-->

Pedagang, Penguasa Dan Pujangga pada Masa Klasik (Hindu-Buddha)

Pedagang, Penguasa Dan Pujangga pada Masa Klasik (Hindu-Buddha) - Sebelum admin melanjutkan pembahasan yang lebih secara mendalam. Kami ingin mengingatkan kepada buat anda sekalian untuk membaca artikel yang sangat erat hubungannya dengan artikel di atas, yang membahas tentang Islamisasi Dan Silang Budaya di Nusantara. Baiklah, langsung saja anda menyimak ulasan berikut ini.

Masa Hindu-Buddha berlangsung selama kurang lebih 12 abad. Pembabakan masa Hindu-Buddha terbagi menjadi tiga, yaitu periode pertumbuhan, perkembangan, dan keruntuhan. Pada abad ke-16 agama Islam mulai mendominasi Nusantara. Namun, tidak berarti pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha hilang tergantikan kebudayaan Islam. Agama Islam mengakomodasi peninggalan Hindu-Buddha, tentunya dengan melakukan modifikasi agar tetap berselang beberapa abad, wujud peradaban Hindu-Buddha masih dapat kita saksikan hingga sekarang, misalnya dalam perwujudan sastra dan arsitektur.

Buddha sudah berlangsung sangat lama dan meluas di seluruh Kepulauan Indonesia. Kebudayaan yang sangat monumental adalah mulai dikenalnya tulisan. Oleh karena itu  dalam  bab  ini kita akan mengenal lebih lanjut tentang penduduk di Kepulauan Indonesia ketika sudah mengenal tulisan dan kebudayaannya mulai berkembang. Terutama sewaktu pengaruh-pengaruh budaya Hindu-Buddha masuk ke Kepulauan Indonesia. Masa ini sering kali disebut juga dengan masa klasik, yaitu awal masuknya unsur-unsur budaya India di Kepulauan Indonesia. Pada tahapan ini pula banyak kemajuan yang dicapai dalam pemikiran dan hasil-hasil budaya baik dalam bentuk benda, maupun budaya tak benda. Masa klasik juga diartikan sebagai pertimbangan banyaknya capaian budaya pada masa Hindu-Buddha itu yang masih tetap dihargai dan ditafsirkan ulang hingga saat ini meskipun pengaruh budaya Hindu-Buddha sudah mulai memudar dan digantikan oleh budaya lain.

A. Pengaruh Budaya India

Mengamati Lingkungan

Candi Prambanan

Perhatikan gambar di atas. Tentu kamu pernah membaca atau bahkan datang untuk melihat kemegahan Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Kedua candi ini merupakan peninggalan masa Hindu-Buddha dan berlokasi di Jawa Tengah.

Candi Borobudur terletak di Kota Magelang, Jawa Tengah. Dari bentuk arsitekturnya candi itu merupakan candi Buddha. Candi yang megah itu merupakan satu di antara tujuh keajaiban dunia. Kamu tentu bangga dengan tinggalan budaya itu dan harus dapat merawat peninggalan yang sangat berharga tersebut. Tidak jauh dari Candi Borobudur, terdapat Candi Prambanan. Candi Hindu itu terletak di perbatasan Kota Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Klaten, Jawa Tengah. Kedua candi yang megah itu merupakan bukti perkembangan agama dan kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia. Apa kamu pernah membaca cerita rakyat tentang Lara Jonggrang dan Bandung Bondowoso? Cerita itu yang melatarbelakangi terjadinya Candi Prambanan. Benarkah hal tersebut terjadi nyata ataukah hanya sebuah mitos belaka? Kamu dapat mendiskusikannya bersama teman-teman.

Dua mahakarya itu merupakan bukti-bukti pencapaian yang luar biasa pada Dinasti Syailendra. Setelah masa dinasti tersebut surut, pusat kebudayaan dan politik kerajaan pindah ke Jawa bagian timur. Di Jawa bagian timur itu kemudian berdirilah kerajaan yang diperintah oleh keturunan Raja Mataram yang bernama Mpu Sindok. Beberapa sumber sejarah yang berasal dari Cina menyebutkan tentang adanya hubungan perkawinan antara raja Jawa dan Bali pada masa pemerintahannya.

Sementara itu, di Sumatra terdapat Kerajaan yang sangat terkenal, yaitu Sriwijaya. Kerajaan yang handal menjalin hubungan dengan dunia internasional melalui jaringan perdagangan dan kemaritimannya. Dalam masa itulah para pedagang datang dari India, Cina dan Arab untuk meramaikan Sriwijaya. Saat Sumatra berada di bawah Dinasti Syailendra, kerajaan itu dapat menguasai kerajaan-kerajaan lain di sepanjang Selat Malaka. Pada masa itu  pula hubungan dengan India dan Cina berkembang pesat. Bahkan hubungan itu sangat berpengaruh dalam perkembangan budaya pada masa itu, bahkan hingga saat  ini  pengaruh  kedua  budaya itu masih dapat kita temui. Kehebatan Sriwijaya juga ditunjukkan dengan adanya “dharma” (sumbangan) dari Raja Sriwijaya untuk mendirikan asrama di Nalanda, India. Sriwijaya pun menjadi pusat belajar agama Buddha pada masa itu. Sumber-sumber Tibet dan Nepal menyebutkan, seorang pendeta Buddha yang bernama Atisa, belajar Agama Buddha di Sriwijaya selama 12 tahun, atas saran I-tsing, seorang musafir dari Cina yang lebih dahulu pernah singgah di Sriwijaya.

Jika mengunjungi Candi Prambanan atau Candi Borobudur, kamu akan melihat kisah dalam dunia wayang. Tentu kamu juga pernah mendengar tentang wayang, atau bahkan ada yang suka melihat wayang. Wayang sudah dikenal oleh nenek moyang kita sejak masa Hindu-Buddha. Melalui wayang kisah Mahabharata dipentaskan. Kisah yang hingga saat ini masih populer adalah kisah Bharatayudha. Kisah yang menceritakan tentang perang saudara antara Kurawa dan Pandawa, tentang kebaikan yang mengalahkan kejahatan. Cerita itu merupakan saduran dari India. Seorang pujangga Jawa diperintahkan oleh Jabajaya untuk menulis cerita itu dalam versi Jawa. Jayabaya adalah Raja Kediri yang kekuasaannya tidak dapat ditentang oleh kerajaan-kerajaan lain. Raja ini pula yang dikenal karena kehebatan ramalannya. Selain Mahabharata juga dikenal cerita tentang Ramayana. Dari kisah Ramayana itulah disebutkan adanya Jawadwipa, pulau yang kaya dengan tambang emas dan perak.

Nama Jawadwipa juga sudah dikenal oleh seorang ahli geografi Yunani, Ptolomeus, pada awal tarikh Masehi dengan nama “Labadiu”. Jadi nama Kepulauan Indonesia sudah ditulis dan dikenal oleh penulis Barat jauh pada masa awal Masehi. Ptolomeus menyebutkan bahwa Pulau Labadiu artinya Pulau Padi atau dikenal pula dengan Jawadwipa.

Nah, bagaimanakah agama Hindu dan Buddha dapat masuk di Kepulauan Indonesia? Banyak ahli yang berpendapat tentang itu. Pada bab ini kita akan belajar tentang masuk dan berkembangnya pengaruh-pengaruh India dan Cina, serta capaian-capaian yang dilakukan para penguasa pada masa saat itu dan proses masuknya agama Hindu dan Buddha. Pada saat ini pula peranan pedagang, penguasa, dan pujangga sangat terlihat dari bukti-bukti capaian budaya yang hingga kini masih dapat kita jumpai.

Memahami Teks

Satu diantara bangsa yang berinteraksi dengan penduduk kepulauan di Indonesia adalah bangsa India. Interaksi itu terjalin sejalan dengan meluasnya hubungan perdagangan antara India dan Cina. Hubungan itu yang mendorong pedagang-pedagang India dan Cina datang ke kepulauan di Indonesia. Menurut van Leur, barang yang diperdagangkan dalam pasar internasional saat itu adalah barang komoditas yang bernilai tinggi. Barang-barang itu berupa logam mulia, perhiasan, berbagai barang pecah belah, serta bahan baku yang diperlukan untuk kerajinan. Dua komoditas penting yang menjadi primadona pada awal masa sejarah di Kepulauan Indonesia adalah gaharu dan kapur barus. Kedua komoditi itu merupakan bahan baku pewangi yang paling digemari oleh bangsa India dan Cina. Interaksi dengan kedua bangsa itu membawa perubahan pada bentuk tatanegara di beberapa daerah di Kepulauan Indonesia. Juga perubahan dalam susunan kemasyarakatan dan sistem kepercayaan. Sejak saat itu pula pengaruh-pengaruh Hindu-Buddha berkembang di Indonesia.

Tanda-tanda  tertua  adanya  pengaruh  kebudayaan  Hindu  di Indonesia berupa prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah Sungai Cisedane dekat Kota Bogor saat ini. Juga di Jawa  Barat dekat Kota Jakarta. Disamping itu kita juga dapat melihat peninggalan kebudayaan Hindia itu di sepanjang pantai Kalimantan Timur, yaitu di daerah Muara Kaman, Kutai. Menurut para ahli sejarah kuno, kerajaan-kerajaan yang disebut dalam prasasti- prasasti itu adalah kerajaan Indonesia asli, yang hidup makmur bersumber dari perdagangan dengan negara-negara di India Selatan. Interaksi dengan orang-orang dari negara lain itulah yang kemudian mempengaruh cara pandang para raja-raja saat itu untuk mengadopsi konsep-konsep Hindu dengan cara mengundang para ahli dan para pendeta dari golongan Brahmana (pendeta) di India Selatan yang beragama Wisnu atau Brahma.
Beberapa bukti menunjukkan, setelah budaya India masuk, terjadi banyak perubahan dalam tatanan kehidupan. Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan, kerajaan tertua di Muarakaman, Kalimatan Timur, yaitu Kerajaan Kutai mendapat pengaruh yang kuat dari budaya India yaitu budaya yang dikembangkan oleh Bangsa Arya di lembah Sungai Indus. Percampuran budaya itu kemudian melahirkan kerajaan yang bersifat Hindu di Nusantara. Baik itu yang mencakup dalam sistem religi, sistem kemasyarakatan, dan bentuk pemerintahan. Suatu hal yang sangat penting dalam pengaruh Hindu adalah adanya konsepsi mengenai susunan negara yang amat hirarkis dengan pembagian-pembagian dan fraksi-fraksi yang digolongkan ke dalam empat atau delapan bagian besar yang bersifat sederajat dan tersusun secara simetris. Semua bagian- bagian itu diorientasikan ke atas, yaitu sang raja dianggap sebagai keturunan dewa. Raja dianggap keramat dan puncak dari segala hal dalam negara dan pusat alam semesta.

Kebudayaan Hindu di zaman itu mempunyai kekuatan yang besar dan serupa dengan zaman modern saat ini, seperti kebudayaan Barat ataupun kebudayaan Korea yang hampir mempengaruhi seluruh kehidupan semua bangsa-bangsa di dunia. Demikian halnya dengan kebudayaan intelektual agama Hindu pada masa itu yang mempunyai pengaruh kuat di Asia Tenggara.

SebelumkebudayaanIndiamasuk,pemerintahandesadipimpin oleh seorang kepala suku yang dipilih oleh anggota masyarakat. Seorang kepala suku merupakan orang pilihan yang mengetahui tentang adat istiadat dan upacara pemujaan roh nenek moyangnya dengan baik. Ia juga dianggap sebagai wakil nenek moyangnya. Ia harus dapat melindungi keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya. Karena itulah larangan dan perintahnya dipatuhi oleh warganya. Setelah masuknya budaya India, terjadi perubahan. Kedudukan kepala suku digantikan oleh raja seperti halnya di India. Raja memiliki kekuasaan yang sangat besar. Kedudukan raja tidak lagi dipilih oleh rakyatnya, akan tetapi diturunkan secara turun temurun. Raja merupakan penjelmaan dewa yang seringkali disembah oleh rakyatnya. Para Brahmana agama Hindu tidak dibebani untuk menyebarkan agama Hindu di Indonesia. Pada dasarnya seseorang tidak dapat menjadi Hindu, tetapi seseorang itu lahir sebagai Hindu. Mengingat hal tersebut, maka menjadi menarik dengan adanya agama Hindu di Indonesia. Bagaimana dapat terjadi bahwa orang- orang Indonesia yang pasti pada mulanya tidak dilahirkan sebagai Hindu dapat beragama Hindu.

Demikian pula dengan sistem kemasyarakatan. Sistem kemasyarakatan yang dikembangkan oleh bangsa Arya yang berkembang di Lembah Sungai Indus adalah sistem kasta. Sistem kasta mengatur hubungan sosial bangsa Arya dengan bangsa- bangsa yang ditaklukkannya. Sistem ini membedakan masyarakat berdasarkan fungsinya. Golongan Brahmana (pendeta) menduduki golongan pertama. Ksatria (bangsawan, prajurit) menduduki golongan kedua. Waisya (pedagang dan petani) menduduki golongan ketiga, sedangkan Sudra (rakyat biasa) menduduki golongan terendah atau golongan keempat. Sistem kepercayaan dan kasta menjadi dasar terbentuknya kepercayaan terhadap Hinduisme. Penggolongan seperti inilah yang disebut caturwarna.
Awal hubungan dagang antara penduduk Kepulauan Nusantara dan India bertepatan dengan perkembangan pesat dari agama Buddha. Pendeta-pendeta Buddha menyebarkan ajarannya keseluruh penjuru dunia melalui jalur perdagangan tanpa menghitungkan kesulitan-kesulitan yang ditempuhnya. Mereka mendaki Himalaya untuk menyebarkan ajaran Buddha di Tibet. Dari Tibet mereka melanjutkan ke arah utara hingga sampai ke Cina. Kedatangan mereka itu biasanya disampaikan terlebih dahulu, sehingga ketika tiba di tempat tujuan mereka dapat bertemu dengan kalangan istana. Mereka biasanya mengajarkan agama dengan penuh ketekunan. Mereka juga membentuk sebuah sanggha dengan biksu- biksu setempat, sehingga muncul suatu ikatan langsung dengan India, tanah suci agama Buddha. Kedatangan para biksu dari India ke negara-negara lain itu, memunculkan keinginan para penduduk daerah setempat untuk pergi ke India mempelajari agama Buddha lebih lanjut. Para biksu lokal itu kemudian kembali dengan membawa kitab- kitab suci, relik, dan kesan-kesan. Bosch menyebut gejala ini dengan “arus balik”. Pengaruh Buddha di Indonesia dapat dijumpai pada beberapa temuan arkeologis. Satu bukti adalah ditemukannya arca Buddha terbuat dari perunggu di daerah Sempaga, Sulawesi Selatan. Menurut ciri-cirinya, arca Sempaga memperlihatkan langgam seni arca Amarawati dari India Selatan. Arca sejenis juga ditemukan di daerah Jember, Jawa Timur dan daerah Bukit Siguntang Sumatra Selatan. Di daerah Kota Bangun Kutai, Kalimantan Timur, juga ditemukan arca Buddha. Arca Buddha itu memperlihatkan ciri seni area dari India Utara. Kalau begitu kapan kebudayaan Hindu-Buddha dari India itu masuk ke Kepulauan Indonesia?

Terdapat berbagai pendapat mengenai proses masuknya Hindu-Buddha atau sering disebut Hindunisasi. Sampai saat ini masih ada perbedaan pendapat mengenai cara dan jalur proses masuk dan berkembangnya pengaruh Hindu-Buddha di Kepulauan Indonesia. Beberapa pendapat (teori) tersebut dijelaskan pada uraian berikut:

Pertama, sering disebut dengan teori Ksatria. Dalam kaitan ini R.C. Majundar berpendapat, bahwa munculnya kerajaan atau pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia disebabkan oleh peranan kaum ksatria atau para prajurit India. Para prajurit diduga melarikan diri dari India dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya.  Namun,  teori Ksatria yang dikemukakan oleh R.C. Majundar ini kurang disertai dengan bukti-bukti yang mendukung. Selama ini belum ada ahli arkeolog yang dapat menemukan bukti-bukti yang menunjukkan adanya ekspansi dari prajurit-prajurit India ke Kepulauan Indonesia. Kekuatan teori ini terletak pada semangat petualangan para kaum ksatria.

Kedua, teori Waisya. Teori ini terkait dengan pendapat N.J. Krom yang mengatakan bahwa kelompok yang berperan dalam dalam penyebaran Hindu-Buddha di Asia Tenggara, termasuk Indonesia adalah kaum pedagang. Pada mulanya para pedagang India berlayar untuk berdagang. Pada saat itu jalur perdagangan ditempuh melalui lautan yang menyebabkan mereka tergantung pada musim angin dan kondisi alam. Bila musim angin tidak memungkinkan maka mereka akan menetap lebih lama untuk menunggu musim baik. Para pedagang India pun melakukan perkawinan dengan penduduk pribumi dan melalui perkawinan tersebut mereka mengembangkan kebudayaan India. Menurut G. Coedes, yang memotivasi para pedagang India untuk datang ke Asia Tenggara adalah keinginan untuk memperoleh barang tambang terutama emas dan hasil hutan.

Ketiga, teori Brahmana. Teori tersebut sesuai dengan pendapat J.C. van Leur bahwa Hindunisasi di Kepulauan Indonesia disebabkan oleh peranan kaum Brahmana. Pendapat van Leur didasarkan atas temuan-temuan prasasti yang menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Bahasa dan huruf tersebut hanya dikuasai oleh kaum Brahmana. Selain itu adanya kepentingan dari para penguasa untuk mengundang para Brahmana India. Mereka diundang ke Asia Tenggara untuk keperluan upacara keagamaan. Seperti pelaksanaan upacara inisiasi yang dilakukan oleh para kepala suku agar mereka menjadi golongan ksatria. Pandangan ini sejalan dengan pendapat yang dikemukan oleh Paul Wheatly bahwa para penguasa lokal di Asia Tenggara sangat berkepentingan dengan kebudayaan India guna mengangkat status sosial mereka.

