masyarakat. Pajak pasar dan berbagai jenis pajak mulai dihapuskan. Penghulu yang kehilangan penghasilan akibat penghapusan pajak, kemudian diberi gaji 25-30 golden. Para kuli yang bekerja untuk pemerintah Belanda juga diberi gaji 50 sen sehari. Elout digantikan oleh E. Francis yang tidak akan mencampuri urusan pemerintahan tradisional di Minangkabau. Kemudian dikeluarkan Plakat Panjang. Plakat Panjang adalah pernyataan atau janji khidmat yang isinya tidak akan ada lagi peperangan antara Belanda dan kaum Padri. Setelah pengumuman Plakat Panjang ini kemudian Belanda mulai menawarkan perdamaian kepada para pemimpin Padri.

Dengan kebijakan baru itu beberapa tokoh Padri dikontak oleh Belanda dalam rangka mencapai perdamaian. Setelah kekuatan pasukan Tuanku Nan Cerdik dapat dihancurkan, pertahanan terakhir perjuangan kaum Padri berada di tangan Tuanku Imam Bonjol. Tahun 1834 Belanda dapat memusatkan kekuatannya untuk menyerang pasukan Imam Bonjol di Bonjol. Jalan-jalan yang menghubungkan Bonjol dengan daerah pantai sudah diblokade oleh tentara Belanda. Tanggal 16 Juni 1835 benteng Bonjol dihujani meriam oleh serdadu Belanda. Agustus 1835 benteng di perbukitan dekat Bonjol jatuh ke tangan Belanda. Belanda juga mencoba mengontak Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai. Imam Bonjol mau berdamai tetapi dengan beberapa persyaratan antara lain kalau tercapai perdamaian Imam Bonjol minta agar Bonjol dibebaskan dari bentuk kerja paksa dan nagari itu tidak diduduki Belanda. Tetapi Belanda tidak memberi jawaban. Justru Belanda semakin ketat mengepung pertahanan di Bonjol. Sampai tahun 1836 benteng Bonjol tetap dapat dipertahankan oleh pasukan Padri. Akan tetapi satu per satu pemimpin Padri dapat ditangkap. Hal ini jelas dapat memperlemah pertahanan pasukan Padri. Namun di bawah komando Imam Bonjol mereka terus berjuang untuk mempertahankan setiap jengkal tanah Minangkabau. Bulan Oktober 1837, secara ketat Belanda mengepung dan menyerang benteng Bonjol. Akhirnya Tuanku Imam Bonjol dan pasukannya terdesak. Pada tanggal 25 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol ditangkap. Pasukan yang dapat meloloskan diri melanjutkan perang gerilya di hutan-hutan Sumatera Barat. Imam Bonjol sendiri kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Tanggal 19 Januari 1839 ia dibuang ke Ambon dan tahun 1841 dipindahkan ke Manado sampai   Sumber: Jejak-Jejak Pahlawan: Dari meninggalnya pada tanggal 6 November 1864.
Tuanku Imam Bonjol

4. Perang Diponegoro

Sebelum mempelajari bagaimana Perang Diponegoro itu berlangsung, coba renungkan beberapa beberapa pertanyaan berikut !
  1. Siapakah Pangeran Diponegoro itu?
  2. Benarkah Pangeran Diponegoro pejuang yang cinta tanah air ?
  3. Buktikan bahwa Pangeran Diponegoro memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan!
  4. Benarkah Pangeran Diponegoro merupakan pemimpin dan pejuang yang sangat menghargai kerja sama dengan sesama pejuang
  5. Buktikan bahwa Pangeran Diponegoro adalah seorang pemimpin bukan sekedar manajer !
  6. Dalam berjuang Pangeran Diponegoro tetap mendasarkan pada nilai-nilai kesyukuran dan keimanan. Coba tunjukkan buktinya.
Memasuki abad ke-19, keadaan di Jawa khususnya di Surakarta dan Yogyakarta semakin memprihatinkan. Intervensi pemerintah kolonial terhadap pemerintahan lokal tidak jarang mempertajam konflik yang sudah ada dan atau dapat melahirkan konflik baru di lingkungan kerajaan. Hal ini juga terjadi di Surakarta dan Yogyakarta. Campur tangan kolonial itu juga membawa pergeseran adat dan budaya keraton yang sudah lama ada di keraton bahkan melahirkan budaya Barat yang tidak sesuai dengan budaya Nusantara, seperti minum-minuman keras. Dominasi pemerintahan kolonial juga telah menempatkan rakyat sebagai objek pemerasan, sehingga semakin menderita. Pada waktu itu pemerintah kerajaan mengizinkan perusahaan asing menyewa tanah sawah untuk kepentingan perusahaan. Pada umumnya tanah itu disewa dengan penduduknya sekaligus.
Pangeran Diponegoro

Akibatnya, para petani tidak dapat mengembangkan hidup dengan pertaniannya, tetapi justru menjadi tenaga kerja paksa. Rakyat tetap hidup menderita. Perubahan pada masa Van der Capellen juga menimbulkan kekecewaan. Beban penderitaan rakyat itu semakin berat, karena diwajibkan membayar berbagai macam pajak, seperti: (a) welah-welit (pajak tanah), (b) pengawang-awang (pajak halaman kekurangan), (c) pecumpling (pajak jumlah pintu), (d) pajigar (pajak ternak), (e) penyongket (pajak pindah nama), dan (f) bekti (pajak menyewa tanah atau menerima jabatan). Di samping berbagai pajak itu masih ada pajak yang ditarik di tempat pabean atau tol. Semua lalu lintas pengangkut barang juga dikenai pajak. Bahkan seorang ibu yang menggendong anak di jalan umum juga harus membayar pajak.

Sementara itu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan terdapat jurang pemisah antara rakyat dengan punggawa kerajaan dan perbedaan status sosial antara rakyat pribumi dengan kaum kolonial. Adanya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, antara rakyat dan kaum kolonial, sering menimbulkan kelompok-kelompok yang tidak puas sehingga sering menimbulkan kekacauan.


Dalam suasana penderitaan rakyat dan kekacauan itu tampil seorang bangsawan, putera Sultan Hamengkubuwana III yang bernama Raden Mas Ontowiryo atau lebih terkenal dengan nama Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro merasa tidak puas dengan melihat penderitaan rakyat dan kekejaman serta kelicikan Belanda. Pangeran Diponegoro merasa sedih dengan menyaksikan masuknya budaya Barat yang tidak sesuai dengan budaya Timur. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro berusaha menentang dominasi Belanda yang kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Tanggal 20 Juli 1825 meletuslah Perang Diponegoro

Bermula dari insiden anjir

Sejak tahun 1823, Smissaert diangkat sebagai residen di Yogyakarta. Tokoh Belanda ini dikenal sebagai tokoh yang sangat anti terhadap Pangeran Diponegoro. Oleh karena itu, Smissaert bekerja sama dengan Patih Danurejo berusaha menyingkirkan Pangeran Diponegoro dari istana Yogyakarta. Pada suatu hari di tahun 1825 Smissaert dan Patih Danurejo dalam rangka membuat jalan baru memerintahkan anak buahnya untuk memasang anjir (pancang/patok). Secara sengaja pemasangan anjir ini melewati pekarangan milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa izin. Pangeran Diponegoro memerintahkan rakyat untuk mencabuti anjir tersebut. Kemudian Patih Danurejo memerintahkan memasang kembali anjir-anjir itu dengan dijaga pasukan Macanan (pasukan pengawal kepatihan). Dengan keberaniannya pengikut Pangeran Diponegoro mencabuti anjir/patok-patok itu dan digantikannya dengan tombak-tombak mereka. Berawal dari insiden anjir inilah meletus Perang Diponegoro.

Kala itu tanggal 20 Juli 1825 sore hari, rakyat Tegalreja berduyun-duyun berkumpul di dalem Tegalreja dengan membawa berbagai senjata seperti pedang, tombak, lembing dan lain-lain. Mereka menyatakan setia kepada Pangeran Diponegoro dan mendukung perang melawan Belanda. Belanda datang dan mengepung dalem Tegalreja. Pertempuran sengit antara pasukan Diponegoro dengan serdadu Belanda tidak dapat dihindarkan. Tegalreja dibumi hangus. Dengan berbagai pertimbangan, Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke arah selatan ke Bukit Selarong.

