-->

Sistem Pertahanan Tubuh

Sistem Pertahanan Tubuh - Sistem kekebalan tubuh merupakan suatu sistem dalam tubuh yang bekerja mempertahankan tubuh kita dari serangan suatu bibit penyakit. Pernahkah Anda demam atau flu? Apakah Anda menyadari bahwa naiknya suhu tubuh kita tersebut adalah suatu mekanisme dari sistem pertahanan tubuh kita.

Selain itu, apakah Anda pernah bersin? Bersin merupakan salah satu mekanisme pertahanan tubuh kita. Jika terdapat benda asing masuk ke tubuh kita, benda asing tersebut akan dikeluarkan melalui bersin. Kekebalan tubuh mampu melindungi tubuh dari serangan bakteri, virus, dan berbagai macam penyakit.

Bagaimanakah sistem pertahanan tubuh kita bekerja? Apa sajakah yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat Anda temukan setelah anda memnyimak penjelasan berikut ini.

A. Pertahanan Tubuh Nonspesifik

Apakah Anda pernah sakit? Sakit, dalam hal ini lebih merupakan istilah untuk perubahan aktivitas metabolisme yang terjadi dalam tubuh. Banyak penyakit yang diderita, terlebih dahulu diawali dengan proses infeksi. Infeksi adalah masuknya organisme patogen (organisme yang menyebabkan penyakit) ke dalam tubuh inang. Inang sendiri merupakan induk atau sel yang menjadi tumpangan organisme patogen.

Jika masuknya organisme patogen (Gambar 11.1) atau benda-benda asing ke dalam tubuh diandaikan sebagai sebuah peperangan maka kita dapat menyebut sistem pertahanan tubuh sebagai garis-garis pertahanan kita terhadap musuh.
Beberapa jenis patogen yang umum menyerang sistem pertahanan tubuh kita, yaitu (a) corona virus penyebab SARS, (b) virus Ebola, dan (c) bakteri penyebab TBC
Secara garis besar, sistem pertahanan tubuh dibedakan atas sistem pertahanan tubuh nonspesifik dan spesifik. Sistem pertahanan tubuh nonspesifik tidak membedakan mikroorganisme patogen satu dengan lainnya. Sistem ini merupakan pertahanan pertama terhadap infeksi. Adapun sistem pertahanan tubuh spesifik bekerja hanya jika patogen tertentu memasuki tubuh dan telah melewati sistem pertahanan tubuh nonspesifik internal (Campbell, 1998: 852).

Baca juga
Sistem Reproduksi
Sistem pertahanan tubuh nonspesifik terbagi atas dua jenis, yaitu eksternal dan internal. Sistem pertahanan tubuh nonspesifik eksternal meliputi jaringan epitel, mukosa, dan sekresi jaringan tersebut. Sementara itu, sistem pertahanan nonspesifik internal meliputi pertahanan tubuh yang dipicu oleh sinyal kimia (kemotaksis) dan menggunakan protein antimikroba serta sel fagosit.

1. Sistem Pertahanan Tubuh Nonspesifik Eksternal

Pertahanan tubuh terbesar dan paling mudah dilihat yang menjaga tubuh dari infeksi adalah kulit (Gambar 11.2) . Permukaan kulit mencegah mikroorganisme patogen memasuki tubuh. Kulit yang utuh, secara normal tidak dapat dimasuki bakteri atau virus. Namun, kerusakan yang kecil dapat menjadi jalan bagi bakteri dan virus memasuki tubuh. Membran mukosa pada saluran pencernaan, pernapasan, dan saluran kelamin, berfungsi juga sebagai penghalang mikroorganisme memasuki tubuh.

Selain sebagai penghalang secara fisik, jaringan epitel dan jaringan mukosa menghalangi mikroorganisme patogen dengan pertahanan kimiawi. Sekresi oleh kelenjar lemak dan kelenjar keringat pada kulit membuat keasaman (pH) permukaan kulit pada kisaran 3–5. Kondisi tersebut cukup asam dan mencegah banyak mikroorganisme berkoloni di kulit.
Penampang kulit
Air liur, air mata dan sekresi mukosa (mukus) yang disekresikan jaringan epitel dan mukosa, melenyapkan banyak bibit penyakit yang potensial. Sekresi ini mengandung lisozim, suatu enzim yang dapat menguraikan dinding sel bakteri. Selain itu, bakteri flora normal tubuh pada epitel dan mukosa dapat juga mencegah koloni bakteri patogen.

