-->

Islamisasi Dan Silang Budaya di Nusantara

Islamisasi Dan Silang Budaya di Nusantara - Sebelumnya admin telah membagikan artuikel terkait mengenai Pedagang, Penguasa Dan Pujangga pada Masa Klasik (Hindu-Buddha). Dan untuk lebih lengkapnya, langsung saja anda menyimak penjelasan di bawah ini.

Islamisasi adalah proses sejarah yang panjang yang bahkan sampai kini masih terus berlanjut Kalau para ahli sejarah mempersoalkan tentang asal usul nasionalisme Indonesia, atau integrasi bangsa, mereka menyebutkan Islam sebagai salah satu faktor utama maka hal itu bisa diartikan pada sifat Islam yang universal dan pada jaringan ingatan kolektif yaitu keterkaitan para ulama di Nusantara dalam berbagai corak jaringan sosial guru-murid, murid sesama murid; penulis-dan-pembaca, dan  tak  kurang  pentingnya  ulama-umara  serta  ulama  dan  umat.

Kedatangan Islam ke Nusantara mempunyai sejarah yang panjang. Satu di antaranya adalah tentang interaksi ajaran Islam dengan masyarakat di Nusantara yang kemudian memeluk Islam. Lewat jaringan perdagangan, Islam dibawa masuk sampai ke lingkungan istana. Interaksi budaya Islam dengan budaya yang ada sebelumnya memunculkan sebuah jaringan keilmuan, akulturasi budaya dan perkembangan kebudayaan Islam. Uraian berikut akan mencoba menjabarkan proses Islamisasi di Indonesia dan mengurai simpul dari silang budaya yang sampai kini masih terus berlanjut.

A. Kedatangan Islam ke Nusantara

Mengamati Lingkungan

Peta jejak masuknya Islam ke Nusantara berdasarkan nomor urut

Gambar di samping memperlihatkan jalur masuknya Islam ke Nusantara yang kemudian melahirkan sebuah interaksi antara ajaran Islam dengan penduduk Nusantara. Wujud dari keberlangsungan interaksi yang hingga kini masih terlihat adalah banyaknya umat Muslim Indonesia yang menjalankan ibadah haji dan umrah. Di samping itu tidak sedikit para ulama dari Timur Tengah yang berkunjung ke Indonesia dalam rangka berdakwah. Bagi umat Islam di Indonesia, berbagai bentuk interaksi tersebut akan semakin memantapkan keimanan dan ketakwaan terhadap ajaran agamanya. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah kapan dan dari mana kira-kira pertama kali Islam masuk ke Kepulauan Indonesia serta bagaimana prosesnya? Untuk mendapatkan informasi dan bahan diskusi tentang proses masuknya Islam ke Indonesia, mari kita kaji uraian berikut.

Memahami Teks

Christiaan Snouck Hurgronje

Terdapat berbagai pendapat mengenai proses masuknya Islam ke Kepulauan Indonesia, terutama perihal waktu dan tempat asalnya. Pertama, sarjana-sarjana Barat—kebanyakan dari Negeri Belanda mengatakan bahwa Islam yang masuk ke Kepulauan Indonesia berasal dari Gujarat sekitar abad ke-13 M atau abad ke-7 H. Pendapat ini mengasumsikan bahwa Gujarat terletak di India bagian barat, berdekatan dengan Laut Arab. Letaknya sangat strategis, berada di jalur perdagangan antara timur dan barat. Pedagang Arab yang bermahzab Syafi’i telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal tahun Hijriyah (abad ke-7 M). Orang yang menyebarkan Islam ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan para  pedagang  Gujarat  yang  telah  memeluk Islam
dan berdagang ke dunia Timur. Pendapat J.  Pijnapel kemudian didukung oleh C. Snouck Hurgronye, dan J.P. Moquetta (1912). Argumentasinya didasarkan pada batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada 17 Dzulhijjah 831 H atau 1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam Maulana Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan batu nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta kemudian berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat.
Nisan dari Tralaya yang bercorak Islam menandakan bahwa Islam sudah masuk pada masa Majapahit

Kedua, Hoesein Djajadiningrat mengatakan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia berasal Persia (Iran sekarang). Pendapatnya didasarkan pada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi tersebut antara lain: tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, seperti yang berkembang dalam tradisi tabot di Pariaman di Sumatra Barat dan Bengkulu.
Batu Nisan Makam Maulana Malik Ibrahim (w. 822 H/1419 H) di Gresik, Jawa Timur

Ketiga, Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) mengatakan bahwa Islam berasal dari tanah kelahirannya,  yaitu  Arab atau Mesir. Proses ini berlangsung pada abad- abad pertama Hijriah atau  abad  ke-7  M. Senada dengan pendapat Hamka, teori yang mengatakan bahwa Islam berasal dari Mekkah dikemukakan Anthony H. Johns. Menurutnya, proses Islamisasi dilakukan oleh para musafir (kaum pengembara) yang datang ke Kepulauan Indonesia. Kaum ini biasanya mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya dengan motivasi hanya pengembangan agama Islam.

Semua teori di atas bukan mengada-ada, tetapi mungkin bisa saling melengkapi. Islamisasi di Kepulauan Indonesia merupakan hal yang kompleks dan hingga kini prosesnya masih terus berjalan. Pasai dan Malaka, adalah tempat di mana tongkat estafet Islamisasi dimulai. Pengaruh Pasai kemudian diwarisi Aceh Darussalam. Sedangkan Johor tidak pernah bisa melupakan jasa dinasti Palembang yang pernah berjaya dan mengislamkan Malaka. Demikian pula Sulu dan Mangindanao akan selalu mengingat Johor sebagai pengirim Islam ke wilayahnya. Sementara itu Minangkabau akan selalu mengingat Malaka sebagai pengirim Islam dan tak pernah melupakan Aceh sebagai peletak dasar tradisi surau di Ulakan. Sebaliknya Pahang akan selalu mengingat pendatang dari Minangkabau yang telah membawa Islam. Peranan para perantau dan penyiar agama Islam dari Minangkabau juga selalu diingat dalam tradisi Luwu dan Gowa- Tallo.

Nah, marilah kita pelajari awal masuknya Islam di Nusantara. Pada pertengahan abad ke-15, ibu kota Campa, Wijaya jatuh ke tangan Vietnam yang datang dari utara. Dalam kenangan historis Jawa, Campa selalu diingat dalam kaitannya dengan Islamisasi. Dari sinilah Raden Rahmat anak seorang putri Campa dengan seorang Arab, datang ke Majapahit untuk menemui bibinya yang telah kawin dengan raja Majapahit. Ia kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel salah seorang wali tertua.

Nisan Putri Campa di Trowulan 
Sunan Giri yang biasa disebut sebagai ‘paus’ dalam sumber Belanda bukan saja berpengaruh di kalangan para wali tetapi juga dikenang sebagai penyebar agama Islam di Kepulauan Indonesia bagian Timur. Raja Ternate Sultan Zainal Abidin pergi ke Giri (1495) untuk memperdalam pengetahuan agama. Tak lama setelah kembali ke Ternate, Sultan Zainal Abidin mangkat, tetapi beliau telah menjadikan Ternate sebagai kekuatan Islam. Di bagian lain, Demak telah berhasil mengislamkan Banjarmasin. Mata rantai proses Islamisasi di Kepulauan Indonesia masih terus berlangsung. Jaringan kolektif keislaman di Kepulauan Indonesia inilah nantinya yang mempercepat proses terbentuknya nasionalisme Indonesia.

B. Islam dan Jaringan Perdagangan Antarpulau

Mengamati Lingkungan

Kepulauan Indonesia memiliki laut dan daratan yang luas. Para nelayan pergi melaut dan pulang dengan membawa hasil tangkapannya. Begitu juga di pelabuhan terlihat lalu lalang kapal yang membongkar dan memuat barang. Sungguh menakjubkan hamparan laut yang sangat luas ciptaan Tuhan. Coba kamu renungkan alam semesta, lautan dan daratan semua diciptakan- Nya untuk kepentingan hidup kita. Marilah kita syukuri semua itu dengan menjaga lingkungan laut dan daratan sebaik-baiknya.
Kapal-kapal Cina yang sudah berlayar hingga ke Kepulauan Indonesia

Sejak lama laut telah berfungsi sebagai jalur pelayaran dan perdagangan antar suku bangsa di Kepulauan Indonesia dan bangsa-bangsa di dunia. Pelaut tradisional Indonesia telah memiliki keterampilan berlayar yang dipelajari dari nenek moyang secara turun-temurun. Bagi para pelaut, samudra bukan sekadar suatu bentangan air yang sangat luas. Setiap perubahan warna, pola gerak air, bentuk gelombang, jenis burung, dan ikan yang mengitarinya dapat membantu pelaut dalam mengambil keputusan atau tindakan untuk menentukan arah perjalanan. Sejak dulu mereka sudah mengenal teknologi arah angin dan musim untuk menentukan perjalanan pelayaran dan perdagangan. Kapal pedagang yang berlayar ke selatan menggunakan musim utara dalam Januari atau Februari dan kembali lagi pulang jika angin bertiup dari selatan dalam Juni, Juli, atau Agustus. Angin musim barat daya di Samudra Hindia adalah antara April sampai Agustus, cara yang paling diandalkan untuk berlayar ke timur. Mereka dapat kembali pada musim yang sama setelah tinggal sebentar—tapi kebanyakan tinggal untuk berdagang—untuk menghindari musim perubahan yang rawan badai dalam Oktober dan kembali dengan musim timur laut.

Bacaan berikut akan memaparkan tentang aktivitas perdagangan antarpulau pada masa awal perkembangan Islam di Indonesia. Memahami aktivitas pelayaran dan perdagangan antarpulau yang membawa serta pesan-pesan agama ini dapat menjadi pelajaran dan menambah rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Memahami Teks

Berdasarkan data arkeologis seperti prasasti-prasasti maupun data historis berupa berita-berita asing, kegiatan perdagangan di Kepulauan Indonesia sudah dimulai sejak abad pertama Masehi. Jalur- jalur pelayaran dan jaringan perdagangan Kerajaan Sriwijaya dengan negeri-negeri di Asia Tenggara, India, dan Cina terutama berdasarkan berita-berita Cina telah dikaji, antara lain oleh W. Wolters (1967). Demikian pula dari catatan-catatan sejarah Indonesia dan Malaya yang dihimpun dari sumber-sumber Cina oleh W.P Groeneveldt, telah menunjukkan adanya jaringan–jaringan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia dengan berbagai negeri terutama dengan Cina. Kontak dagang ini sudah berlangsung sejak abad-abad pertama Masehi sampai dengan abad ke-16. Kemudian kapal-kapal dagang Arab juga sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara sejak permulaan abad ke-7. Dari literatur Arab banyak sumber berita tentang perjalanan mereka ke Asia Tenggara. Adanya jalur pelayaran tersebut menyebabkan munculnya jaringan perdagangan dan pertumbuhan serta perkembangan kota-kota pusat kesultanan dengan kota-kota bandarnya pada abad ke-13 sampai abad ke-18 misalnya, Samudra Pasai, Malaka, Banda Aceh, Jambi, Palembang, Siak Indrapura, Minangkabau, Demak, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Kutai, Banjar, dan kota-kota lainnya.
Laksamana Cheng Ho

Dari sumber literatur Cina, Cheng Ho mencatat terdapat kerajaan yang bercorak Islam atau kesultanan, antara lain, Samudra Pasai dan Malaka yang tumbuh dan berkembang sejak abad ke-13 sampai abad ke-15, sedangkan Ma Huan juga memberitakan adanya komunitas-komunitas Muslim di pesisir utara Jawa bagian timur. Berita Tome Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) memberikan gambaran mengenai keberadaan jalur pelayaran jaringan perdagangan, baik regional maupun internasional. Ia menceritakan tentang lalu lintas dan kehadiran para pedagang di Samudra Pasai yang berasal dari Bengal, Turki, Arab, Persia, Gujarat, Kling, Malayu, Jawa, dan  Siam.  Selain itu Tome Pires juga mencatat kehadiran para pedagang di Malaka dari Kairo, Mekkah, Aden, Abysinia,
Pedagang Arab dari Hadramaud

Kilwa, Malindi, Ormuz, Persia, Rum, Turki, Kristen Armenia, Gujarat, Chaul, Dabbol, Goa, Keling, Dekkan, Malabar, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan, Pegu, Siam, Kedah, Malayu, Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Cossin Cina, Cina, Lequeos, Bruei, Lucus, Tanjung Pura, Lawe, Bangka, Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatra, Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Tamjano, Pase, Pedir, dan Maladiva.

Berdasarkan kehadiran sejumlah pedagang dari berbagai negeri dan bangsa di Samudra Pasai, Malaka, dan bandar-bandar di pesisir utara Jawa sebagaimana diceritakan Tome Pires, kita dapat mengambil kesimpulan adanya jalur-jalur pelayaran dan jaringan perdagangan antara beberapa kesultanan di Kepulauan Indonesia baik yang bersifat regional maupun internasional.

Hubungan pelayaran dan perdagangan antara Nusantara dengan Arab meningkat menjadi hubungan langsung dan dalam intensitas tinggi. Dengan demikian aktivitas perdagangan dan pelayaran di Samudra Hindia semakin ramai. Peningkatan pelayaran tersebut berkaitan erat dengan makin majunya perdagangan di masa jaya pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750-1258). Dengan ditetapkannya Baghdad menjadi pusat pemerintahan menggantikan Damaskus (Syam), aktivitas pelayaran dan perdagangan di Teluk Persia menjadi lebih ramai. Pedagang Arab yang selama ini hanya berlayar sampai India, sejak abad ke-8 mulai masuk ke Kepulauan Indonesia dalam rangka perjalanan ke Cina. Meskipun hanya transit, tetapi hubungan Arab dengan kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia terjalin secara langsung. Hubungan ini menjadi semakin ramai manakala pedagang Arab dilarang masuk ke Cina dan koloni mereka dihancurkan oleh Huang Chou, menyusul suatu pemberontakan yang terjadi pada 879 H. Orang–orang Islam melarikan diri dari Pelabuhan Kanton dan meminta perlindungan Raja Kedah dan Palembang.

Ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada 1511, dan usaha Portugis selanjutnya untuk menguasai lalu lintas di selat tersebut, mendorong para pedagang untuk mengambil jalur alternatif, dengan melintasi Semenanjung atau pantai barat Sumatra ke Selat Sunda. Pergeseran ini melahirkan pelabuhan perantara yang baru, seperti Aceh, Patani, Pahang, Johor, Banten, Makassar dan lain sebagainya. Saat itu, pelayaran di Selat Malaka sering diganggu oleh bajak laut. Perompakan laut sering terjadi pada jalur-jalur perdagangan yang ramai, tetapi kurang mendapat pengawasan oleh penguasa setempat. Perompakan itu sesungguhnya merupakan bentuk kuno kegiatan dagang. Kegiatan tersebut dilakukan karena merosotnya keadaan politik dan mengganggu kewenangan pemerintahan yang berdaulat penuh atau kedaulatannya di bawah penguasa kolonial. Akibat dari aktivitas bajak laut, rute pelayaran perdagangan yang semula melalui Asia Barat ke Jawa lalu berubah melalui pesisir Sumatra dan Sunda. Dari pelabuhan ini pula para pedagang singgah di Pelabuhan Barus, Pariaman, dan Tiku.

Perdagangan pada wilayah timur Kepulauan Indonesia lebih terkonsentrasi pada perdagangan cengkih dan pala. Dari Ternate dan Tidore (Maluku) dibawa barang komoditi ke Somba Opu, ibu kota Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Somba Opu pada abad ke-16 telah menjalin hubungan perdagangan dengan Patani, Johor, Banjar, Blambangan, dan Maluku. Adapun Hitu (Ambon) menjadi pelabuhan yang menampung komoditi cengkih yang datang dari Huamual (Seram Barat), sedangkan komoditi pala berpusat di Banda. Semua pelabuhan tersebut umumnya didatangi oleh para pedagang Jawa, Cina, Arab, dan Makassar. Kehadiran pedagang itu mempengaruhi corak kehidupan dan budaya setempat, antara lain ditemui bekas koloninya seperti Maspait (Majapahit), Kota Jawa (Jawa) dan Kota Mangkasare (Makassar).
Situasi Bandar Makassar

Pada abad ke-15, Sulawesi Selatan telah didatangi pedagang Muslim dari Malaka, Jawa, dan Sumatra. Dalam perjalanan sejarahnya, masyarakat Muslim di Gowa terutama Raja Gowa Muhammad Said (1639-1653) dan putra penggantinya, Hasanuddin (1653-1669) telah menjalin hubungan dagang dengan Portugis. Bahkan Sultan Muhammad Said dan Karaeng Pattingaloang turut memberikan saham dalam perdagangan yang dilakukan Fr. Vieira, meskipun mereka beragama Katolik. Kerjasama ini didorong oleh adanya usaha monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilancarkan oleh kompeni Belanda di Maluku.

Hubungan Ternate, Hitu dengan Jawa sangat erat sekali. Ini ditandai dengan adanya seorang raja yang dianggap benar-benar telah memeluk Islam ialah Zainal Abidin (1486-1500) yang pernah belajar di Madrasah Giri. Ia dijuluki sebagai Raja Bulawa, artinya raja cengkih, karena membawa cengkih dari Maluku sebagai persembahan. Cengkih, pala, dan bunga pala (fuli) hanya terdapat di Kepulauan Indonesia bagian timur, sehingga banyak barang yang sampai ke Eropa harus melewati jalur perdagangan yang panjang dari Maluku sampai ke Laut Tengah. Cengkih yang diperdagangkan adalah putik bunga tumbuhan hijau (szygium aromaticum atau caryophullus aromaticus) yang dikeringkan. Satu pohon ini ada yang menghasilkan cengkih sampai 34 kg. Hamparan cengkih ditanam di perbukitan di pulau-pulau kecil Ternate, Tidore, Makian, dan Motir di lepas pantai barat Halmahera dan baru berhasil ditanam di pulau yang relatif besar, yaitu Bacan, Ambon dan Seram.

Meningkatnya ekspor lada dalam kancah perdagangan internasional, membuat pedagang Nusantara mengambil alih peranan India sebagai pemasok utama bagi pasaran Eropa yang berkembang dengan cepat. Selama periode (1500- 1530) banyak terjadi gangguan di laut sehingga bandar-bandar Laut Tengah harus mencari pasokan hasil bumi Asia ke Lisabon. Oleh karena itu secara berangsur jalur perdagangan yang ditempuh pedagang muslim bertambah aktif, ditambah dengan adanya perang di laut Eropa, penaklukan Ottoman atas Mesir (1517) dan pantai Laut Merah Arabia (1538) memberikan dukungan yang besar bagi berkembangnya pelayaran Islam di Samudra Hindia.