Pangeran Diponegoro adalah pemimpin yang tidak individualis. Beliau sangat memperhatikan keselamatan anggota keluarga dan anak buahnya. Sebelum melanjutkan perlawanan Pangeran Diponegoro harus mengungsikan anggota keluarga, anak-anak dan orang-orang yang sudah lanjut usia ke Dekso (daerah Kulon Progo). Untuk mengawali perlawanannya terhadap Belanda Pangeran Diponegoro membangun benteng pertahanan di Gua Selarong. Dalam memimpin perang ini Pangeran Diponegoro mendapat dukungan luas baik masyarakat, para punggawa kerajaan dan para bupati. Tercatat 15 dari dari 29 pangeran dan 41 dari 88 bupati bergabung dengan Pangeran Diponegoro.
Gua Selarong


Mengatur strategi dari Selarong 

Dari Selarong, Pangeran Diponegoro menyusun strategi perang. Dipersiapkan beberapa tempat untuk markas komando cadangan. Kemudian Pangeran Diponegoro menyusun langkah-langkah. (1). Merencanakan serangan ke keraton Yogyakarta dengan mengisolasi pasukan Belanda dan mencegah masuknya bantuan dari luar. (2). Mengirim kurir kepada para bupati atau ulama agar mempersiapkan peperangan melawan Belanda. (3) Menyusun daftar nama bangsawan, siapa yang sekiranya kawan dan siapa lawan. (4). Membagi kawasan Kesultanan Yogyakarta menjadi beberapa mandala perang, dan mengangkat para pemimpinnya. Pangeran Diponegoro telah membagi menjadi 16 mandala perang, misalnya: Yogyakarta dan sekitarnya di bawah komando Pangeran Adinegoro (adik Diponegoro) diangkat sebagai patih dengan gelar Suryenglogo. Bagelen diserahkan kepada Pangeran Suryokusumo dan Tumenggung Reksoprojo. Perlawanan di daerah Kedu diserahkan kepada Kiai Muhammad Anfal dan Mulyosentiko. Bahkan di daerah Kedu Pangeran Diponegoro juga mengutus Kiai Hasan Besari mengobarkan Perang Sabil untuk memperkuat pasukan yang telah ada. Pangeran Abubakar didampingi Pangeran Muhammad memimpin perlawanan di Lowanu. Perlawanan di Kulon Progo diserahkan kepada Pangeran Adisuryo dan Pangeran Somonegoro. Yogyakarta bagian utara dipimpin oleh Pangeran Joyokusumo. Yogyakarta bagian timur diserahkan kepada Suryonegoro, Somodiningrat, dan Suronegoro. Perlawanan di Gunung Kidul dipimpin oleh Pangeran Singosari. Daerah Plered dipimpin oleh Kertopengalasan. Daerah Pajang diserahkan kepada Warsokusumo dan Mertoloyo, dan daerah Sukowati dipimpin oleh Tumenggung Kertodirjo dan Mangunnegoro. Gowong dipimpin oleh Tumenggung Gajah Pernolo. Langon dipimpin oleh Pangeran Notobroto Projo. Serang dipimpin oleh Pangeran Serang.

Sebagai pucuk pimpinan Pangeran Diponegoro didampingi oleh Pangeran Mangkubumi (paman Pangeran Diponegoro), Ali Basyah Sentot Prawirodirjo sebagai panglima muda, dan Kiai Mojo bersama murid-muridnya. Nyi Ageng Serang yang sudah berusia 73 tahun bersama cucunya R.M. Papak bergabung bersama pasukan Pangeran Diponegoro. Nyi Ageng Serang (nama aslinya R.A. Kustiah Retno Edi), sejak remaja sudah anti terhadap Belanda dan pernah membantu ayahnya (Panembahan Serang) untuk melawan Belanda.
Nyi Ageng Serang

Pada tahun-tahun awal Pangeran Diponegoro mengembangkan semangat “Perang Sabil”, perlawanannya berjalan sangat efektif. Pusat kota dapat dikuasai. Gerakan pasukan Pangeran Diponegoro bergerak ke timur dan dapat menaklukan Delanggu dalam rangka menguasai Surakarta namun, pasukan Pangeran Diponegoro dapat ditahan oleh pasukan Belanda di Gowok. Secara umum dapat dikatakan pasukan Pangeran Diponegoro mendapatkan banyak kemenangan. Beberapa pos pertahanan Belanda dapat dikuasai. Untuk memperkokoh kedudukan Pangeran Diponegoro, oleh para ulama dan pengikutnya ia dinobatkan sebagai raja dengan gelar: Sultan Abdulhamid Herucokro (Sultan Ngabdulkamid Erucokro).

Perluasan perang di berbagai daerah

Perlawanan Pangeran Diponegoro terus meningkat. Beberapa pos pertahanan Belanda dapat dikuasai. Pergerakan pasukan Pangeran Diponegoro meluas ke daerah Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang dan Rembang. Kemudian ke arah timur meluas ke Madiun, Magetan, terus Kediri dan sekitarnya. Perang yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro telah mampu menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa. Oleh karena itu, Perang Diponegoro sering dikenal dengan Perang Jawa. Semua kekuatan dari rakyat, bangsawan dan para ulama bergerak untuk melawan kekejaman Belanda.

Menghadapi perlawanan Diponegoro yang terus meluas itu, Belanda berusaha meningkatkan kekuatannya. Beberapa komandan tempur dikirim ke berbagai daerah pertempuran. Misalnya Letkol Clurens dikirim ke Tegal dan Pekalongan, kemudian Letkol Diell ke Banyumas. Jenderal de Kock sebagai pemimpin perang Belanda berusaha meningkatkan kekuatannya. Untuk menambah kekuatan Belanda, juga didatangkan bantuan tentara Belanda dari Sumatera Barat.

Belanda berusaha menghancurkan pos-pos pertahanan pasukan Pangeran Diponegoro. Sasaran pertama Belanda yaitu pos pertahanan Pangeran Diponegoro di Gua Selarong. Tanggal 4 Oktober 1825 pasukan Belanda menyerang pos tersebut. Tetapi ternyata pos Gua Selarong sudah kosong. Ini memang sebagai bagian strategi Pangeran Diponegoro. Pos pertahanan Diponegoro sudah dipindahkan ke Dekso di bawah pimpinan Ali Basyah Sentot Prawirodirjo. Pada tahun 1826 pasukan Ali Basyah Sentot Prawirodirjo ini berhasil mengalahkan tentara Belanda di daerah-daerah bagian barat (Kulo Progo dan sekitarnya). Sementara itu di Gunung Kidul pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh Pangeran Singosari juga mendapatkan berbagai kemenangan. Benteng pertahanan Belanda di Prambanan juga berhasil diserang oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Tumenggung Suronegoro. Plered sebagai pos pertahanan Diponegoro juga sering mendapat serangan Belanda. Namun dapat dipertahankan oleh pasukan Diponegoro di bawah Kertopengalasan.

Seperti telah diterangkan di atas bahwa perlawanan Pangeran Diponegoro mendapat dukungan luas dari para bupati di mancanegara (istilah mancanegara untuk menyebut daerah-daerah yang umumnya sekarang di luar Yogyakarta). Misalnya terjadi perlawanan sengit di Serang (daerah perbatasan antara Karesidenan Semarang dan Surakarta). Daerah-daerah mancanegara bagian timur terus melakukan perlawanan di bawah para bupatinya, misalnya di Madiun, Magetan, Kertosono, Ngawi, dan Sukowati. Sementara mancanegara bagian barat meluas di wilayah Bagelen, Magelang dan daerah-daerah Karesiden Kedu lainnya.

Benteng Stelsel pembawa petaka

Perlawanan pasukan Pangeran Diponegoro senantiasa bergerak dari pos pertahanan yang satu ke pos yang lain. Pengaruh perlawanan Diponegoro ini semakin meluas. Perkembangan Perang Diponegoro ini sempat membuat Belanda kebingungan. Untuk menghadapi pasukan Diponegoro yang bergerak dari pos yang satu ke pos yang lain, Jenderal de Kock kemudian menerapkan strategi dengan sistem “Benteng Stelsel” atau “Stelsel Benteng”.

Dengan strategi “Benteng Stelsel” sedikit demi sedikit perlawanan Diponegoro dapat diatasi. Dalam tahun 1827 perlawanan Diponegoro di beberapa tempat berhasil dipukul mundur oleh pasukan Belanda, misalnya di Tegal, Pekalongan, Semarang, dan Magelang. Masing-masing tempat dihubungkan dengan benteng pertahanan. Di samping itu Magelang dijadikan pusat kekuatan militer Belanda.

Dengan sistem “Benteng Stelsel” ruang gerak pasukan Diponegoro dari waktu ke waktu semakin sempit. Para pemimpin yang membantu Diponegoro mulai banyak yang tertangkap. Tetapi perlawanan rakyat masih terjadi 
Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh

di beberapa tempat. Pasukan Diponegoro di Banyumeneng harus bertahan dari serangan Belanda. Di Rembang di bawah pimpinan Raden Tumenggung Ario Sosrodilogo, rakyat mengadakan perlawanan di daerah Rajegwesi. Namun perlawanan di Rembang dapat dipatahkan oleh Belanda pada bulan Maret 1828. Sementara itu pasukan Diponegoro di bawah Sentot Prawirodirjo justru berhasil menyerang benteng Belanda di Nanggulan (daerah di Kulon Progo sekarang). Dalam penyerangan ini berhasil menewaskan Kapten Ingen. Peristiwa penyerangan benteng di Nanggulan ini mendapat perhatian para pemimpin tempur Belanda. Pasukan Belanda dikonsentrasikan untuk mendesak dan mempersempitkan ruang gerak pasukan Sentot Prawirodirjo dan kemudian mencoba untuk didekati agar mau berunding. Ajakan Belanda ini berkali-kali ditolaknya. Belanda kemudian meminta bantuan kepada Aria Prawirodiningrat untuk membujuk Sentot Prawirodirjo. Pertahanan hati Sentot Prawirodirjo pun luluh, dan menerima ajakan untuk berunding. Pada tanggal 17 Oktober 1829 ditandatangani Perjanjian Imogiri antara Sentot Prawirodirjo dengan pihak Belanda. Isi perjanjian itu antara lain:
  1. Sentot Prawirodirjo diizinkan untuk tetap memeluk agama Islam,
  2. Pasukan Sentot Prawirodirjo tidak dibubarkan dan ia tetap sebagai komandannya,
  3. Sentot Prawirodirjo dengan pasukannya diizinkan untuk tetap memakai sorban,
  4. Sebagai kelanjutan perjanjian itu, maka pada tanggal 24 Oktober 1829 Sentot Prawirodirjo dengan pasukannya memasuki ibu kota negeri Yogyakarta untuk secara resmi menyerahkan diri.
Penyerahan diri atau tertangkapnya para pemimpin pengikut Pangeran Diponegoro, merupakan pukulan berat bagi perjuangan Pangeran Diponegoro. Namun pasukan di bawah komando Diponegoro terus berjuang mempertahankan tanah tumpah darahnya. Pasukan ini bergerak dari pos yang satu ke pos yang lain. Belum ada tanda-tanda perlawanan Diponegoro mau berakhir. Belanda kemudian mengumumkan kepada khalayak pemberian hadiah sejumlah 20.000 ringgit bagi siapa saja yang dapat menyerahkan Pangeran Diponegoro baik dalam keadaan hidup maupun mati. Tetapi nampaknya tidak ada yang tertarik dengan pengumuman itu.

