-->

Menelusuri Peradaban Awal di Kepulauan Indonesia

Menelusuri Peradaban Awal di Kepulauan Indonesia - Indonesia terletak di persimpangan tiga lempeng benua – ketiganya bertemu disini – menciptakan tekanan sangat besar pada lapisan kulit bumi. Akibatnya, lapisan kulit bumi di wilayah ini terdesak ke atas, membentuk paparan-paparan yang luas dan beberapa pegunungan yang sangat tinggi. Seluruh wilayah ini sangat rentan terhadap gempa bumi hebat dan letusan gunung berapi dahsyat yang kerap mengakibatkan kerusakan parah. Hal ini terlihat dari beberapa catatan geologis. Gempa bumi dan tsunami mengerikan yang dialami Aceh belum lama ini hanyalah episode terakhir dari seluruh rangkaian peristiwa panjang dalam masa prasejarah dan sejarah.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa keberadaan tanah air kita tidak dapat dilepaskan dari rangkaian peristiwa alam yang sudah terjadi sejak zaman dahulu kala. Jadi, dinamika sejarah yang telah bermula sejak manusia ada, jika dirunut hingga sekarang, kita akan  menemukan  betapa  kesinambungan  sejarah  tidak  mudah terputus, betapapun segala macam perubahan telah terjadi.

A. Sebelum Mengenal Tulisan

1. Mengamati Lingkungan

Coba anda renungkan, apakah yang terjadi ketika tawuran anak-anak sekolah berlangsung? Bukankah sering kali mereka saling melempar batu? Batu adalah senjata yang paling awal digunakan umat manusia dalam mempertahankan hidupnya. Jadi, anak sekolah di zaman modern ini — zaman yang bahkan dikatakan “era globalisasi”, ketika tiada lagi batas-batas yang menghambat hubungan kebudayaan — ternyata masih mempraktikkan tradisi manusia purba pada masa pra-aksara. Bila kamu juga melakukan hal-hal seperti itu, maka kamu masih pada tahapan peradaban masa pra-aksara. Untuk mengetahui apa, siapa, dan bagaimana kehidupan manusia zaman pra-aksara kamu dapat mempelajari bacaan di berikut ini.
Menelusuri Peradaban Awal di Kepulauan Indonesia

Manusia purba tidak mengenal tulisan dalam kebudayaannya. Periode kehidupan ini dikenal dengan zaman pra-aksara. Masa pra- aksara berlangsung sangat lama jauh melebihi periode kehidupan manusia yang sudah mengenal tulisan. Oleh karena itu, untuk dapat memahami perkembangan kehidupan manusia pada zaman pra-aksara kita perlu mengenali tahapan-tahapannya.

2. Memahami Teks

Sebelum mengenali tahapan-tahapan atau pembabakan perkembangan kehidupan dan kebudayaan zaman pra-aksara, perlu anda ketahui lebih dalam apa yang dimaksud zaman pra- aksara. Pra-aksara adalah istilah baru untuk menggantikan istilah prasejarah. Penggunaan istilah prasejarah untuk menggambarkan perkembangan kehidupan dan budaya manusia saat belum mengenal tulisan adalah kurang tepat. Pra berarti sebelum dan sejarah adalah sejarah sehingga prasejarah berarti sebelum ada sejarah. Sebelum ada sejarah berarti sebelum ada aktivitas kehidupan manusia. Dalam kenyataannya sekalipun belum mengenal tulisan, makhluk yang dinamakan manusia sudah memiliki sejarah dan sudah menghasilkan kebudayaan. Oleh karena itu, para ahli mempopulerkan istilah pra- aksara untuk menggantikan istilah prasejarah.


Pra-aksara berasal dari dua kata, yakni pra yang berarti sebelum dan aksara yang berarti tulisan. Dengan demikian zaman pra-aksara adalah masa kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan. Ada istilah yang mirip dengan istilah pra-aksara, yakni istilah nirlekaNir berarti tanpa dan leka berarti tulisan. Karena belum ada tulisan maka untuk mengetahui sejarah dan hasil-hasil kebudayaan manusia adalah dengan melihat beberapa sisa peninggalan yang dapat kita temukan. Kapan waktu dimulainya zaman pra-aksara? Kapan zaman pra-aksara itu berakhir? Zaman pra-aksara dimulai sudah tentu sejak manusia ada, itulah titik dimulainya masa pra- aksara. Zaman pra-aksara berakhir setelah manusianya mulai mengenal tulisan. Pertanyaan yang sulit untuk dijawab adalah kapan tepatnya manusia itu mulai ada di bumi ini sebagai pertanda dimulainya zaman pra-aksara?. Sampai sekarang para ahli belum dapat secara pasti menunjuk waktu kapan mulai ada manusia di muka bumi ini. Tetapi yang jelas untuk menjawab pertanyaan itu kamu perlu memahami kronologi  perjalanan   kehidupan di permukaan bumi yang rentang waktunya sangat panjang. Bumi yang kita huni sekarang diperkirakan mulai terjadi sekitar 2.500 juta tahun yang lalu.

Bagaimana kalau kita ingin melakukan kajian tentang kehidupan zaman pra-aksara? Untuk menyelidiki zaman pra- aksara, para sejarawan harus menggunakan metode penelitian ilmu arkeologi dan juga ilmu alam seperti geologi  dan  biologi.  Ilmu arkeologi adalah bidang ilmu  yang  mengkaji  bukti-bukti atau jejak tinggalan fisik, seperti lempeng artefak, monumen, candi dan sebagainya. Berikutnya menggunakan ilmu geologi dan percabangannya, terutama yang berkenaan dengan pengkajian usia lapisan bumi, dan biologi berkenaan dengan kajian tentang ragam hayati (biodiversitas) makhluk hidup.