Keempat, teori yang dinamakan teori Arus Balik. Teori ini lebih menekankan pada peranan bangsa Indonesia sendiri dalam proses penyebaran kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia. Artinya, orang-orang di Kepulauan Indonesia terutama para tokohnya yang pergi ke India. Di India mereka belajar hal ihwal agama dan kebudayaan Hindu-Buddha. Setelah kembali mereka mengajarkan dan menyebarkan ajaran agama itu kepada masyarakatnya. Pandangan ini dapat dikaitkan dengan pandangan F.D.K. Bosch yang menyatakan bahwa proses Indianisasi di Kepulauan Indonesia dilakukan oleh kelompok tertentu, mereka itu terdiri dari kaum terpelajar yang mempunyai semangat untuk menyebarkan agama Buddha. Kedatangan mereka disambut baik oleh tokoh masyarakat. Selanjutnya karena tertarik dengan ajaran Hindu-Buddha mereka pergi ke India untuk memperdalam ajaran itu. Lebih lanjut Bosch mengemukakan bahwa proses Indianisasi adalah suatu pengaruh yang kuat terhadap kebudayaan lokal.

Berdasarkan teori-teori yang dikemukan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa masyarakat di Kepulauan  Indonesia telah mencapai tingkatan tertentu sebelum munculnya kerajaan yang bersifat Hindu-Buddha. Melalui proses akulturisasi, budaya yang dianggap sesuai dengan karakteristik masyarakat diterima dengan menyesuaikan pada budaya masyarakat setempat pada masa itu.

B. Kerajaan-Kerajaan pada Masa  Hindu-Buddha

Coba anda identifikasi beberapa tinggalan budaya Hindu- Buddha dalam bentuk budaya benda/fisik maupun budaya tak benda/non fisik di lingkungan sekitarmu!

Mengamati Lingkungan

Makam ini dipercaya oleh masyarakat sebagai makam Patih Gajah Mada terletak dalam pemakaman Selaparang, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat

Mungkin kamu pernah mendengar atau malah sudah pernah berkunjung di suatu tempat yang disebut Trowulan di Mojokerto. Kompleks Trowulan inilah yang diperkirakan dulu menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit. Beberapa situs  yang  dapat  kita temukan sekarang misalnya ada pendhopo, segaran, Candi Bajang Ratu dan sebagainya. Kamu bayangkan Majapahit tempo dulu merupakan kerajaan yang luas dan sudah menjalin kerja sama dengan kerajaan-kerajaan di luar Kepulauan Indonesia. Bahkan Mohammad Yamin menyebut Kerajaan Majapahit itu sebagai Kerajaan Nasional kedua. Bayangkan pula tokoh besar seperti Patih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk yang berhasil mempersatukan Nusantara. Bahkan hingga saat ini kebesaran Patih Gajah Mada masih melekat dalam ingatan kita, hingga makam Patih Gajah Mada oleh masyakarat Lombok Timur dipercaya berada di kompleks pemakaman Raja Selaparang. Cerita kebesaran Patih Gajah Mada juga terdapat di daerah lain. Nah, itulah satu diantara kisah menarik Kerajaan Majapahit, satu diantara kerajaan-kerajaan Hindu- Buddha yang ada di Nusantara. Berikut ini kita akan mempelajari perkembangan beberapa kerajaan Hindu-Buddha.

Memahami Teks

1. Kerajaan Kutai

Bicara soal perkembangan Kerajaan Kutai, tidak lepas dari sosok Raja Mulawarman. Kamu perlu memahami keberadaan Kerajaan Kutai, karena Kerajaan Kutai ini dipandang sebagai kerajaan Hindu-Buddha yang pertama di Indonesia.  Kerajaan Kutai diperkirakan terletak di daerah Muarakaman di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Sungai Mahakam merupakan sungai yang cukup besar dan memiliki beberapa anak sungai. Daerah di sekitar tempat pertemuan antara Sungai Mahakam dengan anak sungainya diperkirakan merupakan letak Muarakaman dahulu. Sungai Mahakam dapat dilayari dari pantai sampai masuk ke Muarakaman, sehingga baik untuk perdagangan.  Inilah  posisi  yang sangat menguntungkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Sungguh Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta dan tanah air Indonesia itu begitu kaya dan strategis. Hal ini perlu kita syukuri.
Aksara yupa
Untuk memahami perkembangan Kerajaan Kutai itu, tentu memerlukan sumber sejarah yang dapat menjelaskannya. Sumber sejarah Kutai yang utama adalah prasasti yang disebut yupa, yaitu berupa batu bertulis. Yupa juga sebagai tugu peringatan dari upacara kurban. Yupa ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Mulawarman. Prasasti Yupa ditulis dengan huruf pallawa dan bahasa sanskerta. Dengan melihat bentuk hurufnya, para ahli berpendapat bahwa yupa dibuat sekitar abad ke-5 M.

Hal menarik dalam  prasasti  itu adalah disebutkannya nama kakek Mulawarman yang bernama Kudungga. Kudungga berarti penguasa lokal yang setelah terkena pengaruh Hindu-Buddha daerahnya berubah menjadi kerajaan. Walaupun sudah mendapat pengaruh Hindu-Buddha namanya tetap Kudungga berbeda dengan puteranya yang bernama Aswawarman dan cucunya yang bernama Mulawarman. Oleh karena itu yang terkenal sebagai wamsakerta adalah Aswawarman. Coba pelajaran apa yang dapat kita peroleh dengan persoalan nama di dalam satu keluarga Kudungga itu?
Prasasti Yupa D175

Satu di antara yupa itu memberi informasi penting tentang silsilah Raja Mulawarman. Diterangkan bahwa Kudungga mempunyai putra bernama Aswawarman. Raja Aswawarman dikatakan seperti Dewa Ansuman (Dewa Matahari). Aswawarman mempunyai tiga anak, tetapi yang terkenal adalah Mulawarman. Raja Mulawarman dikatakan sebagai raja yang terbesar di Kutai. Ia pemeluk agama Hindu- Siwa yang setia. Tempat sucinya dinamakan Waprakeswara. Ia juga dikenal sebagai raja yang sangat dekat dengan kaum brahmana dan rakyat. Raja Mulawarman sangat dermawan. Ia mengadakan kurban emas dan 20.000 ekor lembu untuk para brahmana. Oleh karena itu, sebagai rasa terima kasih dan peringatan mengenai upacara kurban, para brahmana mendirikan sebuah yupa.
Prasasti Yupa

Pada masa pemerintahan Mulawarman, Kutai mengalami zaman keemasan. Kehidupan ekonomi pun mengalami perkembangan. Kutai terletak di tepi sungai, sehingga masyarakatnya melakukan pertanian. Selain itu, mereka banyak yang melakukan perdagangan. Bahkan diperkirakan sudah terjadi hubungan dagang dengan luar. Jalur perdagangan internasional dari India melewati Selat Makassar,  terus ke Filipina dan sampai  di Cina. Dalam pelayarannya dimungkinkan para pedagang itu singgah terlebih dahulu di Kutai. Dengan demikian, Kutai semakin ramai dan rakyat hidup makmur.

Satu di antara yupa di Kerajaan Kutai berisi keterangan yang artinya:“Sang Mulawarman, raja yang mulia dan terkemuka, telah memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada para brahmana yang seperti api, (bertempat) di dalam tanah yang sangat suci (bernama) Waprakeswara”.

2. Kerajaan Tarumanegara

Sejarah tertua yang berkaitan dengan pengendalian banjir dan sistem pengairan adalah pada masa Kerajaan Tarumanegara. Untuk mengendalikan banjir dan usaha pertanian yang diduga di wilayah Jakarta saat ini, maka Raja Purnawarman menggali Sungai Candrabaga. Setelah selesai melakukan penggalian sungai maka raja mempersembahkan 1.000 ekor lembu kepada brahmana. Berkat sungai itulah penduduk Tarumanegara menjadi makmur. Siapakah Raja Purnawarman itu?

Purnawarman adalah raja terkenal dari  Tarumanegara.  Perlu kamu pahami  bahwa  setelah  Kerajaan  Kutai  berkembang di Kalimantan Timur, di Jawa bagian barat muncul Kerajaan Tarumanegara. Kerajaan ini terletak tidak jauh dari pantai utara Jawa bagian barat. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan letak pusat Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berada di antara Sungai Citarum dan Cisadane. Kalau mengingat namanya Tarumanegara, dan kata taruma mungkin berkaitan dengan kata tarum yang artinya nila. Kata tarum dipakai sebagai nama sebuah sungai di Jawa Barat, yakni Sungai Citarum. Mungkin juga letak Tarumanegara dekat dengan aliran Sungai Citarum. Kemudian berdasarkan Prasasti Tugu, Purbacaraka memperkirakan pusatnya ada di daerah Bekasi.

Sumber sejarah Tarumanegara yang utama adalah beberapa prasasti yang telah ditemukan. Berkaitan dengan perkembangan Kerajaan Tarumanegara, telah ditemukan tujuh buah prasasti. Prasasti-prasasti itu berhuruf pallawa dan berbahasa sanskerta. Prasasti itu adalah :

1. Prasasti Tugu

Inskripsi yang dikeluarkan oleh Purnawarman ini ditemukan di Kampung batutumbuh, Desa Tugu, dekat Tanjungpriuk, Jakarta. Dituliskan dalam lima baris tulisan beraksara pallawa dan bahasa sanskerta. Inskripsi tersebut isinya sebagai berikut:
“Dulu (kali   yang   bernama)   Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan mempunyai lengan kencang dan kuat, (yakni Raja Purnawarman), untuk mengalirkannya ke laut, setelah (kali ini) sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnawarman yang berkilauan-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja, (maka sekarang) beliau memerintahkan pula menggali kali yang permai dan berair jernih, Gomati namanya, seteleh kali itu mengalir di tengah-tengah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pandeta Nenekda (Sang Purnawarman). Pekerjaan ini dimulai pada hari yang baik, tanggal delapan paroh gelap bulan Phalguna dan selesai pada tanggal 13 paroh terang bulan Caitra, jadi hanya dalam 21 hari saja, sedang galian itu panjangnya 6.122 busur (± 11 km). Selamatan baginya dilakukan oleh brahmana disertai persembahan 1.000 ekor sapi”.

2. Prasasti Ciaruteun

Prasasti Ciaruteun

Prasasti ini ditemukan di Kampung Muara, Desa Ciaruteun Hilir, Cibungbulang, Bogor. Prasasti terdiri atas dua bagian, yaitu Inskripsi A yang dipahatkan dalam empat baris tulisan berakasara pallawa dan bahasa sanskerta, dan Inskripsi B yang  terdiri  dari satu baris tulisan yang belum dapat dibaca dengan jelas. Inskripsi ini disertai pula gambar sepasang telapak kaki. Inskripsi A isinya sebagai berikut :

“ini (bekas) dua kaki, yang seperti kaki Dewa Wisnu, ialah kaki Yang Mulia Sang Purnawarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah berani di dunia”.

Beberapa sarjana telah berusaha membaca inskripsi B, namun hasilnya belum memuaskan.  Inskrispi  B  ini  dibaca  oleh J.L.A. Brandes sebagai Cri Tji aroe? Eun waca (Cri Ciaru?eun wasa), sedangkan H. Kern membacanya Purnavarmma-padam yang berarti “telapak kaki Purnawarman”.

3. Prasasti Kebon Kopi

Prasasti Kebon Kopi I

Prasasti ini ditemukan di Kampung  Muara,    Desa    Ciaruetun   Hilir, Cibungbulang, Bogor. Prasastinya dipahatkan dalam satu baris yang diapit oleh dua buah pahatan telapak kaki gajah. Isinya sebagai berikut:

“Di sini tampak sepasang telapak kaki…… yang seperti (telapak kaki) Airawata, gajah penguasa Taruma (yang) agung dalam…… dan (?) kejayaan”.

4. Prasasti  Muara Cianten

Prasasti Kebon Kopi II

Terletak di muara Kali Cianten, Kampung Muara, Desa Ciaruteun Hilir, Cibungbulan, Bogor. Inskripsi ini belum dapat dibaca. Inskripsi ini dipahatkan dalam bentuk “aksara” yang menyerupai sulur-sulsuran, dan oleh para ahli disebut aksara ikal.

5. Prasasti Jambu (Pasir Koleangkak)

Terletak di sebuah bukit (pasir) Koleangkak, Desa Parakan Muncang, Nanggung, Bogor. Inskripsinya dituliskan dalam dua baris tulisan dengan aksara pallawa dan bahasa sansekerta. Isinya sebagai berikut:

“Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya, adalah pemimpin manusia yang tiada taranya, yang termashur Sri Purnawarman, yang sekali waktu (memerintah) di Tarumanegara dan yang baju zirahnya yang terkenal tiada dapat  ditembus  senjata  musuh. Ini adalah sepasang telapak kakinya, yang senantiasa berhasil menggempur musuh, hormat kepada para pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging musuh- musuhnya”.

6. Prasasti Cidanghiang (Lebak)

Terletak di tepi kali Cidanghiang, Desa Lebak, Munjul, Banten Selatan. Dituliskan dalam dua baris tulisan beraksara pallawa dan bahasa sanskerta. Isinya sebagai berikut:

“Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang sesungguhnya dari Raja Dunia, Yang Mulia Purnwarman, yang menjadi panji sekalian raja-raja:.

7. Prasasti Pasir Awi

Inskripsi ini terdapt di sebuah bukit bernama Pasir Awi, di kawasan perbukitan Desa Sukamakmur, Jonggol, Bogor, Inskripsi prasasti ini tidak dapat dibaca karena inskripsi ini lebih berupa gambar (piktograf) dari pada tulisan. Di bagian atas inskripsi terdapat sepasang telapak kaki.

Pemerintahan dan Kehidupan Masyarakat

Kerajaan Tarumanegara mulai berkembang pada abad ke-5 M. Raja yang sangat terkenal adalah Purnawarman. Ia dikenal sebagai raja yang gagah berani dan tegas. Ia juga dekat dengan para brahmana, pangeran, dan rakyat. Ia raja yang jujur, adil, dan arif dalam memerintah. Daerahnya cukup luas sampai ke daerah Banten. Kerajaan Tarumanegara telah menjalin hubungan dengan kerajaan lain, misalnya dengan Cina.

Dalam kehidupan agama, sebagian besar masyarakat Tarumanegara memeluk agama Hindu. Sedikit yang beragama Buddha dan masih ada yang mempertahankan agama nenek moyang (animisme). Berdasarkan berita dari Fa-Hien, di To-lo- mo (Tarumanegara) terdapat tiga agama, yakni agama Hindu, agama Buddha dan kepercayaan animisme. Raja memeluk agama Hindu. Sebagai bukti, pada prasasti Ciaruteun ada tapak kaki raja yang diibaratkan tapak kaki Dewa Wisnu. Sumber Cina lainnya menyatakan bahwa, pada masa Dinasti T’ang terjadi hubungan perdagangan dengan Jawa. Barang- barang yang diperdagangkan adalah kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah. dituliskan pula bahwa penduduk daerah itu pandai membuat minuman keras yang terbuat dari bunga kelapa.

Rakyat Tarumanegara hidup aman dan tenteram. Pertanian merupakan mata pencaharian pokok. Di samping itu, perdagangan juga berkembang. Kerajaan Tarumanegara mengadakan hubungan dagang dengan Cina dan India.

Untuk memajukan bidang pertanian, raja memerintahkan pembangunan irigasi dengan cara menggali sebuah saluran sepanjang 6112 tumbak (±11 km). Saluran itu disebut dengan Sungai Gomati. Saluran itu selain berfungsi sebagai irigasi juga untuk mencegah bahaya banjir.

3. Kerajaan Kalingga

Ratu Sima adalah penguasa di Kerajaan Kalingga. Ia digambarkan sebagai seorang pemimpin wanita yang tegas dan taat terhadap peraturan yang berlaku dalam kerajaan itu. Kerajaan Kalingga atau Holing, diperkirakan terletak di Jawa bagian tengah. Nama Kalingga berasal dari Kalinga, nama sebuah kerajaan di India Selatan. Menurut berita Cina, di sebelah timur Kalingga ada Po-li (Bali sekarang), di sebelah barat Kalingga terdapat To-po-Teng (Sumatra). Sementara di sebelah utara Kalingga terdapat Chen-la (Kamboja) dan sebelah selatan berbatasan dengan samudra. Oleh karena itu, lokasi Kerajaan Kalingga diperkirakan terletak di Kecamatan Keling, Jepara, Jawa Tengah atau di sebelah utara Gunung Muria.

Sumber utama mengenai Kerajaan Kalingga adalah berita Cina, misalnya berita dari Dinasti T’ang. Sumber lain adalah Prasasti Tuk Mas di lereng Gunung Merbabu. Melalui berita Cina, banyak hal yang kita ketahui tentang perkembangan Kerajaan Kalingga dan kehidupan masyarakatnya. Kerajaan Kalingga berkembang kira-kira abad ke-7 sampai ke-9 M.