5. Perlawanan di Bali

Anda tentu sudah tahu tentang Bali. Sekalipun ada di antara kamu yang belum pernah ke Bali, tetapi tentu sudah begitu familier mendengar nama Bali. Bahkan pada abad ke-20 pada saat Indonesia sudah merdeka ternyata masyarakat dunia lebih mengenal nama Bali dari pada nama Indonesia. Bali adalah sebuah pulau kecil yang sangat terkenal di Indonesia. Bali dikenal sebagai Pulau Dewata dan menjadi tujuan wisata nomor satu di Indonesia. Tetapi kalau kita lihat dalam perjalanan sejarah nasional Indonesia sampai abad ke-19 Bali belum banyak menarik perhatian orang-orang Barat untuk menanamkan pengaruhnya. Kapal-kapal orang-orang Barat mungkin hanya singgah dan sekedar berdagang. Baru pada sekitar tahun 1830-an pemerintahan Hindia Belanda aktif menanamkan pengaruhnya di Bali. Perkembangan dominasi Belanda inilah yang kemudian menyulut api perlawanan rakyat Bali kepada Belanda yang terkenal dengan sebutan “Perang Puputan”

Mengapa terjadi Perang Puputan di Bali?

Pada abad ke-19 di Bali sudah berkembang kerajaan-kerajaan yang berdaulat. Misalnya Kerajaan Buleleng, Karangasem, Klungkung, Gianyar, Badung, Jembrana, Tabanan, Menguri dan Bangli. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels mulai terjadi kontak dengan kerajaan-kerajaan di Bali, tidak sekedar urusan dagang tetapi menyangkut sewa menyewa orang-orang Bali untuk dijadikan tentara pemerintah Hindia BeIanda. Tetapi dalam perkembangannya pemerintah Hindia Belanda ingin menanamkan pengaruh dan berkuasa di Bali. Untuk itu, Belanda mengirim dua utusan dengan misi masing-masing. Pertama, G.A. Granpre Moliere untuk misi ekonomi, kedua, Huskus Koopman mengemban misi politik. Misi ekonomi berjalan lancar. Tetapi misi politik menghadapi berbagai kendala. Huskus Koopman terus berusaha mendekati raja-raja di Bali agar bersedia mengakui keberadaan dan kekuasaan Belanda. Akhirnya dicapai perjanjian atau kontrak politik antara raja-raja di Bali dengan Belanda. Misalnya, dengan Raja Badung (28 November 1842), dengan Raja Karangasem ( 1 Mei 1843), dengan Raja Buleleng ( 8 Mei 1843), dengan Raja Klungkung (24 Mei 1843) dan Tabanan (22 Juni 1843). Perjanjian kontrak antara raja-raja di Bali dengan Belanda itu terutama seputar Hukum Tawan Karang agar dihapuskan.

Karena kelihaian atau bujukan Belanda, raja-raja di Bali dapat menerima perjanjian untuk meratifikasi penghapusan Hukum Tawan Karang. Tetapi sampai tahun 1844 Raja Buleleng dan Karangasem belum melaksanakan perjajian tersebut. Terbukti pada tahun 1844 itu penduduk melakukan perampasan atas isi dua kapal Belanda yang terdampar di Pantai Sangsit (Buleleng) dan Jembrana (waktu itu juga daerahnya Buleleng). Belanda protes keras terhadap kejadian ini. Belanda memaksa Raja Buleleng, Gusti Ngurah Made Karangasem agar melaksanakan isi perjanjian yang telah disepakati. Belanda juga menuntut agar Buleleng membayar ganti rugi atas kapal Belanda yang dirampas penduduk. Raja Gusti Ngurah Made Karangasem yang mendapat dukungan patihnya, I Gusti Ktut Jelantik, dengan tegas menolak tuntutan Belanda tersebut. Bahkan I Gusti Ktut Jelantik sudah melakukan latihan dan menghimpun kekuatan untuk melawan kesewenang-wenangan Belanda. Dengan demikian perang tidak dapat dihindarkan.

Patih Ktut Jelantik terus mempersiapkan prajurit Buleleng dan memperkuat pos-pos pertahanan. Dalam pertempuran ini Raja Buleleng juga mendapat dukungan dari Kerajaan Karangasem dan Klungkung. Sementara, pada tanggal 27 Juni 1846 telah datang pasukan Belanda berkekuatan 1.700 orang pasukan darat yang langsung menyerbu kampung-kampung di tepi pantai. Di samping itu, masih ada pasukan laut yang datang dengan kapal-kapal sewaan. Pertempuran sengit terjadi antara para pejuang dari Buleleng, dibantu oleh para pejuang Karangasem, dan Klungkung melawan Belanda. Selama dua hari para pemimpin, prajurit, dan rakyat Buleleng bertempur mati-matian. Mengingat persenjataan Belanda lebih lengkap dan modern, maka para pejuang Buleleng semakin terdesak. Benteng pertahanan Buleleng jebol dan ibu kota Singaraja dikuasai Belanda. Raja dan Patih Ktut Jelantik beserta pasukannya, terpaksa mundur sampai ke Desa Jagaraga (sekitar 7 km sebelah timur Singaraja). Pasukan Belanda terus mendesak para pejuang dan memaksa Raja Buleleng untuk menandatangani perjanjian. Perjanjian ditandatangani pada tanggal 6 Juli 1846 yang isinya antara lain: (1) Dalam waktu tiga bulan, Raja Buleleng harus menghancurkan semua benteng Buleleng yang pernah digunakan dan tidak boleh membangun benteng baru, (2) Raja Buleleng harus membayar ganti rugi dari biaya perang yang telah dikeluarkan Belanda, sejumlah 75.000 gulden, dan raja harus menyerahkan I Gusti Ktut Jelantik kepada pemerintah Belanda, (3) Belanda diizinkan menempatkan pasukannya di Buleleng.
Gusti Ktut Jelantik

Tekanan dan paksaan Belanda itu mencoba ditandingi dengan tipu daya. Raja dan para pejuang pura-pura menerima isi perjanjian itu. Tetapi di balik itu Raja dan Patih Ktut Jelantik memperkuat pasukannya. Di Jagaraga dibangun benteng pertahanan yang kuat bagaikan gelar-supit urang. Rakyat juga sengaja tetap mempertahankan Hukum Tawan Karang. Pada tahun 1847 saat ada kapal-kapal asing terdampar di Pantai Kusumba Klungkung, tetap dirampas oleh kerajaan. Sudah tentu hal ini menimbulkan amarah dari Belanda. Belanda kemudian mengeluarkan ultimatum agar raja-raja di Buleleng, Klungkung dan Karangasem mematuhi dan melaksanakan isi perjanjian yang telah ditandatangani.

Raja-raja di Bali tidak menghiraukan ultimatum Belanda itu. Rakyat justru dipersiapkan untuk melawan kekejaman Belanda. Raja Buleleng kemudian mengirim kurir untuk meminta bantuan pasukan dari kerajaan-kerajaan lain di Bali, sehingga datang pasukan tambahan dari Klungkung, Karangasem, Mengwi. Belanda mengetahui bahwa Raja Buleleng membangkang dan Patih Ktut Jelantik terus memperkuat pasukannya.

Menghadapi hal tersebut Belanda terus meningkatkan kekuatannya. Pada tanggal 7 dan 8 Juni 1848, telah mendarat bala bantuan Belanda di Pantai Sangsit. Tanggal 8 Juni serangan Belanda terhadap benteng Jagaraga dimulai. Sebagai pemimpin tentara Belanda antara lain: J. van Swieten, Letkol Sutherland Benteng Jagaraga terus dihujani meriam. Namun pasukan Buleleng di bawah pimpinan Ktut Jelantik yang dibantu isterinya, Jero Jempiring mampu mengembangkan pertahanan dengan gelar-supit urang sehingga dapat menjebak pasukan Belanda. Lima orang opsir dan 74 orang serdadu dapat ditewaskan ditambah lagi tujuh opsir dan 98 serdadu Belanda luka-luka. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur.

Kekalahan Belanda itu cukup menyakitkan perasaan pimpinan Belanda di Batavia. Oleh karena itu, dipersiapkan pasukan yang lebih kuat untuk melakukan pembalasan. Awal April 1849 telah datang kesatuan serdadu Belanda dalam jumlah besar menuju ke Jagaraga. Pada tanggal 15 April 1849 semua kekuatan Belanda dikerahkan untuk menyerang Jagaraga. Dalam tempo dua hari, yakni tanggal 16 April sore hari semua kekuatan di Jagaraga dapat dilumpuhkan oleh Belanda. Runtuhlah Benteng Jagaraga sebagai pertanda lenyapnya kedaulatan rakyat Buleleng. Raja Buleleng diikuti I Gusti Ktut Jelantik dan Jero Jempiring menyingkir ke Karangasem. Tetapi mereka tertangkap dan terbunuh dalam upaya untuk mempertahankan diri.


Dengan terbunuhnya Raja Buleleng dan Patih Ktut Jelantik maka jatuhlah Kerajaan Buleleng ke tangan Belanda. Menyusul kemudian bulan Mei 1849 Karangasem berhasil ditaklukkan, berikutnya Kusumba (Klungkung) jatuh pula ke tangan Belanda. Tetapi nampaknya tidak mudah Belanda untuk menguasai Pulau Bali. Pertempuran demi pertempuran masih terus terjadi. Tahun 1906 terjadi Perang Puputan di Badung, pada tahun 1908 terjadi Perang Puputan di Klungkung.