2. Sistem Pertahan Tubuh Nonspesifik Internal

Sistem pertahanan tubuh nonspesifik internal bergantung pada sel-sel fagosit. Sel-sel fagosit tersebut berupa beberapa jenis sel darah putih, yaitu neutrofil dan monosit. Selain sel-sel fagosit, terdapat protein antimikroba yang membantu pertahanan tubuh nonspesifik internal. Sistem pertahanan tubuh nonspesifik internal ini menyerang semua mikroba atau zat asing yang dapat melewati pertahanan terluar tubuh.

a.  Sel Fagosit


Neutrofil dalam darah putih merupakan yang terbanyak, sekitar 60-70%. Sel neutrofil mendekati sel yang diserang mikroba dengan adanya sinyal kimiawi (kemotaksis). Neutrofil dapat meninggalkan peredaran darah menuju jaringan yang terinfeksi dan membunuh mikroba penyebab infeksi. Namun, setelah sel neutrofil menghancurkan mikroba, mereka pun akan mati. Perhatikan Gambar 11.3.
Sebuah sel fagosit. Sel fagosit ini sedang mengumpulkan bakteri untuk dihancurkan

Sel monosit, meski hanya sebanyak 5% dari seluruh sel darah putih, memberikan pertahanan fagosit yang efektif. Setelah mengalami pematangan, sel monosit bersirkulasi dalam darah untuk beberapa jam. Setelah itu, bergerak menuju jaringan dan berubah menjadi makrofag. Sel mirip Amoeba ini mampu memanjangkan pseudopodia untuk menarik mikroba yang akan dihancurkan enzim perncernaannya. Namun, beberapa mikroba telah berevolusi terhadap cara makrofag. Misalnya, beberapa bakteri memiliki kapsul yang membuat pseudopodia makrofag tidak dapat menempel. Bakteri lain kebal terhadap enzim pelisis fagosit dan bahkan dapat bereproduksi dalam sel makrofag. Beberapa makrofag secara permanen berada di organ-organ tubuh dan jaringan ikat.

Selain neutrofil dan monosit, terdapat juga eosinofil yang berperan dalam sistem pertahan nonspesifik internal. Sekitar 1,5% sel darah putih merupakan eosinofil. Eosinofil memiliki aktivitas fagositosit yang terbatas, namun mengandung enzim penghancur di dalam granul sitoplasmanya. Eosinofil berperan dalam pertahanan tubuh terhadap cacing parasit. Eosinofil memposisikan diri di permukaan cacing dan menyekresikan enzim dari granul untuk menghancurkan cacing tersebut.

b.  Protein Antimikroba

Protein yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh nonspesifik disebut sistem komplemen. Protein tersebut dapat secara langsung membunuh mikroorganisme ataupun mencegah reproduksinya. Terdapat sekitar 20 jenis protein yang termasuk dalam sistem ini. Histamin dan interleukin termasuk protein ini.

Protein komplemen bersirkulasi dalam darah dalam bentuk tidak aktif. Jika beberapa molekul dari satu jenis protein komplemen aktif, hal tersebut memicu gelombang reaksi yang besar. Mereka mengaktifkan banyak molekul komplemen lain. Setiap molekul yang teraktifkan, akan mengaktifkan jenis protein komplemen lain dan begitu seterusnya. Aktivasi protein komplemen terjadi jika protein komplemen tersebut berikatan dengan protein yang disebut antigen. Antigen telah dimiliki oleh patogen. Aktivasi dapat terjadi ketika protein komplemen berikatan langsung dengan permukaan bakteri.

Beberapa protein komplemen dapat bersatu membentuk pori kompleks yang menginduksi lisis (kematian sel) pada patogen. Beberapa protein komplemen yang teraktifkan juga menyebabkan respons pertahanan tubuh nonspesifik yang disebut peradangan (inflamasi). Selain itu, “menarik” sel-sel fagosit menuju sel atau jaringan yang rusak.

3. Respons Tubuh pada Sistem Pertahanan Tubuh Nonspesifik

Infeksi mikroba patogen direspons oleh tubuh dengan reaksi peradangan (inflamasi) dan demam. Radang merupakan reaksi tubuh terhadap kerusakan sel-sel tubuh yang disebabkan oleh infeksi, zat-zat kimia, ataupun gangguan fisik lainnya, seperti benturan dan panas. Gejala radang dapat berupa sakit, panas bengkak, kulit memerah dan gangguan fungsi dari daerah yang terkena radang. Bisul, bengkak, dan gatal merupakan beberapa bentuk peradangan.

Demam merupakan salah satu respons tubuh terhadap radang. Ketika demam, suhu tubuh akan naik melebihi suhu tubuh normal. Bakteri, virus, sel-sel kanker, dan sel-sel yang mati menghasilkan zat yang disebut pyrogen-exogen. Zat tersebut merangsang makrofag dan monosit mengeluarkan zat pyrogen- endogen yang merangsang hipotalamus menaikkan suhu tubuh sehingga timbul perasaan dingin, menggigil, dan suhu tubuh yang meningkat.
Demam menandakan masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh


Suhu tubuh yang tinggi menguntungkan karena bakteri dan virus akan lemah sehingga mati pada suhu tinggi. Metabolisme, reaksi kimia, dan sel-sel darah putih akan lebih aktif dan cepat sehingga mempercepat penyembuhan. Namun, terdapat efek lain dari naiknya suhu tubuh ini. Sakit kepala, pusing, lesu, kejang, dan kerusakan otak permanen yang membahayakan tubuh dapat terjadi akibat naiknya suhu tubuh.