Meskipun banyak kota bandar, namun yang berfungsi untuk melakukan ekspor dan impor komoditi pada umumnya adalah kota-kota bandar besar yang beribu kota pemerintahan di pesisir, seperti Banten, Jayakarta, Cirebon, Jepara - Demak, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Banjarmasin, Malaka, Samudra Pasai, Kesultanan Jambi, Palembang dan Jambi. Kesultanan Mataram berdiri dari abad ke-16 sampai ke-18. Meskipun kedudukannya sebagai kerajaan pedalaman namun wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar pulau Jawa yang merupakan hasil ekspansi Sultan Agung. Kesultanan Mataram juga memiliki kota-kota bandar, seperti Jepara, Tegal, Kendal, Semarang, Tuban, Sedayu, Gresik, dan Surabaya.

Dalam proses perdagangan telah terjalin hubungan antaretnis yang sangat erat. Berbagai etnis dari kerajaan-kerajaan tersebut kemudian berkumpul dan membentuk komunitas. Oleh karena itu, muncul nama-nama kampung berdasarkan asal daerah. Misalnya,di Jakarta terdapat perkampungan Keling, Pekojan, dan kampung- kampung lainnya yang berasal dari daerah-daerah asal yang jauh dari kota-kota yang dikunjungi, seperti Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, dan Kampung Bali.

Pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam, sistem jual beli barang masih dilakukan dengan cara barter. Sistem barter dilakukan antara pedagang-pedagang dari daerah pesisir dengan daerah pedalaman, bahkan kadang-kadang langsung kepada petani. Transaksi itu dilakukan di pasar, baik di kota maupun desa. Tradisi jual-beli dengan sistem barter hingga kini masih dilakukan oleh beberapa masyarakat sederhana yang berada jauh di daerah terpencil. Di beberapa kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam telah menggunakan mata uang sebagai nilai tukar barang. Mata uang yang dipergunakan tidak mengikat pada mata uang tertentu, kecuali ada ketentuan yang diatur pemerintah daerah setempat.

Kemunduran perdagangan dan kerajaan yang berada di daerah tepi pantai disebabkan karena kemenangan militer dan ekonomi Belanda, dan munculnya kerajaan-kerajaan agraris di pedalaman yang tidak menaruh perhatian pada perdagangan.

C. Islam Masuk Istana Raja

Keraton Yogyakarta

Mengamati Lingkungan

Kamu tahu gambar di atas, bangunan apa dan di mana? Itu adalah salah satu pusat pemerintahan keraton yang bersifat Islam dan masih berfungsi sampai sekarang, yaitu Keraton Yogyakarta. Di Indonesia, keraton semacam ini pada perkembangannya memiliki peranan dan posisi yang sangat penting. Selain berfungsi sebagai simbol perkembangan pemerintahan Islam, keraton juga menjadi lambang perjuangan kemerdekaan. Di sana para raja atau tokoh-tokohnya mengibarkan panji-panji perlawanan terhadap penjajahan. Islam yang masuk ke istana memang telah menyemai bibit-bibit kemerdekaan dan persamaan.

Pada bagian ini anda akan mempelajari secara garis besar awal pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Uraian ini terutama dipusatkan pada beberapa pusat kekuasaan Islam yang berada di berbagai daerah, seperti di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan bahkan di Indonesia bagian timur, seperti Maluku dan Papua. Sedangkan kerajaan-kerajaan yang tidak diuraikan pada pembahasan kali ini, anda dapat mencari informasi melalui berbagai buku yang ada.

Memahami Teks

1. Kerajaan Islam di Sumatra

Sejak awal kedatangan Islam, pulau Sumatra termasuk daerah pertama dan terpenting dalam pengembangan agama Islam di Indonesia. Dikatakan demikian mengingat letak Sumatra yang strategis dan berhadapan langsung dengan jalur perdangan dunia, yakni Selat Malaka. Berdasarkan catatan Tomé Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) dikatakan bahwa di Sumatra, terutama di sepanjang pesisir Selat Malaka dan pesisir barat Sumatra terdapat banyak kerajaan Islam, baik yang besar maupun yang kecil. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut antara lain Aceh, Biar dan Lambri, Pedir, Pirada, Pase, Aru, Arcat, Rupat, Siak, Kampar, Tongkal, Indragiri, Jambi, Palembang, Andalas, Pariaman, Minangkabau, Tiku, Panchur, dan Barus. Menurut Tomé Pires, kerajaan-kerajaan tersebut ada yang sedang mengalami pertumbuhan, ada pula yang sedang mengalami perkembangan, dan ada pula yang sedang mengalami keruntuhannya.

a. Samudra Pasai

Samudra Pasai diperkirakan tumbuh berkembang antara tahun 1270 dan 1275, atau pertengahan abad ke-13. Kerajaan ini terletak lebih kurang 15 km di sebelah timur Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam, dengan sultan pertamanya bernama Sultan Malik as-Shaleh (wafat tahun 696 H atau 1297 M). Dalam kitab Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai diceritakan bahwa Sultan Malik as-Shaleh sebelumnya hanya seorang kepala Gampong Samudra bernama Marah Silu. Setelah menganut agama Islam kemudian berganti nama dengan Malik as-Shaleh.

Berikut ini merupakan urutan para raja-raja yang memerintah di Kesultanan Samudra Pasai:
  1. Sultan Malik as-Shaleh (696 H/1297 M);
  2. Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326);
  3. Sultan Mahmud Malik Zahir (± 1346-1383);
  4. Sultan Zainal Abidin Malik Zahir (1383-1405);
  5. Sultanah Nahrisyah (1405-1412);
  6. Abu Zain Malik Zahir (1412);
  7. Mahmud Malik Zahir (1513-1524).
Nama sultan yang disebut terdapat dalam sumber Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai. Nama-nama itu, kecuali nama Sultan Malikush Shaleh juga terdapat dalam mata uang emas yang disebut dengan dirham.

Pada masa pemerintahan Sultan Malik as-Shaleh, Kerajaan Pasai mempunyai hubungan dengan negara Cina. Seperti yang disebutkan dalam sumber sejarah Dinasti Yuan, pada 1282 duta Cina bertemu dengan Menteri Kerajaan Sumutra di Quilan yang meminta agar raja Sumatra mengirimkan dutanya ke Cina. Pada tahun itu pula disebutkan bahwa kerajaan Sumatra mengirimkan dutanya yang bernama Sulaiman dan Syamsuddin.

Menurut Tome Pires, Kesultanan Samudera Pasai mencapai puncaknya pada awal abad ke-16. Kesultanan itu mengalami kemajuan diberbagai bidang kehidupan seperti politik, ekonomi, pemerintahan, keagamaan, dan terutama ekonomi perdagangan. Diceritakan pula bahwa Kesultanan Samudera Pasai selalu mengadakan hubungan persahabatan dengan Malaka, bahkan hubungan persahabatan itu diperkuat dengan perkawinan. Para pedagang yang pernah mengunjungi Pasai berasal dari berbagai negara seperti, Rumi, Turki, Arab, Persia (Iran), Gujarat, Keling, Bengal, Melayu, Jawa, Siam, Kedah, dan Pegu. Sementara barang komoditas yang diperdagangkan adalah lada, sutera, dan kapur barus. Di samping komoditas itu sebagai penghasil pendapatan Kesultanan Samudera Pasai, juga diperoleh pendapat dari pajak yang dipungut dari pajak barang eksport dan import. Dalam sumber-sumber sejarah juga dijelaskan, bahwa Kesultanan Samudera Pasai telah menggunakan mata uang seperti uang kecil yang disebut dengan ceitis. Uang kecil itu ada yang terbuat dari emas dan ada pula yang terbuat dari dramas.

Dalam bidang keagamaan Ibnu Batuta menjelaskan bahwa Kesultanan Samudera Pasai juga dikunjungi oleh para ulama dari Persia, Suriah (Syria), dan Isfahan. Dalam catatan Ibnu Batuta disebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai sangat taat terhadap agama Islam yang bermazhab Syafi’i. Sultan selalu dikelilingi oleh para ahli teologi Islam.

Kerajaan Samudera Pasai mempunyai peranan penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Malaka menjadi kerajaan yang bercorak Islam karena amat erat hubungannya dengan Kerajaan Samudera Pasai. Hubungan tersebut semakin erat dengan diadakannya pernikahan antara putra- putri sultan dari Pasai dan Malaka sehingga pada awal abad- 15 atau sekitar 1414 M tumbuhlah Kerajaan Islam Malaka, yang dimulai dengan pemerintahan Parameswara.

Dalam Hikayat Patani terdapat cerita tentang pengislaman Raja Patani yang bernama Paya Tu Nakpa dilakukan oleh seorang dari Pasai yang bernama Syaikh Sa’id, karena berhasil menyembuhkan Raja Patani. Setelah masuk Islam, raja berganti nama menjadi Sultan Isma’il Syah Zill Allah fi al-Alam dan juga ketiga orang putra dan putrinya yaitu Sultan Mudaffar Syah, Siti Aisyah, dan Sultan Mansyur. Pada masa pemerintahan Sultan Mudaffar Syah juga datang lagi seorang ulama dari Pasai yang bernama Syaikh Safi’uddin yang atas perintah raja ia mendirikan masjid untuk orang- orang Muslim di Patani. Demikian pula jenis nisan kubur yang disebut Batu Aceh menjadi nisan kubur raja-raja di Patani, Malaka, dan Malaysia. Pada umumnya nisan kubur tersebut berbentuk menyerupai nisan kubur Sultan Malik as-Shaleh dan nisan-nisan kubur dari sebelum abad ke-17. 
Nisan yang memuat penuh ayat 18 Surat Ali Imran 

Dilihat dari kesamaan jenis batu serta cara penulisan dan huruf-huruf bahkan dengan cara pengisian ayat-ayat al-Qur’an dan nuansa kesufiannya, jelas Samudera Pasai mempunyai peranan penting dalam persebaran Islam di beberapa tempat di Asia Tenggara dan demikian pula di bidang perekonomian dan perdagangan. Namun, sejak Portugis menguasai Malaka pada 1511 dan meluaskan kekuasaannya, maka Kerajaan Islam Samudera Pasai mulai dikuasai sejak 1521. Kemudian Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah lebih berhasil menguasai Samudera Pasai. Kerajaan- kerajaan Islam yang terletak di pesisir seperti Aru, Pedir, dan lainnya lambat laun berada di bawah kekuasaan Kerajaan Islam Aceh Darussalam yang sejak abad ke-16 makin mengalami perkembangan politik, ekonomi-perdagangan, kebudayaan dan keagamaan.

b. Kesultanan Aceh Darussalam

Pada 1520 Aceh berhasil memasukkan Kerajaan Daya ke dalam kekuasaan Aceh Darussalam. Tahun 1524, Pedir dan Samudera Pasai ditaklukkan. Kesultanan Aceh Darussalam di bawah Sultan Ali Mughayat Syah menyerang kapal Portugis di bawah komandan Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh.

Pada 1529 Kesultanan Aceh mengadakan persiapan untuk menyerang orang Portugis di Malaka, tetapi tidak jadi karena Sultan Ali Mughayat Syah wafat pada 1530  dan dimakamkan di Kandang XII, Banda Aceh. Di antara penggantinya yang terkenal adalah Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (1538-1571). Usaha-usahanya adalah mengembangkan kekuatan angkatan perang, perdagangan, dan mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti Turki, Abessinia (Ethiopia), dan Mesir. Pada 1563 ia mengirimkan utusannya ke Konstantinopel untuk meminta bantuan dalam usaha melawan kekuasaan Portugis.

Dua tahun kemudian datang bantuan dari Turki berupa teknisi-teknisi, dan dengan kekuatan tentaranya Sultan Alauddin Riayat Syah at-Qahhar menyerang dan menaklukkan banyak kerajaan, seperti Batak, Aru, dan Barus. Untuk menjaga keutuhan Kesultanan Aceh, Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar menempatkan suami saudara perempuannya di Barus dengan gelar Sultan Barus, dua orang putra sultan diangkat menjadi Sultan Aru dan Sultan Pariaman dengan gelar resminya Sultan Ghari dan Sultan Mughal, dan di daerah- daerah pengaruh Kesultanan Aceh ditempatkan wakil-wakil dari Aceh.
Makam Sultan Iskandar Muda (1607-1636) di Aceh

Kemajuan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda mengundang perhatian para ahli sejarah. Di bidang politik Sultan Iskandar Muda telah menundukkan daerah-daerah di sepanjang pesisir timur dan barat. Demikian pula Johor di Semenanjung Malaya telah diserang, dan kemudian rnengakui kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Kedudukan Portugis di Malaka terus-menerus mengalami ancaman dan serangan, meskipun keruntuhan Malaka sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara baru terjadi sekitar tahun 1641 oleh VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Belanda. Perluasan kekuasaan politik VOC sampai Belanda pada dekade abad ke-20 tetap menjadi ancaman bagi Kesultanan Aceh.
Masjid Indrapuri di Aceh Besar

c. Kerajaan-Kerajaan Islam di Riau

Kerajaan Islam yang ada di Riau dan Kepulauan Riau menurut berita Tome Pires (1512-1515 ) antara lain Siak, Kampar, dan Indragiri. Kerajaan Kampar, Indragiri, dan Siak pada abad ke-13 dan ke-14 dalam kekuasaan Kerajaan Melayu dan Singasari-Majapahit, maka kerajaan-kerajaan tersebut tumbuh menjadi kerajaan bercorak Islam sejak abad ke-15.

Pengaruh Islam yang sampai ke daerah-daerah itu mungkin akibat perkembangan Kerajaan Islam Samudera Pasai dan Malaka. Jika kita dasarkan berita Tome Pires, maka ketiga Kerajaan Kampar, Indragiri dan Siak senantiasa melakukan perdagangan dengan Malaka bahkan memberikan upeti kepada Kerajaan Malaka. Ketiga kerajaan di pesisir Sumatra Timur ini dikuasai Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (wafat 1477). Bahkan pada masa pemerintahan putranya, Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah (wafat 1488) banyak pulau di Selat Malaka (orang laut) termasuk Lingga-Riau, masuk kekuasaan Kerajaan Malaka. Siak menghasilan padi, madu, lilin, rotan, bahan-bahan apotek, dan banyak emas. Kampar menghasilkan barang dagangan seperti emas, lilin, madu, biji-bijian, dan kayu gaharu. Indragiri menghasilkan barang-barang perdagangan, seperti Kampar, tetapi emas dibeli dari pedalaman Minangkabau.
Masjid di Pulau Penyengat Riau

Siak menjadi daerah kekuasaan Malaka sejak penaklukan oleh Sultan Mansyûr Syah di mana ditempatkan raja-raja sebagai wakil Kemaharajaan Melayu. Ketika Sultan Mahmud Syah I berada di Bintan, Raja Abdullah yang bergelar Sultan Khoja Ahmad Syah diangkat di Siak. Pada 1596 yang menjadi Raja Siak ialah Raja Hasan putra Ali Jalla Abdul Jalil, sementara saudaranya yang bernama Raja Husain ditempatkan di Kelantan. Kemudian di Kampar ditempatkan Raja Muhammad. Sejak VOC Belanda menguasai Malaka pada 1641 sampai abad ke-18 praktis ketiga kerajaan, yaitu Siak, Kampar, dan Indragiri berada di bawah pengaruh kekuasaan politik dan ekonomi–perdagangan VOC. Perjanjian pada 14 Januari 1676 berisi, bahwa hasil timah harus dijual hanya kepada VOC.

Demikian pula dengan ditemukan tambang emas dari Petapahan, Kerajaan Siak, juga terikat oleh ikatan perjanjian monopoli perdagangan sehingga Raja Kecil pada 1723 mendirikan kerajaan baru di Buantan dekat Sabak Auh di Sungai Jantan Siak yang kemudian disebut juga Kerajaan Siak. Raja Kecil kemudian sebagai sultan memakai gelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah (1723-1748), dan selama pemerintahannya ia meluaskan daerah kekuasaannya sambil melakukan perlawanan-perlawanan terhadap kekuasaan politik VOC, bahkan sering muncul armadanya di Selat Malaka. Pada 1750, Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah memindahkan ibukota kerajaan dari Buantan ke Mempura yang terletak di tepi Sunai Memra Besar, Sungai Jantan diubah namanya menjadi Sungai Siak dan kerajaannya disebut Kerajaan Siak Sri Indrapura. Karena VOC, yang kantor dagangnya ada di Pulau Guntung di mulut Sungai Siak, sering mengganggu lalu lintas kapal- kapal Kerajaan Siak Sri Indrapura, maka Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah dengan pasukannya pada 1760 menyerang benteng VOC.

Kerajaan Siak di bawah pemerintahan Sultan Sa’id Ali (1784-1811) banyak berjasa bagi rakyatnya. Ia berhasil memakmurkan kerajaan dan ia dikenal sebagai seorang Sultan yang jujur. Daerah-daerah yang pada masa Raja Kecil melepaskan diri dari Kerajaan Siak dan berhasil ia kuasai kembali. Sultan Sa’id Ali memundurkan diri sebagai Sultan Siak pada 1811 dan kemudian pemerintahannya diganti oleh putranya, Tengku Ibrahim. Di bawah pemerintahan Tengku Ibrahim inilah Kerajaan Siak mengalami kemunduran sehingga banyak orang yang pindah ke Bintan, Lingga Tambelan, Terenggano, dan Pontianak. Ditambah lagi dengan adanya perjanjian dengan VOC pada 1822 di Bukit Batu yang isinya menekankan Kerajaan Siak tidak boleh mengadakan ikatan- ikatan atau perjanjian-perjanjian dengan negara-negara lain kecuali dengan Belanda. Dengan demikian, Kerajaan Siak Sri Indrapura semakin sempit geraknya dan semakin banyak dipengaruhi politik penjajahan Hindia-Belanda.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa Kerajaan Kampar sejak abad ke-15 berada di bawah Kerajaan Malaka. Pada masa pemerintahannya, Sultan Abdullah di Kampar tidak mau menghadap Sultan Mahmud Syah I di Bintan selaku pemegang kekuasaan Kemaharajaan Melayu. Akibatnya Sultan Mahmud Syah I mengirimkan pasukannya ke Kampar. Sultan Abdullah minta bantuan Portugis, dan berhasil mempertahankan Kampar. Ketika Sultan Abdullah dibawa ke Malaka oleh Portugis, maka Kampar ada di bawah pembesar- pembesar kerajaan, di antaranya Mangkubumi Tun Perkasa yang mengirimkan utusan ke Kemaharajaan Melayu di bawah pimpinan Sultan Abdul Jalil Syah I yang memohon agar di Kampar ditempatkan raja.