6. Perang Banjar

Kamu tentu sudah mengenal Provinsi Kalimantan Selatan. Ibukotanya ada di Banjarmasin. Berbicara soal Banjarmasin, apa yang kamu ingat, apa yang kamu ketahui tentang Banjarmasin atau Provinsi Kalimantan Selatan pada umumnya. Kamu pernah mendengar tentang batu-batu mulia dan intan dari Kalimantan Selatan? Atau kamu tahu tentang kain sasirangan. Itu semua merupakan produk-produk penting dari Kalimantan Selatan dewasa ini. Bagaimana dengan latar belakang sejarahnya?

Di Kalimantan Selatan pernah berkembang Kerajaan Banjar atau Banjarmasin. Wilayah Kesultanan Banjarmasin ini pada abad ke-19 meliputi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sekarang. Pusatnya ada di Martapura. Kesultanan ini memiliki posisi yang strategis dalam kegiatan perdagangan dunia. Hal ini terutama karena adanya hasil-hasil seperti emas dan intan, lada, rotan dan damar. Hasil-hasil ini termasuk produk yang diminati oleh orang-orang Barat, sehingga orang-orang Barat juga berminat untuk menguasai Kesultanan Banjarmasin. Salah satu pihak yang berambisi untuk menguasai Banjarmasin adalah Belanda.

Setelah melalui bujuk rayu disertai tekanan-tekanan, maka pada tahun 1817 terjadi perjanjian antara Sultan Banjar (Sultan Sulaiman) dengan pemerintah Hindia Belanda. Dalam perjanjian ini Sultan Sulaiman harus menyerahkan sebagian wilayah Banjar kepada Belanda, seperti daerah Dayak, Sintang, Bakumpai, Tanah Laut, Mundawai, Kotawaringin, Lawai, Jalai, Pigatan, Pasir Kutai, dan Beran. Dengan demikian wilayah kekuasaan Kesultanan Banjarmasin semakin sempit, sementara daerah kekuasaan Belanda semakin bertambah. Bahkan menurut perjanjian yang diadakan tanggal 4 Mei 1826 antara Sultan Adam Alwasikh dengan Belanda, menetapkan bahwa daerah Kesultanan Banjar tinggal daerah Hulu Sungai, Martapura, dan Banjarmasin.

Wilayah yang semakin sempit itu telah membawa problem dalam kehidupan sosial ekonomi. Penghasilan para penguasa kerajaan menjadi semakin kecil. Sementara dengan masuknya pola hidup Barat, kebutuhan hidup para penguasa meningkat. Dengan demikian beban hidup mereka semakin sulit. Untuk mengatasi kesulitan ini maka mereka menaikkan pajak. Dengan  demikian rakyat menjadi sasaran eksploitasi baik dari pemerintah kolonial maupun para pejabat kerajaan. Rakyat juga diperintahkan untuk melakukan kerja wajib.

Dalam suasana sosial ekonomi yang memprihatinkan itu, di dalam kerajaan sendiri terjadi konflik intern. Hal ini juga karena ulah intervensi Belanda. Hal ini bermula saat putera mahkota Abdul Rakhman meninggal secara mendadak pada tahun 1852. Sementara Sultan Adam memiliki tiga putra sebagai kandidat pengganti sultan, yakni : Pangeran Hidayatullah, Pangeran Tamjidillah, dan Prabu Anom. Ketiga kandidat itu masing-masing memiliki pendukung. Pangeran Hidayatullah didukung pihak istana dan kebetulan sudah mengantongi surat wasiat dari Sultan Adam untuk menggantikan sebagai sultan, Pangeran Anom dijagokan sebagai mangkubumi, sedang Tamjidillah didukung Belanda.

Tahun 1857 Sultan Adam meninggal. Dengan sigap Residen E.F. Graaf von Bentheim Teklenburg mewakili Belanda mengangkat Tamjidillah sebagai sultan dan Pangeran Hidayatullah diangkat sebagai mangkubumi. Pada hal menurut wasiat yang sah yang diangkat menjadi sultan adalah Pangeran Hidayatullah.
Pangeran Hidayatullah

Oleh karena itu, wajar kalau pengangkatan Tamjidillah sebagai Sultan Banjarmasin menimbulkan protes dan rasa kecewa dari berbagai pihak. Tamjidillah memiliki perangai yang kurang baik, senang minum-minuman keras seperti orang Belanda. Tamjidillah juga menghapus hak-hak istimewa pada saudara-saudaranya termasuk menganggap tidak ada surat wasiat dari Sultan Adam kepada Pangeran Hidayatullah. Kemudian, setelah hak-haknya dirampas, Pangeran Anom dibuang ke Bandung. Tindakan Tamjidillah yang sewenang-wenang itu semakin menimbulkan rasa kecewa dari berbagai pihak. Salah satu gerakan protes dan menolak pengangkatan Tamjidillah sebagai sultan adalah yang dipelopori oleh Penghulu Abdulgani. Pangeran Hidayatullah yang diangkat sebagai mangkubumi ternyata selalu disisihkan dalam berbagai urusan. Akibatnya ketegangan di istana semakin tajam sehingga membuat kondisi kerajaan menjadi tidak kondusif.

Dalam suasana yang penuh ketegangan itu ditambah terjadi gerakan di pedalaman yang dipelopori oleh Aling. Aling yang juga dikenal sebagai Panembahan Muning mengatakan dalam semedinya ia mendapatkan firasat agar Kesultanan Banjarmasin dikembalikan kepada Pangeran Antasari, sepupu Pangeran Hidayatullah. Pangeran Antasari adalah juga seorang pangeran yang diperkirakan juga keturunan raja di Banjarmasin.
Orang Dayak dengan pakaian perang
Gerakan Aling ini membuat suasana kerjaan semakin kacau. Pusat gerakan Aling dinamakan Tambai Mekah (Serambi Mekah) yang terletak di tepian Sungai Muning. Aling juga memanggil Antasari agar datang di Tambai Mekah. Pengaruh Aling ini semakin besar dan banyak pengikutnya, karena Aling memang dipandang orang yang sakti.

Pangeran Antasar
Pangeran Antasari yang memang sudah kecewa dengan apa yang terjadi di lingkungan kerajaan, datang dan bergabung dengan Gerakan Aling. Antasari berkeinginan untuk menurunkan Tamjidillah dan melawan kekuasaan Belanda. Di samping kekuatan penuh dari pengikut Aling, Pangeran Antasari juga mendapat dukungan dari berbagai pihak seperti Sultan Pasir dan Tumenggung Surapati pimpinan orang-orang Dayak.

Pada tanggal 28 April 1859 orang-orang Muning di bawah komando Panembahan Aling dan puteranya, Sultan Kuning menyerbu kawasan tambang batu bara di Pengaron. Sekalipun gagal menduduki benteng di Pengaron tetapi para pejuang Muning berhasil membakar kawasan tambang batu bara dan pemukiman orang-orang Belanda di sekitar Pengaron. Banyak orang-orang Belanda yang terbunuh oleh gerakan orang-orang Muning ini. Mereka juga melakukan penyerangan ke perkebunan milik gubernemen di Gunung Jabok, Kalangan, dan Bangkal Dengan demikian berkobarlah Perang Banjar.

Dengan peristiwa tersebut, keadaan pemerintahan Kesultanan Banjar semakin kacau. Sultan Tamjidillah yang memang tidak disenangi oleh rakyat itu juga tidak banyak berbuat. Oleh karena itu, Tamjidillah dinilai oleh Belanda tidak mampu memerintah maka diminta untuk turun tahta. Akhirnya pada tanggal 25 Juni 1859 secara resmi Tamjidillah mengundurkan diri dan mengembalikan legalia Banjar kepada Belanda. Tamjidillah kemudian diasingkan ke Bogor.

Mulai saat itu Kesultanan Banjar berada di bawah dominasi Belanda. Belanda sebenarnya berusaha membujuk Pangeran Hidayatullah (Hidayat) untuk bergabung dengan Belanda dan akan dijadikan Sultan Banjar. Tetapi kalau melihat kelicikan Belanda, bagi Pangeran Hidayatullah itu semua merupakan tipu daya Belanda. Oleh karena itu, Pangeran Hidayatullah memilih bersama rakyat untuk melancarkan perlawanan terhadap Belanda.

Sementara itu pasukan Antasari sudah bergerak menyerbu pos-pos Belanda di Martapura. Perlawanan Antasari dengan cepat mendapat dukungan dari para ulama dan punggawa kerajaan yang sudah muak dengan kelicikan dan kekejaman Belanda. Bulan Agustus 1859, Antasari bersama pasukan Haji Buyasin, Kiai Langlang, Kiai Demang Lehman berhasil menyerang benteng Belanda di Tabanio. Kemudian pasukan Surapati berhasil menenggelamkan kapal Belanda, Onrust, dan merampas senjata yang ada di kapal tersebut di Lontotuor, Sungai Barito Hulu. Dengan demikian Perang Banjar semakin meluas.

Pada waktu itu memasuki bulan Agustus-September tahun 1859 pertempuran rakyat Banjar terjadi di tiga lokasi, yakni di sekitar Banua Lima, sekitar Martapura dan Tanah Laut, serta sepanjang Sungai Barito. Pertempuran di sekitar Banua Lima di bawah pimpinan Tumenggung Jalil, pertempuran di sekitar Martapura dan tanah Laut dipimpin oleh Demang Lehman, dan sepanjang Sungai Barito dikomandani oleh Pangeran Antasari. Kiai Demang Lehman yang berusaha mempertahankan benteng Tabanio diserbu tentara Belanda. Pertempuran sengit terjadi dan banyak membawa korban. Sembilan

orang serdadu Belanda tewas. Belanda kemudian meningkatkan jumlah pasukannya. Benteng Tabanio berhasil dikepung oleh Belanda. Demang Lehman dan pasukannya dapat meloloskan diri. Demang Lehman kemudian memusatkan kekuatannya di benteng pertahanan di Gunung Lawak, Tanah Laut. Benteng ini juga diserbu tentara Belanda. Setelah bertahan mati-matian, akhirnya Demang Lehman meninggalkan benteng itu karena sudah banyak pengikutnya yang menjadi korban. Kekalahan Demang Lehman di benteng Gunung Lawak tidak memupuskan semangat juang melawan Belanda, sebab mereka yakin perang ini merupakan perang sabil.