Pemerintahan dan Kehidupan Masyarakat

Raja yang paling terkenal pada masa Kerajaan Kalingga adalah seorang raja wanita yang bernama Ratu Sima. Ia memerintah sekitar tahun 674 M. Ia dikenal sebagai raja yang tegas, jujur, dan sangat bijaksana. Hukum dilaksanakan dengan tegas dan seadil-adilnya. Rakyat patuh terhadap semua peraturan yang berlaku. Untuk mencoba kejujuran rakyatnya, Ratu Sima pernah mencobanya, dengan meletakkan pundi-pundi di tengah jalan. Ternyata sampai waktu yang lama tidak ada yang mengusik pundi-pundi itu.

Akan tetapi, pada suatu hari ada anggota keluarga istana yang sedang jalan-jalan, menyentuh kantong pundi-pundi dengan kakinya. Hal ini diketahui Ratu Sima. Anggota keluarga istana itu dinilai salah dan harus diberi hukuman mati. Akan tetapi atas usul persidangan para menteri, hukuman itu diperingan dengan hukuman potong kaki. Kisah ini menunjukkan, begitu tegas dan adilnya Ratu Sima. Ia tidak membedakan antara rakyat dan anggota kerabatnya sendiri.

Agama utama yang dianut oleh penduduk Kalingga pada umumnya adalah Buddha. Agama Buddha berkembang pesat. Bahkan pendeta Cina yang bernama Hwi-ning datang di Kalingga dan tinggal selama tiga tahun. Selama di Kalingga, ia menerjemahkan kitab suci agama Buddha Hinayana ke dalam bahasa Cina. Dalam usaha menerjemahkan kitab itu Hwi-ning dibantu oleh seorang pendeta bernama Janabadra.

Kepemimpinan raja yang adil, menjadikan rakyat hidup teratur, aman,dan tenteram. Mata pencaharian penduduk pada umumnya adalah bertani, karena wilayah Kalingga subur untuk pertanian. Di samping itu, penduduk juga melakukan perdagangan.

Kerajaan Kalingga mengalami kemunduran kemungkinan akibat serangan Sriwijaya yang menguasai perdagangan. Serangan tersebut mengakibatkan pemerintahan Kijen menyingkir ke Jawa bagian timur atau mundur ke pedalaman Jawa bagian tengah antara tahun  742 -755 M.

4. Kerajaan Sriwijaya

Peta lokasi Kerajaan Sriwijaya

Sejak permulaan tarikh Masehi, hubungan dagang antara,  India dengan Kepulauan Indonesia sudah ramai. Daerah pantai timur Sumatra menjadi jalur perdagangan yang ramai dikunjungi para pedagang. Kemudian, muncul pusat-pusat perdagangan yang berkembang menjadi pusat kerajaan. Kerajaan-kerajaan kecil di pantai Sumatra bagian timur sekitar abad ke- 7, antara lain Tulangbawang, Melayu, dan Sriwijaya. Dari ketiga kerajaan itu, yang kemudian berhasil berkembang dan mencapai kejayaannya adalah Sriwijaya. Kerajaan Melayu juga sempat berkembang, dengan pusatnya di Jambi.
Peta jalan masuk Sriwijaya

Pada tahun 692 M, Sriwijaya mengadakan ekspansi ke daerah sekitar Melayu. Melayu dapat ditaklukkan dan berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Letak pusat Kerajaan Sriwijaya ada berbagai pendapat. Ada yang berpendapat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya ada di Palembang, ada yang berpendapat di Jambi, bahkan ada yang berpendapat di luar Indonesia. Akan tetapi, pendapat yang banyak didukung oleh para ahli, pusat Kerajaan Sriwijaya berlokasi di Palembang, di dekat pantai dan di tepi Sungai Musi. Ketika pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang mulai menunjukkan kemunduran, Sriwijaya berpindah ke Jambi.

Sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya yang penting adalah prasasti. Prasasti-prasasti itu ditulis dengan huruf pallawa. Bahasa yang dipakai Melayu Kuno. Beberapa prasasti itu antara lain sebagai berikut.

1. Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang. Prasasti ini  berangka  tahun   605   Saka (683 M). Isinya antara lain menerangkan bahwa seorang bernama Dapunta Hyang mengadakan perjalanan suci (siddhayatra) dengan menggunakan perahu. Ia berangkat dari Minangatamwan dengan membawa tentara 20.000 personel.

2. Prasasti Talang Tuo

Prasasti Talang Tuo ditemukan di sebelah barat Kota Palembang di daerah Talang Tuo. Prasasti ini berangka tahun 606 Saka (684 M). Isinya menyebutkan tentang pembangunan sebuah taman yang disebut Sriksetra. Taman ini dibuat oleh Dapunta Hyang Sri Jayanaga.

3. Prasasti Telaga Batu

Prasasti Telaga Batu
Prasasti Telaga Batu ditemukan di Palembang. Prasasti ini tidak berangka tahun. Isinya terutama tentang kutukan- kutukan yang menakutkan bagi mereka yang berbuat kejahatan.

4. Prasasti Kota Kapur

Prasasti Kota Kapur

Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau Bangka, berangka tahun 608 Saka (656  M). Isinya terutama permintaan kepada para dewa untuk menjaga kedatuan Sriwijaya, dan menghukum setiap orang yang bermaksud jahat.

5. Prasasti Karang Berahi

Prasasti Karang Berahi

Prasasti Karang Berahi ditemukan di Jambi, berangka tahun 608 saka (686 M). Isinya sama dengan isi Prasasti Kota Kapur. Beberapa prasasti yang lain, yakni Prasasti Ligor berangka tahun  775  M  ditemukan di Ligor, Semenanjung Melayu, dan  Prasasti Nalanda di India Timur. Di samping prasasti-prasasti tersebut, berita Cina juga merupakan sumber sejarah Sriwijaya yang penting. Misalnya berita dari I-tsing, yang pernah tinggal di Sriwijaya.

Perkembangan Kerajaan Sriwijaya

Ada beberapa faktor yang mendorong perkembangan Sriwijaya antara lain:

  • Letak geografis dari Kota Palembang. Palembang sebagai pusat pemerintahan terletak di tepi Sungai Musi. Di  depan muara Sungai Musi terdapat pulau-pulau yang berfungsi sebagai pelindung pelabuhan di Muara Sungai Musi. Keadaan seperti ini sangat tepat untuk kegiatan pemerintahan dan pertahanan. Kondisi itu pula menjadikan Sriwijaya sebagai jalur perdagangan internasional dari India ke Cina, atau sebaliknya. Juga kondisi sungai-sungai yang besar, perairan laut yang cukup tenang, serta penduduknya yang berbakat sebagai pelaut ulung.
  • Runtuhnya Kerajaan Funan di Vietnam akibat serangan Kamboja. Hal ini telah memberi kesempatan Sriwijaya untuk cepat berkembang sebagai negara maritim.

Perkembangan Politik dan Pemerintahan

Manapo Tinggi Muara Jambi

Kerajaan Sriwijaya mulai berkembang pada abad ke-7. Pada awal perkembangannya, raja disebut dengan Dapunta Hyang. Dalam Prasasti Kedukan Bukit dan Talang Tuo telah ditulis sebutan Dapunta Hyang. Pada abad ke-7, Dapunta Hyang banyak melakukan usaha perluasan daerah.
Stupa Mahligai dalam kompleks Stupa Muara Takus merupakan tinggalan Kerajaan Sriwijaya

Daerah-daerah yang berhasil dikuasai antara lain sebagai berikut.

  • Tulang-Bawang yang terletak di daerah Lampung. b.Daerah Kedah yang terletak di pantai barat Semenanjung Melayu. Daerah ini sangat penting artinya bagi usaha pengembangan perdagangan dengan India. Menurut I-tsing, penaklukan Sriwijaya atas Kedah berlangsung antara tahun 682-685 M.
  • Pulau Bangka yang terletak di pertemuan jalan perdagangan internasional, merupakan daerah yang sangat penting. Daerah ini dapat dikuasai Sriwijaya pada tahun 686 M berdasarkan Prasasti Kota Kapur. Sriwijaya juga diceritakan berusaha menaklukkan Bhumi Java yang tidak setia kepada Sriwijaya. Bhumi Java yang dimaksud adalah Jawa, khususnya Jawa bagian barat.
  • Daerah Jambi terletak di tepi Sungai Batanghari. Daerah ini memiliki kedudukan yang penting, terutama untuk memperlancar perdagangan di pantai timur Sumatra. Penaklukan ini dilaksanakan kira-kira tahun 686 M (Prasasti Karang Berahi).
  • Tanah Genting Kra merupakan tanah genting bagian utara Semenanjung Melayu. Kedudukan Tanah Genting Kra sangat penting. Jarak antara pantai barat dan pantai timur di tanah genting sangat dekat, sehingga para pedagang dari Cina berlabuh dahulu di pantai timur dan membongkar barang dagangannya untuk diangkut dengan pedati ke pantai barat. Kemudian mereka berlayar ke India. Penguasaan Sriwijaya atas Tanah Genting Kra dapat diketahui dari Prasasti Ligor yang berangka tahun 775 M.
    Salah satu candi di Komplek Muaro Jambi
  • Kerajaan Kalingga dan Mataram Kuno. Menurut berita Cina, diterangkan adanya serangan dari barat, sehingga mendesak Kerajaan Kalingga pindah ke sebelah timur. Diduga yang melakukan serangan adalah Sriwijaya. Sriwijaya ingin menguasai Jawa bagian tengah karena pantai utara Jawa bagian tengah juga merupakan jalur perdagangan yang penting.

Sriwijaya terus melakukan perluasan daerah, sehingga Sriwijaya menjadi kerajaan yang besar. Untuk lebih memperkuat pertahanannya, pada tahun 775 M dibangunlah sebuah pangkalan di daerah Ligor. Waktu itu yang menjadi raja adalah Darmasetra.

Raja yang terkenal dari Kerajaan Sriwijaya adalah Balaputradewa. Ia memerintah sekitar abad ke-9 M. Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya berkembang pesat dan mencapai zaman keemasan. Balaputradewa adalah keturunan dari Dinasti Syailendra, yakni putra dari Raja Samaratungga dengan Dewi Tara dari Sriwijaya. Hal tersebut diterangkan dalam Prasasti Nalanda. Balaputradewa adalah seorang raja yang besar di Sriwijaya. Raja Balaputradewa menjalin hubungan erat dengan Kerajaan Benggala yang saat itu diperintah oleh Raja Dewapala Dewa. Raja ini menghadiahkan sebidang tanah kepada Balaputradewa untuk pendirian sebuah asrama bagi para pelajar dan siswa yang sedang belajar di Nalanda, yang dibiayai oleh Balaputradewa, sebagai “dharma”. Hal itu tercatat dengan baik dalam Prasasti Nalanda, yang saat ini berada di Universitas Nawa Nalanda, India. Bahkan bentuk asrama itu mempunyai kesamaan arsitektur dengan Candi Muara Jambi, yang berada di Provinsi Jambi saat ini. Hal tersebut menandakan Sriwijaya memperhatikan ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan agama Buddha dan bahasa Sanskerta bagi generasi mudanya.

Pada tahun 990 M yang menjadi Raja Sriwijaya adalah Sri Sudamaniwarmadewa. Pada masa pemerintahan raja itu terjadi serangan Raja Darmawangsa dari Jawa  bagian  Timur.  Akan tetapi, serangan itu berhasil digagalkan oleh tentara Sriwijaya. Sri Sudamaniwarmadewa kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Marawijayottunggawarman. Pada masa pemerintahan Marawijayottunggawarman, Sriwijaya membina hubungan dengan Raja Rajaraya I dari Colamandala. Pada masa itu, Sriwijaya terus mempertahankan kebesarannya.

Pada masa kejayaannya, wilayah kekuasaan Sriwijaya cukup Luas. Daerah-daerah kekuasaannya antara lain Sumatra dan pulau-pulau sekitar Jawa bagian barat, sebagian Jawa bagian tengah, sebagian Kalimantan, Semenanjung Melayu, dan hampir seluruh perairan Nusantara. Bahkan Muhammad Yamin menyebutkan Sriwijaya sebagai negara nasional yang pertama.

Untuk mengurus setiap daerah kekuasaan Sriwijaya, dipercayakan kepada seorang Rakryan (wakil raja di daerah). Dalam hal ini Sriwijaya sudah mengenal struktur pemerintahan.

Perkembangan Ekonomi

Pada mulanya penduduk Sriwijaya hidup dengan bertani. Akan tetapi karena Sriwijaya  terletak  di  tepi  Sungai Musi dekat pantai, maka perdagangan  menjadi cepat berkembang. Perdagangan kemudian menjadi mata pencaharian pokok. Perkembangan perdagangan didukung oleh keadaan dan letak Sriwijaya yang strategis. Sriwijaya terletak di persimpangan jalan perdagangan internasional. Para pedagang Cina yang akan ke India singgah dahulu di Sriwijaya, begitu juga para pedagang dan India yang akan ke Cina. Di Sriwijaya para pedagang melakukan bongkar muat barang dagangan. Dengan demikian, Sriwijaya semakin ramai dan berkembang menjadi pusat perdagangan. Sriwijaya mulai menguasai perdagangan nasional maupun internasional di kawasan perairan Asia Tenggara. Perairan di Laut Natuna, Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.

Tampilnya Sriwijaya sebagai pusat perdagangan, memberikan kemakmuran bagi rakyat dan negara Sriwijaya. Kapal-kapal yang singgah dan melakukan bongkar muat, harus membayar pajak. Dalam kegiatan perdagangan, Sriwijaya mengekspor gading, kulit, dan beberapa jenis binatang liar, sedangkan barang impornya antara lain beras, rempah-rempah, kayu manis, kemenyan, emas, gading, dan binatang.
Arca Buddha Kota Cina

Perkembangan tersebut telah memperkuat kedudukan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim. Kerajaan maritim adalah kerajaan yang mengandalkan perekonomiannya dari kegiatan perdagangan dan hasil-hasil laut. Untuk memperkuat kedudukannya, Sriwijaya membentuk armada angkatan laut yang kuat. Melalui armada angkatan laut yang kuat Sriwijaya mampu mengawasi perairan di Nusantara. Hal ini sekaligus merupakan jaminan keamanan bagi para pedagang yang ingin berdagang dan berlayar di wilayah perairan Sriwijaya.

Kehidupan beragama di Sriwijaya sangat semarak. Bahkan Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha Mahayana di seluruh wilayah Asia Tenggara. Diceritakan oleh I-tsing, bahwa di Sriwijaya tinggal ribuan pendeta dan pelajar agama Buddha. Salahseorangpendeta Buddhayangterkenaladalah Sakyakirti. Banyak pelajar asing yang datang ke Sriwijaya untuk belajar bahasa Sanskerta. Kemudian mereka belajar agama Buddha di Nalanda, India. Antara tahun 1011 - 1023 datang seorang pendeta agama Buddha dari Tibet bernama Atisa untuk lebih memperdalam pengetahuan agama Buddha.

Dalam kaitannya  dengan   perkembangan   agama  dan kebudayaan Buddha, di Sriwijaya ditemukan beberapa peninggalan. Misalnya, Candi Muara Takus, yang ditemukan dekat Sungai Kampar di daerah Riau. Kemudian di daerah Bukit Siguntang ditemukan arca Buddha. Pada tahun 1006 Sriwijaya juga telah membangun wihara sebagai tempat suci agama Buddha di Nagipattana, India Selatan. Hubungan Sriwijaya dengan India Selatan waktu itu sangat erat.
Komplek Muara Jambi
Bangunan lain yang sangat penting adalah Biaro Bahal yang ada di Padang Lawas, Tapanuli Selatan. Di tempat ini pula terdapat bangunan wihara.

Kerajaan Sriwijaya akhirnya mengalami kemunduran karena beberapa hal antara lain :

  • Keadaan sekitar Sriwijaya berubah, tidak lagi dekat dengan pantai. Hal ini disebabkan aliran Sungai Musi, Ogan, dan Komering banyak membawa lumpur. Akibatnya. Sriwijaya tidak baik untuk perdagangan.
  • Banyak daerah kekuasaan Sriwijaya yang melepaskan diri. Hal ini disebabkan terutama karena melemahnya angkatan laut Sriwijaya, sehingga pengawasan semakin sulit.
  • Dari segi politik, beberapa kali Sriwijaya mendapat serangan dari kerajaan-kerajaan lain. Tahun 1017 M Sriwijaya mendapat serangan dari Raja Rajendracola dari Colamandala, namun Sriwijaya masih dapat bertahan. Tahun 1025 serangan itu diulangi, sehingga Raja Sriwijaya, Sri Sanggramawijayattunggawarman ditahan oleh pihak Kerajaan Colamandala. Tahun 1275, Raja Kertanegara dari Singhasari melakukan Ekspedisi Pamalayu. Hal itu menyebabkan daerah Melayu lepas. Tahun 1377 armada angkatan laut Majapahit menyerang Sriwijaya. Serangan ini mengakhiri riwayat Kerajaan Sriwijaya.

5. Kerajaan Mataram Kuno


Pada pertengahan abad ke-8 di Jawa bagian tengah berdiri sebuah kerajaan baru. Kerajaan itu kita kenal dengan nama Kerajaan Mataram Kuno. Mengenai letak dan pusat Kerajaan Mataram Kuno tepatnya belum dapat dipastikan. Ada yang menyebutkan pusat kerajaan di Medang dan terletak di Poh Pitu. Sementara itu letak Poh Pitu sampai sekarang belum jelas. Keberadaan lokasi kerajaan itu dapat diterangkan berada di sekeliling pegunungan, dan sungai- sungai. Di sebelah utara terdapat Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing,  dan  Sindoro;  di  sebelah  barat  terdapat  Pegunungan

Serayu; di sebelah timur terdapat Gunung Lawu, serta di sebelah selatan berdekatan dengan Laut Selatan dan Pegunungan Seribu. Sungai-sungai yang ada, misalnya Sungai Bogowonto, Elo, Progo, Opak, dan Bengawan Solo. Letak Poh Pitu mungkin di antara Kedu sampai sekitar Prambanan.