Hasil permohonan tersebut dikirimkan seorang pembesar dari Kemaharajaan Melayu ialah Raja Abdurrahman bergelar Maharaja Dinda Idan berkedudukan di Pekantua. Hubungan antara Kerajaan Kampar di bawah pemerintahan Maharaja Lela Utama dengan Siak dan Kuantan diikat dengan hubungan perdagangan. Tetapi masa pemerintahan penggantinya Maharaja Dinda II memindahkan ibukota Kerajaan Kampar pada 1725 ke Pelalawan yang kemudian mengganti Kerajaan Kampar menjadi Kerajaan Pelalawan. Kemudian kerajaan tersebut tunduk kepada Kerajaan Siak, dan pada 4 Februari 1879 dengan terjadinya perjanjian pengakuannya Kampar berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Kerajaan Indragiri sebelum 1641 yang berada di bawah Kemaharajaan Malayu berhubungan erat dengan Portugis, tetapi setelah Malaka diduduki VOC, mulailah berhubungan dengan VOC yang mendirikan kantor dagangnya di Indragiri berdasarkan perjanjian 28 Oktober 1664.

Pada 1765, Sultan Hasan Shalahuddin Kramat Syah memindahkan ibukotanya ke Japura tetapi dipindahkan lagi pada 5 Januari 1815 ke Rengat oleh Sultan Ibrahim atau Raja Indragiri XVII. Sultan Ibrahim inilah yang ikut serta berperang dengan Raja Haji di Teluk Ketapang pada 1784. Demikianlah, kekuasaan politik kerajaan ini sama sekali hilang berdasarkan Tractat van Vrede en Vriend-schap 27 September 1838, berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda, yang berarti jalannya pemerintahan Kerajaan Indragiri ditentukan pemerintah Hindia Belanda.

d. Kerajaan Islam di Jambi

Berdasarkan temuan-temuan arkeologis kemungkinan kehadiran Islam di daerah Jambi diperkirakan dimulai  sejak abad ke-9 atau abad ke-10 sampai abad ke-13. Kemungkinan pada masa itu proses Islamisasi masih terbatas pada perorangan. Karena proses Islamisasi besar-besaran bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya Kerajaan Islam Jambi sekitar 1500 M di bawah pemerintahan Orang Kayo Hitam yang juga meluaskan “Bangsa XII” dari “Bangsa IX”, anak Datuk Paduka Berhala. Konon menurut Undang-Undang Jambi, Datuk Paduka Berhala adalah orang dari Turki yang terdampar di Pulau Berhala yang kemudian dikenal dengan sebutan Ahmad Salim. Ia menikah dengan Putri Salaro Pinang Masak yang sudah Muslim, turunan raja-raja Pagarruyung yang kemudian melahirkan Orang Kayo Hitam, Sultan Kerajaan Jambi yang terkenal. Karena itu kemungkinan besar penyebaran Islam sudah terjadi sejak sekitar tahun 1460 atau pertengahan abad ke-15.

Menurut Sila-sila Keturunan Raja Jambi, dari pernikahan antara Datuk Paduka Berhala dengan Putri Pinang Masak, melahirkan juga tiga saudaranya Orang Kayo Hitam yaitu Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Pedataran/Kedataran, dan Orang Kayo Gemuk (seorang putri). Yang menjadi pengganti Datuk Paduka Berhala ialah Orang Kayo Hitam yang beristri salah seorang putri dari saudara ibunya ialah Putri Panjang Rambut. Pengganti Orang Kayo Hiam ialah Panembahan Ilang di Aer yang setelah wafat dimakamkan di Rantau Kapas sehingga terkenal pula dengan Panembahan Rantau Kapas. Masa pemerintahan Datuk Paduka Berhala beserta Putri Pinang Masak sekitar tahun 1460, Orang Kayo Pingai sekitar tahun 1480, Orang Kayo Pedataran sekitar tahun 1490. Sedangkan masa pemerintahan Orang Kayo Hitam sendiri sekitar tahun 1500, Panembahan Rantau Kapas sekitar antara tahun 1500 hingga 1540, Panembahan Rengas Pandak cucu Orang Kayo Hitam sekitar tahun 1540 M, Panembahan Bawah Sawoh cicit Orang Kayo Hitam sekitar tahun 1565. Setelah Panembahan Bawah Sawoh meninggal dunia, pemerintahan diganti kan oleh Panembahan Kota Baru sekitar tahun 1590, dan kemudian diganti lagi oleh Pangeran Keda yang bergelar Sultan Abdul Kahar pada 1615. Sejak masa pemerintahan Kerajaan Islam Jambi di bawah Sultan Abdul Kahar itulah orang-orang VOC mulai datang untuk menjalin hubungan perdagangan. Mereka membeli hasil-hasil Kerajaan Jambi terutama lada. Dengan izin Sultan Jambi pada 1616, Kompeni Belanda (VOC) mendirikan lojinya di Muara Kompeh. Tetapi beberapa tahun kemudian ialah pada 1636 loji tersebut ditinggalkan karena rakyat Jambi tidak mau menjual hasil- hasil buminya kepada VOC. Sejak itu hubungan Kerajaan Jambi dengan VOC makin renggang, ditambah pada 1642 Gubernur Jenderal VOC Antonio van Diemn menuduh Jambi bekerjasama dengan Mataram.

Pada masa pemerintahan Sultan Sri Ingalogo (1665- 1690) terjadi peperangan antara Kerajaan Jambi dengan Kerajaan Johor di mana Kerajaan Jambi mendapat bantuan VOC dan akhirnya menang. Meskipun demikian, sebagai upah bantuan itu VOC berturut-turut menyodorkan perjanjian pada 12 Juli 1681, 20 Agustus 1681, 11 Agustus 1683, dan 20 Agustus 1683. Pada hakikatnya perjanjian-perjanjian tersebut menguatkan monopoli pembelian lada, dan sebaliknya VOC memaksakan untuk penjualan kain dan opium. Beberapa tahun kemudian terjadi penyerangan kantor dagang VOC oleh rakyat Jambi dan kepala pedagang VOC, Sybrandt Swart terbunuh pada 1690 dan Sultan Jambi dituduh terlibat. Oleh karena itu, Sultan Sri Ingalogo ditangkap dan diasingkan mula-mula ke Batavia dan akhirnya ke Pulau Banda. Sultan penggantinya ialah Pangeran Dipati Cakraningrat yang bergelar Sultan Kiai Gede. Dengan demikian, Sultan Ratu yang lebih berhak disingkirkan dan ia dengan sejumlah pengikutnya pindah ke Muaratebo, membawa keris pusaka Sigenjei, keris lambang bagi Raja-Raja Jambi yang mempunyai hak atas kerajaan. Sejak itulah terus-menerus terjadi konflik yang memuncak dengan pemberontakan dan perlawanan Sultan Thâhâ Sayf al-Dîn yang dipusatkan terutama di daerah Batanghari Hulu. Di daerah inilah pada pertempuran yang sengit, Sultan Thaha gugur pada 1 April 1904 dan ia dimakamkan di Muaratebo.

e. Kerajaan Islam di Sumatra Selatan

Sejak Kerajaan Sriwijaya mengalami kelemahan bahkan runtuh sekitar abad ke-14, mulailah proses Islamisasi sehingga pada akhir abad ke-15 muncul komunitas Muslim di Palembang. Palembang pada akhir abad ke-16 sudah merupakan daerah kantong Islam terpenting atau bahkan pusat Islam di bagian selatan “Pulau Emas”. Bukan saja karena reputasinya sebagai pusat perdagangan yang banyak dikunjungi pedagang Arab/Islam pada abad-abad kejayaan Sriwijaya, tetapi juga dibantu oleh kebesaran Malaka yang tak pernah melepaskan keterlibatannya dengan Palembang sebagai tanah asalnya. Palembang sekitar awal abad ke-16 sudah ada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Demak masa pemerintahan Pate Rodim seperti diberitakan Tome Pires (1512-1515) bahkan pada waktu itu penduduk Palembang berjumlah lebih kurang 10.000 orang. Tetapi banyak yang mati dalam serangan membantu Demak terhadap Portugis di Malaka. Mereka berdagang dengan Malaka dan Pahang dengan jung-jung sebanyak 10 atau 12 setiap tahunnya. Komoditi yang diperdagangkan adalah beras dan bahan makanan, katun, rotan, lilin, madu, anggur, emas, besi, kapur barus, dan lain-lainnya. Meskipun kedudukan Palembang sebagai pusat penguasa Muslim sudah ada sejak 1550, namun nama tokoh yang tercatat menjadi sultan pertama Kesultanan Palembang ialah Susuhunan Sultan Abdurrahman Khalifat al-Mukminin Sayyid al-Iman/Pangeran Kusumo Abdurrahman/ Kiai Mas Endi sejak 1659 sampai 1706. Palembang berturut- turut diperintah oleh 11 sultan sejak 1706 dan sultan yang terakhir, Pangeran Kromojoyo/Raden Abdul Azim Purbolinggo (1823-1825).

Kontak pertama Kesultanan Palembang dengan VOC terjadi pada 1610, tetapi karena VOC tidak dipedulikan kepentingannya maka selalu terjadi kerenggangan. Pada 1658 wakil dagang VOC, Ockersz beserta pasukannya dibunuh dan dua buah kapalnya yaitu Wachter dan Jacatra dirampas. Akibatnya pada 4 November 1659 terjadi peperangan antara Kesultanan Palembang dengan VOC di bawah pimpinan Laksamana Joan van der Laen. Pada perang ini Keraton Kesultanan Palembang dibakar. Demikian pula Kuta dan permukiman penduduk Cina, Portugis, Arab dan bangsa- bangsa lainnya yang berada di seberang Kuta juga dibakar. Kota Palembang dapat direbut lagi oleh pasukan Palembang dan kemudian dilakukan pembangunan-pembangunan, kecuali Masjid Agung yang hingga kini masih dapat disaksikan meskipun sudah ada beberapa perubahan. 
Mesjid Agung Palembang yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin

Masjid agung mulai dibangun 28 Jumadil Awal 1151 H atau 26 Mei 1748 M pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758). Pada masa pemerintahan putranya yaitu Sultan Ahmad Najmuddin (1758-1774) syiar agama Islam makin pesat. Pada waktu itu, berkembanglah hasil-hasil sastra keagamaan dari tokoh-tokoh, antara lain, Abdussamad al- Palimbani, Kemas Fakhruddin, Kemas Muhammad ibn Ahmad, Muhammad Muhyiddin ibn Syaikh Shibabuddin, Muhammad Ma’ruf ibn Abdullah, dan lainnya. Mengenai ulama terkenal Abdussamad bin Abdullah al-Jawi al-Palimbani (1704-1789), telah dibicarakan Azyumardi Azra dalam Historiografi Islam Kontemporer secara lengkap tentang riwayatnya, ajaran serta kitab-kitabnya dan guru-guru sufi serta tarekatnya.

Dalam perjalanan sejarahnya, Kesultanan Palembang sejak pemerintahan Sultan Mahmud Badar II mendapat serangan dari pasukan Hindia Belanda pada Juli 1819 atau  yang dikenal sebagai Perang Menteng (diambil dari kata Muntinghe). Serangan besar-besaran oleh pasukan Belanda pimpinan J.C. Wolterboek yang terjadi pada Oktober 1819 juga dapat dipukul mundur oleh prajurit-prajurit Kesultanan Palembang. Tetapi pihak Belanda pada Juni 1821 mencoba lagi melakukan penyerangan dengan banyak  armada  di bawah pimpinan panglima  Jenderal de Kock. Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap kemudian dibuang ke Ternate.
Jenderal de Kock

Kesultanan Palembang sejak 7 Oktober 1823 dihapuskan dan kekuasaan daerah Palembang berada langsung di bawah Pemerintah Hindia Belanda dengan penempatan Residen Jon Cornelis Reijnst yang tidak diterima. Sultan Ahmad Najaruddin Prabu Anom karena memberontak akhirnya ditangkap kemudian diasingkan ke Banda, dan seterusnya dipindahkan ke Menado.

f. Kerajaan Islam di Sumatra Barat

Islam di daerah Lampung tidak akan dibicarakan karena daerah ini sudah sejak awal masuk kekuasaan Kesultanan Banten, karena itu yang akan dibicarakan pada bagian ini ialah Kerajaan Islam di Sumatra Barat. Mengenai masuk dan berkembangnya Islam di daerah Sumatra Barat masih sukar dipastikan. Berdasarkan berita Cina dari Dinasti T’ang yang menyebutkan sekitar abad ke-7 (674 M) ada kelompok orang- orang Arab (Ta’shih) dan disebutkan oleh W.P. Goeneveldt, wilayah perkampungan mereka berada di pesisir barat Sumatra. Islam yang datang dan berkembang di Sumatra Barat diperkirakan pada akhir abad ke-14 atau abad 15, sudah memperoleh pengaruhnya di kerajaan besar Minangkabau. Bahwa Islam sudah masuk ke daerah Minangkabau pada sekitar akhir abad ke-15 mungkin dapat dihubungkan dengan cerita yang terdapat dalam naskah kuno dari Kerinci tentang Siak Lengih Malin Sabiyatullah asal Minangkabau yang mengenalkan Islam di daerah Kerinci, semasa dengan Putri Unduk Pinang Masak, Dayang Baranai, Parpatih Nan Sabatang yang kesemuanya berada di daerah Kerinci. Tome Pires (1512-1515) juga mencatat keberadaan tempat-tempat seperti Pariaman, Tiku, bahkan Barus. Dari ketiga tempat ini diperoleh barang-barang perdagangan, seperti emas, sutra, damar, lilin, madu kamper, kapur barus, dan lainnya. Setiap tahun ketiga tempat tersebut juga didatangi dua atau tiga kapal dari Gujarat yang membawa barang dagangannya antara lain pakaian.

Melalui pelabuhan-pelabuhannya sejak abad ke-15 dan ke-16 hubungan antara daerah Sumatra Barat dengan berbagai negeri terjalin dalam hubungan perdagangan antara lain dengan Aceh. Pada masa Iskandar Muda, Pariaman merupakan salah satu daerah yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Aceh dan demikian pula sejak penggantinya. Pada abad ke-17 M, terdapat ulama terkenal di Sumatra Barat salah seorang murid Abdurrauf al-Sinkili yang terkenal bernama Syaikh Burhanuddin (1646-1692) di Ulakan. Ia mendirikan surau dan tak disangsikan lagi Ulakan merupakan pusat keilmuan Islam di Minangkabau. Tarekat Syattariyah yang diajarkannya tersebar di daerah Minangkabau dan ajaran tasawufnya cenderung kepada syariah dan dapat dikatakan sebagai ajaran neo-sufisme. Syaikh Burhanuddin dalam masyarakat setempat dikenal sebagai Tuanku Ulakan. Penyebaran Islam yang bersifat pembaruan dan menjangkau lebih jauh lagi mencapai klimaksnya pada awal abad ke-19.

Sejak awal abad ke-16 sampai awal abad ke-19 di daerah Minangkabau senantiasa terdapat kedamaian, sama-dalam pepatah “Adat bersandi syara, syara bersandi adat”. Sejak awal abad ke-19 timbul pembaruan Islam di daerah Sumatra Barat yang membawa pengaruh Wahabiyah dan kemudian memunculkan “Perang Padri “, perang antara golongan adat dan golongan agama. Wilayah Minangkabau mempunyai seorang raja yang berkedudukan di Pagarruyung. Raja tetap dihormati sebagai lambang negara tetapi tidak mempunyai kekuasaan, karena hakikatnya kekuasaan ada di tangan para panghulu yang tergabung dalam Dewan Penghulu atau Dewan Negari.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau lambat laun terjadi kebiasaan buruk seperti main judi, menyabung ayam, menghisap madat dan minum-minuman keras. Para pembesarnya tidak dapat mencegah bahkan di antaranya turut serta. Terkait dengan hal itu, kaum ulamanya yang kelak dinamakan kaum “Padri” berkeinginan mengadakan perbaikan mengembalikan kehidupan masyarakat Minangkabau kepada kemurnian Islam. Di antara kaum ulama itu Tuanku Kota Tua dari kampung Kota Tua di dataran Agam mengajarkan kemurnian Islam berdasarkan al-Qur’an dan hadis. Sementara itu, pada 1803 tiga orang haji kembali dari Makkah yaitu Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji Piabang dari Tanah Datar. Ketika Haji Miskin melarang penyabungan ayam di kampungnya, maka kaum adat melawan sehingga Haji Miskin dikejar-kejar dan ketika sampai ke Kota Lawas ia mendapat perlindungan dari Tuanku Mensiangan. Dari sini Haji Miskin lari ke Kamang dan bertemu dengan Tuanku Nan Renceh yang akhirnya melalui pertemuan beberapa tokoh ulama terutama di darah Luhak Agam dibentuklah kelompok yang disebut “Padri” yang tujuan utamanya ialah memperjuangkan tegaknya syara dan membasmi kemaksiatan. Mereka itu terdiri dari Tuanku Nan Renceh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aer, Tuamku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambelan, dan Tuanku Kubu Senang.

Kedelapan ulama Padri itu disebut Harimau Nan Salapan. Perjuangan kaum Padri itu makin kuat, tetapi pihak kaum Adat dibantu Belanda untuk keuntungan politik dan ekonominya. Hal ini membuat kaum Padri melawan dua kelompok sekaligus yaitu kaum Adat dan kaum penjajah Belanda termasuk perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme Belanda. Pada awal abad ke-19, Belanda dengan adanya celah pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama dalam Perang Padri, memakai kesempatan demi keuntungan politik dan ekonominya. Tahun 1830-1838, ditandai dengan perlawanan Padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-besaran. Perlawanan Padri diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin Padri terutama Tuanku Imam Bonjol dalam pertempuran Benteng Bonjol, pada 25 Oktober 1837. Dengan demikian, pemerintah Hindia Belanda pada akhir 1838 berhasil mengukuhkan kekuasaan politik dan ekonominya di daerah Minangkabau atau di Sumatra Barat. Tuanku Imam Bonjol kemudian diasingkan ke Cianjur, dan pada 19 Januari 1839 dibuang ke Ambon, serta pada 1841 dipindahkan ke Menado kemudian ia wafat di tempat itu pada 6 November 1864.

2. Kerajaan Islam di Jawa

Tahukah kamu kapan dan bagaimana proses Islamisasi di tanah Jawa? Islam masuk ke Jawa melalui pesisir utara Pulau Jawa. Bukti sejarah tentang awal mula kedatangan Islam di Jawa antara lain ialah ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat tahun 475 H atau 1082 M di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya, diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia.

Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Maulana Malik Ibrahim dari Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan makam Islam kuno. Makam tertua berangka tahun 1374. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga istana Majapahit. Berdasarkan informasi ini, tentu kamu dapat mengambil kesimpulan bahwa Islam itu sudah lama masuk ke Pulau Jawa, jauh sebelum bangsa Barat menjejakkan kaki di pulau ini. Untuk lebih jelasnya marilah kita paparkan sekelumit kerajaan- kerajaan Islam di Pulau Jawa.

a. Kerajaan Demak

Para ahli memperkirakan Demak berdiri tahun 1500. Sementara Majapahit hancur beberapa waktu sebelumnya. Menurut sumber sejarah lokal di Jawa, keruntuhan Majapahit terjadi sekitar tahun 1478. Hal ini ditandai dengan candrasengkala, Sirna Hilang Kertaning Bhumi yang berartimemiliki angka tahun 1400 Saka. Raja pertama Kerajaan Demak adalah Raden Fatah, yang bergelar Sultan Alam Akbar Al-Fatah. Raden Fatah memerintah Demak dari tahun 1500-1518. Menurut cerita rakyat Jawa Timur, Raden Fatah merupakan keturunan raja terakhir dari Kerajaan Majapahit, yaitu Raja Brawijaya V. Di bawah pemerintahan Raden Fatah, Kerajaan Demak berkembang dengan pesat karena memiliki daerah pertanian yang luas sebagai penghasil bahan makanan, terutama beras. Selain itu, Demak juga tumbuh menjadi sebuah kerajaan maritim karena letaknya di jalur perdagangan antara Malaka dan Maluku. Oleh karena itu Kerajaan Demak disebut juga sebagai sebuah kerajaan yang agraris-maritim. Barang dagangan yang diekspor Kerajaan Demak antara lain beras, lilin dan madu. Barang-barang itu diekspor ke Malaka, Maluku dan Samudra Pasai.
Peta pengaruh kesultanan Demak meliputi Sumatra Selatan dan Kalimantan

Pada masa pemerintahan Raden Fatah, wilayah kekuasaan Kerajaan Demak cukup luas, meliputi Jepara, Tuban, Sedayu, Palembang, Jambi dan beberapa daerah di Kalimantan. Daerah-daerah pesisir di Jawa bagian Tengah dan Timur kemudian ikut mengakui kedaulatan Demak dan mengibarkan panji-panjinya. Kemajuan yang dialami Demak ini dipengaruhi oleh jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Karena Malaka sudah dikuasai oleh Portugis, maka para pedagang yang tidak simpatik dengan kehadiran Portugis di Malaka beralih haluan menuju pelabuhan-pelabuhan Demak seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Jaratan dan Gresik. Pelabuhan- pelabuhan tersebut kemudian berkembang menjadi pelabuhan transit.

Selain tumbuh sebagai pusat perdagangan, Demak juga tumbuh menjadi pusat penyebaran agama Islam. Para wali yang merupakan tokoh penting pada perkembangan Kerajaan Demak ini, memanfaatkan posisinya untuk lebih menyebarkan Islam kepada penduduk Jawa. Para wali juga berusaha menyebarkan Islam di luar Pulau Jawa. Penyebaran agama Islam di Maluku dilakukan oleh Sunan Giri sedangkan di daerah Kalimantan Timur dilakukan oleh seorang penghulu dari Kerajaan Demak yang bernama Tunggang Parangan. Setelah Kerajaan Demak lemah maka muncul Kerajaan Pajang.
Masjid Agung Demak merupakan bekas peninggalan kerajaan Demak

b. Kerajaan Mataram

Setelah Kerajaan Demak berakhir, berkembanglah Kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijaya. Di bawah kekuasaannya, Pajang berkembang baik. Bahkan berhasil mengalahkan Arya Penangsang yang berusaha merebut kekuasaannya. Tokoh yang membantunya mengalahkan Arya Penangsang di antaranya adalah Ki Ageng Pemanahan (Ki Gede Pemanahan). la diangkat sebagai bupati (adipati) di Mataram. Kemudian putranya, Raden Bagus (Danang) Sutawijaya diangkat anak oleh Sultan Hadiwijaya dan dibesarkan di istana. Sutawijaya dipersaudarakan dengan putra mahkota, bernama Pangeran Benowo.

Pada tahun 1582, Sultan Hadiwijaya meninggal dunia. Penggantinya, Pangeran Benowo merupakan raja yang lemah. Sementara Sutawijaya yang menggantikan Ki Gede Pemanahan justru semakin menguatkan kekuasaannya sehingga akhirnya Istana Pajang pun jatuh ke tangannya. Sutawijaya segera memindahkan pusaka Kerajaan Pajang ke Mataram. Sutawijaya sebagai raja pertama dengan gelar: Panembahan Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Pusat kerajaan ada di Kota Gede, sebelah tenggara Kota Yogyakarta sekarang. Panembahan Senapati digantikan oleh putranya yang bernama Mas Jolang (1601-1613). Mas Jolang kemudian digantikan oleh putranya bernama Mas Rangsang atau lebih dikenal dengan nama Sultan Agung (1613-1645). Pada masa pemerintahan Sultan Agung inilah Mataram mencapai zaman keemasan.

Dalam bidang politik pemerintahan, Sultan Agung berhasil memperluas wilayah Mataram ke berbagai daerah yaitu, Surabaya (1615), Lasem, Pasuruhan (1617), dan Tuban (1620). Di samping berusaha menguasai dan mempersatukan berbagai daerah di Jawa, Sultan Agung juga ingin mengusir VOC dari Kepulauan Indonesia. Kemudian diadakan dua kali serangan tentara Mataram ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629.
Masjid Agung Surakarta

Mataram berkembang menjadi kerajaan agraris. Dalam bidang pertanian, Mataram mengembangkan daerah-daerah persawahan yang luas. Seperti yang dilaporkan oleh Dr. de Han, Jan Vos dan Pieter Franssen bahwa Jawa bagian tengah adalah daerah pertanian yang subur dengan hasil utamanya adalah beras. Pada abad ke-17, Jawa benar-benar menjadi lumbung padi. Hasil-hasil yang lain adalah kayu, gula, kelapa, kapas, dan hasil palawija.

Di Mataram dikenal beberapa kelompok dalam masyarakat. Ada golongan raja dan keturunannya, para bangsawan   dan   rakyat sebagai kawula kerajaan. Kehidupan  masyarakat bersifat feodal karena raja    adalah    pemilik tanah   beserta  seluruh isinya. Sultan dikenal sebagai  panatagama, yaitu pengatur kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, Sultan memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Rakyat sangat hormat dan patuh, serta hidup mengabdi pada sultan.
Tradisi Sekaten yang masih ada hingga saat ini

Bidang kebudayaan juga maju pesat. Seni bangunan, ukir, lukis, dan patung mengalami perkembangan. Kreasi- kreasi para seniman, misalnya terlihat pada pembuatan gapura-gapura, serta ukir-ukiran di istana dan tempat ibadah. Seni tari yang terkenal adalah Tari Bedoyo Ketawang. Dalam prakteknya, Sultan Agung memadukan unsur-unsur budaya Islam dengan budaya Hindu-Jawa. Sebagai contoh, di Mataram diselenggarakan perayaan sekaten untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw, dengan membunyikan gamelan Kyai Nagawilaga dan Kyai Guntur Madu. Kemudian juga diadakan upacara grebeg. Grebeg diadakan tiga kali dalam satu tahun, yaitu setiap tanggal 10 Dzulliijah (Idul Adha), 1 Syawal (Idul Fitri), dan tanggal 12 Rabiulawal (Maulid Nabi). Bentuk dan kegiatan upacara grebeg adalah mengarak gunungan dari keraton ke depan masjid agung. Gunungan biasanya dibuat dari berbagai makanan, kue, dan hasil bumi yang dibentuk menyerupai gunung. Upacara grebeg merupakan sedekah sebagai rasa syukur dari raja kepada Tuhan Yang Maha Esa dan juga sebagai pembuktian kesetiaan para bupati dan punggawa kerajaan kepada rajanya.
Keraton Surakarta

Sultan Agung wafat pada 1645. Ia dimakamkan di Bukit Imogiri. Ia digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Akan tetapi, pribadi raja ini sangat berbeda dengan pribadi Sultan Agung. Amangkurat I adalah seorang raja yang lemah, berpandangan sempit, dan sering bertindak kejam. Mataram mengalami kemunduran apalagi adanya pengaruh VOC yang semakin kuat. Dalam perkembangannya Kerajaan Mataram akhirnya dibagi dua berdasarkan Perjanjian Giyanti (1755). Sebelah barat menjadi Kesultanan Yogyakarta dan sebelah timur menjadi Kasunanan Surakarta.

c. Kesultanan Banten

Kerajaan Banten berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan. Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin atau lebih sohor dengan sebutan Fatahillah, mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan, yakni Kesultanan Banten.

Pada awalnya, kawasan Banten dikenal dengan nama Banten Girang yang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan kerajaan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugis dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugis dari Malaka tahun 1513. Atas perintah Sultan Trenggono, Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Sunda Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.
Masjid Agung Banten

Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Fatahillah juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Indrapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.

Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Sultan Trenggono, maka Banten melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Pada 1570 Fatahillah wafat. Ia meninggalkan dua orang putra laki-laki, yakni Pangeran Yusuf dan Pangeran Arya (Pangeran Jepara). Dinamakan Pangeran Jepara, karena sejak kecil ia sudah diikutkan kepada bibinya (Ratu Kalinyamat) di Jepara. Ia kemudian berkuasa di Jepara menggantikan Ratu Kalinyamat, sedangkan Pangeran Yusuf menggantikan Fatahillah di Banten.

Pangeran Yusuf melanjutkan usaha-usaha perluasan daerah yang sudah dilakukan ayahandanya. Tahun 1579, daerah-daerah yang masih setia pada Pajajaran ditaklukkan. Untuk kepentingan ini Pangeran Yusuf memerintahkan membangun kubu-kubu pertahanan. Tahun 1580, Pangeran Yusuf meninggal dan digantikan oleh putranya, yang bernama Maulana Muhammad. Pada 1596, Maulana Muhammad melancarkan serangan ke Palembang. Pada waktu itu Palembang diperintah oleh Ki Gede ing Suro (1572 - 1627). Ki Gede ing Suro adalah seorang penyiar agama Islam dari Surabaya dan perintis perkembangan pemerintahan kerajaan Islam di Palembang. Kala itu Kerajaan Palembang lebih setia kepada Mataram dan sekaligus merupakan saingan Kerajaan Banten. Itulah sebabnya, Maulana Muhammad melancarkan serangan ke Palembang. Kerajaan Palembang dapat dikepung dan hampir saja dapat ditaklukkan. Akan tetapi, Sultan Maulana Muhammad tiba-tiba terkena tembakan musuh dan meninggal. Oleh karena itu, ia dikenal dengan sebutan Prabu Seda ing Palembang. Serangan tentara Banten terpaksa dihentikan, bahkan akhirnya ditarik mundur kembali ke Banten.

Gugurnya Maulana Muhammad menimbulkan berbagai perselisihan di istana. Putra Maulana Muhammad yang bernama Abumufakir Mahmud Abdul Kadir, masih kanak-kanak. Pemerintahan dipegang oleh sang Mangkubumi. Akan tetapi, Mangkubumi berhasil disingkirkan oleh Pangeran Manggala. Pangeran Manggala berhasil mengendalikan kekuasaan di Banten. Baru setelah Abumufakir dewasa dan Pangeran Manggala meninggal tahun 1624, maka Banten secara penuh diperintah oleh Sultan Abumufakir Mahmud Abdul Kadir.

Pada tahun 1596 orang-orang Belanda datang di pelabuhan Banten untuk yang pertama kali. Terjadilah perkenalan dan pembicaraan dagang yang pertama antara orang-orang Belanda dengan para pedagang Banten. Tetapi dalam perkembangannya, orang-orang Belanda bersikap angkuh dan sombong, bahkan mulai menimbulkan kekacauan di Banten. Oleh karena itu, orang-orang Banten menolak dan mengusir orang-orang Belanda. Akhirnya, orang-orang Belanda kembali ke negerinya. Dua tahun kemudian, orang- orang Belanda datang lagi. Mereka menunjukkan sikap yang baik, sehingga dapat berdagang di Banten dan di Jayakarta.
Pelabuhan Banten pada abad ke-16 M

Menginjak abad ke-17 Banten mencapai zaman keemasan. Daerahnya cukup luas. Setelah Sultan Abumufakir meninggal, ia digantikan oleh putranya bernama Abumaali Achmad. Setelah Abumaali Achmad, tampillah sultan yang terkenal, yakni Sultan Abdulfattah atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Ia memerintah pada tahun 1651 - 1682.

Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten terus mengalami kemajuan. Letak Banten yang strategis mempercepat perkembangan dan kemajuan ekonomi Banten. Kehidupan sosial budaya juga mengalami kemajuan. Masyarakat umum hidup dengan rambu-rambu budaya Islam.

Secara politik pemerintahan Banten juga semakin kuat. Perluasan wilayah kekuasaan terus dilakukan bahkan sampai ke daerah yang pernah dikuasai Kerajaan Pajajaran. Namun ada sebagian masyarakat yang menyingkir di pedalaman Banten Selatan karena tidak mau memeluk agama Islam. Mereka tetap mempertahankan agama dan adat istiadat nenek moyang. Mereka dikenal dengan masyarakat Badui. Mereka hidup mengisolir diri di tanah yang disebut tanah Kenekes. Mereka menyebut dirinya orang-orang Kejeroan.

Dalam bidang kebudayaan, seni bangunan mengalami perkembangan. Beberapa jenis bangunan yang masih tersisa, antara lain, Masjid Agung Banten, bangunan keraton dan gapura-gapura.

Pada masa akhir pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa timbul konflik di dalam istana. Sultan Ageng Tirtayasa yang berusaha menentang VOC, kurang disetujui oleh Sultan Haji sebagai raja muda. Keretakan di dalam istana ini dimanfaatkan VOC dengan politik devide et impera. VOC membantu Sultan Haji untuk mengakhiri kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Berakhirnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa membuat semakin kuatnya kekuasaan VOC di Banten. Raja-raja yang berkuasa berikutnya, bukanlah raja-raja yang kuat. Hal ini membawa kemunduran Kerajaan Banten.

d. Kesultanan Cirebon

Menurut berita Tome Pires sekitar 1513 diberitakan Cirebon sudah termasuk ke daerah Jawa di bawah kekuasaan Kerajaan Demak. Penguasa di Cirebon ialah Lebe Usa sebagai bawahan Pate Rodim. Cirebon terutama mengekspor beras dan banyak bahan makanan lainnya. Kota ini berpenduduk sekitar 1.000 orang. Menurut Tome Pires Islam sudah hadir di kota Cirebon 40 tahun sebelum kehadiran Tome Pires sendiri. Perkiraankehadiran Islamdikota Cirebon menurut sumber lokal Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari karya Pangeran Arya Cerbon pada 1720 M, dikatakan bahwa Syarif Hidayatullah datang ke Cirebon pada 1470 M, dan mengajarkan Islam di Gunung Sembung, bersama-sama Haji Abdullah Iman atau Pangeran Cakrabumi. Syarif Hidayatullah kawin dengan Pakungwati dan pada 1479 ia menggantikan mertuanya sebagai Penguasa Cirebon, lalu mendirikan keraton yang diberi nama Pakungwati di sebelah timur Keraton Sultan Kasepuhan kini. Syarif Hidayatullah terkenal juga dengan gelaran Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Jati, seorang dari walisongo dan juga ia mendapat julukan Pandita-Ratu sejak berfungsi sebagai wali penyebar Islam di Tatar Sunda dan sebagai kepala pemerintahan. Sejak itu Cirebon menghentikan upeti ke pusat Kerajaan Sunda Pajajaran di Pakuan. Sebenarnya Islam sudah mulai disebarkan meski mungkin masih terbatas daerahnya. Pangeran Cakrabumi alias Haji Abdullah Iman dan juga Syaikh Datuk Kahfi yang telah mempelopori pendirian pesantren sebagai tempat mengajar dan penyebaran agama Islam untuk daerah sekitarnya. Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati Islam makin diintensifkan dengan pendirian Masjid Agung Cipta Rasa di sisi barat alun-alun Keraton Pakungwati. Islam diluaskan ke berbagai daerah, antara lain, ke Kuningan, Talaga, dan Galuh sekitar 1528-1530, dan ke Banten sekitar 1525-1526 bersama putranya Maulana Hasanuddin. Sekitar 1527 ia mendorong menantunya, panglima yang dikirimkan Pangeran Trenggana dari Demak untuk menyerang Kalapa yang masih dikuasai Kerajaan Sunda. Ketika itu Kerajaan Sunda sudah mengadakan hubungan dengan Portugis dari Malaka sejak 1522.

Sunan Gunung Jati wafat pada 1568, ia dimakamkan di Bukit Sembung atau yang dikenal dengan makam Gunung Jati. Penggantinya di Cirebon ialah buyutnya yang kelak dikenal sebagai Panembahan Ratu putra Pangeran Suwarga yang telah meninggal dunia pada 1565. Pada masa pemerintahannya hubungan dengan Mataram masih diteruskan melalui jalur kekeluargaan antara lain dengan pernikahan kakak perempuan Panembahan Ratu yaitu Ratu Ayu Sakluh dengan Sultan Agung Mataram (1613-1645), yang melahirkan Amangkurat I (1614-1677).

Keberadaan Kesultanan Cirebon menjelang akhir abad ke-17 diwarnai dengan perjanjian-perjanjian VOC antara lain perjanjian pada tanggal 7 Januari 1681. Lewat perjanjian tersebut Kesultanan Cirebon mulai dicampuri politik kolonial VOC. Selain itu di bidang ekonomi-perdagangan, VOC mendapatkan hak monopoli seperti pakaian dan opium. Demikian pula ekspor komoditi lada, beras, kayu, gula, dan sebagainya berada di tangan VOC. Sejak 1697, kekuasaan Keraton Kasepuhan dan Kanoman terbagi lagi atas Kacirebonan dan Kaprabonan. Karena itu menurut pendapat Sharon Sidiqque, Kesultanan Cirebon sejak 1681 sampai 1940 mengalami kemerosotan karena kolonialisme. Meskipun pendapat beberapa ahli agak berbeda namun dapat dikatakan Kesultanan Cirebon merupakan pusat syiar keagamaan dengan penyebarannya berlangsung sebelum 168I. Tasawuf dan tarekat-tarekat keagamaan Islam seperti Kubrawiyah, Qadariyah, Syattariyah, dan kemudian Tijaniyah berkembang di Cirebon. Cirebon sebagai pusat keagamaan banyak menghasilkan naskah-naskah kuno seperti Babad Cerbon, Tarita Puwaka Tjaruban Nagari, Pepakem Cerbon, dan lainnya.