Pada bulan September Deman Lehman dan para pemimpin lain seperti Tumenggung Jalil, dan Pangeran Muhammad Aminullah meninggalkan medan pertempuran di Tanah Laut menuju Kandangan untuk mengadakan perundingan dengan tokoh-tokoh pejuang yang lain. Dalam pertemuan di Kandangan itu menghasilkan kesepakatan yang intinya para pemimpin pejuang Perang Banjar menolak tawaran berunding dengan Belanda, dengan merumuskan beberapa siasat perlawanan sebagai berikut.
  1. Pemusatan kekuatan perlawanan di daerah Amuntai.
  2. Membuat dan memperkuat pertahanan di Tanah Laut, Martapura, Rantau dan Kandangan.
  3. Pangeran Antasari memperkuat pertahanan di Dusun Atas.
  4. Mengusahakan tambahan senjata.
Dalam pertemuan itu semua yang hadir mengangkat sumpah untuk berjuang mengusir penjajah Belanda dari bumi Banjar tanpa kompromi : “Haram Manyarah Waja sampai Kaputing”. Para pejuang tidak akan menyerah sampai titik darah yang penghabisan.

Setelah pertemuan itu perlawanan terus berkobar di berbagai tempat. Untuk menghadapi berbagai serangan itu Belanda juga terus memperkuat pasukan dan membangun benteng-benteng pertahanan seperti di Tapin, memperkuat Benteng Munggu Thayor, serta Benteng Amawang di Kandangan. Demang Lehman berusaha menyerang Benteng Amawang tersebut, tetapi gagal. Setelah itu Demang Lehman dan pasukannya mundur menuju daerah Barabai untuk memperkuat pertahanan pasukan Pangeran Hidayatullah.

Perlu diketahui bahwa Pangeran Hidayatullah setelah meninggalkan Martapura dan berkumpul dengan seluruh anggota keluarga, kemudian diikuti pasukannya ia berangkat ke Amuntai. Meskipun tidak dengan perangkat kebesaran, oleh para ulama dan semua pengikutnya, Hidayatullah diangkat sebagai sultan. Setelah itu Sultan Hidayatullah menyatakan perang jihad fi sabilillah terhadap orang-orang Belanda. Dalam gerakannya menuju Amuntai pasukannya melakukan serangan ke pos-pos Belanda.

Gerakan perlawanan Pangeran Hidayatullah kemudian dipusatkan di Barabai. Datanglah kemudian pasukan Demang Lehman untuk memperkuat pasukan Hidayatullah. Menghadapi pasukan gabungan itu Belanda di bawah G.M. Verspyck mengerahkan semua kekuatan pasukan yang ada. Pasukan infanteri dari Batalion VII, IX, XIII semua dikerahkan, ditambah 100 orang petugas pembawa perlengkapan perang dan makanan. Juga mengerahkan kapal-kapal perang dari Suriname, Bone dan kapal-kapal kecil. Terjadilah pertempuran sengit. Dengan seruan “Allahu Akbar” pasukan Hidayatullah dan Demang Lehman menyerbu menghadapi kekuatan tentara Belanda. Mereka dengan penuh keberanian menghadapi musuh karena yakin mati dalam perang ini adalah syahid. Tetapi kekuatan tidak seimbang, pasukan Belanda lebih unggul dari jumlah pasukan maupun senjata, maka Hidayatullah dan Demang Lehman menarik mundur pasukannya. Kemudian membangun pertahanan di Gunung Madang. Semua kekuatan Belanda dikerahkan untuk segera menangkap Pangeran Hidayatullah. Pertahanan di Gunung Madang pun jebol. Pangeran Hidayatullah dengan sisa pasukannya kemudian berjuang berpindah-pindah, bergerilya dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dari hutan yang satu ke hutan yang lain. Namun Belanda terus memburu dan mempersempit ruang gerak pasukan Hidayatullah. Akhirnya pada tanggal 28 Februari 1862 Hidayatullah berhasil ditangkap bersama anggota keluarga yang ikut bergerilya. Hidayatullah bersama anggota keluarganya kemudian diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Berakhirlah perlawanan Pangeran Hidayatullah.

Sementara itu Pangeran Antasari terus melanjutkan perlawanan. Oleh para pengikutnya Antasari kemudian diangkat sebagai pejuang dan pemimpin tertinggi agama Islam dengan gelar: Panembahan Amiruddin Kalifatullah Mukminin. Nah, bagaimana kelanjutan dan akhir dari perjuangan Pangeran Antasari?

7. Aceh Berjihad

Kita sering mendengar tentang Aceh. Apa yang kamu ketahui tentang Aceh? Ya, yang segar diingatan kita yakni peristiwa tsunami pada 26 Desember 2004. Tsunami itu terjadi karena adanya gempa bumi yang begitu dahsyat dengan kekuatan 9,3 skala Richter terletak di Samudra Indonesia, kurang lebih 160 km sebelah barat Aceh pada kedalaman 10 km. Tsunami itu telah meluluhlantakkan Aceh. Nah, peristiwa tsunami ini bisa dikatakan sebagai peringatan Tuhan Yang Maha Kuasa agar kita lebih berhati-hati untuk menjaga lingkungan dan tidak sembarang melakukan reklamasi pantai.

Di samping tsunami apa lagi yang kamu tahu tentang Aceh? Oh, ya mungkin kamu juga pernah mendengar Aceh dikenal sebagai Serambi Mekah. Mengapa? Aceh merupakan daerah pertama masuknya Islam di Nusantara. Aceh juga pernah menjadi kerajaan Islam yang mendapat pengakuan dari Syarif Mekah atas nama Khalifah Turki. Aceh juga pernah menjadi pangkalan/ pelabuhan haji untuk seluruh Nusantara. Orang-orang Indonesia yang naik haji ke Mekah dengan kapal laut, sebelum mengarungi Samudra Indonesia, tinggal beberapa bulan di Banda Aceh. Itulah Aceh kemudian mendapat julukan “Serambi Mekah”

Sungguh Aceh ibarat Serambi Mekah merupakan daerah dan kerajaan yang berdaulat. Rakyat bebas beraktivitas, beribadah, dan berdagang dengan siapa saja, di mana saja. Tetapi kedaulatan mulai terganggu karena keserakahan dan dominasi Belanda. Dominasi, dan kekejaman penjajahan Belanda ini telah berimbas ke Aceh sehingga melahirkan “Perang Aceh”, perangnya para pejuang untuk berjihad melawan kezaliman kaum penjajah pada tahun 1873 - 1912.

a. Mengapa dan apa latar belakang terjadi perang di Aceh itu?

Aceh memiliki kedudukan yang strategis. Aceh menjadi pusat perdagangan. Daerahnya luas dan memiliki hasil penting seperti lada, hasil tambang, serta hasil hutan. Karena itu dalam rangka mewujudkan Pax Neerlandica, Belanda sangat berambisi untuk menguasai Aceh. Kita tahu sejak masa VOC, orang-orang Belanda itu ingin menguasai perdagangan di Aceh, begitu juga zaman pemerintahan Hindia Belanda. Tetapi di sisi lain orang-orang Aceh dan para sultan yang pernah berkuasa tetap ingin mempertahankan kedaulatan Aceh. Semangat dan tindakan sultan beserta rakyatnya yang demikian itu memang secara resmi didukung dan dibenarkan oleh adanya Traktat London tanggal 17 Maret 1824. Traktat London itu adalah hasil kesepakatan antara Inggris dan Belanda yang isinya antara lain bahwa Belanda setelah mendapatkan kembali tanah jajahannya di Kepulauan Nusantara, tidak dibenarkan mengganggu kedaulatan Aceh.

Dengan isi Traktat London itu secara resmi menjadi kendala bagi Belanda untuk menguasai Aceh. Tetapi secara geografis-politis Belanda merasa diuntungkan karena kekuatan Inggris tidak lagi sebagai penghalang dan Belanda mulai dapat mendekati wilayah Aceh. Apalagi pada tahun 1825 Inggris sudah menyerahkan Sibolga dan Natal kepada Belanda. Dengan demikian Belanda sudah berhadapan langsung wilayah Kesultanan Aceh. Belanda tinggal menunggu momen yang tepat untuk dapat melakukan intervensi di Aceh. Belanda mulai kusak- kusuk untuk menimbulkan kekacauan di Aceh. Politik adu domba juga mulai diterapkan. Belanda juga bergerak di wilayah perairan Aceh dan Selat Malaka. Belanda sering menemukan para bajak laut yang mengganggu kapal-kapal asing yang sedang berlayar dan berdagang di perairan Aceh dan Selat Malaka. Dengan alasan menjaga keamanan kapal-kapal yang sering diganggu oleh para pembajak maka Belanda menduduki beberapa daerah seperti Baros dan Singkel.

Gerakan menuju aneksasi terus diintensifkan. Pada tanggal 1 Februari 1858, Belanda menyodorkan perjanjian dengan Sultan Siak, Sultan Ismail. Perjanjian inilah yang dikenal dengan Traktat Siak. Isinya antara lain Siak mengakui kedaulatan Hindia Belanda di Sumatra Timur. Ini artinya daerah-daerah yang berada di bawah pengaruh Siak seperti: Deli, Asahan, Kampar, dan Indragiri berada di bawah dominasi Hindia Belanda. Padahal daerah-daerah itu sebenarnya berada di bawah lindungan Kesultanan Aceh. Tindakan Belanda dan Siak ini tidak diprotes keras oleh Kesultanan Aceh.