Mengingat jauhnya jarak waktu masa pra-aksara dengan kita sekarang, maka tidak jarang orang mempersoalkan apa perlunya kita belajar tentang zaman pra-aksara yang sudah lama ditinggalkan oleh manusia modern. Tetapi pandangan seperti ini sungguh menyesatkan, sebab tentu ada hubungannya dengan kekinian kita. Beberapa di antaranya akan dikemukakan berikut ini.

Data etnografi yang menggambarkan kehidupan masyarakat pra-aksara ternyata masih berlangsung sampai sekarang. Entah itu pola hunian, pola pertanian subsistensi, teknologi tradisional dan konsepsi kepercayaan tentang hubungan harmoni antara manusia dan alam, bahkan kebiasaan memiara hewan seperti anjing dan  kucing di lingkungan manusia modern perkotaan. Demikian pula kebiasaan bertani merambah hutan dengan motode ‘tebang lalu bakar’ (slash and burn) untuk memenuhi kebutuhan secukupnya masih ada hingga kini. Namun, kebiasaan merambah hutan dan hidup berpindah-pindah pada masa lampau tidak menimbulkan malapetaka asap yang mengganggu penerbangan domestik. Selain itu, juga mengganggu bandara negara tetangga Singapura dan Malaysia seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini. Teknologi manusia modernlah yang mampu melakukan perambahan hutan secara besar-besaran, entah itu untuk perkebunan atau pertambangan, dan permukiman real estate sehingga menimbulkan malapetaka kabut asap dan kerusakan lingkungan.

Arti penting dari pembelajaran tentang sejarah kehidupan zaman pra-aksara pertama-tama adalah kesadaran akan asal usul manusia. Tumbuhan memiliki akar. Semakin tinggi tumbuhan itu, semakin dalam pula akarnya menghunjam ke bumi hingga tidak mudah tumbang dari terpaan angin badai atau bencana alam lainnya. Demikian pula halnya dengan manusia. Semakin berbudaya seseorangataukelompok masyarakat, semakindalam pula kesadaran kolektifnya tentang asal usul dan penghargaan terhadap tradisi. Jika tidak demikian, manusia yang melupakan budaya bangsanya akan mudah terombang-ambing oleh terpaan budaya asing yang lebih kuat, sehingga dengan sendirinya kehilangan identitas diri. Jadi bangsa yang gampang meninggalkan tradisi nenek moyangnya akan mudah didikte oleh budaya dominan dari luar yang bukan miliknya.

Kita bisa belajar banyak dari keberhasilan dan capaian prestasi terbaik dari pendahulu kita. Sebaliknya kita juga belajar dari kegagalan mereka yang telah menimbulkan malapetaka bagi dirinya atau bagi banyak orang. Untuk memetik pelajaran dari uraian ini, dapat kita katakan bahwa nilai terpenting dalam pembelajaran sejarah tentang zaman pra-aksara, dan sesudahnya ada dua yaitu sebagai inspirasi untuk pengembangan nalar kehidupan dan sebagai peringatan. Selebihnya kecerdasan dan pikiran-pikiran kritislah yang akan menerangi kehidupan masa kini dan masa depan.

Sekarang muncul pertanyaan, sejak kapan zaman pra-aksara berakhir? Sudah barang tentu zaman pra-aksara itu berakhir setelah kehidupan manusia mulai mengenal tulisan. Terkait dengan masa berakhirnya zaman pra-aksara masing-masing tempat akan berbeda. Penduduk di Kepulauan Indonesia  baru  memasuki  masa aksara sekitar abad ke-5 M. Hal ini jauh lebih terlambat bila dibandingkan di tempat lain misalnya Mesir dan Mesopotamia yang sudah mengenal tulisan sejak sekitar tahun 3000 SM. Fakta-fakta masa aksara di Kepulauan Indonesia dihubungkan dengan temuan prasasti peninggalan kerajaan tua seperti Kerajaan Kutai di Muara Kaman, Kalimantan Timur.

B. Terbentuknya Kepulauan Indonesia

1. Mengamati Lingkungan


Bumi kita yang terhampar luas ini diciptakan Tuhan Yang Maha Pencipta untuk kehidupan dan kepentingan hidup manusia. Di bumi ini hidup berbagai flora dan fauna serta tempat bersemainya manusia dengan keturunannya. Di bumi ini kita bisa menyaksikan keindahan alam, kita bisa beraktivitas dan berikhtiar memenuhi kebutuhan hidup kita. Namun harus dipahami bahwa bumi kita juga sering menimbulkan bencana. Sebagai contoh munculnya aktivitas lempeng bumi yang kemudian melahirkan gempa bumi baik tektonis maupun vulkanis, bahkan sampai menimbulkan tsunami. Sebagai contoh tentu kamu masih ingat bagaimana gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh, gempa bumi di Yogyakarta, di Papua dan beberapa di daerah lain, termasuk beberapa gunung berapi meletus. Bencana tersebut telah mengakibatkan ribuan nyawa hilang dan harta benda melayang.

Fenomena alam yang terjadi itu merupakan bagian tak terpisahkan dari aktivitas panjang bumi kita sejak proses terjadinya alam semesta ratusan bahkan ribuan juta tahun yang lalu. Proses tersebut secara geologis mengalami beberapa tahapan atau pembabakan waktu. Berikut ini kita mencoba menelaah tentang pembabakan waktu alam secara geologis dan bagaimana Kepulauan Indonesia terbentuk.

2. Memahami Teks

Ada banyak teori dan penjelasan tentang penciptaan bumi, mulai dari mitos sampai kepada penjelasan agama dan ilmu pengetahuan. Kali ini kamu belajar sejarah sebagai cabang keilmuan, pembahasannya adalah pendekatan ilmu pengetahuan, yakni asumsi-asumsi ilmiah, yang kiranya juga tidak perlu bertentangan dengan ajaran agama. Salah satu di antara teori ilmiah tentang terbentuknya bumi adalah Teori “Dentuman Besar” (Big Bang), seperti dikemukaan oleh sejumlah ilmuwan, seperti  ilmuwan besar Inggris, Stephen Hawking. Teori ini menyatakan bahwa alam semesta mulanya berbentuk gumpalan gas yang mengisi seluruh ruang jagad raya. Jika digunakan teleskop besar Mount Wilson untuk mengamatinya akan terlihat ruang jagad raya itu luasnya mencapai radius 500.000.000 tahun cahaya. Gumpalan gas itu suatu saat meledak dengan satu dentuman yang amat dahsyat. Setelah itu, materi yang terdapat di alam semesta mulai berdesakan satu sama lain dalam kondisi suhu dan kepadatan yang sangat tinggi, sehingga hanya tersisa energi berupa proton, neutron dan elektron, yang bertebaran ke seluruh arah.