3. Kerajaan-Kerajaan Islam di Kalimantan

Di samping Sumatra dan Jawa, ternyata di Kalimantan juga terdapat beberapa kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam. Apakah kamu sudah mengetahui nama kerajaan-kerajaan Islam yang tumbuh di Kalimantan? Di antara kerajaan Islam itu adalah Kesultanan Pasir (1516), Kesultanan Banjar (1526-1905), Kesultanan Kotawaringin, Kerajaan Pagatan (1750), Kesultanan Sambas (1671), Kesultanan Kutai Kartanegara, Kesultanan Berau (1400), Kesultanan Sambaliung (1810), Kesultanan Gunung Tabur (1820), Kesultanan Pontianak (1771), Kesultanan Tidung, dan Kesultanan Bulungan (1731).

a. Kerajaan Pontianak

Kerajaan-kerajaan yang terletak di daerah Kalimantan Barat antara lain Tanjungpura dan Lawe. Kedua kerajaan tersebut pernah diberitakan Tome Pires (1512-1551). Tanjungpura dan Lawe menurut berita musafir Portugis sudah mempunyai kegiatan dalam perdagangan baik dengan Malaka dan Jawa, bahkan kedua daerah yang diperintah oleh Pate atau mungkin adipati kesemuanya tunduk kepada kerajaan di Jawa yang diperintah Pati Unus. Tanjungpura dan Lawe (daerah Sukadana) menghasilkan komoditi seperti emas, berlian, padi, dan banyak bahan makanan. Banyak barang dagangan dari Malaka yang dimasukkan ke daerah itu, demikian pula jenis pakaian dari Bengal dan Keling yang berwarna merah dan hitam dengan harga yang mahal dan yang murah. Pada abad ke-17, kedua kerajaan itu telah berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Mataram terutama dalam upaya perluasan politik dalam menghadapi ekspansi politik VOC.

Demikian pula Kotawaringin yang kini sudah termasuk wilayah Kalimantan Barat pada masa Kerajaan Banjar juga sudah masuk dalam pengaruh Mataram, sekurang-kurangnya sejak abad ke-16. Meskipun kita tidak mengetahui dengan pasti kehadiran Islam di Pontianak, konon ada pemberitaan bahwa sekitar abad ke-18 atau 1720 ada rombongan pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang di antaranya datang ke daerah Kalimantan Barat untuk mengajarkan membaca al- Qur’an, ilmu fikih, dan ilmu hadis. Mereka di antaranya Syarif Idrus bersama anak buahnya pergi ke Mampawah, tetapi kemudian menelusuri sungai ke arah laut memasuki Kapuas Kecil sampailah ke suatu tempat yang menjadi cikal bakal kota Pontianak. 
Masjid Agung Sambas

Syarif Idrus kemudian diangkat menjadi pimpinan utama masyarakat di tempat itu dengan gelar Syarif Idrus ibn Abdurrahman al-Aydrus yang kemudian memindahkan kota dengan pembuatan benteng atau kubu dari kayu-kayuan untuk pertahanan. Sejak itu Syarif Idrus ibn Abdurrahman al-Aydrus dikenal sebagai Raja Kubu. Daerah itu mengalami kemajuan di bidang perdagangan dan keagamaan, sehingga banyak para pedagang yang berdatangan dari berbagai negeri. Pemerintahan Syarif Idrus (lengkapnya: Syarif Idrus al-Aydrus ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Hassan ibn Alwi ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Husin ibn Abdullah al-Aydrus) memerintah pada 1199-1209 H atau 1779-1789 M.

Cerita lainnya mengatakan bahwa pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang mengajarkan Islam dan datang ke Kalimantan bagian barat terutama ke Sukadana ialah Habib Husin al-Gadri. Ia semula singgah di Aceh dan kemudian ke Jawa sampai di Semarang. Di tempat itulah ia bertemu dengan pedagang Arab bernama Syaikh, karena itulah maka Habib Husin al-Gadri berlayar ke Sukadana. Kesaktiannya menyebabkan ia mendapat banyak simpati dari raja, Sultan Matan dan rakyat. Kemudian Habib Husin al-Gadri pindah dari Matan ke Mempawah untuk meneruskan syiar Islam. Setelah wafat ia diganti oleh salah seorang putranya yang bernama Pangeran Sayid Abdurrahman Nurul Alam. Ia pergi dengan sejumlah rakyatnya ke tempat yang kemudian dinamakan Pontianak dan di tempat inilah ia mendirikan keraton dan masjid agung. Pemerintahan Syarif Abdurrahman Nur Alam ibn Habib Husin al-Gadri pada 1773-1808, digantikan oleh Syarif Kasim ibn Abdurrahman al-Gadri pada 1808-1828 dan selanjutnya Kesultanan Pontianak di bawah pemerintahan sultan-sultan keluarga Habib Husin al-Gadri.

b. Kerajaan Banjar (Banjarmasin)

Kerajaan Banjar (Banjarmasin) terdapat di daerah Kalimantan Selatan yang muncul sejak kerajaan-kerajaan bercorak Hindu yaitu Negara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang berpusat di daerah hulu Sungai Nagara di Amuntai. Kerajaan Nagara Dipa masa pemerintahan Putri Jungjung Buih dan patihnya Lembu Amangkurat, pernah mengadakan hubungan dengan Kerajaan Majapahit. Mengingat pengaruh Majapahit sudah sampai di daerah Sungai Nagara, Batang Tabalung, Barito, dan sebagainya tercatat dalam kitab Nagarakertagama. Hubungan tersebut juga dibuktikan dalam cerita Hikayat Banjar dan Kronik Banjarmasin. Pada waktu menghadapi peperangan dengan Daha, Raden Samudera minta bantuan Kerajaan Demak sehingga mendapat kemenangan. Sejak itulah Raden Samudera menjadi pemeluk agama Islam dengan gelar Sultan Suryanullah. Yang mengajarkan agama Islam kepada Raden Samudera dengan patih-patih serta rakyatnya ialah seorang penghulu Demak. Proses Islamisasi di daerah itu, menurut A.A. Cense, terjadi sekitar 1550 M. Sejak pemerintahan Sultan Suryanullah, Kerajaan Banjar atau Banjarmasin meluaskan kekuasaannya sampai Sambas, Batanglawai Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Madawi, dan Sambangan. Sebagai tanda daerah takluk biasanya pada waktu-waktu tertentu mengirimkan upeti kepada Sultan Suryanullah sebagai penguasa Kerajaan Banjar. Setelah Sultan Suryanullah wafat, ia digantikan oleh putra tertuanya dengan gelar Sultan Rahmatullah. Ketika menjabat sebagai raja, ia masih mengirimkan upeti ke Demak, yang pada waktu itu sudah menjadi Kerajaan Pajang. Setelah Sultan Rahmatullah, yang memerintah Kerajaan Banjarmasin ialah seorang putranya yang bergelar Sultan Hidayatullah. Pengganti Sultan Hidayatullah ialah Sultan Marhum Panambahan atau dikenal dengan gelar Sultan Mustain Billah yang pada masa pemerintahannya berupaya memindahkan ibu kota kerajaan ke Amuntai. Ketika memerintah pada awal abad ke-17 Sultan Mustain Billah ditakuti oleh kerajaan-kerajaan sekitarnya dan ia dapat menghimpun lebih kurang 50.000 prajurit. Demikian kuatnya Kerajaan Banjar sehingga dapat membendung pengaruh politik dari Tuban, Arosbaya, dan Mataram, di samping menguasai daerah-daerah kerajaan di Kalimantan Timur, Tenggara, Tengah, dan Barat.

Pada abad ke-17 di Kerajaan Banjar ada seorang ulama besar yang bernama Muhammad Arsyad ibn Abdullah al-Banjari (1710-1812) lahir di Martapura. Atas biaya kesultanan masa Sultan Tahlil Allah (1700-1745) pergi belajar ke Haramayn selama beberapa tahun. Sekembalinya dari Haramayn ia mengajarkan fikih atau syariah, dengan kitabnya Sabîl al-Muhtadîn. Ia ahli di bidang tasawuf dengan karyanya Khaz al-Ma’rifah. Mengenai riwayat, ajaran dan guru-guru serta kitab-kitab hasil karyanya secara panjang lebar telah dibicarakan oleh Azyumardi Azara dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Sejak wafatnya Sultan Adam, pada 1 November 1857, pergantian sultan-sultan mulai dicampuri oleh kepentingan politik Belanda sehingga terjadi pertentangan-pertentangan antara keluarga raja, terlebih setelah dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Belanda. Perlawanan-perlawanan terhadap Belanda itu terus-menerus dilakukan terutama antara tahun 1859-1863, antara lain oleh Pangeran Antasari, Pangeran Demang Leman, Haji Nasrun dan lainnya. Perlawanan terhadap penjajah Belanda itu sebenarnya terus dilakukan sampai tahun-tahun selanjutnya.
Mesjid peninggalan Kesultanan Banjar, Kesultanan Islam di Kalimantan

4. Kerajaan-Kerajaan Islam di Sulawesi

Di daerah Sulawesi juga tumbuh kerajaan-kerajaan bercorak Islam. Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan yang berlangsung ketika itu. Berikut ini adalah beberapa kerajaan Islam di Sulawesi di antaranya Gowa-Tallo, Bone, Wajo dan Soppeng, dan Kesultanan Buton. Dari sekian banyak kerajaan-kerajaan itu yang terkenal antara lain Kerajaan Gowa-Tallo

a. Kerajaan Gowa-Tallo

Kerajaan Gowa-Tallo sebelum menjadi kerajaan Islam sering berperang dengan kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, seperti dengan Luwu, Bone, Soppeng, dan Wajo. Kerajaan Luwu yang bersekutu dengan Wajo ditaklukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo. Kemudian Kerajaan Wajo menjadi daerah taklukan Gowa menurut Hikayat Wajo. Dalam serangan terhadap Kerajaan Gowa-Tallo, Karaeng Gowa meninggal dan seorang lagi terbunuh sekitar pada 1565. Ketiga Kerajaan Bone, Wajo, dan Soppeng mengadakan persatuan untuk mempertahankan kemerdekaannya yang disebut perjanjian Tellumpocco, sekitar 1582. Sejak Kerajaan Gowa resmi sebagai kerajaan bercorak Islam pada 1605, Gowa meluaskan pengaruh politiknya, agar kerajaan-kerajaan lainnya juga memeluk Islam dan tunduk 
Masjid Bau-Bau, Sulawesi Tenggara

kepada Kerajaan Gowa-Tallo. Kerajaan-kerajaan yang tunduk kepada Kerajaan Gowa-Tallo antara lain Wajo pada 10 Mei 1610, dan Bone pada 23 Nopember 1611.
Makam Sultan Alauddin, Raja Gowa

Di daerah Sulawesi Selatan proses Islamisasi makin mantap dengan adanya para mubalig yang disebut Dato’ Tallu (Tiga Dato), yaitu Dato’ Ri Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri Pattimang (Dato’ Sulaemana atau Khatib Sulung), dan Dato’ Ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu), ketiganya bersaudara dan berasal dari Kolo Tengah, Minangkabau. Para mubalig itulah yang mengislamkan Raja Luwu yaitu Datu’ La Patiware’ Daeng Parabung dengan gelar Sultan Muhammad pada 15-16 Ramadhan 1013 H (4-5 Februari 1605 M). Kemudian disusul oleh Raja Gowa dan Tallo yaitu Karaeng Matowaya dari Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng Tallo) mengucapkan syahadat pada Jumat sore, 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M dengan gelar Sultan Abdullah. Selanjutnya Karaeng Gowa I Manga’ rangi Daeng Manrabbia mengucapkan syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607 M.

Perkembangan agama Islam di daerah Sulawesi Selatan mendapat tempat sebaik-baiknya bahkan ajaran sufisme Khalwatiyah dari Syaikh Yusuf al-Makassari juga tersebar di Kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya pada pertengahan abad ke-17. Karena banyaknya tantangan dari kaum bangsawan Gowa maka ia meninggalkan Sulawesi Selatan dan pergi ke Banten. Di Banten ia terima oleh Sultan Ageng Tirtayasa bahkan dijadikan menantu dan diangkat sebagai mufti di Kesultanan.

Dalam sejarah Kerajaan Gowa perlu dicatat tentang sejarah perjuangan Sultan Hasanuddin dalam mempertahankan kedaulatannya terhadap upaya penjajahan politik dan ekonomi kompeni (VOC) Belanda. Semula VOC tidak menaruh perhatian terhadap Kerajaan Gowa-Tallo yang telah mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan. Berita tentang pentingnya Kerajaan Gowa-Tallo didapat setelah kapal Portugis dirampas oleh VOC pada masa Gubernur Jendral J. P. Coen di dekat perairan Malaka. Di dalam kapal

Makam Datuk Patimang, salah satu penyebar Islam di Sulawesi Selatan

tersebut terdapat orang Makassar. Dari orang Makassar itulah ia mendapat berita tentang pentingnya Pelabuhan Somba Opu sebagai pelabuhan transit terutama untuk mendatangkan rempah-rempah dari Maluku. Pada 1634 VOC memblokir Kerajaan Gowa tetapi tidak berhasil. Peristiwa peperangan dari waktu ke waktu terus berjalan dan baru berhenti antara 1637-1638. Sempat tercipta perjanjian damai namun tidak kekal karena pada 1638 terjadi perampokan kapal orang Bugis yang bermuatan kayu cendana, dan muatannya dijual kepada orang Portugis. Perang di Sulawesi Selatan ini berhenti setelah terjadi perjanjian Bongaya pada 1667 yang sangat merugikan pihak Gowa-Tallo.

b. Kerajaan Wajo

Berita tentang tumbuh dan berkembangnya Kerajaan Wajo terdapat pada sumber hikayat lokal. Di hikayat lokal tersebut ada cerita yang menghubungkan tentang pendirian kampung Wajo yang didirikan oleh tiga orang anak raja dari kampung tetangga Cinnotta’bi yaitu berasal dari keturunan dewa yang mendirikan kampung dan menjadi raja-raja dari ketiga bagian (limpo) bangsa Wajo: Bettempola, Talonlenreng, dan Tua. Kepala keluarga dari mereka menjadi raja di seluruh Wajo dengan gelar Batara Wajo. Batara Wajo yang ketiga dipaksa turun tahta karena kelakuannya yang buruk dan dibunuh oleh tiga orang Ranreng. Menarik perhatian kita bahwa sejak itu raja-raja di Wajo tidak lagi turun temurun tetapi melalui pemilihan dari seorang keluarga raja menjadi arung-matoa artinya raja yang pertama atau utama.

Selama keempat arung-matoa dewan pangreh-praja diperluas dengan tiga pa’betelompo (pendukung panji), 30 arung-ma’bicara (raja hakim), dan tiga duta, sehingga jumlah anggota dewan berjumlah 40 orang. Mereka itulah yang memutuskan segala perkara. Kerajaan Wajo memperluas daerah kekuasaannya sehingga menjadi Kerajaan Bugis yang besar. Wajo pernah bersekutu dengan Kerajaan Luwu  dan bersatu dengan Kerajaan Bone dan Soppeng dalam perjanjian Tellum Pocco pada 1582. Wajo pernah ditaklukan Kerajaan Gowa dalam upaya memperluas Islam dan pernah tunduk pada 1610. Di samping itu diceritakan pula dalam hikayat tersebut bahwa bagaimana Dato’ ri Bandang dan Dato’ Sulaeman memberikan pelajaran agama Islam terhadap raja- raja Wajo dan rakyatnya dalam masalah kalam dan fikih. Pada waktu itu di Kerajaan Wajo dilantik pejabat-pejabat agama atau syura dan yang menjadi kadi pertama di Wajo ialah konon seorang wali dengan mukjizatnya ketika berziarah ke Mekkah. Diceritakan bahwa di Kerajaan Wajo selama 1612 sampai 1679 diperintah oleh sepuluh orang arung-matoa. Persekutuan dengan Gowa pada suatu waktu diperkuat dengan memberikan bantuan dalam peperangan tetapi berulangkali Gowa juga mencampuri urusan pemerintah Kerajaan Wajo. Kerajaan Wajo sering pula membantu Kerajaan Gowa pada peperangan baru dengan Kerajaan Bone pada 1643, 1660, dan 1667. Kerajaan Wajo sendiri pernah ditaklukkan Kerajaan Bone tetapi karena didesak maka Kerajaan Bone sendiri takluk kepada Kerajaan Gowa-Tallo. Perang besar-besaran antara Kerajaan Gowa-Tallo di bawah Sultan Hasanuddin melawan VOC pimpinan Speelman yang mendapat bantuan dari Aru Palaka dari Bone berakhir dengan perjanjian Bongaya pada 1667. Sejak itu terjadi penyerahan Kerajaan Gowa pada VOC dan disusul pada 1670 Kerajaan Wajo yang diserang tentara Bone dan VOC sehingga jatuhlah ibukota Kerajaan Wajo yaitu Tosora. Arung-matoa to Sengeng gugur. Arung-matoa penggantinya terpaksa menandatangani perjanjian di Makassar tentang penyerahan Kerajaan Wajo kepada VOC

4. Kerajaan-Kerajaan Islam di Maluku Utara

Kepulauan Maluku menduduki posisi penting dalam perdagangan dunia di kawasan timur Nusantara. Mengingat keberadaan daerah Maluku ini maka tidak mengherankan jika sejak abad ke-15 hingga abad ke-19 kawasan ini menjadi wilayah perebutan antara bangsa Spanyol, Portugis dan Belanda.

Sejak awal diketahui bahwa di daerah ini terdapat dua kerajaan besar bercorak Islam, yakni Ternate dan Tidore. Kedua kerajaan ini terletak di sebelah barat Pulau Halmahera, Maluku Utara. Kedua kerajaan itu pusatnya masing-masing di Pulau Ternate dan Tidore, tetapi wilayah kekuasaannya mencakup sejumlah pulau di Kepulauan Maluku dan Papua.
Masjid Sultan Ternate

Tanda-tanda awal kehadiran Islam ke daerah Maluku dapat diketahui dari sumber-sumber berupa naskah-naskah kuno dalam bentuk hikayat seperti Hikayat Hitu, Hikayat Bacan,dan hikayat- hikayat setempat lainnya. Sudah tentu sumber berita asing seperti Cina, Portugis, dan lainnya amat menunjang cerita sejarah daerah Maluku itu.

Kerajaan Ternate

Pada abad ke-14 dalam kitab Negarakartagama, karya Mpu Prapanca tahun 1365 M menyebut Maluku dibedakan dengan Ambon yaitu Ternate. Hal itu juga dapat dihubungkan dengan Hikayat Ternate yang antara lain menyebutkan Moeloka (Maluku) artinya Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Pada abad ke-14, masa Kerajaan Majapahit hubungan pelayaran dan perdagangan antara pelabuhan-pelabuhan terutama Tuban dan Gresik dengan daerah Hitu, Ternate, Tidore bahkan Ambon sendiri sudah sering terjadi. Pada abad tersebut pelabuhan-pelabuhan yang masih di bawah Majapahit juga sudah didatangi para pedagang Muslim. Untuk memperoleh komoditi berupa rempah-rempah terutama cengkeh dan pala, para pedagang Muslim dari Arab dan Timur Tengah lainnya itu juga sangat mungkin mendatangi daerah Maluku. Hikayat Ternate menyebutkan bahwa turunan raja-raja Maluku: Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan, berasal dari Jafar Sadik dari Arab. Dalam tradisi setempat dikatakan bahwa Raja Ternate ke-12 bernama Molomatea (1350-1357) bersahabat dengan orang-orang Muslim Arab yang datang ke Maluku memberikan petunjuk pembuatan kapal. Demikian pula diceritakan bahwa pada masa pemerintahan Raja Marhum di Ternate, datang seorang alim dari Jawa bernama Maulana Husein yang mengajarkan membaca al-Qur’an dan menulis huruf Arab yang indah sehingga menarik raja dan keluarganya serta masyarakatnya. Meskipun demikian, mungkin waktu itu agama Islam belum begitu berkembang. Perkembangannya baru pada masa Raja Cico atau putranya Gopi Baguna dan dengan Zainul Abidin pergi ke Jawa belajar agama, iman Islam, dan tauhid makrifat Islam. Zainul Abidin (1486-1500) yang mendapat ajaran Islam dari Giri dan mungkin dari Prabu Atmaka di Jawa dikenal sebagai Raja Bulawa artinya Raja Cengkeh. Sekembalinya dari Jawa ia membawa mubalig yang bernama Tuhubahalul.