Belanda nampaknya bergeming. Oleh karena itu, Aceh mewaspadai gerak-gerak Belanda dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk menghadapi aneksasi tentara Belanda.

Perkembangan politik yang semakin menohok Kesultanan Aceh adalah ditandatanganinya Traktat Sumatera antara Belanda dengan Inggris pada tanggal 2 November 1871. Isi Traktat Sumatera itu antara lain Inggris memberi kebebasan kepada Belanda untuk memperluas daerah kekuasaannya di seluruh Sumatera. Hal ini jelas merupakan ancaman bagi Kesultanan Aceh. Dalam posisi yang terus terancam ini Aceh berusaha mencari sekutu dengan negara-negara lain seperti dengan Turki, Italia bahkan juga melakukan kontak hubungan dengan Amerika Serikat. Aceh kemudian tahun 1873 mengirim utusan yakni Habib Abdurrahman pergi ke Turki untuk meminta bantuan senjata.

Langkah-langkah Aceh itu diketahui oleh Belanda. Oleh karena itu, Belanda mengancam dan mengultimatum agar Kesultanan Aceh tunduk di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Aceh tidak akan menghiraukan ultimatum itu. Karena Aceh dinilai membangkang maka pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda melalui Komisaris Nieuwenhuijzen mengumumkan perang terhadap Aceh. Pecahlah pertempuran antara Aceh melawan Belanda. Para pejuang Aceh di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Syah II mengobarkan semangat jihad angkat senjata untuk melawan kezaliman Belanda.

Beberapa persiapan di Aceh sebenarnya sudah dilakukan. Misalnya membangun pos-pos pertahanan. Sepanjang pantai Aceh Besar telah dibangun kuta, yakni semacam benteng untuk memperkuat pertahanan wilayah. Kuta ini dibangun di sepanjang Pantai Aceh Besar seperti Kuta Meugat, Kuta Pohama, Kuta Mosapi dan juga lingkungan istana Kutaraja dan Masjid Raya Baiturrahman. Jumlah pasukan juga ditingkatkan dan ditempatkan di beberapa tempat strategis. Sejumlah 3000 pasukan disiagakan di pantai dan 4000 pasukan disiagakan di lingkungan istana. Senjata dari luar juga sebagian juga telah berhasil dimasukkan ke Aceh seperti 5000 peti mesiu dan sekitar 1394 peti senapan.

b. Syahid atau menang

Agresi tentara Belanda terjadi pada tanggal 5 April 1873. Tentara Belanda di bawah pimpinan Jenderal Mayor J.H.R. Kohler terus melakukan serangan terhadap pasukan Aceh. Pasukan Aceh yang terdiri atas para ulebalang, ulama, dan rakyat terus mendapat gempuran dari pasukan Belanda. Dengan memperhatian hasil laporan spionase Belanda yang mengatakan bahwa Aceh dalam keadaan lemah secara politik dan ekonomi, membuat para pemimpin Belanda termasuk Kohler optimis bahwa Aceh segera dapat ditundukkan. Oleh karena itu, serangan-serangan tentara Belanda terus diintensifkan. Tetapi kenyataannya tidak mudah menundukkan para pejuang Aceh. Dengan kekuatan yang ada para pejuang Aceh mampu memberikan perlawanan sengit. Pertempuran terjadi kawasan pantai, kemudian juga di kota, bahkan pada tanggal 14 April 1873 terjadi pertempuran sengit antara pasukan Aceh dibawah pimpinan Teuku Imeum Lueng Bata melawan tentara Belanda di bawah pimpinan Kohler untuk memperebutkan Masjid Raya Baiturrahman. Dalam pertempuran memperebutkan Masjid Raya Baiturrahman ini pasukan Aceh berhasil membunuh Kohler di bawah pohon dekat masjid tersebut. Pohon ini kemudian dinamakan Kohler Boom. Banyak jatuh korban dari pihak Belanda. Begitu juga tidak sedikit korban dari pihak pejuang Aceh yang mati syahid.

Terbunuhnya Kohler ini maka pasukan Belanda ditarik mundur ke pantai. Dengan demikian gagallah serangan tentara Belanda yang pertama. Ini membuktikan bahwa tidak mudah untuk segera menundukkan Aceh. Karena kekuatan para pejuang Aceh tidak semata-mata terletak pada kekuatan pasukannya, tetapi juga terkait hakikat kehidupan yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan sosial budaya yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. Doktrin para pejuang Aceh dalam melawan Belanda hanya ada dua pilihan “syahid atau menang”. Dalam hal ini nilai-nilai agama senantiasa menjadi potensi yang sangat menentukan dalam menggerakkan perlawanan terhadap penjajahan asing. Oleh karena itu, Perang Aceh berlangsung begitu lama.

Setelah melipatgandakan kekuatannya, pada tanggal 9 Desember 1873 Belanda melakukan agresi atau serangan yang kedua. Serangan ini dipimpin oleh J. van Swieten. Pertempuran sengit terjadi istana dan juga terjadi di Masjid Raya Baiturrahman. Para pejuang Aceh harus mempertahankan masjid dari serangan Belanda yang bertubi-tubi. Masjid terus dihujani peluru dan kemudian pada tanggal 6 Januari 1874 masjid itu dibakar. Para pejuang dan ulama kemudian meninggalkan masjid. Tentara Belanda kemudian menuju istana. Pada tanggal 15 Januari 1874 Belanda dapat menduduki istana setelah istana dikosongkan, karena Sultan Mahmud Syah II bersama para pejuang yang lain meninggalkan istana menuju ke Leueung Bata dan diteruskan ke Pagar Aye (sekitar 7 km dari pusat kota Banda Aceh). Tetapi pada tanggal 28 Januari 1874 sultan meninggal karena wabah kolera.

Jatuhnya Masjid Raya Baiturrahman dan istana sultan, Belanda menyatakan bahwa Aceh Besar telah menjadi daerah kekuasaan Belanda. Para ulebalang, ulama dan rakyat tidak ambil pusing dengan pernyataan Belanda. Mereka kemudian mengangkat putra mahkota Muhammad Daud Syah sebagai sultan Aceh. Tetapi karena masih di bawah umur maka diangkatlah Tuanku Hasyim Banta Muda sebagai wali atau pemangku sultan sampai tahun 1884. Pusat pemerintahan di Indrapuri (sekitar 25 km arah tenggara dari pusat kota). Semangat untuk melanjutkan perang terus menggelora di berbagai tempat. Pertempuran dengan Belanda semakin meluas ke daerah hulu. Sementara itu tugas van Swieten di Aceh dipandang cukup. Ia digantikan oleh Jenderal Pel. Sebelum Swieten meninggalkan Aceh, ia mengatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda akan segera membangun kembali masjid raya yang telah dibakarnya. Tentu hal ini dalam rangka menarik simpati rakyat Aceh.

Para pejuang Aceh tidak mengendorkan semangatnya. Di bawah pimpinan ulebalang, ulama dan ketua adat, rakyat Aceh terus mengobarkan perang melawan Belanda. Semangat juang semakin meningkat seiring pulangnya Habib Abdurrahman dari Turki pada tahun 1877. Tokoh ini kemudian menggalang kekuatan bersama Tengku Cik Di Tiro. Pasukannya terus melakukan serangan-serangan ke pos-pos Belanda. Kemudian Belanda menambah kekuatannya sehingga dapat mengalahkan serangan – serangan yang dilakukan pasukan Habib Abdurrahman dan Cik Di Tiro. Di bawah pimpinan Van der Heijden, Belanda berhasil mendesak pasukan Habib Abdurrahman, bahkan Habib Abdurrahman akhirnya menyerah kepada Belanda. Sementara Cik Di Tiro mendur ke arah Sigli untuk melanjutkan perlawanan. Belanda berhasil menguasai beberapa daerah seperti Seunaloh, Ansen Batee.

c. Perang Sabil

Tahun 1884 merupakan tahun yang sangat penting, karena Muhammad Daud Syah telah dewasa maka secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Ala’uddin Muhammad Daud Syah bertempat di Masjid Indrapuri. Pada waktu upacara penobatan ini para pemimpin Perang Aceh seperti Tuanku Hasyim, Panglima Polim, Tengku Cik Di Tiro memproklamirkan “Ikrar Prang Sabi” (Perang Sabil). Perang Sabil merupakan perang melawan kaphee Beulanda (kafir Belanda), perang suci untuk membela agama, perang untuk mempertahankan tanah air, perang jihad untuk melawan kezaliman di muka bumi. Setelah penobatan itu, mengingat keamanan istana di Indrapuri dipindahkan ke Keumala di daerah Pidie (sekitar 25 km sebelah selatan kota Pidie). Dari Istana Keumala inilah semangat Perang Sabil digelorakan.
Cut Nyak Dien dan Teuku Umar


Dengan digelorakan Perang Sabil, perlawanan rakyat Aceh semakin meluas. Apalagi dengan seruan Sultan Muhammad Daud Syah yang menyerukan gerakan amal untuk membiayai perang, telah menambah semangat para pejuang Aceh. Cik Di Tiro mengobarkan perlawanan di Sigli dan Pidie. Di Aceh bagian barat tampil Teuku Umar beserta isterinya Cut Nyak Dien. Pertempuran sengit terjadi di Meulaboh. Beberapa pos pertahanan Belanda berhasil direbut oleh pasukan Teuku Umar. Pasukan Aceh dengan semangat jihadnya telah menambah kekuatan untuk melawan Belanda. Belanda mulai kewalahan di berbagai medan pertempuran. Belanda mulai menerapkan strategi baru yang dikenal dengan “Konsentrasi Stelsel atau Stelsel Konsentrasi”.