Ledakan dahsyat itu menimbulkan gelembung-gelembung alam semesta yang menyebar dan menggembung ke seluruh penjuru, sehingga membentuk galaksi, bintang-bintang, matahari, planet-planet, bumi, bulan dan meteorit. Bumi kita hanyalah salah satu titik kecil saja di antara tata surya yang mengisi jagad semesta. Di samping itu banyak planet lain termasuk bintang-bintang yang menghiasi langit yang tak terhitung jumlahnya. Boleh jadi ukurannya jauh lebih besar dari planet bumi. Bintang-bintang berkumpul dalam suatu gugusan, meskipun antarbintang berjauhan letaknya di angkasa. Ada juga ilmuwan astronomi yang mengibaratkan galaksi bintang-bintang itu tak ubahnya seperti sekumpulan anak ayam, yang tak mungkin dipisahkan dari induknya. Jadi di mana ada anak ayam di situ pasti ada induknya. Seperti halnya dengan anak-anak ayam, bintang-bintang di angkasa tak mungkin gemerlap sendirian tanpa disandingi dengan bintang lainnya. Sistem alam semesta dengan semua benda langit sudah tersusun secara menakjubkan dan masing-masing beredar secara teratur dan rapi pada sumbunya masing-masing.

Selanjutnya proses evolusi alam semesta itu memakan waktu kosmologis yang sangat lama sampai berjuta tahun. Terjadinya evolusi bumi sampai adanya kehidupan memakan waktu yang sangat panjang. Ilmu paleontologi membaginya dalam enam tahap waktu geologis. Masing-masing ditandai oleh peristiwa alam yang menonjol, seperti munculnya gunung-gunung, benua, dan makhluk hidup yang paling sederhana. Sedangkan proses evolusi bumi dibagi menjadi beberapa periode sebagai berikut.
  1. Azoikum (Yunani: = tidak; zoon = hewan), yaitu zaman sebelum adanya kehidupan. Pada saat ini bumi baru terbentuk dengan suhu yang relatif tinggi. Waktunya lebih dari satu miliar tahun lalu.
  2. Palaezoikum, yaitu zaman purba tertua. Pada masa ini sudah meninggalkan fosil flora dan fauna. Berlangsung kira-kira 350.000.000 tahun.
  3. Mesozoikum, yaitu zaman purba tengah. Pada masa ini hewan mamalia (menyusui), hewan amfibi, burung dan tumbuhan berbunga mulai ada. Lamanya kira-kira 140.000.000 tahun.
  4. Neozoikum, yaitu zaman purba baru, yang dimulai sejak 60.000.000 tahun yang lalu. Zaman ini dapat dibagi lagi menjadi dua tahap (Tersier dan Quarter). Zaman es mulai menyusut dan makhluk-makhluk tingkat tinggi dan manusia mulai hidup.
Merujuk pada tarikh bumi di atas, sejarah di Kepulauan Indonesia terbentuk melalui proses yang panjang dan rumit. Sebelum bumi didiami manusia, kepulauan ini hanya diisi tumbuhan flora dan fauna yang masih sangat kecil  dan  sederhana.  Alam  juga harus menjalani evolusi terus-menerus untuk menemukan keseimbangan agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi alam dan iklim, sehingga makhluk hidup dapat bertahan dan berkembang biak mengikuti seleksi alam.

Gugusan kepulauan ataupun wilayah maritim seperti yang kita temukan sekarang ini terletak di antara dua benua dan dua samudra, antara Benua Asia di utara dan Australia di selatan, antara Samudra Hindia di barat dan Samudra Pasifik di belahan timur. Faktor letak ini memainkan peran strategis sejak zaman kuno sampai sekarang. Namun sebelum itu marilah kita sebentar berkenalan dengan kondisi alamnya, terutama unsur-unsur geologi atau unsur- unsur geodinamika yang sangat berperan dalam pembentukan Kepulauan Indonesia.

Menurut para ahli bumi, posisi pulau-pulau di Kepulauan Indonesia terletak di atas tungku api yang bersumber dari magma dalam perut bumi. Inti perut bumi tersebut berupa lava cair bersuhu sangat tinggi. Makin ke dalam tekanan dan suhunya semakin tinggi. Pada suhu yang tinggi itu material-material akan meleleh sehingga material di bagian dalam bumi selalu berbentuk cairan panas. Suhu tinggi ini terus-menerus bergejolak mempertahankan cairan sejak jutaan tahun lalu. Ketika ada celah lubang keluar, cairan tersebut keluar berbentuk lava cair. Ketika lava mencapai permukaan bumi, suhu menjadi lebih dingin dari ribuan derajat menjadi hanya bersuhu normal sekitar 30 derajat. Pada suhu ini cairan lava akan membeku membentuk batuan beku atau kerak. Keberadaan kerak benua (daratan) dan kerak samudra selalu bergerak secara dinamis akibat tekanan magma dari perut bumi. Pergerakan unsur-unsur geodinamika ini dikenal sebagai kegiatan tektonis.
Lapisan bumi, mulai dari bagian inti dalam sampai bagian kerak bumi

Sebagian wilayah Kepulauan Indonesia merupakan titik temu di antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Indo-Australia di selatan, Lempeng Eurasia di utara dan Lempeng Pasifik di timur. Pergerakan lempeng- lempeng tersebut dapat berupa subduksi (pergerakan lempeng ke atas), obduksi (pergerakan lempeng ke bawah) dan kolisi (tumbukan lempeng). Pergerakan lain dapat berupa pemisahan atau divergensi (tabrakan) lempeng-lempeng. Pergerakan mendatar berupa pergeseran lempeng-lempeng tersebut masih terus berlangsung hingga sekarang. Perbenturan lempeng-lempeng tersebut menimbulkan dampak yang berbeda-beda. Namun semuanya telah menyebabkan wilayah Kepulauan Indonesia secara tektonis merupakan wilayah yang sangat aktif dan labil hingga rawan gempa sepanjang waktu.