Hubungan perdagangan antara Maluku dengan Jawa oleh Tome Pires (1512-1515) juga sudah diberitakan bahkan ia memberikan gambaran Ternate yang didatangi kapal- kapal dari Gresik milik Pate Cusuf, dan Raja Ternate yang sudah memeluk Islam ialah Sultan Bem Acorala dan hanya Raja Ternate yang menggunakan gelar Sultan, sedangkan yang lainnya masih memakai gelar raja-raja di Tidore, Kolano. Pada waktu itu diceritakan Sultan Ternate sedang berperang dengan mertuanya yang menjadi raja di Tidore namanya Raja Almansor. Ternate, Tidore, Bacan, Makyan, Hitu dan Banda pada masa kehadiran Tome Pires sudah banyak yang beragama Islam. Bila Islam memasuki daerah Maluku, Tome Pires mengatakan “50 tahun” lalu yang berarti antara tahun 1460-1465. Tahun-tahun tersebut menunjukkan persamaan dengan berita Antonio yang mengatakan bahwa Islam di daerah Maluku mulai 80 atau 90 tahun lalu dari kehadirannya di daerah Maluku (1540-1545) yang lebih kurang terjadi pada 1460-1463. Kerajaan Ternate sejak itu makin mengalami kemajuan baik di bidang ekonomi-perdagangan maupun di bidang politik, lebih-lebih setelah Sultan Khairun putra Sultan Zainal Abidin menaiki tahta sekitar 1535, Kerajaan Ternate berhasil mempersatukan daerah-daerah di Maluku Utara. Tetapi persatuan daerah-daerah dalam Kerajaan Ternate itu mulai pecah karena kedatangan orang-orang Portugis dan juga orang-orang Spanyol ke Tidore dalam upaya monopoli perdagangan terutama rempah-rempah. Di kalangan kedua bangsa itu juga terjadi persaingan monopoli perdagangan Portugis memusatkan perhatiannya kepada Ternate, sedangkan pedagang Spanyol kepada Tidore.

Pada 1565 Sultan Khairun dengan rakyatnya mengadakan penyerangan-penyerangan terhadap Portugis. Karena hampir terdesak, pihak Portugis melakukan penipuan dengan dalih untuk mengadakan perundingan tetapi ternyata Sultan Khairun dibunuh pada 1570. Hal tersebut tentu menyebabkan makin marahnya rakyat Ternate. Perlawanan rakyat itu diteruskan di bawah pimpinan putranya, Sultan Baabullah yang pada 28 Desember 1577 berhasil mengusir orang-orang Portugis dari Ternate, menyingkir ke pulau dekat Tahula tidak jauh dari Tidore, tetapi tetap diganggu oleh orang-orang Ternate agar menyingkir dari tempat itu. Sultan Baabullah menyatakan dirinya sebagai penguasa seluruh Maluku bahkan mendapat pengakuan kekuasaannya sampai ke berbagai daerah Mindanao, Menado, Sangihe, dan daerah-daerah Nusa Tenggara. Sultan Baabullah mendapat julukan sebagai “Penguasa 72 Kepulauan” dan menganggap sebagai kerajaan seluruh wilayah dan sangat berkuasa. Sultan Baabullah wafat pada 1583. Selain Kerajaan Ternate, kamu dapat mencari sumber lain tentang Kerajaan Tidore, Bacan, Jailolo dan juga proses Islamisasi di Ambon.

6. Kerajaan-Kerajaan Islam di Papua

Sumber-sumber sejarah menunjukkan bahwa penyebaran Islam di Papua sudah berlangsung sejak lama. Bahkan, berdasarkan bukti sejarah terdapat sejumlah kerajaan-kerajaan Islam di Papua, yakni: (1) Kerajaan Waigeo (2) Kerajaan Misool (3) Kerajaan Salawati (4) Kerajaan Sailolof (5) Kerajaan Fatagar (6) Kerajaan Rumbati (terdiri dari Kerajaan Atiati, Sekar, Patipi, Arguni, dan Wertuar) (7) Kerajaan Kowiai (Namatota) (8). Kerajaan Aiduma (9) Kerajaan Kaimana.

Berdasarkan sumber tradisi lisan dari keturunan raja-raja di Raja Ampat-Sorong, Fakfak, Kaimana dan Teluk Bintuni-Manokwari, Islam sudah lebih awal datang ke daerah ini. Ada beberapa pendapat mengenai kedatangan Islam di Papua. Pertama, Islam datang  di Papua tahun 1360 yang disebarkan oleh mubaligh asal Aceh, Abdul Ghafar. Pendapat ini juga berasal dari sumber lisan yang disampaikan oleh putra bungsu Raja Rumbati ke-16 (Muhamad Sidik Bauw) dan Raja Rumbati ke-17 (H. Ismail Samali Bauw). Abdul Ghafar berdakwah selama 14 tahun (1360-1374) di Rumbati dan sekitarnya. Ia kemudian wafat dan dimakamkan di belakang masjid kampung Rumbati tahun 1374.

Kedua, pendapat yang menjelaskan bahwa agama Islam pertama kali mulai diperkenalkan di tanah Papua, tepatnya di jazirah Onin (Patimunin-Fakfak) oleh seorang sufi bernama Syarif Muaz al-Qathan dengan gelar Syekh Jubah Biru dari negeri Arab. Pengislaman ini diperkirakan terjadi pada abad pertengahan abad ke-16, dengan bukti adanya Masjid Tunasgain yang berumur sekitar 400 tahun atau di bangun sekitar tahun 1587.

Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa Islamisasi di Papua, khususnya di Fakfak dikembangkan oleh pedagang-pedagang Bugis melalui Banda dan Seram Timur oleh seorang pedagang dari Arab bernama Haweten Attamimi yang telah lama menetap di Ambon. Proses pengislamannya dilakukan dengan cara khitanan. Di bawah ancaman penduduk setempat jika orang yang disunat mati, kedua mubaligh akan dibunuh, namun akhirnya mereka berhasil dalam khitanan tersebut kemudian penduduk setempat berduyun-duyun masuk agama Islam.

Keempat, pendapat yang mengatakan Islam di Papua berasal dari Bacan. Pada masa pemerintahan Sultan Mohammad al-Bakir, Kesultanan Bacan mencanangkan syiar Islam ke seluruh penjuru negeri, seperti Sulawesi, Fiilipina, Kalimantan, Nusa Tenggara, Jawa dan Papua. Menurut Thomas Arnold, Raja Bacan yang pertama kali masuk Islam adalah Zainal Abidin yang memerintah tahun 1521. Pada masa ini Bacan telah menguasai suku-suku di Papua serta pulau-pulau di sebelah barat lautnya, seperti Waigeo, Misool, Waigama, dan Salawati. Sultan Bacan kemudian meluaskan kekuasaannya hingga ke semenanjung Onin Fakfak, di barat laut Papua tahun 1606. Melalui pengaruhnya dan para pedagang muslim, para pemuka masyarakat di pulau-pulau kecil itu lalu memeluk agama Islam. Meskipun pesisir menganut agama Islam, sebagian besar penduduk asli di pedalaman masih tetap menganut animisme.

Kelima, pendapat yang mengatakan bahwa Islam di Papua berasal dari Maluku Utara (Ternate-Tidore). Sumber sejarah Kesultanan Tidore menyebutkan bahwa pada tahun 1443 Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X atau Sultan Papua I) memimpin ekspedisi ke daratan tanah besar (Papua). Setelah tiba di wilayah Pulau Misool dan Raja Ampat, kemudian Sultan Ibnu Mansur mengangkat Kaicil Patrawar putera Sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi (Kapita Gurabesi). Kapita Gurabesi kemudian dikawinkan dengan putri Sultan Ibnu Mansur bernama Boki Tayyibah. Kemudian berdiri empat kerajaan di Kepulauan Raja Ampat tersebut, yakni Kerajaan Salawati, Kerajaan Misool atau Kerajaan Sailolof, Kerajaan Batanta, dan Kerajaan Waigeo.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa proses Islamisasi tanah Papua, terutama di daerah pesisir barat pada pertengahan abad ke-15, dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan Islam di Maluku (Bacan, Ternate dan Tidore). Hal ini didukung karena faktor letaknya yang strategis, yang merupakan jalur perdagangan rempah- rempah (silk road) di dunia.

Penelitian tentang Islamisasi di Papua sampai saat ini belum begitu banyak, mungkin kamu bisa melakukan penelitian sendiri dengan membaca berbagai bacaan yang ada di perpustakaan sekolah.

7. Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusa Tenggara

Kehadiran Islam ke daerah Nusa Tenggara antara lain ke Lombok diperkirakan terjadi sejak abad ke-16 yang diperkenalkan Sunan Perapen, putra Sunan Giri. Islam masuk ke Sumbawa kemungkinan datang lewat Sulawesi, melalui dakwah para mubalig dari Makassar antara 1540-1550. Kemudian berkembang pula kerajaan Islam salah satunya adalah Kerajaan Selaparang di Lombok.

a. Kerajaan Lombok dan Sumbawa

Selaparang merupakan pusat kerajaan Islam di Lombok di bawah pemerintahan Prabu Rangkesari. Pada masa itulah Selaparang mengalami zaman keemasan dan memegang hegemoni di seluruh Lombok. Dari Lombok, Islam disebarkan ke Pejanggik, Parwa, Sokong, Bayan, dan tempat-tempat lainnya. Konon Sunan Perapen meneruskan dakwahnya dari Lombok menuju Sumbawa. Hubungan dengan beberapa negeri dikembangkan terutama dengan Demak.

Kerajaan-kerajaan di Sumbawa Barat dapat dimasukkan kepada kekuasaan Kerajaan Gowa pada 1618. Bima ditaklukkan pada 1633 dan kemudian Selaparang pada 1640. Pada abad ke- 17 seluruh Kerajaan Islam Lombok berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Gowa. Hubungan antara Kerajaan Gowa dan Lombok dipererat dengan cara perkawinan seperti Pemban Selaparang, Pemban Pejanggik, dan Pemban Parwa. Kerajaan- kerajaan di Nusa Tenggara mengalami tekanan dari VOC setelah terjadinya perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Oleh karena itu pusat Kerajaan Lombok dipindahkan ke Sumbawa pada 1673 dengan tujuan untuk dapat mempertahankan kedaulatan kerajaan-kerajaan Islam di pulau tersebut dengan dukungan pengaruh kekuasaan Gowa. Sumbawa dipandang lebih strategis daripada pusat pemerintahan di Selaparang mengingat ancaman dan serangan dari VOC terus-menerus terjadi.

b. Kerajaan Bima

Bima merupakan pusat pemerintahan atau kerajaan Islam yang menonjol di Nusa Tenggara dengan nama rajanya yang pertama masuk Islam ialah Ruma Ta Ma Bata Wada yang bergelar Sultan Bima I atau Sultan Abdul Kahir. Sejak itu pula terjalin hubungan erat antara Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa, lebih-lebih sejak perjuangan Sultan Hasanuddin kandas akibat perjanjian Bongaya. Setelah Kerajaan Bima terus- menerus melakukan perlawanan terhadap masuknya politik dan monopoli perdagangan VOC akhirnya juga tunduk di bawah kekuasaannya. Ketika VOC mau memperbaharui perjanjiannya dengan Bima pada 1668 ditolak oleh Raja Bima, Tureli Nggampo; ketika Tambora merampas kapal VOC pada 1675 maka Raja Tambora, Kalongkong dan para pembesarnya diharuskan menyerahkan keris-keris pusakanya kepada Holsteijn. Pada 1691, ketika permaisuri Kerajaan Dompu terbunuh, Raja Kerajaan Bima ditangkap dan diasingkan ke Makassar sampai meninggal dunia di dalam penjara. Di antara kerajaan-kerajaan di Lombok, Sumbawa, Bima, dan kerajaan-kerajaan lainnya sepanjang abad ke-18 masih menunjukkan pemberontakan dan peperangan, karena pihak VOC senantiasa memaksakan kehendaknya dan mencampuri pemerintahan kerajaan-kerajaan, bahkan menangkapi dan mengasingkan raja-raja yang melawan.

Sebenarnya jika kita membicarakan sejarah Kerajaan Bima abad ke-19 dapat diperkaya oleh gambaran rinci dalam Syair Kerajaan Bima yang menurut telaah filologi Cambert Loir diperkirakan sangat mungkin syair tersebut dikarang sebelum 1833 M, sebelum Raja Bicara Abdul Nabi meletakkan jabatannya dan diganti oleh putranya. Pendek kata syair itu dikarang oleh Khatib Lukman barangkali pada 1830 M. Syair itu ditulis dalam huruf Jawi dengan bahasa Melayu. Dalam syair itu diceritakan empat peristiwa yang terjadi di Bima pada pertengahan abad ke-19, yaitu, letusan Gunung Tambora, wafat dan pemakaman Sultan Abdul Hamid pada Mei 1819, serangan bajak laut, penobatan Sultan Ismail pada 26 November 1819, Sultan Abdul Hamid dan Wazir Abdul Nabi, pelayaran Sultan Abdul Hamid ke Makassar pada 1792, kontrak Bima pada 26 Mei 1792, pelantikan Raja Bicara Abdul Nabi, serta kedatangan Sultan Ismail, Reinwardt, dan H. Zollinger yang mengunjungi Sumbawa dan menemui Sultan.

D. Jaringan Keilmuan di Nusantara

Memahami Teks

Pada bagian ini anda akan memahami hubungan antara Istana sebagai pusat kekuasaan dan pendidikan. Perkembangan lembaga pendidikan dan pengajaran di masjid-masjid kesultanan sangat ditentukan oleh dukungan penguasa. Sultan bukan saja mendanai kegiatan-kegiatan masjid, tetapi juga mendatangkan para ulama, baik dari mancanegara, terutama Timur Tengah, maupun dari kalangan ulama pribumi sendiri. Para ulama yang kemudian juga difungsikan sebagai pejabat-pejabat negara, bukan saja memberikan pengajaran agama Islam di masjid-masjid negara, tetapi juga di istana sultan. Para sultan dan pejabat tinggi rupanya juga menimba ilmu dari para ulama. Seperti halnya yang terjadi di Kerajaan Islam Samudera Pasai dan Kerajaan Malaka.

Ketika Kerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran dalam bidang politik, tradisi keilmuannya tetap berlanjut. Samudera Pasai terus berfungsi sebagai pusat studi Islam di Nusantara. Namun, ketika Kerajaan Malaka telah masuk Islam, pusat studi keislaman tidak lagi hanya dipegang oleh Samudera Pasai. Malaka kemudian juga berkembang sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara, bahkan mungkin dapat dikatakan berhasil menyainginya. Kemajuan ekonomi Kerajaan Malaka telah mengundang banyak ulama dari mancanegara untuk berpartisipasi dengan lebih intensif dalam proses pendidikan dan pembelajaran agama Islam.

Kerajaan Malaka dengan giat melaksanakan pengajian dan pendidikan Islam. Hal itu terbukti dengan berhasilnya kerajaan ini dalam waktu singkat melakukan perubahan sikap dan konsepsi masyarakat terhadap agama, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Proses pendidikan dan pengakaran itu sebagian berlangsung di kerajaan. Perpustakaan sudah tersedia di istana dan difungsikan sebagai pusat penyalinan kitab-kitab dan penerjemahannya dari bahasa Arab ke bahasa Melayu. Karena perhatian kerajaan yang tinggi terhadap pendidikan Islam, banyak ulama dari mancanegara yang datang ke Malaka, seperti dari Afghanistan, Malabar, Hindustan, dan terutama dari Arab. Banyaknya para ulama besar dari berbagai negara yang mengajar di Malaka telah menarik para penuntut ilmu dari berbagai kerajaan Islam di Asia Tenggara untuk datang. Dari Jawa misalnya, Sunan Bonang dan Sunan Giri pernah menuntut ilmu ke Malaka dan setelah menyelesaikan pendidikannya mereka kembali ke Jawa dan mendirikan lembaga pendidikan Islam di tempat masing-masing.

Hubungan antar kerajaan Islam, misalnya Samudera Pasai, Malaka, dan Aceh Darussalam, sangat bermakna dalam bidang budaya dan keagamaan. Ketiganya tersohor dengan sebutan Serambi Mekkah dan menjadi pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia. Untuk mengintensifkan proses Islamisasi, para ulama telah mengarang, menyadur, dan menerjemahkan karya-karya keilmuan Islam. Sultan Iskandar Muda adalah raja yang sangat memperhatikan pengembangan pendidikan dan pengajaran agama Islam. Ia mendirikan Masjid Raya Baiturrahman, dan memanggil Hamzah al Fanzuri dan Syamsuddin as Sumatrani sebagai penasihat. Syekh Yusuf al Makassari ulama dari Kesultanan Goa di Sulawesi Selatan pernah menuntut ilmu di Aceh Darussalam sebelum melanjutkan ke Mekkah. Melalui pengajaran Abdur Rauf as Singkili telah muncul ulama Minangkabau Syekh Burhanuddin Ulakan yang terkenal sebagai pelopor pendidikan Islam di Minangkabau dan Syekh Abdul Muhyi al Garuti yang berjasa menyebarkan pendidikan Islam di Jawa Barat. Karya-karya susastra dan keagamaan dengan segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam. Kerajaan-kerajaan Islam itu telah merintis terwujudnya idiom kultural yang sama, yaitu Islam. Hal itu menjadi pendorong terjadinya interaksi budaya yang makin erat.

Di Banten, fungsi istana sebagai lembaga pendidikan juga sangat mencolok. Bahkan pada abad ke-17, Banten sudah menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam di pulau Jawa. Para ulama dari berbagai negara menjadikan Banten sebagai tempat untuk belajar. Martin van Bruinessen menyatakan, “Pendidikan agama cukup menonjol ketika Belanda datang untuk pertama kalinya pada 1596 dan menyaksikan bahwa orang-orang Banten memiliki guru-guru yang berasal dari Mekkah”.

Di Palembang, istana (keraton) juga difungsikan sebagai pusat sastra dan ilmu agama. Banyak Sultan Palembang yang mendorong perkembangan intelektual keagamaan, seperti Sultan Ahmad Najamuddin I (1757-1774) dan Sultan Muhammad Baha’uddin (1774-1804). Pada masa pemerintahan mereka, telah muncul banyak ilmuwan asal Palembang yang produktif melahirkan karyakarya ilmiah keagamaan: ilmu tauhid, ilmu kalam, tasawuf, tarekat, tarikh, dan al- Qur’an. Perhatian sultan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Islam tercermin pada keberadaan perpustakaan keraton yang memiliki koleksi yang cukup lengkap dan rapi.