Untuk mengetahui perkembangan Kerajaan Mataram Kuno dapat digunakan sumber yang berupa prasasti. Ada beberapa prasasti yang berkaitan dengan Kerajaan Mataram Kuno di antaranya Prasasti Canggal, Prasasti Kalasan, Prasasti Klura, Prasasti Kedu atau Prasasti Balitung. Di samping beberapa prasasti tersebut, sumber sejarah untuk Kerajaan Mataram Kuno juga berasal dari berita Cina.
salah satu situs liangan, sisa peninggalan mataram kuno

Perkembangan Pemerintahan

Sebelum Sanjaya berkuasa di Mataram Kuno, di Jawa sudah berkuasa seorang raja bernama Sanna. Menurut prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M, diterangkan bahwa Raja Sanna telah digantikan oleh Sanjaya. Raja Sanjaya adalah putra Sanaha, saudara perempuan dari Sanna.

Dalam Prasasti Sojomerto yang ditemukan di Desa Sojomerto, Kabupaten Batang, disebut nama Dapunta Syailendra yang beragama Syiwa (Hindu). Diperkirakan Dapunta Syailendra berasal dari Sriwijaya dan menurunkan Dinasti Syailendra yang berkuasa di Jawa bagian tengah. Dalam hal ini Dapunta Syailendra diperkirakan yang menurunkan Sanna, sebagai raja di Jawa.

Sanjaya tampil memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada tahun 717 - 780 M. Ia melanjutkan kekuasaan Sanna. Sanjaya kemudian melakukan penaklukan terhadap raja-raja kecil bekas bawahan Sanna yang melepaskan diri. Setelah itu, pada tahun 732 M Raja Sanjaya mendirikan bangunan suci
Prasasti Canggal dan Sojomerto
sebagai tempat pemujaan. Bangunan ini berupa lingga dan berada di atas Gunung Wukir (Bukit Stirangga). Bangunan suci itu merupakan lambang keberhasilan Sanjaya dalam menaklukkan raja-raja lain.
Candi Kalasan
Raja Sanjaya bersikap arif, adil dalam memerintah, dan memiliki pengetahuan luas. Para pujangga dan rakyat hormat kepada rajanya. Oleh karena itu, di bawah pemerintahan Raja Sanjaya, kerajaan menjadi aman dan tenteram. Rakyat hidup makmur. Mata pencaharian penting adalah pertanian dengan hasil utama padi. Sanjaya juga dikenal sebagai raja yang paham akan isi kitab-kitab suci. Bangunan suci dibangun oleh Sanjaya untuk pemujaan lingga di atas Gunung Wukir, sebagai lambang telah ditaklukkannya raja-raja kecil di sekitarnya yang dulu mengakui kemaharajaan Sanna.

Setelah Raja Sanjaya wafat, ia digantikan oleh putranya bernama Rakai Panangkaran. Panangkaran mendukung adanya perkembangan agama Buddha. Dalam Prasasti Kalasan yang berangka tahun 778, Raja Panangkaran telah memberikan hadiah tanah dan memerintahkan membangun sebuah candi untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta agama Buddha. Tanah dan bangunan tersebut terletak di Kalasan. Prasasti Kalasan juga menerangkan bahwa Raja Panangkaran disebut dengan nama Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran. Raja Panangkaran kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke arah timur.

Raja Panangkaran dikenal sebagai penakluk yang gagah berani bagi musuh-musuh kerajaan. Daerahnya bertambah luas. Ia juga disebut sebagai permata dari Dinasti Syailendra.

Agama Buddha Mahayana waktu itu berkembang pesat. Ia juga memerintahkan didirikannya bangunan-bangunan suci. Misalnya, Candi Kalasan dan arca Manjusri.

Setelah kekuasaan Penangkaran berakhir, timbul persoalan dalam keluarga Syailendra, karena adanya perpecahan antara anggota keluarga yang sudah memeluk agama Buddha dengan keluarga yang masih memeluk agama Hindu (Syiwa).Hal ini menimbulkan perpecahan di dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno. Satu pemerintahan dipimpin oleh tokoh-tokoh kerabat istana yang menganut agama Hindu berkuasa di daerah Jawa bagian utara. Kemudian keluarga yang terdiri atas tokoh-tokoh yang beragama Buddha berkuasa di daerah Jawa bagian selatan. Keluarga Syailendra yang beragama Hindu meninggalkan bangunan- bangunan candi di Jawa bagian utara. Misalnya, candi-candi kompleks Pegunungan Dieng (Candi Dieng) dan kompleks Candi Gedongsongo. Kompleks Candi Dieng memakai nama- nama tokoh wayang seperti Candi Bima, Puntadewa, Arjuna, dan Semar.

Sementara yang beragama Buddha meninggalkan candi-candi seperti Candi Ngawen, Mendut, Pawon dan Borobudur. Candi Borobudur diperkirakan mulai dibangun oleh Samaratungga pada tahun 824 M. Pembangunan kemudian dilanjutkan pada zaman Pramudawardani dan Pikatan.

Perpecahan di dalam keluarga Syailendra tidak berlangsung lama. Keluarga itu akhirnya bersatu kembali. Hal ini ditandai dengan perkawinan Rakai Pikatan dan keluarga yang beragama Hindu dengan Pramudawardani, putri dari Samaratungga. Perkawinan itu terjadi pada tahun 832 M. Setelah itu, Dinasti Syailendra bersatu kembali di bawah pemerintahan Raja Pikatan.

Candi Borobudur Mahakarya Dynasti Syailendra



Pada awal abad ke-21, kita sering mendengarkan dan membicarakan tentang kebudayaan lokal dalam menghadapi globalisasi. Setidaknya hal itu sudah dialami oleh bangsa kita sejak abad ke-8, atau bahkan jauh ke masa lampau. Bukti nyata dari     itu adalah Candi Borobudur, yang kemudian dikukuhkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO, pada tahun 1991

Candi Borobudur didirikan oleh Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra pada abad ke-9. Candi itu terletak di antara dua bukit, tepatnya di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Candi Borobudur yang terletak pada satu garis lurus dengan Candi Pawon dan Candi Mendut dipandang sebagai satu kesatuan. Letak candi seperti ini sesuai dengan aturan yang disebut dalam kitab-kitab pedoman para seniman agama di India. kitab itu disebut dengan Vastusastra. Suatu kitab yang menjelaskan tentang bangunan suci agama Hindu. Namun demikian, aturan-aturannya juga digunakan sebagai desain bangunan suci agama Buddha.

Borobudur merupakan karya yang unik. Susunan Candi Borobudur berbeda dengan susunan candi di India. Pada umumnya susunan candi di India berdiri di atas fondasi yang tertanam di dalam tanah. Fondasi tersebut berdenah dengan jari-jari delapan. Di titik tengah terdapat tiang yang dibuat tembus ke atas permukaan tanah, dan diteruskan menjadi tongkat dengan payung. Candi Borobudur didirikan langsung di atas bukit tanpa fondasi yang ditanam di dalam tanah seperti yang terdapat di India. Dilihat dari susunannya, Candi Borobudur merupakan sebuah teras-stupa. Kaki stupa berbentuk undak teras persegi, disusul teras mengalir yang dihiasi stupa. Susunan candi ini memperlihatkan kuatnya pengaruh kebudayaan Jawa pada abad ke-8.

Bangunan ini dinamai Bhumisambharabhudara yang artinya adalah bukit peningkatan kebijakan setelah melampaui sepuluh tingkat Boddhisattwa. Borobudur sendiri terdiri dari sepuluh tingkatan, yang dapat dipahami sebagai lambang ke-10, jalan Boddhisattwa. Candi itu berbentuk bujur sangkar, dengan ukuran 123 m x 123 m di bagian kakinya. Bentuk bangunan seperti itu dapat ditafsirkan sebagai bentuk mandala. Tinggi Candi Borobudur adalah 35,4 m. Secara vertikal Candi Borobudur terdiri dari dua pola, yaitu pola undak-undak persegi dan pola bangun vertikal. Karena bentuknya itulah Candi Borobudur dapat dipahami sebagai sebuah stupa yang besar.

Dalam agama Buddha stupa merupakan perwujudan dari makrokosmos yang terdiri dari tiga tingkatan, yaitu kamadatu, rupadatu, dan arupadatu. Kamadatu merupakan alam bawah, bagian ini berada di bagian bawah Candi Borobudur. Pada kamadatu terdapat relief karmawibangga, yaitu suatu hukum sebab akibat, yang merupakan hasil perbuatan manusia. Arupadatu adalah alam atas, yaitu tempat para dewa. Bagian ini berada pada tingkat ketiga, termasuk stupa induk berada di atas rupadatu. Cara membaca relief pada dinding Candi Barobudur searah dengan jarum jam. Sebagai candi pemujaan, Borobudur mempunyai hubungan dengan Candi Mendut dan Candi Pawon. Ketiga candi itu menunjukkan proses suatu ritual keagamaan. Mula-mula ritual keagamaan dilakukan di Candi Mendut. Kemudian dilakukan persiapan di Candi Pawon dan puncak ritual keagamaan dilakukan di Candi Borobudur.

Dari arca dan relief yang terdapat pada dinding dan pagar candi menunjukkan bahwa Candi Borobudur sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana. Dari arca dan relief itu juga dapat dilihat adanya penyatuan ajaran Mahayana dan Tantrayana, sesuai filsafat Yogacara. Dalam relief itu tergambar tentang kehidupan sehari-hari di Jawa, seperti cara berpakaian, rumah tinggal, candi, alat berburu, alat-alat keperluan sehari-hari, serta jenis-jenis tanaman.

Dalam Kitab Sang Hyang Kamahayanikan Mantranaya, pada abad ke-10, Mpu Sindok dari Dinasti Isana menyebarkan ajaran dari India, yaitu agama Buddha. Ajaran itu  disebarkan  di  Jawa  dan disesuaikan dengan pengetahuan penduduk pada saat itu. Lebih jauh lagi hasil pengetahuan itu diwujudkan dalam bentuk bangunan candi oleh penduduk Jawa, bukan oleh penduduk India. Candi itu kemudian digunakan sebagai sarana ibadah mereka. Bukti itu ditunjukkan dengan tidak adanya Kampung Keling yang berada di sekitar Candi Borobudur. Bukti lainnya itu ditemukannya tulisan yang memakai huruf Jawa kuno, dengan bahasa Sanskerta, dengan tidak menggunakan tata bahasa Sanskerta.
Kelompok Arjuna kompleks Candi Dieng di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah
Setelah Samaratungga wafat, anaknya dengan Dewi Tara yang bernama Balaputradewa menunjukkan sikap menentang terhadap Pikatan. Kemudian terjadi perang perebutan kekuasaan antara Pikatan dengan Balaputradewa. Dalam perang ini Balaputradewa membuat benteng pertahanan di perbukitan di sebelah selatan Prambanan. Benteng ini sekarang kira kenal dengan Candi Boko. Dalam pertempuran, Balaputradewa terdesak dan melarikan diri  ke Sumatra. Balaputradewa kemudian menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya.
Kompleks Percandian Gedongsongo, terletak di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah

Kerajaan Mataram Kuno daerahnya bertambah luas. Kehidupan agama berkembang pesat tahun 856 Rakai Pikatan turun takhta dan digantikan oleh Kayuwangi atau Dyah Lokapala. Kayuwangi kemudian digantikan oleh Dyah Balitung. Raja Balitung merupakan raja yang terbesar. Ia memerintah pada tahun 898 - 911 M dengan gelar Sri Maharaja Rakai Wafukura Dyah Balitung Sri Dharmadya Mahasambu. Pada pemerintahan Balitung bidang- bidang politik, pemerintahan, ekonomi, agama, dan kebudayaan mengalami kemajuan. Ia telah membangun Candi Prambanan sebagai candi yang anggun dan megah. Relief-reliefnya sangat indah.

Sesudah pemerintahan Balitung berakhir, Kerajaan Mataram mulai mengalami kemunduran. Raja yang berkuasa setelah Balitung adalah Daksa, Tulodong, dan Wawa. Beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran Mataram Kuno antara lain adanya bencana alam dan ancaman dari musuh yaitu Kerajaan Sriwijaya.

Pesona Legenda Candi Prambanan

Candi Prambanan
Lara Jonggrang adalah seorang putri semata wayang Raja Boko, Penguasa Kerajaan Medang Kamuan. Karena kecantikannya, seorang pangeran bernama Bandung Bondowoso berniat menyuntingnya sebagai istri. Raja Boko mengabulkan permintaan Bandung Bondowoso, bila pangeran itu dapat mengalahkannya. Bandung Bondowoso ternyata dapat mengalahkan Raja Boko. Namun Lara Jonggrang tidak mau dipersunting oleh pembunuh ayahnya, ia pun tidak berani untuk menolak. Lara Jonggrang pun memberikan syarat pada Bandung untuk membuat seribu candi lengkap dengan arcanya dalam waktu semalam.

Bandung Bandowoso dengan dibantu sepasukan jin, hampir dapat meyelesaikan permintaan Lara Jonggrang. Saat mendengar suara kokok ayam bersautan dan melihat langit di ufuk timur memerah, para jin itu melarikan diri sebelum pekerjaannya selesai. Melihat tipu daya Lara Jonggrong, Bandung Bondowoso mengutuknya menjadi arca batu yang ke seribu untuk melengkapi jumlah keseluruhan arca.

Tentukamupernahmendengarceritarakyatyangmenceritakan tentang asal mula Candi Prambanan itu. Cerita itu hingga kini masih berkembang di daerah sekitar Prambanan. Lara Jonggrang sering kali diwujudkan sebagai arca Durga Mahisasuramawardini yang berada di bilik utara Candi Siwa. Lara Jonggrang secara harfiah diartikan sebagai seorang gadis cantik semampai. Pada kompleks percandian,sosok Lara Jonggrang diwujudkan pada bangunan paling tinggi dari keseluruhan Candi Prambanan. Dari kondisi itu kita dapat menafsirkan, bahwa legenda Bandung Bondowo itu muncul sebagai cerita rakyat penduduk Prambanan saat Candi Siwa masih berdiri kokoh. Jadi Candi Prambanan merupakan sebuah karya monumen kejayaan Mataram Kuno yang berdiri tinggi tegak di dataran Prambanan yang subur. Kawasan Candi Prambanan sejak tahun 1991 ditetapkan sebagai situs cagar budaya dunia oleh UNESCO. Bagi bangsa Indonesia pengakuan itu sangat membanggakan.

Candi Prambanan dibangun pada abad ke-9 Masehi atas perintah raja, pada masa puncak kejayaan Dinasti Sanjaya. Pada masa itulah ia mendirikan Candi Prambanan menurut model candi- candi Syailendra. Candi Prambanan terletak di Desa Prambanan. Candi itu pertama ditemukan oleh Calons pada tahun 1733 M. Bangunan candi itu dibangun untuk sebuah dharma bagi agama Hindu. Candi Prambanan merupakan bangunan suci agama Hindu yang ditujukan untuk memperkuat keberadaan agama itu di wilayah selatan Jawa. Candi itu dibangun atas perintah Raja Rakai Pikatan. Kompleks Prambanan terdiri atas Candi Siwa, Candi Hamsa, Candi Wisnu, Candi Nandi, Candi Garuda dan dua buah Candi Apit yang semuanya berada di halaman pertama. Delapan candi penjaga arah mata angin dan kurang lebih 200 candi perwara yang mengelilingi inti pusat.

Candi utama adalah Candi Siwa dengan empat ruangan. Ruang utama berisi patung Siwa sebagai mahadewa. Di sebelah utara terdapat Lara Jonggrang atau Siwa sebagai Durga Mahesasuramardin. Bagian timur terdapat patung Ganesa. Pada dinding Candi Siwa itu terdapat relief Ramayana, yang berisi tentang titisan Wisnu hingga Rama menyeberang ke lautan. Cara membaca relief pada candi itu searah dengan jarum jam. Candi itu digunakan hanya sebagai tempat pemujaan.

Candi kedua yang terbesar adalah Candi Brahma. Dalam candi ini terdapat patung Brahma. Juga terdapat relief yang  menggambarkan epik Ramayana. Pada bagian ini menceritakan tentang Rama menyerang Alengka dan Sinta membakar diri, atau dikenal dengan cerita “pati obong”. Candi ketiga adalah Candi Wisnu yang terdapat arca Wisnu di dalamnya. Dalam  dinding  candi ini terdapat relief yang menceritakan tentang Kernayana. Candi Prambanan merupakan candi termegah pada saat itu,  kemegahannya tersohor hingga sampai ke Asia Tenggara.

Candi Sewu yang berada di sekeliling Candi Prambanan mempunyai latar belakang agama Buddha. Hal itu dilihat dari arsitektur bentuk candi yang bentuk seperti stupa daripada Candi Prambanan. Di samping bentuknya juga dicirikan dengan puncak candi yang berbentuk stupa. Puncak candi itu merupakan satu di antara lambang dari agama Buddha.

Candi itu kurang lebih terdiri dari 240 bangunan. Bangunan candi sendiri dibangun dalam areal seluas kurang lebih 49.284 m. Candi itu diresmikan oleh Rakai Kayuwangi, pada tahun 778 Saka (856 Masehi). Dalam Prasasti Siwagraha tertuliskan tentang pembuatan Candi Prambanan. Candi dan gapuranya dikerjakan oleh beratus- ratus pekerja.