Pada masa Paleozoikum (masa kehidupan tertua) keadaan geografis Kepulauan Indonesia belum terbentuk seperti sekarang ini. Di kala itu wilayah ini masih merupakan bagian dari samudra yang sangat luas, meliputi hampir seluruh bumi. Pada fase berikutnya, yaitu pada akhir masa Mesozoikum, sekitar 65 juta tahun lalu, kegiatan tektonis itu menjadi sangat aktif menggerakkan lempeng- lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Kegiatan ini dikenal sebagai fase tektonis (orogenesa larami), sehingga menyebabkan daratan terpecah-pecah. Benua Eurasia menjadi pulau-pulau yang terpisah satu dengan lainnya. Sebagian di antaranya bergerak ke selatan membentuk pulau-pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi serta pulau-pulau di Nusa Tenggara Barat dan Kepulauan Banda. Hal yang sama juga terjadi pada Benua Australia. Sebagian pecahannya bergerak ke utara membentuk pulau-pulau Timor, Kepulauan Nusa Tenggara Timur dan sebagian Maluku Tenggara. Pergerakan pulau-pulau hasil pemisahan dari kedua benua tersebut telah mengakibatkan wilayah pertemuan keduanya sangat labil. Kegiatan tektonis yang sangat aktif dan kuat telah membentuk rangkaian Kepulauan Indonesia pada masa Tersier sekitar 65 juta tahun lalu.

Pada Kala Eosen (sekitar 55 juta tahun yang lalu) sebagian Kepulauan Indonesia (Sumatra, Jawa, dan Kalimantan) masih berada dan menyatu dengan Benua Eurasia di utara, sedangkan sebagian kepulauan lainnya (Papua) masih menyatu dengan Benua Australia di Selatan.

Sebagian besar daratan Sumatra, Kalimantan dan Jawa telah tenggelam menjadi laut dangkal sebagai akibat terjadinya proses kenaikan permukaan laut atau transgresi. Sulawesi pada masa itu sudah mulai terbentuk, sementara Papua  sudah  mulai bergeser ke utara, meski masih didominasi oleh cekungan sedimentasi laut dangkal berupa paparan dengan terbentuknya endapan batu gamping. Pada kala Pliosen sekitar lima juta tahun lalu, terjadi pergerakan tektonis yang sangat kuat, yang mengakibatkan terjadinya proses pengangkatan permukaan bumi dan kegiatan vulkanis. Ini pada gilirannya menimbulkan tumbuhnya (atau mungkin lebih tepat terbentuk) rangkaian perbukitan struktural seperti perbukitan besar (gunung), dan perbukitan lipatan serta rangkaian gunung api aktif sepanjang gugusan perbukitan itu. Kegiatan tektonis dan vulkanis terus aktif hingga awal masa Pleistosen, yang dikenal sebagai kegiatan tektonis Plio-Pleistosen. Kegiatan tektonis ini berlangsung di seluruh Kepulauan Indonesia.

Gunung api aktif dan rangkaian perbukitan struktural tersebar di sepanjang bagian barat Pulau Sumatra, berlanjut ke sepanjang Pulau Jawa ke arah timur hingga Kepulauan Nusa Tenggara serta Kepulauan Banda. Kemudian terus membentang sepanjang Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Pembentukan daratan yang semakin luas itu telah membentuk Kepulauan Indonesia pada kedudukan pulau-pulau seperti sekarang ini. Hal itu telah berlangsung sejak kala Pliosen hingga awal Pleistosen (1,8 juta tahun lalu). Jadi pulau-pulau di kawasan Kepulauan Indonesia ini masih terus bergerak secara dinamis, sehingga tidak heran jika masih sering terjadi gempa, baik vulkanis maupun tektonis.

Letak Kepulauan Indonesia yang berada pada deretan gunung api membuatnya menjadi daerah dengan tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi. Kekayaan alam dan kondisi geografis ini telah mendorong lahirnya penelitian dari bangsa- bangsa lain. Dari sekian banyak penelitian terhadap flora dan fauna tersebut yang paling terkenal di antaranya adalah penelitian Alfred Russel Wallace yang membagi Indonesia dalam dua wilayah yang berbeda berdasarkan ciri khusus baik fauna maupun floranya. Pembagian itu adalah Paparan Sahul di sebelah timur, Paparan Sunda di sebelah barat. Zona di antara paparan tersebut kemudian dikenal sebagai wilayah Wallacea yang merupakan pembatas fauna yang membentang dari Selat Lombok hingga Selat Makassar ke arah utara. Fauna-fauna yang berada di sebelah barat garis pembatas itu disebut dengan Indo-Malayan region. Di sebelah timur disebut dengan Australia Malayan regionGaris itulah yang kemudian kita kenal dengan Garis Wallacea.