B. Pertahanan Tubuh Spesifik

Pertahanan tubuh nonspesifik pada permukaan tubuh disokong oleh pertahanan tubuh spesifik atau sistem kekebalan tubuh (imunitas) yang memiliki kekuatan yang lebih besar menghadapi penyerang (patogen) tertentu. Pertahanan tubuh spesifik ini dipicu oleh antigen (antibody generating), zat asing yang menjadi bagian permukaan virus, bakteri, atau patogen lain. Semua zat asing yang memicu sistem kekebalan tubuh disebut antigen. Antigen dapat berupa karbohidrat, lemak, atau protein.

Sistem tubuh memiliki ciri-ciri khusus (spesifik), yaitu mengingat dan mengenali mikroba patogen atau zat asing. Sistem kekebalan tubuh memiliki kemampuan untuk mengenali dan menghancurkan patogen dan zat asing tertentu. Sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap antigen tertentu dengan mengaktifkan sel limfosit dan memproduksi protein khusus yang disebut antibodi. Selain pada mikroorganisme patogen, antigen terdapat juga pada zat asing seperti kulit atau jaringan hasil cangkok organ.
Sistem kekebalan tubuh mampu mengingat antigen yang pernah menyerang dan telah mempersiapkan diri lebih baik dan efektif jika patogen tersebut menyerang kembali. Hal ini menjelaskan mengapa jika kita telah terkena penyakit cacar sewaktu kecil, kita tidak akan terkena lagi di kemudian hari (Gambar 11.5).
Penyakit cacar air. Setelah terkena penyakit cacar air, kemungkinan besar kita tidak akan terserang kembali
Sistem kekebalan tubuh dapat membedakan molekul atau sel tubuh dari molekul asing (antigen). Antigen dalam darah yang akan membedakan golongan darah, tidak berbahaya bagi tubuh pemiliknya. Akan tetapi, jika antigen darah tersebut disuntikkan kepada orang lain, antibodi individu tersebut akan bereaksi. Kelainan mekanisme ini berakibat fatal dan menyebabkan kelainan yang disebut autoimunitas.
Kekebalan tubuh yang diperoleh setelah pulih dari infeksi penyakit disebut kekebalan aktif (active immunity). Disebut demikian karena kekebalan tubuh ini bergantung pada respons kekebalan tubuh orang tersebut. Adapun kekebalan pasif diperoleh dengan memberikan antibodi dari seseorang yang telah kebal, kepada orang lain.

Kekebalan aktif terjadi jika kita pulih dari penyakit, seperti cacar, tetanus, atau campak. Tubuh akan memproduksi antibodi yang berguna meng-hancurkan mikroba patogen jika mereka menyerang kembali. Kekebalan aktif ini dikenal dengan kekebalan aktif alami. Adapun kekebalan aktif buatan didapatkan dengan menyuntikkan antigen bakteri yang tidak aktif, mikroba mati, atau mikroba yang dilemahkan. Cara ini dikenal dengan vaksinasi. Dengan vaksinasi, kekebalan orang tersebut akan aktif membentuk antibodi layaknya orang yang telah terkena penyakit yang disebabkan antigen tersebut.

Kekebalan tubuh pasif contohnya terjadi pada bayi yang diberikan air susu pertama (kolostrum) oleh ibunya. Di dalam kolostrum terkandung berbagai macam antibodi ibu yang melindungi bayi dari penyakit. Meskipun hanya bertahan untuk beberapa minggu, namun cukup untuk bayi hingga sistem kekebalan tubuhnya bekerja dengan baik. Kekebalan tubuh pasif juga dapat dilakukan dengan memberikan antibodi orang yang telah kebal kepada orang yang sakit. Contohnya, pada penyakit rabies.

Respons sistem kekebalan tubuh terhadap kehadiran antigen dapat dibedakan atas dua cara, yaitu imunitas humoral dan imunitas seluler. Apa perbedaannya? Bagaimana cara kerjanya? Pelajarilah materi berikut. 

1. Imunitas Humoral

Imunitas humoral menghasilkan pembentukan antibodi yang disekresikan oleh sel limfosit B. Antibodi ini berada dalam plasma darah dan cairan limfa (dahulu disebut cairan humor) dalam bentuk protein. Pembentukan antibodi ini dipicu oleh kehadiran antigen. Antibodi secara spesifik akan bereaksi dengan antigen. Spesifik, berarti antigen A hanya akan berekasi dengan dengan antibodi A, tidak dengan antibodi B.

Antibodi umumnya tidak secara langsung menghancurkan antigen yang menyerang. Namun, pengikatan antara antigen dan antibodi merupakan dasar dari kerja antibodi dalam kekebalan tubuh. Terdapat beberapa cara antibodi menghancurkan patogen atau antigen, yaitu netralisasi, penggumpalan, pengendapan, dan pengaktifan sistem komplemen (protein komplemen). Perhatikan Gambar 11.6.
Beberapa cara antibodi menghancurkan patogen atau antibodi

Netralisasi terjadi jika antibodi memblokir beberapa tempat antigen berikatan dan membuatnya tidak aktif. Antibodi menetralkan virus dengan menempel pada tempat yang seharusnya berikatan dengan sel inang. Selain itu, antibodi menetralkan bakteri dengan menyelimuti bagian beracun bakteri dengan antibodi. Hal tersebut menetralkan racun bakteri sehingga sel fagosit dapat mencerna bakteri tersebut.