Berkembangnya pendidikan dan pengajaran Islam, telah berhasil menyatukan wilayah Nusantara yang sangat luas. Dua hal yang mempercepat proses itu yaitu penggunaan aksara Arab dan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu (lingua franca). Semua ilmu yang diberikan di lembaga pendidikan Islam di Nusantara ditulis dalam aksara Arab, baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Melayu atau Jawa. Aksara Arab itu disebut dengan banyak sebutan, seperti huruf Jawi (di Melayu) dan huruf pegon (di Jawa). Luasnya penguasaan aksara Arab ke Nusantara telah membuat para pengunjung asal Eropa ke Asia Tenggara terpukau oleh tingginya tingkat kemampuan baca tulis yang mereka jumpai.

Pada 1579, orang Spanyol merampas sebuah kapal kecil dari Brunei. Orang Spanyol itu menguji apakah orang-orang Melayu yang menyatakan diri sebagai budak-budak sultan itu dapat menulis. Dua dari tujuh orang itu dapat (menulis), dan semuanya mampu membaca surat kabar berbahasa Melayu sendiri-sendiri.

Berkembangnya pendidikan Islam di istana-istana raja seolah menjadi pendorong munculnya pendidikan dan pengajaran di masyarakat. Setelah terbentuknya berbagai ulama hasil didikan dari istana-istana, makamurid-muridnyamelakukanpendidikanketingkatan yang lebih luas, dengan dilangsungkannya pendidikan di rumah- rumah ulama untuk masyarakat umum, khususnya sebagai tempat pendidikan dasar, layaknya kuttâb di wilayah Arab. Sebagaimana kuttâb (lembaga pendidikan dasar di Arab sejak masa Rasulullah) yang biasa mengambil tempat di rumah-rumah ulama, di Nusantara pendidikan dasar berlangsung di rumah-rumah guru. Pelajaran yang diberikan terutama membaca al-Qur’an, menghafal ayat-ayat pendek, dan belajar bacaan salat lima waktu. Dan ini diperkirakan sama tuanya dengan kehadiran Islam di wilayah ini.

Di Nusantara, masjid-masjid yang berada di pemukiman penduduk yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat menjalankan fungsi pendidikan dan pengajaran untuk masyarakat umum. Di sinilah terjadi demokratisasi pendidikan dalam sejarah Islam. Demikianlah yang terjadi di wilayah-wilayah Islam di Nusantara, seperti Malaka dan kemudian Johor, Aceh Darussalam, Minangkabau, Palembang, Demak, Cirebon, Banten, Pajang, Mataram, Gowa-Tallo, Bone, Ternate, Tidore, Banjar, Papua dan lain sebagainya. Bahkan mungkin karena memiliki tingkat otonomi dan kebebasan tertentu, di masjid proses pendidikan dan pengajaran mengalami perkembangan. Tidak jarang di antaranya berkembang menjadi sebuah lembaga pendidikan yang cukup kompleks, seperti meunasah di Aceh, surau di Minangkabau, langgar di Kalimantan dan pesantren di Jawa.

E. Akulturasi dan Perkembangan Budaya Islam

Mengamati Lingkungan

Menara Masjid Kudus
Coba anda cari gambar menara Masjid Kudus. Bentuknya unik seperti candi langgam Jawa Timur. Di bagian atas ada beduk yang dibunyikan seiring datangnya waktu salat. Itulah bentuk nyata akulturasi dalam kebudayaan di Indonesia. Di Nusantara banyak terdapat bangunan yang akulturatif dan budaya non fisik yang merupakan perpaduan antara budaya Islam dengan budaya lain. Untuk lebih menghayati perkembangan hasil budaya ini, kamu dapat mengkaji uraian berikut

Memahami Teks

Berkembangnya kebudayaan Islam di Kepulauan Indonesia telah menambah khasanah budaya nasional Indonesia, serta ikut memberikan dan menentukan corak kebudayaan bangsa Indonesia. Akan tetapi karena kebudayaan yang berkembang di Indonesia sudah begitu kuat di lingkungan masyarakat maka berkembangnya kebudayaan Islam tidak menggantikan atau memusnahkan kebudayaan yang sudah ada. Dengan demikian terjadi akulturasi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan yang sudah ada.

Hasil proses akulturasi antara kebudayaan praIslam dengan ketika Islam masuk tidak hanya berbentuk fisik kebendaan seperti seni bangunan, seni ukir atau pahat, dan karya sastra tetapi juga menyangkut pola hidup dan kebudayaan non fisik lainnya. Beberapa contoh bentuk akulturasi akan ditunjukkan pada paparan berikut.

1. Seni Bangunan

Seni dan arsitektur bangunan Islam di Indonesia sangat unik, menarik dan akulturatif. Seni bangunan yang menonjol di zaman perkembangan Islam ini terutama masjid, menara serta makam.

a. Masjid dan Menara

Dalam seni bangunan di zaman perkembangan Islam, nampak ada perpaduan antara unsur Islam dengan kebudayaan praIslam yang telah ada. Seni bangunan Islam yang menonjol adalah masjid. Fungsi utama dari masjid, adalah tempat beribadah bagi orang Islam. Masjid atau mesjid dalam bahasa Arab mungkin berasal dari bahasa Aramik atau bentuk bebas dari perkataan sajada yang artinya merebahkan diri untuk bersujud. Dalam bahasa Ethiopia terdapat perkataan mesgad yang dapat diartikan dengan kuil atau gereja. Di antara dua pengertian tersebut yang mungkin primer ialah tempat orang merebahkan diri untuk bersujud ketika salat atau sembahyang.

Pengertian tersebut dapat dikaitkan dengan salah satu hadis sahih al-Bukhârî yang menyatakan bahwa “Bumi ini dijadikan bagiku untuk masjid (tempat salat) dan alat pensucian (buat tayamum) dan di tempat mana saja seseorang dari umatku mendapat waktu salat, maka salatlah di situ.” Jika pengertian tersebut dapat dibenarkan dapat pula diambil asumsi bahwa ternyata agama Islam telah memberikan pengertian perkataan masjid atau mesjid itu bersifat universal.

Dengan sifat universal itu, maka orang-orang Muslim diberikan keleluasaan untuk melakukan ibadah salat di tempat manapun asalkan bersih. Karena itu tidak mengherankan apabila ada orang Muslim yang melakukan salat di atas batu di sebuah sungai, di atas batu di tengah sawah atau ladang, di tepi jalan, di lapangan rumput, di atas gubug penjaga sawah atau ranggon (Jawa, Sunda), di atas bangunan gedung dan sebagainya. Meskipun pengertian hadist tersebut memberikan keleluasaan bagi setiap Muslim untuk salat, namun dirasakan perlunya mendirikan bangunan khusus yang disebut masjid sebagai tempat peribadatan umat Islam. Masjid sebenarnya mempunyai fungsi yang luas yaitu sebagai pusat untuk menyelenggarakan keagamaan Islam, pusat untuk mempraktikkan ajaran-ajaran persamaan hak dan persahabatan di kalangan umat Islam. Demikian pula masjid dapat dianggap sebagai pusat kebudayaan bagi orang-orang Muslim.

Di Indonesia sebutan masjid serta bangunan tempat peribadatan lainnya ada bermacam-macam sesuai dan tergantung kepada masyarakat dan bahasa setempat. Sebutan masjid, dalam bahasa Jawa lazim disebut mesjid, dalam bahasa Sunda disebut masigit, dalam bahasa Aceh disebut meuseugit, dalam bahasa Makassar dan Bugis disebut masigi.

Bangunan masjid-masjid kuno di Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Atapnya berupa atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil dan tingkat yang paling atas berbentuk limas. Jumlah tumpang biasanya selalu gasal/ ganjil, ada yang tiga, ada juga yang lima. Ada pula yang tumpangnya dua, tetapi yang ini dinamakan tumpang satu, jadi angka gasal juga. Atap yang demikian disebut meru. Atap masjid biasanya masih diberi lagi sebuah kemuncak/ puncak yang dinamakan mustaka.
  2. Tidak ada menara yang berfungsi sebagai tempat mengumandangkan adzan. Berbeda dengan masjid-masjid di luar Indonesia yang umumnya terdapat menara. Pada masjid- masjid kuno di Indonesia untuk menandai datangnya waktu salat dilakukan dengan memukul beduk atau kentongan. Yang istimewa dari Masjid Kudus dan Masjid Banten adalah menaranya yang bentuknya begitu unik. Bentuk menara Masjid Kudus merupakan sebuah candi langgam Jawa Timur yang telah diubah dan disesuaikan penggunaannya dengan diberi atap tumpang. Pada Masjid Banten, menara tambahannya dibuat menyerupai mercusuar.
  3. Masjid umumnya didirikan di ibu kota atau dekat istana kerajaan. Ada juga masjid-masjid yang dipandang keramat yang dibangun di atas bukit atau dekat makam. Masjid-masjid di zaman Wali Sanga umumnya berdekatan dengan makam.

b. Makam

Kompleks makam raja-raja Kesultanan Palembang Kawah Tengkurep

Makam-makam yang lokasinya di dataran dekat masjid agung, bekas kota pusat kesultanan antara lain makam sultan- sultan Demak di samping Masjid Agung Demak, makam raja- raja Mataram-Islam Kota Gede (D.I. Yogyakarta), makam sultan- sultan Palembang, makam sultan-sultan di daerah Nanggroe Aceh, yaitu kompleks makam di Samudera Pasai, makam sultan-sultan Aceh di Kandang XII, Gunongan dan di tempat lainnya di Nanggroe Aceh, makam sultan-sultan Siak Indrapura (Riau), makam sultan-sultan Palembang, makam sultan-sultan Banjar di Kuin (Banjarmasin), makam sultan-sultan di Martapura (Kalimantan Selatan), makam sultan-sultan Kutai (Kalimantan Timur), makam Sultan Ternate di Ternate, makam sultan-sultan Goa di Tamalate, dan kompleks makam raja-raja di Jeneponto dan kompleks makam di Watan Lamuru (Sulawesi Selatan), makam-makam di berbagai daerah lainnya di Sulawesi Selatan, serta kompleks makam Selaparang di Nusa Tenggara.

Di beberapa tempat terdapat makam-makam yang meski tokoh yang dikubur termasuk wali atau syaikh namun, penempatannya berada di daerah dataran tinggi. Makam tokoh tersebut antara lain, makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Derajat (Lamongan), makam Sunan Kalijaga di Kadilangu (Demak), makam Sunan Kudus di Kudus, makam Maulana Malik Ibrahim dan makam Leran di Gresik (Jawa Timur), makam Datuk Ri Bkalianng di Takalar (Sulawesi Selatan), makam Syaikh Burhanuddin (Pariaman), makam Syaikh Kuala atau Nuruddin ar- Raniri (Aceh) dan masih banyak para dai lainnya di tanah air yang dimakamkan di dataran.

Makam-makam yang terletak di tempat-tempat tinggi atau di atas bukit-bukit sebagaimana telah dikatakan di atas, masih menunjukkan kesinambungan tradisi yang mengandung unsur kepercayaan pada  ruh-ruh nenek  moyang yang sebenarnya sudah dikenal dalam pengejawantahan pendirian punden-punden berundak Megalitik. Tradisi tersebut dilanjutkan pada masa  kebudayaan Indonesia Hindu-Buddha yang diwujudkan dalam bentuk bangunan-bangunan yang disebut candi. Antara lain Candi Dieng yang berketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut, Candi Gedongsanga, Candi Borobudur. Percandian Prambanan, Candi Ceto dan Candi Sukuh di daerah Surakarta, Percandian Gunung Penanggungan dan lainnya. Menarik perhatian kita bahwa makam Sultan Iskandar Tsani dimakamkan di Aceh dalam sebuah bangunan berbentuk gunungan yang dikenal pula unsur meru.

Setelah kebudayaan Indonesia Hindu-Buddha mengalami keruntuhan dan tidak lagi ada pendirian bangunan percandian, unsur seni bangunan keagamaan masih diteruskan pada masa tumbuh dan berkembangnya Islam di Indonesia melalui proses akulturasi. Makam-makam yang lokasinya di atas bukit, makam yang paling atas adalah yang dianggap paling dihormati misalnya Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah di Gunung Sembung, di bagian teratas kompleks pemakaman Imogiri ialah yang mengambil tempat datar misalnya di Kota Gede, orang yang paling dihormati ditempatkan di bagian tengah. Makam walisongo dan sultan-sultan pada umumnya ditempatkan dalam bangunan yang disebut cungkup yang masih bergaya kuno dan juga dalam bangunan yang sudah diperbaharui. Cungkup- cungkup yang termasuk kuno antara lain cungkup makam Sunan Giri, Sunan Derajat, dan Sunan Gunung Jati. Demikian juga cungkup makam sultan-sultan yang dapat dikatakan masih menunjukkan kekunoannya walaupun sudah mengalami perbaikan contohnya cungkup makam sultan-sultan Demak, Banten, dan Ratu Kalinyamat (Jepara).

Di samping bangunan makam, terdapat tradisi pemakaman yang sebenarnya bukan berasal dari ajaran Islam. Misalnya, jenazah dimasukkan ke dalam peti. Pada zaman kuno ada peti batu, kubur batu dan lainnya. Sering pula di atas kubur diletakkan bunga-bunga. Pada hari ke-3, ke-7, ke40, ke-100, satu tahun, dua tahun, dan 1000 hari diadakan selamatan. Saji- sajian dan selamatan adalah unsur pengaruh kebudayaan pra- Islam, tetapi doa-doanya secara Islam. Hal ini jelas menunjukkan perpaduan. Sesudah upacara terakhir (seribu hari) selesai, barulah kuburan diabadikan, artinya diperkuat dengan bangunan dan batu. Bangunan ini disebut jirat atau kijing.
Nisannya diganti dengan nisan batu. Di atas jirat sering didirikan semacam rumah yang di atas disebut cungkup. Dalam kaitan dengan makam Islam ada juga istilah masjid makam. Apa yang dimaksud masjid makam itu?

2. Seni Ukir

Pada masa perkembangan Islam di zaman madya, berkembang ajaran bahwa seni ukir, patung, dan melukis makhluk hidup, apalagi manusia secara nyata, tidak diperbolehkan. Di Indonesia ajaran tersebut ditaati. Hal ini menyebabkan seni patung di Indonesia pada zaman madya, kurang berkembang. Padahal pada masa sebelumnya seni patung sangat berkembang, baik patung-patung bentuk manusia maupun binatang. Akan tetapi, sesudah zaman madya, seni patung berkembang seperti yang dapat kita saksikan sekarang ini.
Ukiran di Mimbar Masjid Gelgel, Klungkung, Bali 

Walaupun seni patung untuk menggambarkan makhluk hidup secara nyata tidak diperbolehkan. Akan tetapi, seni pahat atau seni ukir terus berkembang. Para seniman tidak ragu-ragu mengembangkan seni hias dan seni ukir dengan motif daun-daunan dan bunga-bungaan seperti yang telah dikembangkan sebelumnya. Kemudian juga ditambah seni hias dengan huruf Arab (kaligrafi). Bahkan muncul kreasi baru, yaitu kalau terpaksa ingin melukiskan makluk hidup, akan  disamar  dengan  berbagai hiasan, sehingga tidak lagi jelas-jelas berwujud binatang atau manusia.

Banyak sekali bangunan-bangunan Islam yang dihiasi dengan berbagai motif ukir-ukiran. Misalnya, ukir-ukiran pada pintu atau tiang pada bangunan keraton ataupun masjid, pada gapura atau pintu gerbang. Dikembangkan juga seni hias atau seni ukir dengan bentuk tulisan Arab yang dicampur dengan ragam hias yang lain. Bahkan ada seni kaligrafi yang membentuk orang, binatang, atau wayang.

3. Aksara dan Seni Sastra

Tersebarnya Islam di Indonesia membawa pengaruh dalam bidang aksara atau tulisan. Abjad atau huruf-huruf Arab sebagai abjad yang digunakan untuk menulis bahasa Arab mulai digunakan di Indonesia. Bahkan huruf Arab digunakan di bidang seni ukir. Berkaitan dengan itu berkembang seni kaligrafi

Di samping pengaruh sastra Islam dan Persia, perkembangan sastra di zaman madya tidak terlepas dari pengaruh unsur sastra sebelumnya. Dengan demikian terjadilah akulturasi antara sastra Islam dengan sastra yang berkembang di zaman pra-Islam. Seni sastra di zaman Islam terutama berkembang di Melayu dan Jawa. Dilihat dari corak dan isinya, ada beberapa jenis seni sastra seperti berikut.
  1. Hikayat adalah karya sastra yang berisi cerita sejarah ataupun dongeng. Dalam hikayat banyak ditulis berbagai peristiwa yang menarik, keajaiban, atau hal-hal yang tidak masuk akal. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa). Hikayat-hikayat yang terkenal, misalnya Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Khaidir, Hikayat si Miskin, Hikayat 1001 Malam, Hikayat Bayan Budiman, dan Hikayat Amir Hamzah.
    Naskah Hikayat Amir Hamzah
  2. Babad mirip dengan hikayat. Penulisan babad seperti tulisan sejarah, tetapi isinya tidak selalu berdasarkan fakta. Jadi, isinya campuran antara fakta sejarah, mitos, dan kepercayaan. Di tanah Melayu terkenal dengan sebutan tambo atau salasilah. Contoh babad adalah Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, Babad Mataram, dan Babad Surakarta.
  3. Syair berasal dari perkataan Arab untuk menamakan karya sastra berupa sajak-sajak yang terdiri atas empat baris setiap baitnya. Contoh syair sangat tua adalah syair yang tertulis pada batu nisan makam putri Pasai di Minye Tujoh.
  4. Suluk merupakan karya sastra yang berupa kitab-kitab dan isinya menjelaskan soal-soal tasawufnya. Contoh suluk yaitu Suluk Sukarsa, Suluk Wujil, dan Suluk Malang Sumirang.

4. Kesenian

Di Indonesia, Islam menghasilkan kesenian bernafas Islam yang bertujuan untuk menyebarkan ajaran Islam. Kesenian tersebut, misalnya sebagai berikut.
  1. Permainan debus, yaitu tarian yang pada puncak acara para penari menusukkan benda tajam ke tubuhnya tanpa meninggalkan luka. Tarian ini diawali dengan pembacaan ayat- ayat dalam Al Quran dan salawat nabi. Tarian ini terdapat di Banten dan Minangkabau.
  2. Seudati, sebuah bentuk tarian dari Aceh. Seudati berasal dan kata syaidati yang artinya permainan orang-orang besar. Seudati sering disebut saman artinya delapan. Tarian ini aslinya dimainkan oleh delapan orang penari. Para pemain menyanyikan lagu yang isinya antara lain salawat nabi
  3. Wayang, termasuk wayang kulit. Pertunjukan wayang sudah berkembang sejak zaman Hindu, akan tetapi, pada zaman Islam terus dikembangkan. Kemudian berdasarkan cerita Amir Hamzah dikembangkan pertunjukan wayang golek.