Merujuk pada tarikh bumi di atas, keberadaan manusia di muka bumi dimulai pada zaman Quater sekitar 600.000 tahun lalu atau disebut juga zaman es. Dinamakan zaman es karena selama itu es dari kutub berkali-kali meluas sampai menutupi sebagian besar permukaan bumi dari Eropa Utara, Asia Utara dan Amerika Utara Peristiwa itu terjadi karena panas bumi tidak tetap, adakalanya naik dan adakalanya turun. Jika ukuran panas bumi turun dratis maka  es akan mencapai luas yang sebesar-besarnya dan air laut akan turun atau disebut zaman Glacial. Sebaliknya jika ukuran panas naik, maka es akan mencair, dan permukaan air laut akan naik yang disebut zaman Interglacial. Zaman Glacial dan zaman Interglacial ini berlangsung silih berganti selama zaman Diluvium (Pleistosen). Hal ini menimbulkan berbagai perubahan iklim di seluruh dunia, yang kemudian mempengaruhi keadaan bumi serta kehidupan yang ada diatasnya termasuk manusia, sedangkan zaman Alluvium (Holosen) berlangsung kira-kira 20.000 tahun yang lalu hingga sekarang ini. 

Sejak zaman ini mulai terlihat secara nyata adanya perkembangan kehidupan manusia, meskipun dalam taraf yang sangat sederhana baik fisik maupun kemampuan berpikirnya. Namun demikian dalam rangka untuk mempertahankan diri dan keberlangsungan kehidupannya, secara lambat laun manusia mulai mengembangkan kebudayaan. Beruntung kita bangsa Indonesia memiliki temuan bermacam-macam jenis manusia purba beserta hasil-hasil kebudayaannya, sehingga sejak akhir abad ke-19 para ilmuwan tertarik untuk melakukan kajian di negeri kita.
Peta Zoogeografi Kepulauan Indonesia

C. Mengenal Manusia Purba

1. Mengamati Lingkungan


Pernahkah kamu mendengar tentang Situs Manusia Purba Sangiran? Kini Situs Manusia Purba Sangiran telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia, tentu ini sangat membanggakan bangsa Indonesia. Pengakuan tersebut tentu didasari berbagai pertimbangan yang kompleks. Satu di antaranya karena di wilayah tersebut tersimpan ribuan peninggalan manusia purba yang menunjukkan proses kehidupan manusia dari masa lalu. Sangiran telah menjadi sentral bagi kehidupan manusia purba. Berbagai penelitian dari para ahli juga dilakukan di sekitar Sangiran. Beberapa temuan fosil di Sangiran telah mendorong para ahli untuk terus melakukan penelitian termasuk di luar Sangiran.
Litologi, Stratigrafi dan Lingkungan Purba Sangiran

Dari Sangiran kita mengenal beberapa jenis manusia purba di Indonesia. Setelah ditetapkan sebagai warisan dunia, Situs Manusia Purba Sangiran dikembangkan sebagai pusat penelitian dalam negeri dan luar negeri, serta sebagai tempat wisata. Selain itu Sangiran juga memberi manfaat kepada masyarakat di sekitarnya, karena pariwisata di daerah tersebut.

Untuk memahami jenis dan ciri-ciri manusia purba di Indonesia mari kita telaah bacaan berikut ini.

Memahami Teks

Peninggalan manusia purba untuk sementara ini yang paling banyak ditemukan berada di Pulau Jawa. Meskipun di daerah lain tentu juga ada, tetapi para peneliti belum berhasil menemukan tinggalan tersebut atau masih sedikit yang berhasil ditemukan, misalnya di Flores. Di bawah ini akan dipaparkan beberapa penemuan penting fosil manusia di beberapa tempat.

1. Sangiran

Perjalanan kisah perkembangan manusia di dunia tidak dapat kita lepaskan dari keberadaan bentangan luas perbukitan tandus yang berada di perbatasan Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar. Lahan itu dikenal dengan nama Situs Sangiran. Di dalam buku Harry Widianto dan Truman Simanjuntak, Sangiran Menjawab Dunia diterangkan bahwa  Sangiran  merupakan sebuah kompleks situs manusia purba dari Kala Pleistosen yang paling lengkap dan paling penting di Indonesia, dan bahkan di  Asia. Lokasi tersebut merupakan pusat perkembangan manusia dunia, yang memberikan petunjuk tentang keberadaan manusia sejak 150.000 tahun yang lalu. Situs Sangiran itu mempunyai luas delapan kilometer pada arah utara-selatan dan tujuh kilometer arah timur-barat. Situs Sangiran merupakan suatu kubah raksasa yang berupa cekungan besar di pusat kubah akibat adanya erosi di bagian puncaknya. Kubah raksasa itu diwarnai dengan perbukitan yang bergelombang. Kondisi deformasi geologis itu menyebabkan tersingkapnya berbagai lapisan batuan yang mengandung fosil-fosil manusia purba dan binatang, termasuk artefak. Berdasarkan materi tanahnya, Situs Sangiran berupa endapan lempung hitam dan pasir fluvio-vulkanik, tanahnya tidak subur dan terkesan gersang pada musim kemarau.


Sangiran pertama kali ditemukan oleh P.E.C. Schemulling tahun 1864, dengan laporan penemuan fosilvertebratadari Kalioso, bagiandariwilayah Sangiran. Semenjak dilaporkan Schemulling situs itu seolah-olah terlupakan dalam waktu yang lama. Eugene Dubois juga pernah datang ke Sangiran, akan tetapi ia kurang tertarik dengan temuan-temuan di wilayah Sangiran. Pada 1934, Gustav Heindrich Ralph von Koeningswald menemukan artefak litik di wilayah Ngebung yang terletak sekitar dua km di barat laut kubah Sangiran. Artefak litik itulah yang kemudian menjadi temuan penting bagi Situs Sangiran. Semenjak penemuan von Koeningswald, Situs Sangiran menjadi sangat terkenal berkaitan dengan penemuan-penemuan fosil Homo erectus secara sporadis dan berkesinambungan. Homo erectus adalah takson paling penting dalam sejarah manusia, sebelum masuk pada tahapan manusia Homo sapiens, manusia modern.