Dari segi arsitektur bangunan, Candi Prambanan dan Candi Sewu masih menampakkan ciri-ciri arsitektur Buddhis. Teknik pembangunan candi itu dengan  menggunakan  ikatan  pada  setiap bata-batanya. Keistimewaan bangunan itu terletak pada bentuk candi yang menjulang tinggi pada tanah datar. Candi Prambanan merupakan candi tertinggi dengan bentuk menara. Candi Prambanan berada dalam kawasan yang memiliki kepadatan bangunan candi yang beragam.  Khususnya  pada  bagian  sisi timur Kali Opak, terdapat Candi Bubrah, Lumbung, dan Sewu. Keempat candi besar yang berderat itu memiliki kesatuan mandala. Kedekatan letak Candi Prambanan dengan candi-candi agama Buddha menunjukkan adanya toleransi antara penduduk yang beragama Hindu dengan penduduk yang beragama Buddha pada masa Mataram Kuno itu.

Kekuasaan Dinasti Isyana

Pertentangan di antara keluarga Mataram, tampaknya terus berlangsung hingga masa pemerintahan Mpu Sindok pada tahun 929 M. Pertikaian yang tidak pernah berhenti menyebabkan Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan dari Medang ke Daha (Jawa Timur) dan mendirikan dinasti baru  yaitu  Dinasti  Isyanawangsa. Di samping karena pertentangan keluarga, pemindahan pusat kerajaan juga dikarenakan kerajaan mengalami kehancuran akibat letusan Gunung Merapi. Berdasarkan prasasti, pusat pemerintahan Keluarga Isyana terletak di Tamwlang. Letak Tamwlang diperkirakan dekat Jombang, sebab di Jombang masih ada desa yang namanya mirip, yakni desa Tambelang. Daerah kekuasaannya meliputi Jawa bagian timur, Jawa bagian tengah, dan Bali.

Setelah Mpu Sindok meninggal, ia digantikan oleh anak perempuannya bernama Sri Isyanatunggawijaya. Ia naik takhta dan kawin dengan Sri Lokapala. Dari perkawinan ini lahirlah putra yang bernama Makutawangsawardana. Makutawangsawardana naik takhta menggantikan ibunya. Kemudian pemerintahan dilanjutkan oleh Dharmawangsa. Dharmawangsa Tguh yang memeluk agama Hindu aliran Waisya. Pada masa pemerintahannya, Dharmawangsa Tguh memerintahkan untuk menyadur kitab Mahabarata dalam bahasa Jawa Kuno. Setelah Dharmawangsa  Tguh  turun  takhtah ia digantikan oleh Raja Airlangga, yang saat itu usianya masih 16 tahun. Hancurnya kerajaan Dharmawangsa menyebabkan Airlangga berkelana ke hutan. Selama di hutan ia hidup bersama pendeta sambil mendalami agama. Airlangga kemudian dinobatkan oleh pendeta agama Hindu dan Buddha sebagai raja. Begitulah kehidupan agama pada masa Mataram Kuno. Meskipun mereka berbeda aliran dan keyakinan, penduduk Mataram Kuno tetap menghargai perbedaan yang ada.

Setelah dinobatkan sebagai raja, Airlangga segera mengadakan pemulihan hubungan baik dengan Sriwijaya, bahkan membantu Sriwijaya ketika diserang Raja Colamandala dari India Selatan. Pada tahun 1037 M, Airlangga berhasil mempersatukan kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh Dharmawangsa, meliputi seluruh Jawa Timur. Airlangga kemudian memindahkan ibu kota kerajaannya dari Daha ke Kahuripan.

Pada tahun 1042, Airlangga mengundurkan diri dari takhta kerajaan, lalu hidup sebagai pertapa dengan nama Resi Gentayu (Djatinindra). Menjelang akhir pemerintahannya Airlangga menyerahkan kekuasaanya pada putrinya Sangrama Wijaya Tungga- Dewi. Namun, putrinya itu menolak dan memilih untuk menjadi seorang petapa dengan nama Ratu Giriputri.

Airlangga memerintahkan Mpu Bharada untuk  membagi dua kerajaan. Kerajaan itu adalah Kediri dan Janggala. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya perang saudara di antara kedua putranya yang lahir dari selir. Kerajaan Janggala di sebelah timur diberikan kepada putra sulungnya yang bernama Garasakan (Jayengrana), dengan ibu kota di Kahuripan (Jiwana). Wilayahnya meliputi daerah sekitar Surabaya sampai Pasuruan, dan Kerajaan Panjalu (Kediri). Kerajaan Kediri di sebelah barat diberikan kepada putra bungsunya yang bernama Samarawijaya (Jayawarsa) dengan ibu kota di Kediri (Daha), meliputi daerah sekitar Kediri dan Madiun.

Kerajaan Kediri adalah kerajaan pertama yang mempunyai sistem administrasi kewilayahan negara berjenjang. Hierarki kewilayahan dibagi atas tiga jenjang. Struktur paling bawah dikenal dengan thani (desa). Desa ini terbagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang dipimpin oleh seorang duwan. Setingkat lebih tinggi di atasnya disebut wisaya, yaitu sekumpulan dari desa-desa. Tingkatan paling tinggi yaitu negara atau kerajaan yang disebut dengan bhumi.

6. Kerajaan Kediri

Kehidupan politik pada bagian awal di Kerajaan Kediri ditandai dengan perang saudara antara Samarawijaya yang berkuasa di Panjalu dan Panji Garasakan yang berkuasa di Jenggala. Mereka tidak dapat hidup berdampingan. Pada tahun 1052 M terjadi peperangan perebutan kekuasaan di antara kedua belah pihak. Pada tahap pertama Panji Garasakan dapat mengalahkan Samarawijaya, sehingga Panji Garasakan berkuasa. Di Jenggala kemudian berkuasa raja-raja pengganti Panji Garasakan. Tahun 1059 M yang memerintah adalah Samarotsaha. Akan tetapi setelah itu tidak terdengar berita mengenal Kerajaan Panjalu dan Jenggala. Baru pada tahun 1104 M tampil Kerajaan Panjalu sebagai rajanya Jayawangsa. Kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri dengan ibu kotanya di Daha.

Tahun 1117 M Bameswara tampil sebagai Raja Kediri Prasasti yang ditemukan, antara lain Prasasti Padlegan (1117 M) dan Panumbangan (1120 M). Isinya yang penting tentang pemberian status perdikan untuk beberapa desa.

Pada tahun 1135 M tampil raja yang sangat terkenal, yakni Raja Jayabaya. Ia meninggalkan tiga prasasti penting, yakni Prasasti Hantang atau Ngantang (1135 M), Talan (1136 M) dan Prasasti Desa Jepun (1144 M). Prasasti Hantang memuat tulisan panjalu jayati, artinya panjalu menang. Hal itu untuk mengenang kemenangan Panjalu atas Jenggala. Jayabaya telah berhasil mengatasi berbagai kekacauan di kerajaan.

Di kalangan masyarakat Jawa, nama Jayabaya sangat  dikenal karena adanya Ramalan atau Jangka Jayabaya. Pada masa pemerintahan Jayabaya telah digubah Kitab Baratayuda oleh Empu Sedah dan kemudian dilanjutkan oleh Empu Panuluh.

Perkembangan Politik, Sosial, dan Ekonomi

Sampai masa awal pemerintahan Jayabaya, kekacauan akibat pertentangan dengan Janggala terus berlangsung. Baru pada tahun 1135 M Jayabaya berhasil memadamkan kekacauan itu. Sebagai bukti, adanya kata-kata panjalu jayati pada prasasti Hantang. Setelah kerajaan stabil, Jayabaya mulai menata dan mengembangkan kerajaannya.

Kehidupan Kerajaan Kediri menjadi teratur. Rakyat hidup makmur. Mata pencaharian yang penting adalah pertanian dengan hasil utamanya padi. Pelayaran dan perdagangan juga berkembang.
Hal ini ditopang oleh Angkatan Laut Kediri yang cukup tangguh. Armada laut Kediri mampu menjamin keamanan perairan Nusantara. Di Kediri telah ada Senopati Sarwajala (panglima angkatan laut). Bahkan Sriwijaya yang pernah mengakui kebesaran Kediri, yang telah mampu mengembangkan pelayaran dan perdagangan. Barang perdagangan di Kediri antara lain emas, perak, gading, kayu cendana, dan pinang. Kesadaran rakyat tentang pajak sudah tinggi. Rakyat menyerahkan barang atau sebagian hasil buminya kepada pemerintah.

Menurut berita Cina, dan kitab Ling-wai-tai-ta diterangkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari orang-orang memakai kain sampai di bawah lutut. Rambutnya diurai. Rumah-rumah mereka bersih dan teratur, lantainya ubin yang berwarna  kuning  dan hijau. Dalam perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima mas kawin berupa emas. Rajanya berpakaian sutera, memakai sepatu, dan perhiasan emas. Rambutnya disanggul ke atas. Kalau bepergian, Raja naik gajah atau kereta yang diiringi oleh 500 sampai 700 prajurit.

Di bidang kebudayaan, yang menonjol adalah perkembangan seni sastra dan pertunjukan wayang. Di Kediri dikenal adanya wayang panji.

Beberapa karya sastra yang terkenal, sebagai berikut.

1. Kitab Baratayuda

Kitab Baratayudha ditulis pada zaman Jayabaya, untuk memberikan gambaran terjadinya perang saudara antara Panjalu melawan Jenggala. Perang saudara itu digambarkan dengan perang antara Kurawa dengan Pandawa yang masing- masing merupakan keturunan Barata.

2. Kitab Kresnayana

Kitab Kresnayana ditulis oleh Empu Triguna pada zaman Raja Jayaswara. Isinya mengenai perkawinan antara Kresna dan Dewi Rukmini.

3. Kitab Smaradahana

Kitab Smaradahana ditulis pada zaman Raja Kameswari oleh Empu Darmaja. Isinya menceritakan tentang sepasang suami istri Smara dan Rati yang menggoda Dewa Syiwa yang sedang bertapa. Smara dan Rail kena kutuk dan mati terbakar oleh api (dahana) karena kesaktian Dewa Syiwa. Akan tetapi, kedua suami istri itu dihidupkan lagi dan menjelma sebagai Kameswara dan permaisurinya.

4. Kitab Lubdaka

Kitab Lubdaka ditulis oleh Empu Tanakung  pada  zaman  Raja Kameswara. Isinya tentang seorang pemburu bernama Lubdaka. Ia sudah banyak  membunuh.  Pada  suatu  ketika  ia mengadakan pemujaan yang istimewa terhadap Syiwa, sehingga rohnya yang semestinya masuk neraka, menjadi masuk surga.

Raja yang terakhir  di  Kerajaan  Kediri  adalah  Kertajaya atau Dandang Gendis. Pada masa pemerintahannya, terjadi pertentangan antara raja dan para pendeta atau kaum brahmana, karena Kertajaya berlaku sombong dan berani melanggar adat. Hal ini memperlemah pemerintahan di Kediri.Para brahmana kemudian mencari perlindungan kepada Ken Arok yang merupakan penguasa di Tumapel. Pada tahun 1222 M, Ken Arok dengan dukungan kaum brahmana menyerang Kediri. Kediri dapat dikalahkan oleh Ken Arok.

7. Kerajaan Singhasari

Raja-Raja yang Memerintah Singhasari 

a. Ken Arok (1222 – 1227 M)

Setelah berakhirnya Kerajaan Kediri, kemudian berkembang Kerajaan Singhasari. Pusat Kerajaan Singhasari kira-kira terletak di dekat kota Malang, Jawa Timur. Kerajaan ini didirikan oleh Ken Arok. Ken Arok berhasil tampil sebagai raja, walaupun ia berasal dari kalangan rakyat biasa. Menurut kitab Pararaton, Ken Arok adalah anak seorang petani dari Desa Pangkur,  di sebelah timur Gunung Kawi, daerah Malang. Ibunya bernama Ken Endok.
Patung Ken Dedes

Diceritakan, bahwa pada waktu masih  bayi, Ken Arok diletakkan oleh ibunya di sebuah makam. Bayi ini kemudian ditemukan oleh seorang pencuri, bernama Lembong. Akibat dari didikan dan lingkungan keluarga pencuri, maka Ken Arok tumbuh menjadi seorang penjahat yang sering menjadi buronan pemerintah Kerajaan Kediri. Suatu ketika Ken Arok berjumpa dengan pendeta Lohgawe. Ken Arok mengatakan ingin menjadi orang baik-baik. Kemudian dengan perantaraan Lohgawe, Ken Arok diabdikan kepada seorang Akuwu (bupati) Tumapel, bernama Tunggul Ametung.

Setelah beberapa lama mengabdi di Tumapel, Ken Arok mempunyai keinginan untuk memperistri Ken Dedes, yang sudah menjadi istri Tunggul Ametung. Kemudian timbul niat buruk dari Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung agar Ken Dedes dapat diperistri olehnya. Ternyata benar, Tunggul Ametung dapat dibunuh oleh Ken Arok dengan keris Empu Gandring. Setelah Tunggul Ametung terbunuh, Ken Arok menggantikan sebagai penguasa di Tumapel dan memperistri Ken Dedes. Pada waktu diperistri Ken Arok, Ken Dedes sudah mengandung tiga bulan, hasil perkawinan dengan Tunggul Ametung.

Pada waktu itu Tumapel hanya daerah bawahan Raja Kertajaya dari Kediri. Ken Arok ingin menjadi raja, maka ia merencanakan menyerang Kediri. Pada tahun 1222 M Ken Arok  atas  dukungan para pendeta melakukan serangan ke Kediri. Raja Kertajaya dapat ditaklukkan oleh Ken Arok dalam pertempurannya di Ganter, dekat Pujon, Malang. Setelah Kediri berhasil ditaklukkan, maka seluruh wilayah Kediri dipersatukan dengan Tumapel dan lahirlah Kerajaan Singhasari.

Setelah berdiri Kerajaan Singhasari, Ken Arok tampil sebagai raja pertama. Ken Arok sebagai raja bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Ken Arok memerintah selama lima tahun. Pada tahun 1227 M Ken Arok dibunuh oleh seorang pengalasan atau pesuruh dan Batil, atas perintah Anusapati. Anusapati adalah putra Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Jenazah Ken Arok dicandikan di Kagenengan dalam bangunan perpaduan Syiwa-Buddha.  Ken  Arok meninggalkan beberapa putra. Bersama Ken Umang, Ken Arok memiliki empat putra, yaitu Panji Tohjoyo, Panji Sudatu, Panji Wregola, dan Dewi Rambi. Bersama Ken Dedes, Ken Arok mempunyai putra bernama Mahesa Wongateleng.

b. Anusapati

Tahun 1227 M Anusapati naik takhta Kerajaan Singhasari. Ia memerintah selama 21 tahun. Akan tetapi, ia belum banyak berbuat untuk pembangunan kerajaan.

Lambat laun berita tentang pembunuhan Ken Arok sampai pula kepada Tohjoyo (putra Ken Arok). Oleh karena ia mengetahui pembunuh ayahnya adalah Anusapati, maka Tohjoyo ingin membalas dendam, yaitu membunuh Anusapati. Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati memiliki kesukaan menyabung ayam maka ia mengajak Anusapati untuk menyabung ayam. Pada saat menyabung ayam, Tohjoyo berhasil membunuh Anusapati. Anusapati dicandikan di Candi Kidal dekat Kota Malang sekarang. Anusapati meninggalkan seorang putra bernama Ronggowuni.

c. Tohjoyo (1248 M)

Candi Kidal

Setelah berhasil membunuh Anusapati, Tohjoyo naik takhta. Masa pemerintahannya sangat singkat, Ronggowuni yang merasa berhak atas takhta kerajaan, menuntut takhta kepada Tohjoyo. Ronggowuni dalam hal ini dibantu oleh Mahesa Cempaka, putra dari Mahesa Wongateleng. Menghadapi tuntutan ini, maka Tohjoyo mengirim pasukannya di bawah Lembu Ampal untuk melawan Ronggowuni. Kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Tohjoyo dengan pengikut Ronggowuni. Dalam pertempuran tersebut Lembu Ampal berbalik memihak Ronggowuni. Serangan pengikut Ronggowuni semakin kuat dan berhasil menduduki istana Singhasari. Tohjoyo berhasil meloloskan diri dan akhirnya meninggal di daerah Katang Lumbang akibat luka-luka yang dideritanya.

d. Ronggowuni (1248 - 1268 M)

Ronggowuni naik takhta Kerajaan Singhasari tahun 1248 M. Ronggowuni bergelar Sri Jaya Wisnuwardana. Dalam memerintah ia didampingi oleh Mahesa Cempaka yang berkedudukan sebagai Ratu Anggabaya. Mahesa Cempaka bergelar Narasimhamurti. Di samping itu, pada tahun 1254 M Wisnuwardana juga mengangkat putranya yang bernama Kertanegara sebagai raja muda atau Yuwaraja. Pada saat itu Kertanegara masih sangat muda.

Singhasari di bawah pemerintahan Ronggowuni dan Mahesa Cempaka hidup dalam keadaan aman dan  tenteram.  Rakyat  hidup dengan bertani dan berdagang. Kehidupan rakyat  juga  mulai terjamin. Raja memerintahkan untuk membangun benteng pertahanan di Canggu Lor.

Tahun 1268 M, Ronggowuni meninggal dunia dan dicandikan di dua tempat, yaitu sebagai Syiwa di Waleri dan sebagai Buddha Amogapasa di Jajagu. Jajagu kemudian dikenal dengan Candi Jago. Bentuk Candi Jago sangat menarik, yaitu kaki  candi  bertingkat  tiga dan tersusun berundak-undak. Reliefnya datar dan gambar orangnya menyerupai wayang kulit di Bali. Tokoh satria selalu diikuti dengan punakawan. Tidak lama kemudian Mahesa Cempaka pun meninggal dunia. Ia dicandikan di Kumeper dan Wudi Kucir.

e. Kertanegara (1268 - 1292 M)

Tahun 1268 M Kertanegara naik takhta menggantikan Ronggowuni. Ia bergelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Kertanegara merupakan raja yang  paling  terkenal  di  Singhasari. Ia bercita-cita, Singhasari menjadi kerajaan yang besar. Untuk mewujudkan cita-citanya, maka Kertanegara melakukan berbagai usaha.