Penggumpalan (aglutinasi) bakteri, virus, atau sel patogen lain oleh antibodi merupakan salah satu cara yang cukup efektif. Hal ini dapat dilakukan karena antibodi memiliki minimal dua daerah ikatan (binding site). Cara ini memudahkan sel fagosit menangkap sel-sel patogen tersebut.

Cara ketiga mirip dengan penggumpalan. Pengendapan dilakukan pada antigen terlarut oleh antibodi. Hal ini untuk membuat antigen terlarut tidak bergerak dan memudahkan ditangkap oleh sel fagosit.

Cara terakhir merupakan perpaduan antara antibodi dan sistem komplemen. Antibodi yang berikatan dengan antigen akan mengaktifkan sistem komplemen (protein komplemen) untuk membentuk luka atau pori pada sel mikroba patogen. Pembentukan luka atau pori ini menyebabkan luka atau pori pada sel mikroba patogen. Pembentukan luka atau pori ini menyebabkan lisozim dapat masuk dan sel patogen tersebut akan hancur (lisis).

2. Imunitas Seluler


Imunitas seluler bergantung pada peran langsung sel- sel (sel limfosit) dalam menghancurkan patogen. Setelah kontak pertama dengan sebuah antigen melalui makrofag, sekelompok limfosit T tertentu dalam jaringan limfatik akan membesar diameternya. Setelah itu, berkembang biak dan berdiferensiasi menjadi beberapa sub populasi. Sub populasi tersebut, antara lain sel T sitotoksik (cytotoxic T cell ), sel T penolong (helper T cell), sel T supressor (supressor T cell), dan sel T memori (memory T cell).

Tugas utama imunitas seluler adalah untuk menghancurkan sel tubuh yang telah terinfeksi patogen, misalnya oleh bakteri atau virus. Bakteri atau virus yang telah menyerang sel tubuh akan memperbanyak diri dalam sel tubuh tersebut. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh antibodi tubuh.


Sebenarnya hanya sel T sitotoksik saja yang dapat menghancurkan sel yang terinfeksi. Sel yang terinfeksi memiliki antigen asing milik virus atau bakteri yang menyerangnya. Sel T sitotoksik membawa reseptor yang dapat berikatan dengan antigen sel terinfeksi. Setelah berikatan dengan sel yang terinfeksi, sel T sitotoksik menghasilkan protein perforin yang dapat melubangi membran sel terinfeksi. Dengan adanya lubang, enzim sel T dapat masuk dan menyebabkan kematian pada sel terinfeksi beserta patogen yang menyerangnya (Gambar 11.7).
Cara sel T sitotosik menghancurkan sel terinfeksi

3. Respons Kekebalan Tubuh

Respons kekebalan tubuh dan memori imunologis terhadap suatu patogen atau antigen dapat dibedakan atas respons primer dan respons sekunder. Respons primer merupakan respons kekebalan tubuh yang pertama kali terjadi ketika suatu antigen tertentu memasuki tubuh. Respons sekunder merupakan respons kekebalan tubuh ketika antigen yang sama menyerang tubuh kembali untuk kedua kalinya.

Ketika antigen pertama kali memasuki tubuh, respons sistem kekebalan tubuh tidak terjadi secara langsung. Diperlukan beberapa hari bagi sel limfosit untuk dapat aktif. Ketika banyak sel limfosit B terbentuk, konsentrasi antibodi dalam tubuh mulai terlihat (Gambar 11.8).
Dua fase respons kekebalan tubuh. Respons sekunder menghasilkan antibodi lebih banyak

Selama keterlambatan ini, individu yang terinfeksi akan sakit (contohnya demam). Konsentrasi antibodi mencapai puncak setelah sekitar 2 minggu dari awal infeksi. Saat konsentrasi antibodi dalam darah dan sistem limfatik naik, gejala sakit akan berkurang dan hilang. Setelah itu, pembentukan antibodi menurun dan individu tersebut sembuh.

Jika antigen yang sama menyerang tubuh kembali, antigen tersebut akan memicu respons kekebalan tubuh sekunder. Respons kedua ini terjadi lebih cepat daripada respons primer. Respons sekunder juga menghasilkan konsentrasi antibodi yang lebih besar dan lebih lama (Gambar 11.8).

Selain imunitas humoral (pembentukan antibodi), imunitas seluler juga berperan dalam respons kekebalan tubuh sekunder ini. Karena respons kekebalan tubuh sekunder yang cepat, gejala sakit (demam) tidak terjadi. Oleh karena itu, individu tersebut dikatakan kebal terhadap penyakit tersebut.