Von Koeningswald

Situs Sangiran tidak hanya memberikan gambaran tentang evolusi fisik manusia saja,  akan tetapi juga memberikan gambaran nyata tentang evolusi budaya, binatang, dan juga lingkungan. Beberapa fosil yang ditemukan dalam seri geologis-stratigrafis yang diendapkan tanpa terputus selama lebih dari dua juta tahun, menunjukkan tentang hal itu. Situs Sangiran telah diakui sebagai salah satu pusat evolusi manusia di dunia. Situs itu ditetapkan secara resmi sebagai Warisan Dunia pada 1996, yang tercantum dalam nomor 593 Daftar Warisan Dunia (World Heritage List) UNESCO.
Sertifikat the Sangiran early man

Perhatikan baik-baik gambar fosilmanusia purba di samping, fosil itu juga disebut sebagai Sangiran 17 sesuai dengan nomor seri penemuannya. Fosil itu merupakan fosil Homo erectus yang terbaik di Sangiran. Ia ditemukan di endapan pasir fluvio-volkanik di Pucang, bagian wilayah Sangiran. Fosil itu merupakan dua di antara Homo erectus di dunia yang masih lengkap dengan mukanya. Satu ditemukan di Sangiran dan satu lagi di Afrika.
Fosil Manusia Purba yang ditemukan di Sangiran

2. Trinil, Ngawi, Jawa Timur


Sebelum penemuannya di Trinil, Eugene Dubois mengawali temuan Pithecantropus erectus di Desa Kedungbrubus, sebuah desa terpencil di daerah Pilangkenceng, Madiun, Jawa Timur. Desa itu berada tepat di tengah hutan jati di lereng selatan Pegunungan Kendeng. Pada saat Dubois meneliti dua horizon/lapisan berfosil di Kedungbrubus ditemukan sebuah fragmen rahang yang pendek dan sangat kekar, dengan sebagian prageraham yang masih tersisa. Prageraham itu menunjukkan ciri gigi manusia bukan gigi kera, sehingga diyakini bahwa fragmen rahang bawah tersebut milik rahang hominid. Pithecantropus itu kemudian dikenal dengan Pithecantropus A.
Fosil-fosil temuan di Kedungbrubus


Trinil    adalah   sebuah    desa    di  pinggiran Bengawan Solo, masuk wilayah administrasi Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Tinggalan purbakala telah lebih dulu ditemukan di daerah ini jauh sebelum von Koeningswald menemukan Sangiran pada 1934. Ekskavasi yang dilakukan oleh Eugene Dubois di Trinil telah membawa penemuan sisa-sisa manusia purba yang sangat berharga bagi dunia pengetahuan. Penggalian Dubois dilakukan pada endapan alluvial Bengawan Solo. Dari lapisan ini ditemukan atap tengkorak Pithecanthropus erectus, dan beberapa buah tulang paha (utuh dan fragmen) yang menunjukkan pemiliknya telah berjalan tegak.

Tengkorak Pithecanthropus erectus dari Trinil sangat pendek tetapi memanjang ke belakang. Volume otaknya sekitar 900 cc, di antara otak kera (600 cc) dan otak manusia modern (1.200-1.400 cc). Tulang kening sangat menonjol dan di bagian belakang mata, terdapat penyempitan yang sangat jelas, menandakan otak yang belum berkembang. Pada bagian belakang kepala terlihat bentuk yang meruncing yang diduga pemiliknya merupakan perempuan. Berdasarkan kaburnya sambungan perekatan antartulang kepala, ditafsirkan inividu ini telah mencapai usia dewasa.
Eugene Dubois banyak mengabadikan hidupnya untuk menggali fosil manusia purba


Selain tempat-tempat di atas, peninggalan manusia purba tipe ini juga ditemukan di Perning, Mojokerto, Jawa Timur; Ngandong, Blora, Jawa Tengah; dan Sambungmacan, Sragen, Jawa Tengah. Temuan berupa tengkorak anak-anak berusia sekitar 5 tahun oleh penduduk yang sedang membantu penelitian Koeningswald dan Duyfjes perlu untuk dipertimbangkan. Temuan itu menjadi bahan diskusi yang menarik bagi para ilmuwan. Metode pengujian penanggalan potasium-argon yang digunakan oleh Tengku Jakob dan Curtis terhadap batu apung yang terdapat disekitar fosil tengkorak itu menunjukkan angka  1,9  atau  kurang  lebih  0,4   juta tahun. Pengujian juga dilakukan dengan mengambil sampel endapan batu apung dari dalam tengkorak dan menunjukkan angka 1,81 juta tahun. Hasil uji penanggalan-penanggalan tersebut menjadi perdebatan para ahli dan perlu untuk dikaji lebih lanjut.

Bila penanggalan itu benar, maka tengkorak anak Homo erectus dari Perning, Mojokerto ini merupakan individu Homo erectus tertua di Indonesia. Adakah diantara kamu yang tertarik untuk melakukan pengujian ini?

Temuan Homo erectus juga ditemukan di Ngandong, yaitu sebuah desa di tepian Bengawan Solo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Tengkorak Homo erectus Ngandong berukuran besar dengan volume otak rata-rata 1.100 cc. Ciri-ciri ini menunjukkan Homo erectus ini lebih maju bila dibandingkan dengan Homo erectus yang ada di Sangiran. Manusia Ngandong diperkirakan berumur antara 300.000-100.000 tahun.

Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli, dapatlah direkonstruksi beberapa jenis manusia purba yang pernah hidup di zaman pra-aksara.

1. Jenis Meganthropus


Jenis manusia purba ini terutama berdasarkan penelitian von Koeningswald di Sangiran tahun 1936 dan 1941 yang menemukan fosil rahang manusia yang berukuran besar. Dari hasil rekonstruksi ini kemudian para ahli menamakan jenis manusia ini dengan sebutan Meganthropus paleojavanicusartinya manusia raksasa  dari  Jawa.  Jenis  manusia  purba  ini memiliki ciri rahang yang kuat dan badannya tegap. Diperkirakan makanan jenis manusia ini adalah tumbuh- tumbuhan. Masa hidupnya diperkirakan pada zaman Pleistosen Awal.