Perluasan Daerah Singhasari

Kertanegara menginginkan wilayah Singhasari hingga meliputi seluruh Nusantara. Beberapa daerah berhasil ditaklukkan, misalnya Bali, Kalimantan Barat Daya, Maluku, Sunda, dan Pahang. Penguasaan daerah-daerah di luar Jawa yang merupakan pelaksanaan politik luar negeri bertujuan untuk mengimbangi pengaruh Kubilai Khan dari Cina. Pada tahun 1275 M Raja Kertanegara mengirimkan Ekspedisi Pamalayu di bawah pimpinan Mahesa Anabrang (Kebo Anabrang). Sasaran dari ekspedisi ini untuk menguasai Sriwijaya. Akan tetapi, untuk menguasainya harus melalui daerah sekitarnya termasuk bersahabat dan menanamkan pengaruh Singhasari di Melayu. Sebagai tanda persahabatan, Kertanegara menghadiahkanpatung Amogapasa kepada penguasa Melayu. Ekspedisi Pamalayu diharapkan akan menggoyahkan Sriwijaya.
Arca Bhairawan sebagai perwujudan Raja Kertanegara dari Candi Singosari

Dalam rangka memperkuat politik luar negeranya, Kertanegara menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain di luar Kepulauan Indonesia. Misalnya dengan Raja Jayasingawarman III dan Kerajaan Campa. Bahkan Raja Jayasingawarman III memperistri salah seorang saudara perempuan dari Kertanegara.

Kertanegara memandang Cina sebagai saingan. Berkali-kali utusan Kaisar Cina memaksa Kertanegara agar mengakui kekuasaan Cina, tetapi ditolak oleh  Kertanegara. Terakhir pada tahun 1289 M datang utusan Cina yang dipimpin oleh Mengki. Kertanegara marah, Mengki disakiti dan disuruh kembali ke Cina. Hal inilah yang membuat marah Kaisar Cina yang bernama Kubilai Khan. Ia merencanakan membalas tindakan Kertanegara.

Perkembangan Politik dan Pemerintahan

Untuk menciptakan pemerintahan yang kuat dan teratur, Kertanegara telah membentuk badan-badan pelaksana. Raja sebagai penguasa tertinggi. Kemudian raja mengangkat tim penasihat yang terdiri atas Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan, dan Rakryan i Halu. Untuk membantu raja dalam pelaksanaan pemerintahan, diangkat beberapa pejabat tinggi kerajaan yang terdiri atas Rakryan Mapatih, Rakryan Demung dan Rakryan Kanuruhan. Selain itu, ada pegawai-pegawai rendahan.

Untuk menciptakan stabilitas politik dalam negeri, Kertanegara melakukan penataan di lingkungan para pejabat. Orang-orang yang tidak setuju dengan cita-cita Kertanegara diganti. Sebagai contoh, Patih Raganata (Kebo Arema) diganti oleh Aragani dan Banyak Wide dipindahkan ke Madura, menjadi Bupati Sumenep dengan nama Arya Wiraraja.

Kehidupan Agama

Pada masa pemerintahan Kertanegara, agama Hindu maupun Buddha berkembang dengan baik. Bahkan terjadi Sinkretisme antara agama Hindu dan Buddha, menjadi bentuk Syiwa-Buddha. Sebagai contoh, berkembangnya aliran Tantrayana. Kertanegara sendiri penganut aliran Tantrayana.

Usaha untuk memperluas wilayah dan mencari dukungan dan berbagai daerah terus dilakukan oleh Kertanegara. Banyak pasukan Singhasari yang dikirim ke berbagai daerah. Antara lain pasukan  yang  dikirim  ke tanah Melayu. Oleh karena itu, kekuatan ibu kota kerajaan berkurang. Keadaan ini diketahui oleh pihak-pihak yang  tidak senang terhadap kekuasaan Kertanegara. Pihak yang tidak senang itu antara lain Jayakatwang, penguasa Kediri. Ia berusaha menjatuhkan kekuasaan Kertanegara.
Arca Joko Dolok dipercaya sebagai perwujudan Kertanegara


Saat yang dinantikan oleh Jayakatwang ternyata telah tiba. Istana Kerajaan Singhasari dalam keadaan lemah. Pasukan kerajaan hanya tersisa sebagian kecil. Pada saat itu, Kertanegara sedang melakukan upacara keagamaan dengan pesta pora, sehingga Kertanegara benar-benar lengah. Tiba- tiba, Jayakatwang menyerbu istana Kertanegara. Serangan Jayakatwang dibagi menjadi dua arah. Sebagian kecil pasukan Kediri menyerang dari arah utara untuk memancing pasukan Singhasari keluar dari pusat kerajaan. Sementara itu induk pasukan Kediri bergerak dan menyerang dari arah selatan. Untuk menghadapi serangan Jayakatwang, Kertanegara mengirimkan pasukan yang ada di bawah pimpinan Raden Wijaya dan Pangeran Ardaraja. Ardaraja adalah anak  Jayakatwang dan menantu dari Kertanegara. Pasukan Kediri yang datang dari arah utara dapat dikalahkan oleh pasukan Raden Wijaya Akan tetapi, pasukan inti dengan leluasa masuk dan menyerang istana, sehingga berhasil menewaskan Kertanegara. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1292 M. Raden Wijaya dan pengikutnya kemudian meloloskan diri setelah mengetahui istana kerajaan dihancurkan oleh pasukan Kediri. Sedangkan Ardaraja membalik dan bergabung dengan pasukan Kediri.

Jenazah Kertanegara kemudian dicandikan di dua tempat, yaitu di Candi Jawi di Pandaan dan di Candi Singosari, di daerah Singosari, Malang.

Sebagai raja yang besar, nama Kertanegara diabadikan di berbagai tempat. Bahkan di Surabaya ada sebuah arca Kertanegara yang menyerupai bentuk arca Buddha. Arca Kertanegara itu dinamakan arca Joko Dolok. Dengan terbunuhnya Kertanegara maka berakhirlah Kerajaan Singhasari.

8. Kerajaan Majapahit

Setelah Singhasari jatuh, berdirilah kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur, antara abad ke-14 - ke-15 M. Berdirinya kerajaan ini sebenarnya sudah direncanakan oleh Kertarajasa Jayawarddhana (Raden Wijaya). Ia mempunyai tugas untuk melanjutkan kemegahan Singhasari yang saat itu sudah hampir runtuh. Saat itu dengan dibantu oleh Arya Wiraraja seorang penguasa Madura, Raden Wijaya membuka hutan di wilayah yang disebut dalam kitab Pararaton sebagai hutannya orang Trik. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa “pahit” dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Raden Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang pasukan Mongol sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya.
Kertarajasa Jayawarddhana, Raja Pertama Majapahit sebagai Wsinu

Pada masa pemerintahannya Raden Wijaya mengalami pemberontakan yang dilakukan oleh sahabat-sahabatnya yang pernah mendukung perjuangan dalam mendirikan Majapahit. Setelah Raden Wijaya wafat, ia digantikan oleh putranya Jayanegara. Jayanegara dikenal sebagai raja yang kurang bijaksana dan lebih suka bersenang-senang. Kondisi itulah yang menyebabkan pembantu- pembantunya melakukan pemberontakan.

Di antara pemberontakan tersebut, yang dianggap paling berbahaya adalah pemberontakan Kuti. Pada saat itu, pasukan Kuti berhasil menduduki ibu kota negara. Jayanegara terpaksa menyingkir ke Desa Badander di bawah perlindungan pasukan Bhayangkara pimpinan Gajah Mada. Gajah Mada kemudian menyusun strategi dan berhasil menghancurkan pasukan Kuti. Atas jasa-jasanya, Gajah Mada diangkat sebagai Patih Kahuripan (1319-1321) dan Patih Kediri (1322-1330).
Kolam Segaran, merupakan salah situs tinggalan Kerajaan Majapahit terletak di Trowulan, Mojokerto
Kerajaan Majapahit penuh dengan intrik politik dari dalam kerajaan itu sendiri. Kondisi yang sama juga terjadi menjelang keruntuhan Majapahit. Masa pemerintahan Tribhuwanattunggadewi Jayawisnuwarddani adalah pembentuk kemegahan kerajaan. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk. Pada masa Hayam Wuruk  itulah Majapahit berada  di puncak kejayaannya. Hayam Wuruk disebut juga Rajasanagara. Ia memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389.

Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit mencapai zaman keemasan. Wilayah kekuasaan Majapahit sangat luas, bahkan melebihi luas wilayah Republik Indonesia sekarang. Oleh karena itu, Muhammad Yamin menyebut Majapahit dengan sebutan negara nasional kedua di Indonesia. Seluruh kepulauan di Indonesia berada di bawah kekuasaan Majapahit. Hal ini memang tidak dapat dilepaskan dan kegigihan Gajah Mada. Sumpah Palapa, ternyata benar-benar dilaksanakan. Dalam melaksanakan cita-citanya, Gajah Mada didukung oleh beberapa tokoh, misalnya Adityawarman dan Laksamana Nala. Di bawah pimpinan Laksamana Nala Majapahit membentuk angkatan laut yang sangat kuat. Tugas utamanya adalah mengawasi seluruh perairan yang ada di Nusantara. Di bawah pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit mengalami kemajuan di berbagai bidang.

Menurut Kakawin Nagarakertagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.

SUMPAH PALAPA

Pada saat diangkat sebagai Mahapatih Gajah Mada bersumpah bahwa ia tidak akan beristirahat (amukti palapa) jika belum dapat menyatukan seluruh Nusantara. Sumpah itu kemudian dikenal dengan Sumpah Palapa sebagai berikut :
“Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, amun kalah ring Gurun, ring seran, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo,ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, saman isun amukti palapa”.
Artinya:
“Setelah tunduk Nusantara, saya akan beristirahat; Sesudah kalah Gurun seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah saya akan beristirahat”

Politik dan Pemerintahan

Majapahit telah mengembangkan sistem pemerintahan yang teratur. Raja memegang kekuasaan tertinggi. Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh berbagai badan atau pejabat berikut.
  1. Rakryan Mahamantri Katrini, dijabat oleh para putra raja, terdiri atas Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan, dan Rakryan i Halu.
  2. Dewan Pelaksana terdiri atas Rakryan Mapatih atau Patih Mangkabumi, Rakryan Tumenggung, Rakryan Demung, Rakryan Rangga dan Rakryan Kanuruhan.  Kelima  pejabat ini dikenal sebagai Sang  Panca  ring Wilwatika. Di antara kelima pejabat itu Rakryan Mapatih atau Patih Mangkubumi merupakan pejabat  yang  paling  penting.  Ia menduduki tempat sebagai perdana menteri. Bersama sama raja, ia menjalankan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu terdapat pula dewan pertimbangan yang disebut dengan Batara Sapta Prabu.
Struktur tersebut ada di pemerintah pusat. Di setiap daerah yang berada di bawah raja-raja, dibuatkan pula struktur yang mirip.

Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, dibentuklah badan peradilan yang disebut dengan Saptopapati. Selain itu disusun pula kitab hukum oleh Gajah Mada yang disebut Kitab Kutaramanawa. Gajah Mada memang seorang negarawan yang mumpuni. Ia memahami pemerintahan strategi perang dan hukum.

Untuk mengatur kehidupan beragama dibentuk badan atau pejabat yang disebut Dharmadyaksa. Dharmadyaksa adalah pejabat tinggi kerajaan yang khusus menangani persoalan keagamaan. Di Majapahit dikenal ada dua Dharmadyaksa sebagai berikut.
  1. Dharmadyaksa ring Kasaiwan, mengurusi agama Syiwa (Hindu),
  2. Dharmadyaksa ring Kasogatan, mengurusi agama Buddha.
Dalam menjalankan tugas, masing-masing Dharmadyaksa dibantu oleh pejabat keagamaan yang diberi sebutan Sang Pamegat.

Kehidupan beragama di Majapahit berkembang semarak. Pemeluk yang beragama Hindu maupun Buddha saling bersatu. Pada masa itupun sudah dikenal semboyan Bhinneka Tunggal Ika, artinya, sekalipun berbeda-beda baik Hindu maupun Buddha pada hakikatnya adalah satu jua. Kemudian secara umum kita artikan berbeda-beda akhirnya satu jua

Berkat kepemimpinan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, kehidupan politik, dan stabilitas nasional Majapahit terjamin. Hal ini disebabkan pula karena kekuatan tentara Majapahit dan angkatan lautnya sehingga semua perairan nasional dapat diawasi.
Surya Majapahit

Majapahit juga menjalin hubungan dengan kerajaan lain. Hubungan dengan Siam, Birma, Kamboja, Anam, India, dan Cina berlangsung dengan baik. Dalam membina hubungan dengan luar negeri, Majapahit mengenal motto Mitreka Satata, artinya negara sahabat.

Kehidupan Sosial Ekonomi

contoh mata uang kuna, yang digunakan rakyat majapahit

Di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk, rakyat Majapahit hidup aman dan tenteram. Hayam Wuruk sangat memperhatikan rakyatnya. Keamanan dan kemakmuran rakyat diutamakan. Untuk itu dibangun jalan-jalan dan jembatan-jembatan. Dengan demikian lalu lintas menjadi lancar. Hal ini mendukung  kegiatan  keamanan  dan kegiatan perekonomian, terutama perdagangan. Lalu lintas perdagangan yang paling penting melalui sungai. Misalnya, Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas. Akibatnya desa-desa di tepi sungai dan yang berada di muara serta di tepi pantai, berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan. Hal itu menyebabkan terjadinya arus bolak-balik para pedagang yang menjajakan barang dagangannya dari  daerah  pantai  atau  muara kepedalaman atau sebaliknya.Bahkan di daerah pantai berkembang perdagangan antar daerah, antar pulau, bahkan dengan pedagang dari luar. Kemudian timbullah kota-kota pelabuhan   sebagai pusat pelayaran dan perdagangan. Beberapa kota pelabuhan yang penting pada zaman Majapahit, antara lain Canggu, Surabaya, Gresik, Sedayu, dan Tuban. Pada waktu itu banyak pedagang dari luar seperti dari Cina India, dan Siam.
cetakan mata uang gobang

Adanya pelabuhan-pelabuhan tersebut mendorong munculnya kelompok bangsawan kaya. Mereka menguasai pemasaran bahan-bahan dagangan pokok dari dan ke daerah-daerah Indonesia Timur dan Malaka.
Relief orang naik perahu

Kegiatanpertanianjugadikembangkan. Sawah dan ladang dikerjakan secukupnya dan dikerjakan secara bergiliran. Hal ini maksudnya agar tanah tetap subur dan tidak kehabisan lahan pertanian. Tanggul- tanggul di sepanjang sungai diperbaiki untuk mencegah bahaya banjir.
Relief mengemas padi

Perkembangan Sastra dan Budaya

Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, bidang sastra mengalami kemajuan. Karya sastra yang paling terkenal pada zaman Majapahit adalah Kitab Negarakertagama. Kitab ini ditulis oleh Empu Prapanca pada tahun 1365 M. Di samping menunjukkan kemajuan di bidang sastra, Negarakertagama juga merupakan sumber sejarah Majapahit. Kitab lain yang penting adalah Sutasoma. Kitab ini disusun oleh Empu Tantular. Kitab Sutasoma memuat kata- kata yang sekarang menjadi semboyan negara Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Di samping itu, Empu Tantular juga menulis kitab Arjunawiwaha.

Sutasoma 139,4d-5d

Hyan Buddha tan pabi lawan siwarajadewa rwanekadhatu winuwus wara Buddhawisma bhineki rakwa rinapankenapanarwanosen manka n jiwatwa kalawan siwatatwa tunggal bhineka ika tan hanna dharma mangruwa
Artinya : “Dewa Buddha tidak berbeda dengan Siwa. Mahadewa di antara dewa-dewa. Keduanya dikatakan mengandung banyak unsur Buddha yang boleh dikatakan tidak terpisahkan dapat begitu saja dipisahkan menjadi dua? Jiwa Jina dan Jiwa Siwa adalah satu dalam hukum tidak terdapat dualisme.

Bidang seni bangunan juga berkembang. Banyak bangunan candi telah dibuat. Misalnya Candi Penataran dan Sawentar di daerah Blitar, Candi Tigawangi dan Surawana di dekat Pare, Kediri, serta Candi Tikus di Trowulan.
Candi Tikus

Keruntuhan Majapahit lebih disebabkan oleh ketidakpuasan sebagian besar keluarga raja, setelah turunnya Hayam Wuruk. Perang Paregrek telah melemahkan unsur-unsur kejayaan Majapahit. Meskipun peperangan berakhir, Majapahit terus mengalami kelemahan karena raja yang berkuasa tidak  mampu lagi mengembalikan kejayaannya. Unsur lain yang menyebabkan runtuhnya Majapahit adalah semakin meluasnya pengaruh Islam pada saat itu.

Kemajuan peradaban Majapahit itu tidak hilang dengan runtuhnya kerajaan itu. Pencapaian itu terus dipertahankan hingga masa perkembangan Islam di Jawa. Peninggalan peradaban Majapahit juga  dapat  kita  saksikan  pada  perkembangan   lingkup kebudayaan Bali pada saat ini. Kebudayaan yang masih dikembangkan hingga masa Islam adalah cerita wayang yang berasal dari epos India yaitu Mahabharata dan Ramayana, serta kisah asmara Raden Panji dengan Sekar Taji (Galuh Candrakirana). Selain itu dapat kita saksikan juga pada unsur arsitekturnya bentuk atap tumpang, seni ukir sulur-suluran dan tanaman melata, senjata keris, lokasi keramat, dan masih banyak lagi.

9. Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali

Menurut berita Cina di sebelah timur Kerajaan Kalingga ada daerah Po-li atau Dwa-pa-tan yang dapat disamakan dengan Bali. Adat istiadat di Dwa-pa-tan sama dengan kebiasaan orang-orang Kaling. Misalnya, penduduk biasa menulisi daun lontar. Bila ada orang meninggal, mayatnya dihiasi dengan emas dan ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, serta diberi bau-bauan yang harum. Kemudian mayat itu dibakar. Hal itu menandakan Bali telah berkembang.

Dalam sejarah Bali, nama Buleleng mulai terkenal setelah periode kekuasaan Majapahit. Pada waktu di Jawa berkembang kerajaan-kerajaan Islam, di Bali juga berkembang sejumlah kerajaan. Misalnya Kerajaan Gelgel, Klungkung, dan Buleleng yang didirikan oleh I Gusti Ngurak Panji Sakti, dan selanjutnya muncul kerajaan yang lain. Nama Kerajaan Buleleng semakin terkenal, terutama setelah zaman penjajahan Belanda di Bali. Pada waktu itu pernah terjadi perang rakyat Buleleng melawan Belanda.

Pada zaman kuno, sebenarnya Buleleng sudah berkembang. Pada masa perkembangan Kerajaan Dinasti Warmadewa, Buleleng diperkirakan menjadi salah satu daerah kekuasaan Dinasti Warmadewa. Sesuai dengan letaknya yang ada di tepi pantai, Buleleng berkembang menjadi pusat perdagangan laut. Hasil pertanian dari pedalaman diangkut lewat darat menuju Buleleng. Dari Buleleng barang dagangan yang berupa hasil pertanian seperti kapas, beras, asam, kemiri, dan bawang diangkut atau diperdagangkan ke pulau lain (daerah seberang). Perdagangan dengan daerah seberang mengalami perkembangan pesat pada masa Dinasti Warmadewa yang diperintah oleh Anak Wungsu. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kata-kata pada prasasti yang disimpan di Desa Sembiran yang berangka tahun 1065 M.

Kata-kata yang dimaksud berbunyi, “mengkana ya hana banyaga sakeng sabrangjong, bahitra, rumunduk i manasa...Artinya, andai kata ada saudagar dari seberang yang datang dengan jukung bahitra berlabuh di manasa...”

Sistem perdagangannya ada yang menggunakan sistem barter, ada yang sudah dengan alat tukar (uang). Pada waktu itu sudah dikenal beberapa jenis alat tukar (uang), misalnya ma, su dan piling.

Dengan perkembangan perdagangan laut antar pulau di zaman kuno secara ekonomis Buleleng memiliki peranan yang penting bagi perkembangan kerajaan-kerajaan di Bali misalnya pada masa Kerajaan Dinasti Warmadewa.

10. Kerajaan Tulang Bawang

Dari sumber-sumber sejarah Cina, kerajaan awal yang terletak di daerah Lampung adalah kerajaan yang disebut Bawang atau Tulang Bawang. Berita Cina tertua yang berkenaan dengan daerah Lampung berasal dari abad ke-5, yaitu dari kitab Liu-sung-Shu, sebuah kitab sejarah dari masa pemerintahan Kaisar Liu Sung (420– 479). Kitab ini di antaranya mengemukakan bahwa  pada  tahun 499 M sebuah kerajaan yang terletak di wilayah Nusantara bagian barat bernama P’u-huang atau P’o-huang mengirimkan utusan dan barang-barang upeti ke negeri Cina. Lebih lanjut kitab Liu-sung-Shu mengemukakan bahwa Kerajaan P’o-huang menghasilkan lebih dari 41 jenis barang yang diperdagangkan ke Cina. Hubungan diplomatik dan perdagangan antara P’o-huang dan Cina berlangsung terus sejak pertengahan abad ke-5 sampai abad ke-6, seperti halnya dua kerajaan lain di Nusantara yaitu Kerajaan Ho-lo-tan dan Kan-t’o-li.
Kerajaan Tulang Bawang

Dalam sumber sejarah Cina yang lain, yaitu kitab T’ai-p’ing- huang-yu-chi yang ditulis pada tahun 976–983 M, disebutkan sebuah kerajaan bernama T’o-lang-p’p-huang yang oleh G. Ferrand disarankan untuk diidentifikasikan dengan Tulang Bawang yang terletak di daerah pantai tenggara Pulau Sumatera, di selatan sungai Palembang (Sungai Musi). L.C. Damais menambahkan  bahwa  lokasi T’o-lang P’o-huang tersebut terletak di tepi pantai seperti dikemukakan di dalam Wu-pei-chih, “Petunjuk Pelayaran”. Namun, di samping itu Damais kemudian memberikan pula kemungkinan lain mengenai lokasi dan identifikasi P’o-huang atau “Bawang” itu dengan sebuah nama tempat bernama Bawang (Umbul Bawang) yang sekarang terletak di daerah Kabupaten Lampung Barat, yaitu di daerah Kecamatan Balik Bukit di sebelah utara Liwah. Tidak jauh dari desa Bawang ini, yaitu di desa Hanakau, sejak tahun 1912 telah ditemukan sebuah inskripsi yang dipahatkan pada sebuah batu tegak, dan tidak jauh dari tempat tersebut dalam waktu beberapa tahun terakhir ini masih ditemukan pula tiga buah inskripsi batu yang lainnya.

11. Kerajaan Kota Kapur

Dari hasil penelitian arkeologi yang dilakukan di Kota Kapur, Pulau Bangka, pada tahun 1994, diperoleh suatu petunjuk tentang kemungkinan adanya sebuah pusat kekuasaan di daerah itu sejak masa sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya. Pusat kekuasaan ini meninggalkan temuan-temuan arkeologi berupa sisa-sisa sebuah bangunan candi Hindu (Waisnawa) terbuat dari batu bersama dengan arca-arca batu, di antaranya dua buah arca Wisnu dengan gaya seperti arca-arca Wisnu yang ditemukan di Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat, yang berasal dari masa sekitar abad ke-5 dan ke-7 masehi. Sebelumnya di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu dari Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah ditemukan pula peninggalan-peninggalan yang lain di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya kekuasaan di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, seperti halnya di Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.
Reruntuhan Kota Kapur

Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur ini adalah peninggalan berupa benteng pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari timbunan tanah, masing- masing panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2–3 meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini menunjukkan masa antara tahun 530 M sampai 870 M. Benteng pertahanan tersebut yang telah dibangun sekitar pertengahan abad ke-6 tersebut agaknya telah berperan pula dalam menghadapi ekspansi Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang akhir abad ke-7.
temuan piring di situs Kota Kapur

Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan dipancangkannya inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), yang isinya mengidentifikasikan dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan Pulau Bangsa oleh Sriwijaya ini agaknya berkaitan dengan peranan Selat Bangsa sebagai pintu gerbang selatan dari jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu itu. Sejak dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan awal yang ada di Pulau Bangka.

C. Terbentuknya Jaringan Nusantara Melalui Perdagangan

Memahami teks

Pusat-pusat integrasi Nusantara berlangsung melalui penguasaan laut. Pusat-pusat integrasi itu selanjutnya ditentukan oleh keahlian dan kepedulian terhadap laut, sehingga terjadi perkembangan baru, setidaknya dalam dua hal, yaitu (i) pertumbuhan jalur perdagangan yang melewati lokasi-lokasi strategis di pinggir pantai, dan (ii) kemampuan mengendalikan (kontrol) politik dan militer para penguasa tradisional (raja-raja) dalam menguasai jalur utama dan pusat-pusat perdagangan di Nusantara. Jadi, prasyarat untuk dapat menguasai jalur dan pusat perdagangan ditentukan oleh dua hal penting yaitu perhatian atau cara pandang, dan kemampuan menguasai lautan.

Jalur-jalur perdagangan yang berkembang di Nusantara sangat ditentukan oleh kepentingan ekonomi pada saat itu dan perkembangan rute perdagangan dalam setiap masa yang berbedabeda. Jika pada masa praaksara hegemoni budaya dominan datang dari pendukung budaya Austronesia di Asia Tenggara Daratan, maka pada masa perkembangan Hindu-Buddha di Nusantara terdapat dua kekuatan peradaban besar, yaitu Cina di utara dan India di bagian barat daya. Keduanya merupakan dua kekuatan super power pada masanya dan mempunyai pengaruh amat besar terhadap penduduk di Kepulauan Indonesia. Bagaimanapun, peralihan rute perdagangan dunia ini telah membawa berkah tersendiri bagi masyarakat dan suku bangsa di Nusantara. Mereka secara langsung terintegrasi ke dalam jaringan perdagangan dunia pada masa itu. Selat Malaka menjadi penting sebagai pintu gerbang yang menghubungkan antara pedagang-pedagang Cina dan pedagang-pedagang India.

Pada masa itu, Selat Malaka merupakan jalur penting dalam pelayaran dan perdagangan bagi pedagang yang melintasi bandar- bandar penting di sekitar Samudra Indonesia dan Teluk Persia. Selat itu merupakan jalan laut yang menghubungkan Arab dan India di sebelah barat laut Nusantara, dan dengan Cina di sebelah timur laut Nusantara. Jalur ini merupakan pintu gerbang pelayaran yang dikenal dengan nama “jalur sutra”. Penamaan ini digunakan sejak abad ke-1 M hingga abad ke-16 M, dengan komoditas kain sutera yang dibawa dari Cina untuk diperdagangkan di wilayah lain. Ramainya rute pelayaran ini mendorong timbulnya bandar-bandar penting di sekitar jalur, antara lain Samudra Pasai, Malaka, dan Kota Cina (Sumatra Utara sekarang).
Pelayaran dan Perdagangan internasional melalui Selat Malaka
Kehidupan penduduk di sepanjang Selat Malaka menjadi lebih sejahtera oleh proses integrasi perdagangan dunia yang melalui jalur laut tersebut. Mereka menjadi lebih terbuka secara sosial ekonomi untuk menjalin hubungan niaga dengan pedagang- pedagang asing yang melewati jalur itu. Di samping itu, masyarakat setempat juga semakin terbuka oleh pengaruh- pengaruh budaya luar. Kebudayaan India dan Cina ketika itu jelas sangat berpengaruh terhadap masyarakat di sekitar Selat Malaka. Bahkan sampai saat ini pengaruh budaya terutama India masih dapat kita jumpai pada masyarakat sekitar Selat Malaka.

Selama masa Hindu-Buddha di samping kian terbukanya jalur niaga Selat Malaka dengan perdagangan dunia internasional, jaringan perdagangan dan budaya antarbangsa dan penduduk di Kepulauan Indonesia juga berkembang pesat terutama karena terhubung oleh jaringan Laut Jawa hingga Kepulauan Maluku. Mereka secara tidak langsung juga terintegrasikan dengan jaringan ekonomi dunia yang berpusat di sekitar Selat Malaka, dan sebagian di pantai barat Sumatra seperti Barus. Komoditas penting yang menjadi barang perdagangan pada saat itu adalah rempah-rempah, seperti kayu manis, cengkih, dan pala.

Pertumbuhan jaringan dagang internasional dan antarpulau telah melahirkan kekuatan politik baru di Nusantara. Peta politik di Jawa dan Sumatra abad ke-7, seperti ditunjukkan oleh D.G.E. Hall, bersumber dari catatan pengunjung Cina yang datang ke Sumatra. Dua negara di Sumatra disebutkan, Mo-lo-yeu (Melayu) di pantai timur, tepatnya di Jambi sekarang di muara Sungai Batanghari. Agak ke selatan dari itu terdapat Che-li-fo-che, pengucapan cara Cina untuk kata bahasa sanskerta, Sriwijaya. Di Jawa terdapat tiga kerajaan utama, yaitu di ujung barat Jawa, terdapat Tarumanegara, dengan rajanya yang terkemuka Purnawarman, di Jawa bagian tengah ada Ho-ling (Kalingga), dan di Jawa bagian timur ada Singhasari dan Majapahit.
Relief terakota yang menggambarkan paras muka Arab atau Persia

Selama periode Hindhu-Buddha, kekuatan besar Nusantara yang memiliki kekuatan integrasi secara politik, sejauh ini dihubungkan dengan kebesaran Kerajaan Sriwijaya, Singhasari, dan Majapahit. Kekuatan integrasi secara politik di sini maksudnya adalah kemampuan kerajaan- kerajaan tradisional tersebut dalam menguasai wilayah-wilayah yang luas di Nusantara di bawah kontrol politik secara longgar dan menempatkan wilayah kekuasaannya itu sebagai kesatuan- kesatuan politik di bawah pengawasan dari kerajaan-kerajaan tersebut. Dengan demikian pengintegrasian antarpulau secara lambat laun mulai terbentuk.
Relief terakota yang menggambarkan paras muka orang India

Kerajaan utama yang disebutkan di atas berkembang dalam periode yang berbeda-beda. Kekuasaan mereka mampu mengontrol sejumlah wilayah Nusantara melalui berbagai bentuk media. Selain dengan kekuatan dagang, politik, juga kekuatan budayanya, termasuk bahasa. Interelasi antara aspek-aspek kekuatan tersebut yang membuat mereka berhasil mengintegrasikan Nusantara dalam pelukan kekuasaannya. Kerajaan-kerajaan tersebut berkembang menjadi kerajaan besar yang menjadi representasi pusat- pusat kekuasaan yang kuat dan mengontrol kerajaan-kerajaan yang lebih kecil di Nusantara.
Relief terakota yang menggambarkan paras muka orang Cina

Hubungan pusat dan daerah hanya dapat berlangsung dalam bentuk hubungan hak dan kewajiban yang saling menguntungkan (mutual benefit). Keuntungan yang diperoleh dari pusat kekuasaan antara lain, berupa pengakuan simbolik seperti kesetiaan dan pembayaran upeti berupa barang-barang yang digunakan untuk kepentingan kerajaan, serta barang-barang yang dapat diperdagangkan dalam jaringan perdagangan internasional. Sebaliknya kerajaan- kerajaan kecil memperoleh perlindungan dan rasa aman, sekaligus kebanggaan atas hubungan tersebut. Jika pusat kekuasaan sudah tidak memiliki kemampuan dalam mengontrol dan melindungi daerah bawahannya, maka sering terjadi pembangkangan dan sejak itu kerajaan besar terancam disintegrasi. Kerajaan-kerajaan kecil lalu melepaskan diri dari ikatan politik dengan kerajaan-kerajaan besar lama dan beralih loyalitasnya dengan kerajaan lain yang memiliki kemampuan mengontrol dan lebih bisa melindungi kepentingan mereka. Sejarah Indonesia masa Hindu- Buddha ditandai oleh proses integrasi dan disintegrasi semacam itu. Namun secara keseluruhan proses integrasi yang lambat laun itu kian mantap dan kuat, sehingga kian mengukuhkan Nusantara sebagai negeri kepulauan yang dipersatukan oleh kekuatan politik dan perdagangan.

Kompas selama dua hari berturut-turut (30-31 Maret 2013) membuat liputan tentang jelajah kuliner. Mari kita simak artikel itu bersama-sama:

“Orang India Selatan datang bergelombang ke Sumatra sejak ribuan tahun silam. Jejak migrasi itu antara lain terekam di antara harum bumbu kari dan keagungan Kuil Shri Mariamman di Medan, Sumatra Utara. Kuil itu adalah tapal sejarah gelombang terbesar kedatangan orang India Selatan ke Sumatra demi rempah dan kapur barus, gelombang terbesar orang India pada tahun 1880-an didatangkan Kuypers dan Nienhuys sebagai buruh perkebunan”.

D. Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu-Buddha

Akulturasi kebudayaan yaitu suatu proses percampuran antara unsur-unsur kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, sehingga membentuk kebudayaan baru. Kebudayaan baru yang merupakan hasil percampuran itu masing-masing tidak kehilangan kepribadian/ciri khasnya. Oleh karena itu, untuk dapat berakulturasi, masing-masing kebudayaan harus seimbang. Begitu juga untuk kebudayaan Hindu-Buddha dari India dengan kebudayaan Indonesia asli.

Contoh hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan Indonesia asli sebagai berikut.

1. Seni Bangunan

Bentuk-bentuk bangunan candi di Indonesia pada umumnya merupakan bentuk akulturasi antara unsur-unsur budaya Hindu- Buddha dengan unsur budaya Indonesia asli. Bangunan yang megah, patung-patung perwujudan dewa atau Buddha, serta bagian-bagian candi dan stupa adalah unsur-unsur dari India. Bentuk candi-candi di Indonesia pada hakikatnya adalah punden berundak yang merupakan unsur Indonesia asli. Candi Borobudur merupakan salah satu contoh dari bentuk akulturasi tersebut.
Sketsa perpaduan aturan vastusastra dan kemahiran lokal

2. Seni Rupa dan Seni Ukir

Masuknya pengaruh India juga membawa perkembangan dalam bidang seni rupa, seni pahat, dan seni ukir. Hal ini dapat dilihat pada relief atau seni ukir yang dipahatkan pada bagian dinding-dinding candi. Misalnya, relief yang dipahatkan pada dinding-dinding pagar langkan di Candi Borobudur yang berupa pahatan riwayat Sang Buddha. Di sekitar Sang Buddha terdapat lingkungan alam Indonesia seperti rumah panggung dan burung merpati.