C. Struktur Sistem Kekebalan Tubuh

Sistem kekebalan tubuh pada organisme tingkat tinggi, terutama burung dan Mammalia, bertumpu pada sel-sel darah putih (leukosit). Leukosit dibentuk di dalam sumsum tulang oleh sebuah jaringan meristematik yang disebut stem cells (sel induk darah) (Gambar 11.9).
Diferensiasi sel induk darah

Leukosit yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh terdiri atas fagosit dan limfosit. Fagosit merupakan sel yang akan menghancurkan benda asing yang masuk dalam tubuh dengan cara menelannya (fagositosis). Fagosit terdiri atas neutrofil dan makrofag. Neutrofil terdapat di dalam darah, sedangkan makrofag mampu memasuki ke dalam jaringan ataupun rongga tubuh. Limfosit terdiri atas dua jenis, yaitu limfosit B dan limfosit T.

1. Limfosit B

Limfosit B terbentuk dan dimatangkan dalam sumsum tulang (bone marrow). Dalam sumsum tulang, limfosit B berdiferensiasi menjadi sel plasma yang berfungsi bertugas menyekresikan antibodi kedalam cairan tubuh dan sel limfosit B-memori yang berfungsi menyimpan informasi antigen. Informasi ini disimpan dalam bentuk DNA yang dapat memproduksi antibodi yang cocok dengan antigen. Sel limfosit B hidup dalam jangka waktu yang lama.
Proses pembentukan sel T (T cell) dan sel B (B cell). Sel B matang di sumsum tulang, sedangkan sel T matang di kelenjar timus

2. Limfosit T

Limfosit T dimatangkan di kelenjar timus (Gambar 11.10). Di kelenjar timus, limfosit T juga berdiferensiasi menjadi sel T sitotoksik (cytotoxic T cell), sel T penolong (helper T cell), sel T supressor (supressor T cell), dan sel T-memori (memory T cell). Masing-masing memiliki fungsi berbeda. Sel T sitotoksik berfungsi dalam membunuh sel yang terinfeksi. Sel T penolong berfungsi mengaktifkan limfosit B dan limfosit T. Sel supressor berfungsi dalam mengurangi produksi antibodi oleh sel-sel plasma dengan cara menghambat aktivitas sel T penolong dan sel T sitotoksik. Sel T memori diproduksi untuk “mengingat” antigen yang telah masuk ke dalam tubuh. Jika kelak antigen yang sama menyerang tubuh kembali, maka dengan adanya sel T memori akan terjadi respons sekunder yang lebih cepat dan kuat. Akibatnya, sering antigen telah dihancurkan sebelum terjadi demam atau radang.


Baik limfosit B dan limfosit T akan masuk ke dalam sistem peredaran limfatik atau getah bening (Gambar 11.10). Sel limfosit banyak terdapat pada sistem peredaran darah limfatik, sumsum tulang, kelenjar timus, kelenjar limfa, amandel (tonsil), darah, dan dalam sistem pencernaan. Pada proses transplantasi jaringan, penolakan tubuh donor yang menyebabkan kerusakan jaringan yang akan ditransplantasikan, dapat disebabkan oleh sel limfosit T. Hal ini terjadi karena limfosit T menganggap jaringan tersebut bukan bagian dari tubuh.
Sistem peredaran limfatik manusia

3. Antibodi

Limfosit B membentuk sistem kekebalan di dalam cairan tubuh (humor), sehingga efektif dalam mengatasi infeksi oleh bakteri dan virus yang bersifat ekstraseluler. Sel Limfosit B dapat membentuk struktur protein khusus, yaitu Immunoglobulin atau disebut juga antibodi. Protein khusus ini dimigrasikan ke bagian membran sel, kemudian berfungsi mengenali dan mengikat sel asing atau organisme asing yang ditemui, dan melumpuhkannya. Antibodi pada dasarnya adalah protein yang sangat spesifik yang terbentuk sebagai respons dari kehadiran antigen.


Immunoglobin terdiri dari dua rantai ringan (Light Chain, rantai L) dan dua rantai berat (Heavy Chain, rantai H). Setiap rantai L dan H terdiri atas dua terminal, yaitu terminal C ( Constant) dan terminal V (Variable). Immunoglobin (disingkat Ig) dibagi menjadi lima kelas, yaitu IgA, IgD, IgE, IgG, IgM (Gambar 11.12).
Immunoglobin terdiri atas lima kelas yaitu IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE
IgM merupakan antibodi pertama yang disekresikan sebagai respons kekebalan tubuh. Setelah mengikat antigen, IgM memicu aktifnya protein komplemen. IgM juga dapat mengikat antigen atau patogen menjadi gumpalan sehingga memudahkan fagositosis makrofag.

IgG mengaktifkan protein komplemen dan menetralkan banyak racun. Jumlah IgG paling banyak dan tahan lama. IgG merupakan satu-satunya antibodi yang dapat melewati plasenta dan menjaga janin dengan kekebalan tubuh ibunya. IgG juga disekresikan dalam kolostrum.

IgA mencegah masuknya virus atau bakteri melalui jaringan epitel mukosa sistem pencernaan, pernapasan, dan saluran reproduksi. IgA ditemukan juga pada air liur, air mata, dan kolostrum.