Strategi Konsentrasi Stelsel itu ternyata juga belum efektif untuk dapat segera menghentikan perang di Aceh. Bahkan dengan strategi itu telah menyebarkan perlawanan rakyat Aceh dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Perang gerilya juga mulai dilancarkan oleh para pejuang Aceh. Gerakan pasukan Teuku Umar juga terus mengalami kemajuan. Pertengahan tahun 1886 Teuku Umar berhasil menyerang dan menyita kapal Belanda Hok Canton yang sedang berlabuh di Pantai Rigaih. Kapten Hansen (seorang berkebangsaan Denmark). nakhoda kapal yang diberi tugas Belanda untuk menangkap Teuku Umar justru tewas dibunuh oleh Teuku Umar. Ditengah-tengah perjuangan itu pada tahun 1891 Tengku Cik Di Tiro meninggal. Perjuangannya melawan Belanda dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Tengku Ma Amin Di Tiro. Kemudian terpetik berita bahwa pada tahun 1893 Teuku Umar menyerah kepada Belanda. Teuku Umar kemudian dijadikan panglima tentara Belanda dan diberi gelar Teuku Johan Pahlawan. Ia diizinkan untuk membentuk kesatuan tentara beranggotakan 250 orang. Peristiwa ini tentu sangat berpengaruh pada semangat juang rakyat Aceh. Nampaknya Teuku Umar juga tidak serius untuk melawan bangsanya sendiri. Setelah pasukannya sudah mendapatkan banyak senjata dan dipercaya membawa dana 800.000 gulden, pada 29 Maret 1896 Teuku Umar dengan pasukannya berbalik dan kembali melawan Belanda. Peristiwa inilah yang dikenal dengan Het verraad van Teukoe Oemar (Pengkhianatan Teuku Umar). Teuku Umar berhasil menyerang pos-pos Belanda yang ditemui.

Peristiwa itu membuat Belanda semakin marah dan geram. Sementara untuk menghadapi semangat Perang Sabil Belanda juga semakin kesulitan. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain untuk melaksanakan usulan Snouck Horgronye untuk melawan Aceh dengan kekerasan. Perlu diketahui bahwa sebelum itu Belanda telah meminta Snouck Horgronye agar melakukan kajian tentang seluk beluk kehidupan dan semangat juang orang-orang Aceh, sehingga dapat ditemukan strategi untuk segera mengalahkan para pejuang Aceh. Snouck Horgronye mulai menyamar memasuki kehidupan di tengah-tengah kehidupan masyarakat Aceh. Ia memakai nama samaran Abdul Gafar. Ia telah mempelajari agama Islam dan adat budaya Aceh. Snouck Horgronye menyimpulkan bahwa para pejuang Aceh itu sulit dikalahkan karena disemangati oleh semangat jihad dengan tali ukhuwah Islamiyahnya. Oleh karena itu Snoukck Horgronye mengusulkan beberapa cara untuk melawan perjuangan rakyat Aceh. Beberapa usulan itu adalah sebagai berikut.
Snouck Horgronye
  1. Perlu memecah belah persatuan dan kekuatan masyarakat Aceh, sebab di lingkungan masyarakat Aceh terdapat rasa persatuan antara kaum bangsawan, ulama, dan rakyat.
  2. Menghadapi kaum ulama yang fanatik dalam memimpin perlawanan harus dengan kekerasan, yaitu dengan kekuatan senjata.
  3. Bersikap lunak terhadap kaum bangsawan dan keluarganya dan diberi kesempatan untuk masuk ke dalam korps pamong praja dalam pemerintahan kolonial Belanda.
Belanda segera melaksanakan usulan-usulan Snouck Horgronye tersebut. Belanda harus menggempur Aceh dengan kekerasan dan senjata. Untuk memasuki fase ini dan memimpin perang melawan rakyat Aceh, diangkatlah gubernur militer yang baru yakni van Heutsz (1898-1904) menggantikan van Vliet. Genderang perang dengan kekerasan di mulai tahun 1899. Perang ini berlangsung 10 tahun. Oleh karena itu, pada periode tahun 1899 – 1909 di Aceh disebut dengan masa sepuluh tahun berdarah (tien bloedige jaren) .

Semua pasukan disiagakan dengan dibekali seluruh persenjataan. Van Heutsz segera melakukan serangan terhadap pos pertahanan para pemimpin perlawanan di berbagai daerah. Dalam hal ini Belanda juga mengerahkan pasukan anti gerilya yang disebut Korps Marchausse (Marsose) yakni pasukan yang terdiri dari orang-orang Indonesia yang berada di bawah pimpinan opsir-opsir Belanda. Mereka pandai berbahasa Aceh. Dengan demikian mereka dapat bergerak sebagai informan. Dengan kekuatan penuh dan sasaran yang tepat karena adanya informan-informan bayaran, serangan Belanda berhasil mencerai-beraikan para pemimpin perlawanan. Teuku Umar bergerak menyingkir ke Aceh bagian barat dan Panglima Polem dapat digiring dan bergerak di Aceh bagian timur.

Di Aceh bagian barat Teuku Umar mempersiapkan pasukannya untuk melakukan penyerangan secara besar-besaran ke arah Meulaboh. Tetap tampaknya persiapan Teuku Umar ini tercium oleh Belanda. Maka Belanda segera menyerang benteng pertahanan Teuku Umar. Terjadilah pertempuran sengit pada Februari 1899. Dalam pertempuran ini Teuku Umar gugur sebagai suhada. Perlawanan dilanjutkan oleh Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien dengan pasukannya memasuki hutan dan mengembangkan perang gerilya.

Perlawanan rakyat Aceh belum berakhir. Para pejuang Aceh di bawah komando sultan dan Panglima Polem terus berkobar. Setelah istana kerajaan di Keumala diduduki Belanda, sultan melakukan perlawanan dengan berpindah-pindah bahkan juga melakukan perang gerilya. Sultan menuju Kuta Sawang kemudian pindah ke Kuta Batee Iliek. Tetapi kuta-kuta ini berhasil diserbu Belanda. Sultan kemudian menyingkir ke Tanah Gayo. Pada tahun berikutnya Belanda menangkap istri sultan, Pocut Murong. Karena tekanan Belanda yang terus menerus, pada Januari 1903 Sultan Muhammad Daud Syah terpaksa menyerah. Demikian siasat licik dari Belanda. Cara licik ini kemudian juga digunakan untuk mematahkan perlawanan Panglima Polem dan Tuanku Raha Keumala. Istri, ibu dan anak-anak Panglima Polem ditangkap oleh Belanda. Dengan tekanan yang bertubi-tubi akhirnya Panglima Polem juga menyerah pada 6 Serptember 1903. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kerajaan Aceh yang sudah berdiri sejak 1514 harus berakhir.
Cut Nyak Mutia
Kerajaan boleh berakhir, tetapi semangat juang rakyat Aceh untuk melawan dominasi asing sulit untuk dipadamkan. Sementara Cut Nyak Dien terus mengobarkan perang jihad dengan bergerilya. Tetapi setelah pos pertahan pasukannya dikepung tentara Belanda pada tahun 1906 Cut Nyak Dien berhasil ditangkap. Ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat sampai meninggal pada tanggal 8 November 1908. Namun perjuangan rakyat Aceh juga belum berakhir. Di daerah Pidie sejumlah ulama masih terus melancarkan serangan ke pos-pos Belanda. Tokoh-tokoh ulama itu misalnya Teungku Mahyidin Tiro bersama istrinya Teungku Di Bukiet Tiro, Teungku Ma’at Tiro, Teungku Cot Plieng. Semua ulama ini gugur dalam Perang Sabil melawan kezaliman Belanda. Ulama yang terakhir mengadakan perlawaan di Pidie ini adalah Teungku Ma’at Tiro yang waktu itu baru berusia 16 tahun. Tetapi setelah dikepung di Pegunungan Tangse Teungku Ma’at Tiro berhasil ditembak mati oleh Belanda pada tahun 1911. Ia mati syahid gugur sebagai kusuma bangsa.

Sementara itu di pesisir utara dan timur Aceh juga masih banyak para ulama dan pemimpin adat yang terus melakukan perlawanan. Misalnya Teuku Ben Pirak (ayah Cut Nyak Mutia), Teuku Cik Tinong (suami Cut Nyak Mutia). Setelah ayah dan suaminya gugur, Cut Nyak Mutia melanjutkan perang melawan kekejaman Belanda. Cut Nyak Mutia sesuai dengan pesan suaminya Teuku Cik Tunong sebelum ditembak mati oleh Belanda disarankan untuk menikah dengan Pang Nanggru. Oleh karena itu, Cut Nyak Mutia dapat bersama-sama melawan Belanda dengan Pang Nanggru. Pada tanggal 26 September 1910 terjadi pertempuran sengit di Paya Cicem. Pang Nanggru tewas dan Cut Nyak Mutia berhasil meloloskan diri. Bersama puteranya Raja Sabil (baru usia 11 tahun), Cut Nyak Mutia terus memimpin perlawanan. Tetapi Cut Nyak Mutia akhirnya dapat didesak dan gugur setelah beberapa peluru menembus kaki dan tubuhnya. Ulama yang lain seperti Teungku Di Barat bersama istrinya Cut Po Fatimah masih melanjutkan perlawanan, tetapi suami-istri itu akhirnya juga gugur tertembak oleh keganasan peluru Belanda pada tahun 1912. Demikian Perang Sabil yang digelorakan rakyat Aceh secara massal baru berakhir pada tahun 1912. Tetapi sebenarnya masih ada gerakan-gerakan perlawanan lokal yang berskala kecil yang sering terjadi. Bahkan dikatakan perang-perang kecil itu berlangsung sampai tahun 1942.