5. Kalender

Menjelang tahun ketiga pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, beliau berusaha membenahi kalender Islam. Perhitungan tahun yang dipakai atas dasar peredaran bulan (komariyah). Umar menetapkan tahun 1 H bertepatan dengan tanggal 14 September 622 M, sehingga sekarang kita mengenal tahun Hijriyah. Sistem kalender itu juga berpengaruh di Nusantara. Bukti perkembangan sistem penanggalan (kalender) yang paling nyata adalah sistem kalender yang diciptakan oleh Sultan Agung. Ia melakukan sedikit perubahan, mengenai nama-nama bulan pada tahun Saka. Misalnya bulan Muharam diganti dengan Sura dan Ramadan diganti dengan Pasa. Kalender tersebut dimulai tanggal 1 Muharam tahun 1043 H. Kalender Sultan Agung dimulai tepat dengan tanggal 1 Sura tahun 1555 Jawa (8 Agustus 1633).

Masih terdapat beberapa bentuk lain dan akulturasi antara kebudayaan pra-Islam dengan kebudayaan Islam. Misalnya upacara kelahiran perkawinan dan kematian. Masyarakat Jawa juga mengenal berbagai kegiatan selamatan dengan bentuk kenduri. Selamatan diadakan pada waktu tertentu. Misalnya, selamatan atau kenduri pada 10 Muharam untuk memperingati Hasan-Husen (putra Ali bin Abu Thalib), Maulid Nabi (untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad), Ruwahan (Nyadran) untuk menghormati para leluhur atau sanak keluarga yang sudah meninggal.

G. Proses Integrasi Nusantara

Mengamati Lingkungan

Integrasi suatu bangsa adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan adanya integrasi akan melahirkan satu kekuatan bangsa yang ampuh dan segala persoalan yang timbul dapat dihadapi bersama-sama. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah wujud konkret dari proses integrasi bangsa. Proses integrasi bangsa Indonesia ini ternyata sudah berlangsung cukup lama bahkan sudah dimulai sejak awal tarikh masehi. Pada abad ke-16 proses integrasi bangsa Indonesia mulai mengalami kemajuan pesat sejak proses Islamisasi. Coba kamu perhatikan dari bacaan di atas hubungan antara ulama dari berbagai daerah telah mempercepat proses persatuan bangsa-bangsa di kepulauan Indonesia. Ulama- ulama dari Minangkabau misalnya sudah berhasil mengislamkan saudara-saudara kita di Sulawesi, begitu juga ulama Sulawesi juga telah berperan dalam mengislamkan saudara-saudara kita di Bima, Nusa Tenggara, Kepulauan Riau dan sebagainya, begitu juga ulama dari Jawa Timur telah mengislamkan Ternate dan Tidore, tentu kalau diurai satu persatu maka hubungan antar ulama ini telah menyatukan seluruh wilayah Indonesia bahkan di sampai ke Malaka dan Singapura.

Memahami Teks

1. Peranan Para Ulama dalam Proses Integrasi

Agama Islam yang masuk dan berkembang di Nusantara mengajarkan kebersamaan dan mengembangkan toleransi dalam kehidupan beragama. Islam mengajarkan persamaan dan tidak mengenal kasta-kasta dalam kehidupan masyarakat. Konsep ajaran Islam memunculkan perilaku ke arah persatuan dan persamaan derajat. Disisi lain, datangnya pedagang-pedagang Islam di Indonesia mendorong berkembangnya tempat-tempat perdagangan di daerah pantai. Tempat-tempat perdagangan itu kemudian berkembang menjadi pelabuhan dan kota-kota pantai. Bahkan kota-kota pantai yang merupakan bandar dan pusat perdagangan, berkembang menjadi kerajaan. Timbulnya kerajaan-kerajaan Islam merupakan awal terjadinya proses integrasi. Meskipun masing-masing kerajaan memiliki cara dan faktor pendukung yang berbeda-beda dalam proses integrasinya.

2. Peran Perdagangan Antarpulau

Proses integrasi juga terlihat melalui kegiatan pelayaran dan perdagangan antarpulau. Sejak zaman kuno, kegiatan pelayaran dan perdagangan sudah berlangsung di Kepulauan Indonesia. Pelayaran dan perdagangan itu berlangsung dari daerah yang satu ke daerah yang lain, bahkan antara negara yang satu dengan negara yang lain. Kegiatan pelayaran dan perdagangan pada umumnya berlangsung dalam waktu yang lama. Hal ini, menimbulkan pergaulan dan hubungan kebudayaan antara para pedagang dengan penduduk setempat. Kegiatan semacam ini mendorong terjadinya proses integrasi.

Pada mulanya penduduk di suatu pulau cukup memenuhi kebutuhan hidupnya dengan apa yang ada di pulau tersebut. Dalam perkembangannya, mereka ingin mendapatkan barang-barang yang terdapat di pulau lain. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, terjadilah hubungan dagang antar pulau. Angkutan yang paling murah dan mudah adalah angkutan laut (kapal/perahu), maka berkembanglah pelayaran dan perdagangan. Terjadinya pelayaran dan perdagangan antarpulau di kepulauan Indonesia yang diikuti pengaruh di bidang budaya turut berperan serta mempercepat perkembangan proses integrasi. Misalnya, para pedagang dari Jawa berdagang ke Palembang, atau para pedagang dari Sumatra berdagang ke Jepara. Hal ini menyebabkan terjadinya proses integrasi antara Sumatra dan Jawa. Para pedagang di Banjarmasin berdagang ke Makassar, atau sebaliknya. Hal ini menyebabkan terjadi proses integrasi antara masyarakat Banjarmasin (Kalimantan) dengan masyarakat Makassar (Sulawesi). Para pedagang Makassar  dan Bugis memiliki  peranan penting dalam proses integrasi. Mereka berlayar hampir ke seluruh Kepulauan Indonesia bahkan jauh sampai ke luar Kepulauan Indonesia.

Pulau-pulau penting di Indonesia, pada umumnya memiliki pusat- pusat perdagangan. Sebagai contoh di Sumatra terdapat Aceh, Pasai, Barus, dan Palembang. Jawa memiliki beberapa pusat perdagangan misalnya Banten Sunda Kelapa, Jepara, Tuban, Gresik, Surabaya, dan Blambangan. Kemudian di dekat Sumatra ada bandar Malaka. Malaka berkembang sebagai bandar terbesar di Asia Tenggara. Tahun 1511 Malaka jatuh ke tangan Portugis. Akibatnya perdagangan Nusantara berpindah ke Aceh. Dalam waktu singkat Aceh berkembang sebagai bandar dan menjadi sebuah kerajaan yang besar. Para pedagang dari pulau-pulau lain di Indonesia juga datang dan berdagang di Aceh.

Sementara itu, sejak awal abad ke-16 di Jawa berkembang Kerajaan Demak dan beberapa bandar sebagai pusat perdagangan. Di kepulauan Indonesia bagian tengah maupun timur juga berkembang kerajaan dan pusat-pusat perdagangan. Dengan demikian, terjadi hubungan dagang antardaerah dan antarpulau. Kegiatan perdagangan antarpulau mendorong terjadinya proses integrasi yang terhubung melalui para pedagang. Proses integrasi itu juga diperkuat dengan berkembangnya hubungan kebudayaan. Bahkan juga ada yang diikuti dengan perkawinan.

3. Peran Bahasa

Perlu juga kamu pahami bahwa bahasa juga memiliki peran yang strategis dalam proses integrasi. Kamu tahu bahwa Kepulauan Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau yang dihuni oleh aneka ragam suku bangsa. Tiap-tiap suku bangsa memiliki bahasa masing-masing. Untuk mempermudah komunikasi antarsuku bangsa, diperlukan satu bahasa yang menjadi bahasa perantara dan dapat dimengerti oleh semua suku bangsa. Jika tidak memiliki kesamaan bahasa, persatuan tidak akan terjadi karena di antara suku bangsa timbul kecurigaan dan prasangka lain.

Bahasa merupakan sarana pergaulan. Bahasa Melayu digunakan hampir di semua pelabuhan-pelabuhan di Kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu sejak zaman kuno sudah menjadi bahasa resmi negara Melayu (Jambi). Pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, bahasa Melayu dijadikan bahasa resmi dan bahasa ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dilihat dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M, Prasasti Talang Tuo tahun 684 M, Prasasti Kota Kapur tahun 685 M, dan Prasasti Karang Berahi tahun 686 M.

Para pedagang di daerah-daerah sebelah timur Nusantara, juga menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Dengan demikian, berkembanglah bahasa Melayu ke seluruh Kepulauan Nusantara. Pada mulanya bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa dagang. Akan tetapi lambat laun bahasa Melayu tumbuh menjadi bahasa perantara dan menjadi lingua franca di seluruh Kepulauan Nusantara. Di Semenanjung Malaka (Malaysia seberang), pantai timur Pulau Sumatra, pantai barat Pulau Sumatra, Kepulauan Riau, dan pantai-pantai Kalimantan, penduduk menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan.

Masuk dan  berkembangnya agama  Islam, mendorong perkembangan bahasa Melayu. Buku-buku agama dan tafsir al- Qur’an juga mempergunakan bahasa Melayu. Ketika menguasai Malaka, Portugis mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan bahasa Portugis, namun kurang berhasil. Pada tahun 1641 VOC merebut Malaka dan kemudian mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan bahasa Melayu. Jadi, secara tidak sengaja, kedatangan VOC secara tidak langsung ikut mengembangkan bahasa Melayu.

H. Kesimpulan

  1. Perkembangan Islam di Nusantara tidak pernah terlepas dari dinamika Islam di kawasan-kawasan lain. Karena itu, adalah keliru pandangan yang menganggap seolah-olah Islam Nusantara berkembang secara tersendiri serta terisolasi dari perkembangan dan dinamika Islam di tempat-tempat lain. Peradaban Islam Nusantara juga menampilkan ciri-ciri dan karakter yang khas, relatif berbeda dengan peradaban Islam di wilayah-wilayah perabadan Muslim lainnya, misalnya Arab, Turki, Persia, Afrika Hitam, dan Dunia Barat.
  2. Islam yang datang pertama kali adalah Islam yang umumnya dibawa para guru pengembara Sufi, yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk menyebarkan Islam. Islam sufistik yang dibawa para guru pengembara ini jelas memiliki kecenderungan kuat untuk lebih menerima terhadap tradisi dan praktik keagamaan lokal. Bagi guru- guru Sufi pengembara ini, yang paling penting adalah pengucapan dua kalimah syahadat, setelah itu barulah memperkenalkan ketentuan- ketentuan hukum Islam.
  3. Masyarakat Nusantara pada umumnya adalah masyarakat pesisir yang kehidupan mereka tergantung pada perdagangan antarpulau dan antarbenua. Sedangkan mereka yang berada di pedalaman adalah masyarakat agraris, yang kehidupan mereka tergantung kepada pertanian.
  4. Dalam bidang kebudayaan, umat Islam mempunyai ciri yang khusus pula dari budaya material (material culture) dalam kehidupan sehari- hari, sampai kepada budaya spiritual (spiritual culture). Bahkan sampai sekarang kita masih bisa menyaksikan berbagai kesinambungan tertentu antara tradisi Islam dengan tradisi budaya spiritual praIslam yang sedikit banyak diwarnai tradisi Hindu, Buddha, dan bahkan tradisi keagamaan spritual lokal
  5. Faktor pemersatu terpenting di antara berbagai suku bangsa Nusantara adalah Islam. Islam mengatasi perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara berbagai suku bangsa dan menjadi identitas yang mengatasi batas-batas geografis, sentimen etnis, identitas kesukuan, adat istiadat dan tradisi lokal lainnya. Tentu saja, sejauh menyangkut pemahaman dan pengamalan Islam, terdapat pula perbedaan- perbedaan tertentu terhadap doktrin dan ajaran Islam sesuai rumusan para ulama, bukan dengan identitas suku bangsa
  6. Faktor pemersatu kedua, yaitu bahasa Melayu. Bahasa ini sebelum kedatangan Islam digunakan hanya di lingkungan etnis terbatas, yakni suku bangsa Melayu di Palembang, Riau, Deli (Sumatra Timur), dan Semenanjung Malaya. Terdapat bahasa-bahasa lain yang digunakan lebih banyak orang suku bangsa lain di Nusantara, seperti bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Bahasa Melayu yang lebih egaliter dibanding bahasa Jawa, diadopsi sebagai lingua franca oleh para penyiar Islam, ulama, dan pedagang. Kedudukan bahasa Melayu sebagai lingua franca Islam di Nusantara bertambah kuat ketika bahasa Melayu ditulis dengan aksara Arab. Bersamaan dengan adopsi huruf-huruf Arab, maka dilakukan pula pengenalan dan penyesuaian pada aksara Arab tertentu untuk kepentingan bahasa-bahasa lokal di Nusantara. Kedudukan bahasa Melayu itu menjadi semakin lebih kuat lagi ketika para ulama menulis banyak karya mereka dengan bahasa Melayu berhuruf Jawi tersebut, sehingga pada gilirannya, tulisan Jawi menjadi alat komunikasi dan dakwah tertulis bagi masyarakat Melayu-Nusantara menggantikan beberapa bentuk tulisan yang berkembang sebelumnya.
  7. Warisan terbaik dari sejarah zaman Islam lainnya ialah adanya pengintegrasian Nusantara lewat nasionalisme keagamaan dan jaringan perdagangan antarpulau.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 1996. Islam dan Pluralisme di Asia Tenggara.
Jakarta: LIPI.

---------. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah. Jilid II. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
---------. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah. Jilid III. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Anonim. 1988. Seri Penerbitan Sejarah Peradaban Manusia Zaman Mataram Kuno. Jakarta: Gita Karya.
Anonim. 1990. Seri Penerbitan Sejarah Peradaban Manusia zaman Mataram Islam. Jakarta: Multiguna.
Azra, Azyumardi. 2002. Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
Badrika, I Wayan. 2006. Sejarah untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga.
C. G. G. J. Van Steenis, 2006. Flora Pegunungan Jawa. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Daldjoeni, N.1992. Geografi kesejarahan II Indonesia. Bandung: Alumni.

Direktorat Permuseuman. 1997. Untaian Manik-Manik Nusantara.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Graaf, H.J. de & T.H. Pigeud. 1986. Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik abad XV dan XVI. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti & KITLV.
Hall, D. G . E. 1988. Sejarah Asia Tenggara. Sutabaya: PT Usaha Nasional.
Hasymy, A. 1989. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Medan: Penerbit Alma’arif.
Kartodirdjo, Sartono.1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500- 1900 dari Emporium sampai Empirium. Jakarta: Gramedia
Koentjaraningrat. 1997. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.
Jakarta: Penerbit Djambatan

Kristinah, Endang dan Aris Soviyani. 2007. Mutiara-Mutiara Majapahit. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Lombard, Denis. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian III: Wawasan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Jakarta: PT. Gramedia.
Munandar, Agus Aris (ed). 2007. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Religi dan Falsafah, Direktorat Geografi Sejarah. Jakarta: Departemen Budaya dan Pariwisata.
Mustopo, M. Habib, dkk. 2010. Sejarah 1, Jakarta: Yudhistira.

Notosusanto, Nugroho dkk. 1985. Sejarah Nasional Indonesia 1 untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Jakarta: Depdikbud.
--------. 1985. Sejarah Nasional Indonesia 2 untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Jakarta: Depdikbud.
Pane, Sanusi. 1965. Sejarah Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Poesponegoro, Marwati Djoened (dkk). 1993. Sejarah Nasional
Indonesia Jilid I, Jakarta: Balai Pustaka.

---------. 1994. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
---------. 1994. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.
Proyek Penelitian dan Pencacatan Kebudayaan. 1978. Sejarah Daerah Bali, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rangkuti, Nurhadi. 2006.”Trowulan, Situs-Kota Majapahit” dalam
Majapahit. Jakarta: Indonesian Heritage Society.
           
Reid, Anthony (ed.). 2002. Indonesia Heritage (Jilid III): Sejarah Modern Awal, Jakarta: Grolier Internasional.
Ricklef, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Santos, Arysio. 2010. Atlantis The Lost Continent Finally Found
(Terj). Jakarta: Ufuk Press.

Sardiman AM dan Kusriyantinah. 1995. Sejarah Nasional dan Sejarah Umum (sesuai dengan Kurikulum 1994), Surabaya: Kendangsari.
-----------. 1995. Sejarah Nasional dan Sejarah Umum 1b (sesuai dengan Kurikulum 1994). Surabaya: Kendang Sari.
------------. 1995. Sejarah Nasional dan Sejarah Umum 1c (sesuai dengan Kurikulum 1994). Surabaya: Kendang Sari.
Setiadi, Idham Bachtiar (ed). 2011. 100 Tahun Pemugaran Candi Borobudur. Jakarta: Direktorat Tinggalan Purbakala, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbalaka, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III, Yogyakarta: Kanisius.
-----------. 2011. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1.
Yogyakarta: Kanisius.

-----------. 2011. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2.
Yogyakarta: Kanisius.

Suwarno, P.J. 1994. Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: Sebuah Tinjauan Historis. Yogyakarta: PT Kanisius.
Tjahjono, Gunawan (dkk). 2007. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Arsitektur. Jakarta: Direktorat Geografi Sejarah, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Utomo, Bambang Budi. 2010. Atlas Sejarah Indonesia Masa Klasik (Hindu-Buddha), Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
--------. 2011. Atlas Prasejarah Indonesia Masa Islam. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Vlekke, Bernard H.M. 2008. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
Wallace, Alfred Russel. 2009. Kepulauan Nusantara. Jakarta: Komunitas Bambu.
Wanggai, Toni Victor M. 2009. Rekonstruksi Sejarah Umat Islam di Tanah Papua. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI.
Wilson, J. Tuzo. 1994. “Lempeng Tektonik” dalam Tony S. Rahmadie (terj). Ilmu Pengetahuan Populer. Jilid 2. Grolier International
Yayasan Untuk Indonesia. 2005. Ensiklopedi Jakarta. Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta.

Sumber Internet:

Florentina Lenny Kristiani dalam http://klubnova.tabloidnova.com/ KlubNova/Artikel/Aneka-Tips/Tips-Rumah/Cara-pilih-cobek- batu diunduh tanggal 19 Mei 2013, pukul 10:09

Demikianlah apa yang admin pada kali ini, tentang Islamisasi Dan Silang Budaya di Nusantara. Semoga bermanfaat dan anda pun sudah mengetahui berbagai macam Sejarah yang ada Indonesia.

0 Response to "Islamisasi Dan Silang Budaya di Nusantara"

Posting Komentar

-->