IgE memicu peradangan jika cacing parasit menyerang tubuh. IgE juga berperan dalam reaksi alergi.

IgD tidak mengaktifkan sistem komplemen dan tidak dapat melewati plasenta. IgD diduga berfungsi dalam diferensi sel limfosit B menjadi sel plasma dan sel B memori.

Ketika Anda mendapatkan luka, maka selain reaksi pembekuan darah, tubuh juga dengan cepat melindungi bukaan pada luka dari infeksi bakteri dan mikroorganisme lainnya. Adanya luka secara langsung telah merusakkan sistem pertahanan tubuh nonspesifik eksternal.

D. Mekanisme Sistem Pertahanan Tubuh


Ketika terjadi luka, histamin dilepaskan oleh mast cell (mastosit), dan sel basofil yang tersebar di seluruh jaringan. Histamin yang diterima reseptor pada otot polos dan endotelium di dinding kapiler darah menyebabkan kapiler darah mengalami vasodilatasi (penambahan diameter), sementara vena menyempit. Hal ini menyebabkan kapiler darah menjadi lebih permeabel. Daerah tersebut akan terlihat memerah dan membengkak (Gambar 11.13).
Proses pertahanan tubuh dari patogen berupa bakteri ketika terjadi luka di jaringan kulit. Apa yang ter adi pada sel fagosit setelah memakan bakteri ?

Selain mengeluarkan histamin, mastosit juga menghasilkan faktor kemotaksis untuk ‘menarik’ dan mengaktifkan eosinofil, neutrofil, dan monosit (sel fagosit), serta faktor pengaktif keping darah yang akan terlibat dalam proses pembekuan darah. Sel fagosit, baru akan terlihat di sekitar daerah luka setelah sekitar 30 sampai 90 menit kemudian.

Eosinofil berperan dalam menghambat dan mengurangi konsentrasi histamin yang dikeluarkan mastosit, agar tidak terjadi reaksi yang berlebihan. Jika terjadi infeksi oleh bakteri, maka neutrofil akan mengaktifkan lisosom. Lisosom melepaskan enzim lysozim yang akan mendegradasi bakteri dan sel-sel dari jaringan yang rusak di sekitar luka.

Monosit dan makrofag juga menghasilkan endogenous pyrogen. Zat ini memberikan sinyal pada pengatur suhu di hipotalamus, untuk menaikkan suhu tubuh beberapa derajat. Kita menyebut situasi ini sebagai demam. Hal ini terjadi terutama jika infeksi yang diderita cukup berat. Naiknya suhu tubuh dimaksudkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri atau organisme patogen, agar lebih mudah dilumpuhkan. Respons tubuh ini dapat dikatakan sebagai respons sistem pertahanan tubuh nonspesifik dan belum melibatkan sel-sel limfosit.

Makrofag, yang jumlahnya hanya beberapa persen dari jumlah keseluruhan leukosit ini memainkan peranan penting. Makrofag memiliki protein MHC (macrophage’s histocompatibility complex) yang kemudian akan berikatan dengan antigen pada mikroba. Kompleks MHC-antigen ini kemudian dimigrasikan ke membran sel makrofag (Gambar 11.14).

Aktivasi oleh sel T penolong.Sel T penolong akan membelah diri dan mengaktifkan sel B dan sel T sitoksin. Apa fungsi kompleks MHCantigen?
Sel limfosit juga turut serta dalam melumpuhkan mikroba yang masuk ke dalam tubuh, hanya saja dengan mekanisme yang berbeda. Sel limposit B dengan reseptor komplemen berikatan dengan antigen dari bakteri atau organisme patogen. Hal ini untuk mengenali antigen tersebut. Limfosit B akan membelah dan berdiferensiasi menjadi sel memori dan sel plasma. Sel plasma menyekresikan antibodi yang dapat melumpuhkan mikroba yang masuk ke dalam cairan tubuh (humor). Target operasi limfosit B adalah bakteri, virus yang berada di luar sel, jamur dan protista. Limfosit T membentuk sistem kekebalan seluler. Sel sitotoksik akan menempel pada sel yang sudah terinfeksi virus, sel kanker, atau sel asing yang ditransplantasikan ke tubuh.

Reseptor pada sel T penolong berikatan dengan kompleks MHC-antigen makrofag. Ikatan ini menyebabkan sel T penolong menghasilkan hormon interleukin yang menginduksi sel T penolong untuk membelah dan berdiferensiasi menjadi sel memori. Sel T penolong juga dapat berikatan dengan sel limfosit B dan menginduksi (dengan bantuan hormon interleukin) sel limfosit B untuk membelah dan berdiferensiasi menjadi sel memori dan sel plasma. Sel plasma akan menyekresikan antibodi.

Antibodi yang disekresikan sel plasma akan berikatan dengan antigen mikroba, untuk kemudian dapat dikenali oleh makrofag dan dicerna. Fenomena ini disebut opsonic adherence ( Opsin adalah istilah yang berarti "bersiap untuk makan") atau opsonisasi. Proses ini pada dasarnya adalah mekanisme penandaan sel mikroba pelumpuh antigen dengan antibodi.