2. Jenis Pithecanthropus



Tengkorak Pithecanthropus erectus yang ditemukan di Trinil


Jenis manusia ini didasarkan pada penelitian Eugene Dubois tahun 1890 di dekat Trinil, sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo, di wilayah Ngawi. Setelah direkonstruksi terbentuk kerangka manusia, tetapi masih terlihat  tanda-tanda  kera.  Oleh   karena itu jenis ini dinamakan Pithecanthropus erectus, artinya manusia kera yang berjalan tegak. Jenis  ini juga ditemukan di Mojokerto, sehingga disebut Pithecanthropus mojokertensis. Jenis manusia purba yang juga terkenal sebagai rumpun Homo erectus ini paling banyak ditemukan di Indonesia. Diperkirakan jenis manusia purba ini hidup dan berkembang sekitar zaman Pleistosen Tengah.

3. Jenis Homo


Fosil jenis Homo ini pertama diteliti oleh von Reitschoten di Wajak. Penelitian dilanjutkan oleh Eugene  Dubois  bersama   kawan-kawan dan menyimpulkan sebagai jenis Homo. Ciri-ciri jenis manusia Homo ini muka lebar, hidung dan mulutnya menonjol. Dahi juga masih menonjol, sekalipun tidak semenonjol jenis Pithecanthropus. Bentuk fisiknya tidak jauh berbeda dengan manusia sekarang. Hidup dan perkembangan jenis manusia ini sekitar 40.000 – 25.000 tahun yang  lalu. Tempat-tempat penyebarannya tidak hanya di Kepulauan Indonesia tetapi juga di Filipina dan



Cina Selatan.

Evolusi manusia




Homo sapiens artinya ‘manusia sempurna’ baik dari segi fisik, volume otak maupun postur badannya yang secara umum tidak jauh berbeda dengan manusia modern. Kadang-kadang Homo sapiens juga diartikan dengan ‘manusia bijak’ karena telah lebih maju dalam berpikir dan menyiasati tantangan alam. Bagaimanakah mereka muncul ke bumi pertama kali dan kemudian menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru dunia hingga saat ini? Para ahli paleoanthropologi dapat melukiskan perbedaan morfologis  antara Homo sapiens dengan pendahulunya, Homo erectus. Rangka Homo sapiens kurang kekar posturnya dibandingkan Homo  erectus. Salah satu alasannya karena tulang belulangnya tidak setebal dan sekompak Homo erectus.



Hal ini mengindikasikan bahwa  secara fisik Homo sapiens jauh lebih lemah dibanding sang pendahulu tersebut. Di lain pihak, ciri-ciri morfologis maupun biometriks Homo sapiens menunjukkan karakter  yang lebih  berevolusi dan lebih modern dibandingkan dengan Homo erectus. Sebagai misal, karakter evolutif yang paling signifikan adalah bertambahnya kapasitas otak. Homo sapiens mempunyai kapasitas  otak yang jauh lebih besar (rata-rata 1.400 cc), dengan atap tengkorak yang jauh lebih bundar dan lebih tinggi dibandingkan dengan Homo erectus yang mempunyai tengkorak panjang dan rendah, dengan kapasitas otak 1.000 cc.



Segi-segi morfologis dan tingkatan kepurbaannya menunjukkan ada perbedaan yang sangat nyata antara kedua spesies dalam genus Homo  tersebut. Homo sapiens akhirnya tampil sebagai spesies yang sangat tangguh dalam beradaptasi dengan lingkungannya, dan dengan cepat menghuni berbagai permukaan dunia ini.



Berdasarkan bukti-bukti penemuan, sejauh ini manusia modern awal di Kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara paling tidak telah hadir sejak 45.000 tahun yang lalu. Dalam perkembangannya, kehidupan manusia  modern  ini  dapat  dikelompokkan  dalam tiga tahap, yaitu (i) kehidupan manusia modern awal yang kehadirannya hingga akhir zaman es (sekitar 12.000 tahun lalu), kemudian dilanjutkan oleh (ii) kehidupan manusia modern yang  lebih belakangan, dan berdasarkan karakter fisiknya dikenal sebagai ras Austromelanesoid. (iii) mulai di sekitar  4000  tahun  lalu muncul penghuni baru di Kepulauan Indonesia yang dikenal sebagai penutur bahasa Austronesia. Berdasarkan karakter fisiknya, makhluk manusia ini tergolong dalam ras Mongolid. Ras inilah yang kemudian berkembang hingga menjadi bangsa Indonesia sekarang.


Beberapa spesimen (penggolongan) manusia Homo sapiens dapat dikelompokkan sebagai berikut :

a. Manusia Wajak

Fosil manusia wajak

Manusia Wajak (Homo wajakensis) merupakan satu-satunya temuan di Indonesia yang untuk sementara dapat disejajarkan perkembangannya dengan manusia modern awal dari akhir Kala Pleistosen. Pada tahun 1889, manusia Wajak ditemukan oleh B.D. van Rietschoten di sebuah ceruk di lereng pegunungan karst di barat laut Campurdarat, dekat Tulungagung, Jawa Timur. Sartono Kartodirjo (dkk) menguraikan tentang temuan itu, berupa tengkorak, termasuk fragmen rahang bawah, dan beberapa buah ruas leher. Temuan Wajak itu adalah Homo sapiens. Mukanya datar dan lebar, akar hidungnya lebar dan bagian mulutnya menonjol sedikit. Dahinya agak miring dan di atas matanya ada busur kening nyata. Tengkorak ini diperkirakan milik seorang perempuan berumur 30 tahun dan mempunyai volume otak 1.630 cc. Wajak kedua ditemukan oleh Dubois pada tahun 1890 di tempat yang sama. Temuan berupa fragmen-fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan rahang bawah, serta tulang paha dan tulang kering. Pada tengkorak ini terlihat juga busur kening yang nyata. Pada tengkorak laki-laki perlekatan otot sangat nyata. Langit-langit juga dalam. Rahang bawah besar dengan gigi-gigi yang besar pula. Kalau menutup gigi muka atas mengenai gigi muka bawah. Dari tulang pahanya dapat diketahui bahwa tinggi tubuhnya kira-kira 173 cm.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia wajak bertubuh tinggi dengan isi tengkorak yang besar. Wajak sudah termasuk Homo sapiens, jadi sangat berbeda ciri-cirinya dengan Pithecanthropus. Manusia Wajak mempunyai ciri-ciri baik Mongoloid maupun Austromelanesoid. Diperkirakan dari manusia Wajak inilah sub-ras Melayu Indonesia dan turut pula berevolusi menjadi ras Austromelanesoid sekarang. Hal itu dapat dilihat dari ciri tengkoraknya yang sedang atau agak lonjong itu berbentuk agak persegi di tengah-tengah atap tengkoraknya dari muka ke belakang. Muka cenderung lebih Mongoloid, oleh karena sangat datar dan pipinya sangat menonjol ke samping. Beberapa ciri lain juga memperlihatkan ciri-ciri ke dua ras di atas.