8. Perang Batak

Kita semua juga sudah sangat familier mendengar kata Batak. Batak merupakan nama kawasan dan sekaligus nama suku, Suku Batak. Ada beberapa kelompok Batak misalnya ada Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Mandailing, dan Batak Pakpak. Sekarang masyarakat Batak tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Mereka banyak yang bergerak dan berperan di bidang hukum.

Secara historis-sosiologis masyarakat Batak menarik untuk dikaji. Secara sosiologis kita mengenal bagaimana struktur masyarakat Batak itu. Basis masyarakat Batak sebenarnya berada di daerah-daerah kompleks perkampungan yang disebut dengan huta. Huta adalah bentuk kesatuan ikatan-ikatan kampung yang dalam berbagai aspek kehidupan berdiri sendiri-sendiri. Setiap kesatuan huta didiami oleh satu ikatan kekerabatan yang disebut marga. Dalam strukturnya, di atas huta atau gabungan dari beberapa huta terbentuk horja dan gabungan dari beberapa horja terbentuk bius. Kesatuan dari beberapa bius itu terbentuklah satu wilayah kerajaan, kerajaan masyarakat Batak yang dipimpin oleh Raja Si Singamangaraja. Pusat pemerintahannya di Bakkara. Sejak tahun 1870 yang menjadi raja adalah Patuan Bosar Ompu Pulo Batu yang bergelar Si Singamangaraja XII. Pada tahun 1878 Raja Si Singamangaraja XII angkat senjata memimpin rakyat Batak untuk melawan Belanda.
Sisingamangaraja XII

Perlu diketahui bahwa setelah Perang Padri berakhir, Belanda terus meluaskan daerah pengaruhnya. Belanda mulai memasuki tanah Batak seperti Mandailing, Angkola, Padang Lawas, Sipirok bahkan sampai Tapanuli. Hal ini jelas merupakan ancaman serius bagi kekuasaan Raja Batak, Si Singamangaraja XII. Masuknya dominasi Belanda ke tanah Batak ini juga disertai dengan penyebaran agama Kristen. Penyebaran agama Kristen ini ditentang oleh Si Singamangaraja XII, karena dikhawatirkan perkembangan agama Kristen itu akan menghilangkan tatanan tradisional dan bentuk kesatuan negeri yang telah ada secara turun temurun. Untuk menghalangi proses Kristenisasi ini, pada tahun 1877 Raja Si Singamangaraja XII berkampanye keliling ke daerah-daerah untuk menghimbau agar masyarakat mengusir para zending yang memaksakan agama Kristen kepada penduduk. Masuknya pengaruh Belanda ini juga akan mengancam kelestarian tradisi dan adat asli orang-orang Batak. Akibat kampanye Raja Singamangaraja XII telah menimbulkan ekses pengusiran para zending bahkan ada penyerbuan dan pembakaran terhadap pos-pos zending di Silindung. Kejadian ini telah memicu kemarahan Belanda dan dengan alasan melindungi para zending, pada tanggal 8 Januari 1878 Belanda mengirim pasukan untuk menduduki Silindung. Pecahlah Perang Batak.

Kamu tahu bagaimana jalannya Perang Batak ?

Alasan untuk melindungi para Zending tentu alasan yang dibuat-buat Belanda. Karena yang jelas Belanda menduduki Silindung sebagai langkah awal untuk memasuki tanah Batak yang merupakan wilayah kekuasaan Raja Si Singamangaraja XII. Belanda ingin menguasai seluruh tanah Batak. Mula pertama pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kapten Schelten menuju Bahal Batu. Rakyat Batak di bawah pimpinan langsung Raja Si Singamangaraja XII melakukan perlawanan terhadap gerakan pasukan Belanda di Bahal Batu. Dalam menghadapi perang melawan Belanda ini rakyat Batak sudah menyiapkan benteng pertahanan seperti benteng alam yang terdapat di dataran tinggi Toba dan Silindung. Di samping itu dikembangkan benteng buatan yang ada di perkampungan. Setiap kelompok kampung dibentuk empat persegi dengan pagar keliling terbuat dari tanah dan batu. Di luar tembok ditanami bambu berduri dan di sebelah luarnya lagi dibuat selokan keliling yang cukup dalam. Pintu masuk dibuat hanya beberapa buah dengan ukuran sempit.

Pertempuran pertama terjadi di Bahal Batu. Si Singamangaraja XII dengan pasukannya berusaha memberikan perlawanan sekuat tenaga. Tetapi nampaknya kekuatan pasukan Batak tidak seimbang dengan kekuatan tentara Belanda, sehingga pasukan Si Singamangaraja ini harus ditarik mundur. Akibatnya justru pertempuran merembet ke daerah lain, misalnya sampai di Butar. Karena dengan gerakan mundur tadi, pasukan Si Singamangaraja XII juga melakukan penyerangan pada pos-pos Belanda yang lain.

Perang Batak ini semakin meluas ke daerah-daerah lain. Setelah berhasil menggagalkan berbagai serangan dari pasukan Si Singamangaraja XII, Belanda mulai bergerak ke Bakkara. Bakkara merupakan benteng dan istana Kerajaan Si Singamangaraja. Dengan jumlah pasukan yang cukup besar Belanda mulai mengepung Bakkara. Letnan Kitchner menyerang dari arah selatan, Chelter mendesak dari sebelah timur, sementara Van den Bergh mengepung dari arah barat. Beberapa komandan tempur Belanda berusaha memasuki benteng Bakkara, tetapi selalu dapat dihalau dengan lemparan batu oleh para pejuang Batak. Akhirnya benteng dan Istana Bakkara dihujani tembakan-tembakan yang begitu gencar, sehingga benteng itu dapat diduduki Belanda. Si Singamangaraja dan sisa pasukannya berhasil meloloskan diri dan menyingkir ke daerah Paranginan di bagian selatan Danau Toba. Belanda terus memburu. Si Singamangaraja menyingkir ke Lintung. Belanda terus mengejar. Si Singamangaraja terus bergerak ke Tambunan, Lagu Boti, dan terus ke Baligie. Dengan kekuatan pasukannya, Belanda dapat menguasai tempat-tempat itu semua, sehingga semua daerah di sekitar Danau Toba sudah dikuasai Belanda.

Si Singamangaraja XII dengan sisa pasukannya bergerak menuju Huta Puong. Pada Juli tahun 1889 Si Singamangaraja XII kembali angkat senjata melawan ekspedisi Belanda. Di Huta Puong ini pasukan Si Singamangaraja XII bertahan cukup lama. Tetapi pada tanggal 4 September 1899 Huta Puong juga jatuh ke tangan Belanda. Si Singamangaraja XII kemudian membuat pertahanan di Pakpak dan Dairi. Pasukan Belanda di bawah komando van Daden mengadakan gerakan sapu bersih terhadap kantong-kantong pertahanan dari Aceh sampai tanah Gayo, termasuk yang ada di tanah Batak . Tahun 1907 pasukan Belanda di bawah komando Hans Christoffel memfokuskan untuk menangkap Si Singamangaraja XII. Si Singamangaraja XII berhasil dikepung rapat di daerah segitiga Barus Sidikalang dan Singkel. Dalam pengepungan ini Belanda menggunakan cara licik yakni menangkap Boru Sagala, istri Si Singamangaraja XII dan dua anaknya. Dengan beban psikologis yang berat Si Singamangaraja XII tetap bertahan, tidak mau menyerah. Akhirnya pada tanggal 17 Juni 1907 siang pasukan Belanda dikerahkan untuk menangkap Si Singamangaraja XII di pos pertahanannya di Aik Sibulbulon di daerah Dairi. Dalam keadaan terdesak, Si Singamangaraja XII dengan putera-puteranya tetap bertahan dan melakukan perlawanan sekuat tenaga. Tetapi dalam pertempuran itu Si Singamangaraja XII tertembak mati. Begitu juga putrinya Lopian dan dua orang puteranya Sutan Nagari dan Patuan. Dengan demikian berakhirlah Perang Batak.

KESIMPULAN

  1. Perang yang terjadi pada abad ke-18 dan 19 dan awal 20 merupakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda.
  2. Pemerintah kolonial Belanda tetap menjalankan taktik perang yang licik dan kejam. Tipu daya pura-pura mengajak damai, mengadu domba dan menangkapi anggota keluarga pimpinan perang Indonesia terus dilakukan.
  3. Perang melawan penjajahan pemerintahan kolonial Hindia Belanda memang belum berhasil, tetapi semangat juang rakyat dan para pemimpin perang kita tidak pernah padam. Kedaulatan dan kemerdekaan rakyat Indonesia harus terus diperjuangkan agar bebas dari penjajahan. Penjajahan pada hakikatnya selalu kejam, menangnya sendiri, serakah, tidak memperhatikan penderitaan orang lain. Penjajahan senantiasa bertentangan dengan harkat dan hak asasi manusia.
  4. Banyak nilai-nilai keteladanan yang dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya semangat cinta tanah air, rela berkorban, kebersamaan, kerja keras pantang menyerah dengan berbagai tantangan, sehingga dapat memotivasi kita untuk kerja keras dan giat belajar.
Akhirnya sampai jualah postinganyang kami bagikan pada kali ini. Sebelum admin mengakhiri postingan artikel di atas, kami ingin mengajak buat anda sekalian untuk membaca artikel lainnya mengenai Islamisasi Dan Silang Budaya di Nusantara. Semoga bermanfaat dan artikel yang kami bagikan, dapat berguna buat kita bersama.

0 Response to "Perang Melawan Kolonialisme"

Posting Komentar

-->