Sel T sitotoksik juga dapat aktif membelah dan berdiferensiasi dengan bantuan hormon interleukin yang disekresikan dari sel T penolong. Sel sitotoksik mengenali sel-sel asing atau sel yang terinfeksi virus di dalam tubuh, kemudian menguraikan membran selnya dengan protein yang dihasilkannya. Hal ini sangat penting, karena antibodi tidak dapat menyerang patogen yang telah menginfeksi sel tubuh.

E. Kelainan Sistem Kekebalan Tubuh

Sistem kekebalan tubuh dapat tidak berfungsi jika sistem ini bereaksi dengan molekul asing dengan berlebihan. Beberapa contoh di antaranya alergi, autoimunitas, dan AIDS.

1. Alergi

Reaksi alergi juga disebut anaphylaxis atau sensitivitas berlebihan terhadap suatu hal. Anda mungkin pernah merasakan hal ini. Sebagian orang alergi terhadap bulu, debu, makanan laut, gigitan serangga, polen (serbuk sari) dan lain sebagainya. Bentuk reaksinya bisa bermacam-macam, dari mulai bersin, gatal- gatal, pusing, muntah dan diare, bahkan hingga kesulitan bernapas dan kematian (Gambar 11.15).
(a) dan (b) Polen dapat menyebabkan alergi.(c) Bersin merupakan reaksi alergi terhadap suatu benda asing yang masuk ke dalam tubuh kita

Reaksi alergi pertama kali ditemukan pada tahun 1902 oleh Paul Portier dan Charles Richet, ketika mereka menyuntikkan protein dari anemon pada seekor anjing. Ketika mereka menyuntikkan protein yang sama dengan dosis yang lebih banyak, anjing percobaan mereka menunjukkan gejala anaphylaxis (hipersensitif terhadap antigen), hingga akhirnya mati.


Pada awalnya, tidak ada tanda-tanda penolakan apapun pada tubuh ketika protein asing masuk ke dalam tubuh. Pada tahap ini tubuh mengembangkan imunoglobin (biasanya dari kelas IgE). Ketika protein dari jenis yang sama memasuki tubuh untuk ke dua kalinya, IgE bereaksi dengan berikatan pada antigen pada permukaan membran mast cell.

Reaksi ini mendorong mast cell menyekresikan histamin. Histamin dalam jumlah besar inilah yang menyebabkan berbagai reaksi alergi. Misalnya saja jika reaksi alergi terjadi pada saluran pernapasan, histamin akan ditangkap oleh sel-sel otot polos pada rongga pernapasan, yang diikuti dengan berkontraksinya otot-otot tersebut sehingga terjadi penyempitan saluran pernapasan. Histamin juga mengakibatkan vasodilatasi, kapiler darah menjadi lebih permeabel, dan tekanan darah turun. Hal ini mengakibatkan jaringan membengkak.

2. Autoimunitas

Autoimunitas merupakan suatu keadaan sistem kekebalan tubuh membentuk antibodi untuk menyerang sel tubuh yang lain, memper-lakukannya seolah-olah bukan bagian dari tubuh. Sel limfosit T, karena suatu hal menyerang sel tubuh sendiri.

Kemungkinan penyebab abnormalitas ini bermacam-macam. Beberapa kemungkinan ditemukan. Di antaranya adalah infeksi virus pada masa pra natal (sebelum lahir) yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Kemungkinan lainnya adalah ketidakmatangan (immature) sel-sel yang memproses limfosit T di kelenjar thymus.

Pada percobaan tikus yang menderita autoimunitas, ditemukan bahwa sel yang tidak matang tersebut, mengalami mutasi. Namun, hal ini belum diketahui apakah terjadi pula pada manusia.

Banyak jenis abnormalitas yang menyangkut autoimunitas ini. Beberapa di antaranya adalah:
  1. Myasthenia gravis, yaitu antibodi menyerang otot lurik. Hal ini menyebabkan degradasi otot, dan berkurangnya kemampuan otot untuk menangkap asetilkolin, zat yang dilepaskan oleh saraf yang memicu kontraksi otot. Contohnya jika terjadi pada mata, pandangan atau posisi mata menjadi tidak simetris (Gambar 11.16).
    Myasthenia gravis pada mata
  2. Lupus erythematosus, yaitu antibodi menyerang sel-sel tubuh yang lain (secara umum) sebagai sel asing. Penyakit ini sangat sulit dikenali karena gejalanya sangat umum. Ketika kondisi lingkungan berubah dan kondisi tubuh melemah, maka serangan antibodi meningkat (Gambar 11.17).
    Penyakit lupus pada bagian wajah
  3. Addison’s disease, yaitu antibodi menyerang kelenjar adrenalin. Pertama kali ditemukan seorang dokter Inggris bernama Thomas Addison, tahun 1855. Penyakit ini bisa disebabkan karena infeksi pada kelenjar adrenalin. Namun ditemukan juga sebab yang lain, yaitu antibodi menyerang sel-sel yang menghasilkan hormon adrenalin. Akibat yang ditimbulkan di antaranya mudah merasa lelah, kehilangan berat badan, tekanan, darah rendah, kadar gula darah yang rendah, rasa perasaan tertekan, dan peningkatan pigmentasi kulit.
  4. Multiple sclerosis, yaitu antibodi menyerang jaringan saraf di otak dan tulang belakang. Bagian saraf yang diserang adalah seludang mielin, yang melapisi sel saraf dan berperan dalam menghantarkan informasi. Kerusakan mielin ini menyebabkan berbagai gejala, dari mulai gangguan penglihatan, stres, pusing, dan lain-lain.
  5. Diabetes mellitus, yaitu type I (Insulin-dependent Diabetes Mellitus). Antibodi menyerang sel-sel beta di dalam pankreas yang memproduksi hormon insulin. Akibatnya, kadar gula darah tinggi. Gejala yang timbul sangat mirip dengan kasus diabetes