Pada relief kala makara pada candi dibuat sangat indah. Hiasan relief kala makara, dasarnya adalah motif binatang dan tumbuh-tumbuhan. Hal semacam ini sudah dikenal sejak masa sebelum Hindu. Binatang-binatang itu dipandang suci, maka sering diabadikan dengan cara di lukis.
Relief binatang pada Candi Borobudur

3. Seni Pertunjukan

Menurut JLA Brandes, gamelan merupakan satu diantara seni pertunjukan asli yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebelum masuknya unsur-unsur budaya India. Selama waktu berabad- abad gamelan juga mengalami perkembangan dengan masuknya unsur-unsur budaya baru baik dalam bentuk maupun kualitasnya. Gambaran mengenai bentuk gamelan Jawa kuno masa Majapahit dapat dilihat pada beberapa sumber, antara lain prasasti dan kitab kesusastraan. Macam-macam gamelan dapat dikelompokkan dalam chordaphones, aerophones, membranophones, tidophones, dan xylophones.


4. Seni Sastra dan Aksara

Pengaruh India membawa perkembangan seni sastra di Indonesia. Seni sastra waktu itu ada yang berbentuk prosa dan ada yang berbentuk tembang (puisi). Berdasarkan isinya, kesusastraan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu tutur (pitutur kitab keagamaan), kitab hukum, dan wiracarita (kepahlawanan). Bentuk wiracarita ternyata sangat terkenal di Indonesia, terutama kitab Ramayana dan Mahabarata. Kemudian timbul wiracarita hasil gubahan dari para pujangga Indonesia. Misalnya, Baratayuda yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Juga munculnya cerita- cerita Carangan.

Berkembangnya karya sastra terutama yang bersumber dari Mahabarata dan Ramayana, melahirkan seni pertunjukan wayang kulit (wayang purwa). Pertunjukan wayang kulit di Indonesia, khususnya di Jawa sudah begitu mendarah daging. Isi dan cerita pertunjukan wayang banyak mengandung nilai-nilai yang bersifat edukatif (pendidikan). Cerita dalam pertunjukan wayang berasal dari India, tetapi wayangnya asli dari Indonesia. Seni pahat dan ragam luas yang ada pada wayang disesuaikan dengan seni di Indonesia.

Disampingbentukdanragamhiaswayang, munculpulatokoh- tokoh pewayangan yang khas Indonesia. Misalnya tokoh-tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, dan Petruk. Tokoh- tokoh ini tidak ditemukan di India. Perkembangan seni sastra yang sangat cepat didukung oleh penggunaan huruf pallawa, misalnya dalam karya-karya sastra Jawa Kuno. Pada prasasti-prasasti yang ditemukan terdapat unsur India dengan unsur budaya Indonesia. Misalnya, ada prasasti dengan huruf Nagari (India) dan huruf Bali Kuno (Indonesia).
Add captionGambar salah satu tokoh wayang

5. Sistem Kepercayaan

Sejak masa praaksara, orang-orang di Kepulauan Indonesia sudah mengenal simbol-simbol yang bermakna filosofis. Sebagai contoh, kalau ada orang meninggal, di dalam kuburnya disertakan benda-benda. Di antara benda-benda itu ada lukisan orang naik perahu, ini memberikan makna bahwa orang yang sudah meninggal tersebut rohnya akan melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan yang membahagiakan yaitu alam baka. Masyarakat waktu itu sudah percaya adanya kehidupan sesudah mati, yakni sebagai roh halus.Oleh karena itu, roh nenek moyang dipuja oleh orang yang masih hidup (animisme).

Setelah masuknya pengaruh India kepercayaan terhadap roh halus tidak punah. Misalnya dapat dilihat pada fungsi candi. Fungsi candi atau kuil di India adalah sebagai tempat pemujaan. Di Indonesia, di samping sebagai tempat pemujaan, candi juga sebagai makam raja atau untuk menyimpan abu jenazah raja yang telah meninggal. Itulah sebabnya peripih tempat penyimpanan abu jenazah raja didirikan patung raja dalam bentuk mirip dewa yang dipujanya. Ini jelas merupakan perpaduan antara fungsi candi di India dengan tradisi pemakaman dan pemujaan roh nenek moyang di Indonesia.

Bentuk bangunan lingga dan yoni juga merupakan tempat pemujaan terutama bagi orang-orang Hindu penganut Syiwaisme. Lingga adalah lambang Dewa Syiwa. Secara filosofis lingga dan yoni adalah lambang kesuburan dan lambang kemakmuran. Lingga lambang laki-laki dan yoni lambang perempuan.

6. Sistem Pemerintahan

Setelah datangnya pengaruh India di Kepulauan Indonesia, dikenal adanya sistem pemerintahan secara sederhana. Pemerintahan yang dimaksud adalah semacam pemerintah di suatu desa atau daerah tertentu. Rakyat mengangkat seorang pemimpin atau semacam kepala suku. Orang yang dipilih sebagai pemimpin biasanya orang yang sudah tua (senior), arif, dapat membimbing, memiliki kelebihan-kelebihan tertentu termasuk dalam bidang ekonomi, berwibawa, serta memiliki semacam kekuatan gaib (kesaktian). Setelah pengaruh India masuk, maka pemimpin tadi diubah menjadi raja dan wilayahnya disebut kerajaan. Hal ini secara jelas terjadi di Kutai.

Salah satu bukti akulturasi dalam bidang pemerintahan, misalnya seorang raja harus berwibawa dan dipandang bila sang raja memiliki kekuatan gaib seperti pada pemimpin masa sebelum Hindu-Buddha. Karena raja memiliki kekuatan gaib, maka oleh rakyat raja dipandang dekat dengan dewa. Raja kemudian disembah, dan kalau sudah meninggal, rohnya dipuja-puja.

7. Arsitektur

Bentuk alkulturasi budaya lain yang dapat dilihat hingga saat ini adalah arsitektur pada bangunan-bangunan keagamanan. Bangunan keagamaan berupa candi atau arca sangat dikenal pada masa Hindu-Buddha. Hal ini terlihat pada sosok bangunan sakral peninggalan Hindu seperti Candi Sewu, Candi Gedungsongo, dan masih banyak lagi. Juga bangunan pertapaan – wihara merupakan bangunan berundak. Bangunan ini dapat dilihat pada beberapa Candi Plaosan, Candi Jalatunda, Candi Tikus, dan masih banyak lagi. Bentuk lain berupa stupa berundak yang dapat dilihat pada bangunan Borobudur. Di samping itu juga terdapat bangunan Gua, seperti Gua Selomangkleng Kediri, dan Gua Gajah. Bangunan lainnya dapat berupa gapura paduraksa seperti Candi Bajangratu, Candi Jedong, dan Candi Plumbangan. Untuk memahami lebih lanjut baca buku Agus A. Munandar, Sejarah Kebudayaan Indonesia.

Bangunan suci berundak itu sebenarnya sudah berkembang subur dalam zaman praaksara, sebagai penggambaran dari alam semesta yang bertingkat-tingkat. Tingkat paling atas adalah tempat persemayaman roh nenek moyang. Punden berundak itu menjadi sarana khusus untuk persembahyangan dalam rangka pemujaan terhadap roh nenek moyang.

Pemikiran dasar dan filsafat yang melandasi kepercayaan ini terus hidup di dalam alam kehidupan, meskipun tidak begitu tampil di permukaan. Sebagai lokal genius yang menentukan arah perkembangan kebudayaan Indonesia dalam mengolah pengaruh Hindu-Buddha maka unsur-unsur praaksara itu makin nampak pengaruhnya. Ungkapan-ungkapan seperti candi, misalnya dipahami maknanya hanya sebagai pemujaan roh nenek moyang. Alas atau kaki candi berbentuk persegi/bujursangkar, berketinggian menyerupai batur dan dicapai melalui tangga yang langsung dapat menuju bilik candi. Di tengah kaki candi terdapat perigi tempat menanam peripih. Bagian kaki candi disimbolkan sebagai Bhurloka dalam ajaran Hindu atau Kamaloka dalam ajaran Buddha.

Denah bagian tubuh candi pada umumnya berdimensi lebih kecil dari alasnya, sehingga membentuk serambi. Bagian tubuh ini dapat berbentuk kubus atau silinder yang berisi satu atau empat bilik. Pada candi Hindu lubang perigi yang ditutup yoni terdapat di tengah bilik utama, dinding luar terdapat relung-relung yang isi arca. Pada bagian atas setiap pintu masuk candi dihiasi kepala kala yang dikenal sebagai banaspati, yaitu lambang penjaga.

Bagian atap candi selalu terdiri dari susunan tingkatan yang mengkecil ke atas, dan diakhiri dengan mahkota. Mahkota ini dapat berupa stupa, lingga, ratna, atau berbentuk kubus. Bagian atap candi disimbolkan sebagai tempat persemayaman dewa. Khusus untuk candi-candi Buddha menggunakan stupa sebagai elemennya.

Secara keseluruhan candi menggambarkan hubungan makrokosmos atau alam semesta yang dibagi menjadi tiga, yaitu alam bawah tempat manusia yang masih mempunyai nafsu, alam antara tempat manusia telah meninggalkan keduniawian dan dalam keadaan suci menemui Tuhannya, dan alam atas tempat- dewa-dewa.

E. Kesimpulan

  1. Sejak semula tampak bahwa letak geografis Nusantara (yang kemudian menjadi Indonesia) memainkan peran utama sejak zaman praaksara. Faktor geografis ini tampaknya merupakan faktor permanen dalam perjalanan sejarah Indonesia sepanjang masa. Peran itu ditunjukkan di zaman Hindu-Buddha, ketika jalur utama dalam pelayaran samudra semakin pesat dan mengintegrasikan daerah antarpulau. Kondisi demikian didukung dengan keterlibatan nenek moyang kita secara aktif dalam perdagangan laut, dan mengarungi lautan. Ini pada gilirannya telah menumbuhkan kekuatan ekonomi dan politik yang besar di Nusantara sehingga mampu mengintegrasikan wilayah-wilayah di Nusantara terutama era Kerajaan Sriwijaya, Singhasari dan Majapahit.
  2. Silang budaya Nusantara di zaman praaksara terlihat jelas ketika masuknya pengaruh budaya Austronesia. Sebagian besar dimungkinkan berkat posisi silang letak geografis Nusantara (di antara dua benua dan dua samudra). Sekali lagi pola itu diulangi lewat integrasi budaya dominan seperti Hindu-Buddha. Sumbangan terbesar dari zaman Hindu-Buddha ialah membebaskan Nusantara dari zaman praaksara dan memberi jalan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk zamannya. Budaya tulis tetap merupakan bagian penting dalam perkembangan peradaban sampai hari ini. Meskipun sekarang kita sudah mengenal media cyber (media maya), budaya tulisan tidak akan pernah ditinggalkan dan bahkan akan semakin maju apabila generasi kita semakin menguasai bahasa tulis.
  3. Interaksi antara budaya Nusantara dengan budaya dominan Hindu- Buddha waktu itu, menunjukkan budaya Indonesia bukanlah penerima yang pasif, melainkan aktif. Jadi terjadi upaya seleksi (filter) tanpa perlu merendahkan, apa lagi mengucilkan budaya asli nenek moyang yang sebelumnya. Proses inilah yang dinamakan proses ‘akulturasi budaya’. Bangsa Indonesia juga melahirkan modifikasi-modifikasi lokal genius, yaitu semacam kritik dan mempertanyakan budaya yang lama sambil memperbarui dan memperkuatnya sehingga mampu menghasilkan peradaban tinggi (great tradition) hasil modifikasi dari interaksi budaya asli Kepulauan Indonesia dengan budaya Hindu-Buddha.
  4. Tumbuhnya negara-negara tradisional (kerajaan) yang bercorak Hindu-Buddha tidak hanya mewariskan peninggalan-peninggalan sejarah dengan peradaban yang lebih tinggi dari masa nenek moyang sebelumnya, tetapi juga semacam mahakarya yang abadi seperti Borobudur. Lebih dari itu kekayaan pemikiran mengenai konsep kekuasaan, bahasa, dan sastra serta kosmologi alam makro dan mikro. Kesemuanya terekspresikan dalam perilaku sehari-hari dan sebagian besar masih hidup dalam masyarakat sampai sekarang.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. dan Adrian B. Lapian (eds.).  2012.  Indonesia  dalam  Arus Sejarah Jilid I. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI

---------. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah. Jilid II. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Adrisijanti, Inajati dan Andi Putranto (ed). 2009. Membangun Kembali Prambanan. Yogyakarta: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.

Anonim. 1988. Seri Penerbitan Sejarah Peradaban Manusia Zaman Mataram Kuno. Jakarta: Gita Karya.

Badrika, I Wayan. 2006. Sejarah untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga.

C. G. G. J. Van Steenis, 2006. Flora Pegunungan Jawa. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Daldjoeni, N.1992. Geografi kesejarahan II Indonesia. Bandung: Alumni. Direktorat Permuseuman. 1997. Untaian Manik-Manik Nusantara. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Forestier, Hubert. 2007. Ribuan Gunung, Ribuan Alat Batu: Prasejarah Song Keplek, Gunung Sewu, Jawa Timur. Jakarta: KPG, EFEO, Puslit Arkenas.

Hall, D. G . E. 1988. Sejarah Asia Tenggara. Sutabaya: PT Usaha Nasional.

Kartodirdjo, Sartono.1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 dari Emporium sampai Empirium. Jakarta: Gramedia

Koentjaraningrat. 1997. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan

Kristinah, Endang dan Aris Soviyani. 2007. Mutiara-Mutiara Majapahit.
Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Lombard, Denis. 2005. Nusa Jawa : Silang Budaya, Bagian III : Wawasan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Jakarta: PT. Gramedia.

Munandar, Agus Aris (ed). 2007. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Religi dan Falsafah, Direktorat Geografi Sejarah. Jakarta: Departemen Budaya dan Pariwisata.
Mustopo, M. Habib, dkk. 2010. Sejarah 1, Jakarta: Yudhistira. Notosusanto, Nugroho dkk. 1985. Sejarah Nasional Indonesia 1 untuk
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Jakarta: Depdikbud.

--------. 1985. Sejarah Nasional Indonesia 2 untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Jakarta: Depdikbud.
Pane, Sanusi. 1965. Sejarah Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Poesponegoro, Marwati Djoened (dkk). 1993. Sejarah Nasional Indonesia
Jilid I, Jakarta: Balai Pustaka.

---------. 1994. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
---------. 1994. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka. Proyek Penelitian dan Pencacatan Kebudayaan. 1978. Sejarah Daerah Bali,
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Rangkuti, Nurhadi. 2006.”Trowulan, Situs-Kota Majapahit” dalam
Majapahit. Jakarta: Indonesian Heritage Society.

Reid, Anthony (ed.). 2002. Indonesia Heritage (Jilid III): Sejarah  Modern  Awal, Jakarta: Grolier Internasional.

Ricklef, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Santos, Arysio. 2010. Atlantis The Lost Continent Finally Found (Terj).
Jakarta: Ufuk Press.

Sardiman AM dan Kusriyantinah. 1995. Sejarah Nasional dan Sejarah Umum (sesuai dengan Kurikulum 1994), Surabaya: Kendangsari.

-----------. 1995. Sejarah Nasional dan Sejarah Umum 1b (sesuai dengan Kurikulum 1994). Surabaya: Kendang Sari.

------------. 1995. Sejarah Nasional dan Sejarah Umum 1c (sesuai dengan Kurikulum 1994). Surabaya: Kendang Sari.

Setiadi, Idham Bachtiar (ed). 2011. 100 Tahun Pemugaran Candi Borobudur. Jakarta: Direktorat Tinggalan Purbakala, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbalaka, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III, Yogyakarta: Kanisius.

-----------. 2011. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta: Kanisius.

-----------. 2011. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius.

Suwarno, P.J. 1994. Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: Sebuah Tinjauan Historis. Yogyakarta: PT Kanisius.

Tjahjono, Gunawan (dkk). 2007. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Arsitektur. Jakarta: Direktorat Geografi Sejarah, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Utomo, Bambang Budi. 2009. Atlas Sejarah Indonesia Masa Prasejarah (Hindu-Buddha). Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

--------. 2010. Atlas Sejarah Indonesia Masa Klasik (Hindu-Buddha), Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Vlekke, Bernard H.M. 2008. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.

Wallace, Alfred Russel. 2009. Kepulauan Nusantara. Jakarta: Komunitas Bambu.

Widianto, Harry. 2011. Jejak Langkah Setelah Sangiran (Edisi Khusus). Jawa Tengah: Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.

-----------. dan Truman Simanjuntak. 2011. Sangiran Menjawab  Dunia  (Edisi Khusus). Jawa Tengah: Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.

Wilson, J. Tuzo. 1994. “Lempeng Tektonik” dalam Tony S. Rahmadie (terj).
Ilmu Pengetahuan Populer. Jilid 2. Grolier International

Yayasan Untuk Indonesia. 2005. Ensiklopedi Jakarta. Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta.

Sumber Internet:

Florentina Lenny Kristiani dalam http://klubnova.tabloidnova.com/ KlubNova/Artikel/Aneka-Tips/Tips-Rumah/Cara-pilih-cobek-batu diunduh tanggal 19 Mei 2013, pukul 10:09

Alhamdulillah, akhirnya sampailah pembahasan admin pada kali ini tentang. Semoga bermanfaat dan sebelum kami mengakhiri postingan artikel di atas, jangan lupa baca artikel sebelumnya mengenai Menelusuri Peradaban Awal di Kepulauan Indonesia. Sekian dan terima kasih atas partisipasi serta sudah mengunjungi blog tercinta kami.

0 Response to "Pedagang, Penguasa Dan Pujangga pada Masa Klasik (Hindu-Buddha)"

Posting Komentar

-->