Belum diketahui cara atau obat yang dapat menyembuhkan kelainan-kelainan tersebut. Hingga saat ini pengobatan yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi kadar gamma globulin dalam darah. Gamma globulin adalah bagian dari darah yang mengandung antibodi.

3. AIDS

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), adalah penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Penyakit ini diduga berkembang dari sebuah daerah terpencil di Afrika Tengah, pada tahun 1930.

Pada tahun 1981, virus ini ditemukan merebak di kalangan kaum homoseksual dan para pengguna obat bius di New York dan California. Sejak tahun 1981, penyakit tersebut telah menyebar ke seluruh dunia. Diperkirakan 33,6 juta orang dewasa dan 1,2 juta anak-anak di seluruh dunia mengidap AIDS. WHO memperkirakan sejak tahun 1981 hingga akhir 1999, telah 16,3 juta orang meninggal karena AIDS, 3,6 juta di antaranya adalah anak-anak di bawah 15 tahun.
(a) dan (b) Virus HIV yang baru keluar dari sel inang. (c) Ilustrasi virus HIV

AIDS disebabkan infeksi virus HIV pada sel limfosit T. Ketika virus berhasil menginfeksi sel limfosit T, virus menggunakan ‘perangkat’ selnya untuk menggandakan diri di dalam sel. Virus, yang telah menggandakan diri kemudian menghancurkan membran sel dan meninggalkan sel limfosit T yang lama. Virus-virus ini siap menginfeksi sel limfosit T yang lain yang masih sehat (Gambar 11.19). Masih ingatkah Anda cara virus menggandakan diri?

Pada keadaan yang normal, virus dapat dinonaktifkan oleh sel limfosit T. Namun, ketika sel T penolong terinfeksi virus, maka ia tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan fungsinya untuk mengenali dan menonaktifkan sel-sel asing yang masuk ke dalam tubuh.

Jumlah limfosit T pada orang yang normal rata-ratanya adalah 1.000 sel per mikroliter darah. Ketika jumlah sel limfosit T pada orang yang terkena AIDS mencapai konsentrasi sekitar 200 sel per mikroliter darah, maka ia akan sangat rentan diserang oleh penyakit.

Virus HIV yang menyebabkan AIDS ini menular dari satu orang ke orang yang lain melalui percampuran cairan tubuh terutama darah. Penggunaan jarum suntik secara bersamaan, transfusi darah dari penderita, dan hubungan seksual, hingga sejauh ini diketahui sebagai cara efektif penularan virus HIV ini.
Virus AIDS yang menyerang limfosit T jenis sel penolong (helper T ce)ll

Penderita AIDS meninggal dunia bukan karena virus HIV yang menyerangnya. Beberapa jenis penyakit yang umumnya berakibat fatal pada penderita HIV adalah sebagai berikut.

1. Infeksi jamur, contohnya:

  • Pneumocystis carinii, yang menyerang paru-paru;
  • Cryptococcus, yang mengakibatkan penyakit meningitis (radang membran otak);
  • Histoplasma capsulatum, yang menyerang sistem pernapasan.

2. Infeksi bakteri, contohnya:

  • Mycobacterium tubercolosis, yang menyebabkan TBC;
  • Mycobacterium avium, yang menyebabkan gangguan pada pencernaan.

3. Infeksi virus, contohnya:

  • virus Cytomegalovirus (CMV), yang menginfeksi retina mata dan mengakibatkan kebutaan;
  • virus Epstein-Barr (EBV), yang menyebabkan kanker darah;
  • virus Herpes Simplex (HSV) yang menyebabkan penyakit Herpes.
Sebagian pengidap AIDS juga mengidap kanker, sebagai konsekuensi dari melemahnya tugas limfosit T dalam memerangi sel-sel asing, termasuk di antaranya sel kanker.

Itulah postingan dan penjelasan yang admin bagikan tentang Sistem Pertahanan Tubuh. Semoga bermanfaat dan artikel diatas, dapat menambah ilmu pengetahuan serta wawasan anda selama ini. Sekian dan terima kasih, sudah mengunjungi blog tercinta kami.

0 Response to "Sistem Pertahanan Tubuh"

Posting Komentar

-->