Temuan    Wajak   menunjukkan    pada   kita    bahwa  sekitar 40.000 tahun yang lalu Indonesia sudah didiami oleh  Homo  sapiens yang rasnya sukar dicocokkan dengan ras-ras pokok yang terdapat sekarang, sehingga manusia Wajak dapat dianggap sebagai suatu ras tersendiri. Manusia Wajak tidak langsung berevolusi dari Pithecanthropus, tetapi mungkin tahapan Homo neanderthalensis yang belum ditemukan di Indonesia ataupun dari Homo neanderthalensis di tempat Pithecanthropus erectus ataupun satu ras yang mungkin berevolusi ke arah Homo yang ditemukan di Indonesia.

Manusia Wajak itu tidak hanya mendiami Kepulauan Indonesia bagian Barat saja, akan tetapi juga di sebagian Kepulauan Indonesia bagian Timur. Ras Wajak ini merupakan penduduk Homo sapiens yang kemudian menurunkan ras-ras yang kemudian kita kenal sekarang. Melihat ciri-ciri Mongoloidnya lebih banyak, maka ia lebih dekat dengan sub-ras Melayu-Indonesia. Hubungannya dengan ras Australoid dan Melanesoid sekarang lebih jauh, oleh  karena kedua sub-ras ini baru mencapai bentuknya yang sekarang di tempatnya yang baru. tetapi memang mungkin juga bahwa ras Austromelanesoid yang dahulu berasal dari ras Wajak.

b. Manusia Liang Bua

Pengumuman tentang penemuan manusia Homo floresiensis tahun 2004 menggemparkan dunia ilmu pengetahuan. Sisa-sisa manusia ditemukan di sebuah gua Liang Bua oleh tim peneliti gabungan Indonesia dan Australia. Sebuah gua permukiman prasejarah di Flores. Liang Bua bila diartikan secara harfiah merupakan sebuah gua yang dingin. Sebuah gua yang sangat lebar dan tinggi dengan permukaan tanah yang datar, merupakan tempat bermukim yang nyaman bagi manusia pada masa pra-aksara. Hal itu bisa dilihat dari kondisi lingkungan sekitar gua yang sangat indah, yang berada di sekitar bukit dengan kondisi tanah yang datar di depannya. Liang Bua merupakan sebuah temuan manusia modern awal dari akhir masa Pleistosen di Indonesia yang menakjubkan yang diharapkan dapat menyibak asal usul manusia di Kepulauan Indonesia.

Manusia Liang Bua ditemukan oleh Peter Brown dan Mike J. Morwood pada bulan September 2003 lalu. Temuan itu dianggap sebagai penemuan spesies baru yang kemudian diberi nama Homo floresiensis, sesuai dengan tempat ditemukannya fosil Manusia Liang Bua.



Pada tahun 1950-an, sebenarnya Manusia Liang Bua telah memberikan data-data tentang adanya kehidupan pra-aksara. Saat Th. Verhoeven lebih dahulu menemukan beberapa fragmen tulang manusia di Liang Bua, ia menemukan tulang iga yang berasosiasi dengan berbagai alat serpih dan gerabah. Tahun 1965, ditemukan tujuh buah rangka manusia beserta beberapa bekal kubur yang antara lain berupa beliung dan barang-barang gerabah.Diperkirakan Liang Bua merupakan sebuah situs neolitik dan paleometalik. Manusia Liang Bua mempunyai ciri tengkorak yang panjang dan  rendah, berukuran kecil, dengan volume otak 380 cc. Kapasitas kranial tersebut berada jauh di bawah Homo erectus (1.000 cc), manusia modern Homo sapiens (1.400 cc), dan bahkan berada di bawah volume otak simpanse (450 cc).

Pada tahun 1970, R.P Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melanjutkan penelitian beberapa kerangka manusia yang ditemukan di lapisan atas, temuan itu sebanding dengan temuan- temuan rangka manusia sebelumnya. Hasil temuan itu menunjukkan bahwa Manusia Liang Bua secara kronologis menunjukkan hunian dari fase zaman Paleolitik, Mesolitik, Neolitik, dan Paleolitik.

Menurut Teuku Jacob, Manusia Liang Bua secara kultural berada dalam konteks zaman Mesolitik, dengan ciri Australomelanesid, yaitu bentuk tengkorak yang memanjang. Tahun 2003 diadakan penggalian oleh R.P. Soejono dan Mike J. Morwood, bekerjasama antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan University of New England, Australia. Penggalian itu menghasilkan temuan berupa sisa manusia tidak kurang dari enam individu yang menunjukkan aspek morfologis dan postur yang sejenis dengan Liang Bua 1, yang mempunyai kesamaan dengan alat-alat batu dan sisa-sisa binatang komodo dan spesies kerdil gajah purba jenis stegodon. Temuan itu sempat menjadi bahan perdebatan mengenai status taksonominua, benarkah Manusia Liang Bua itu termasuk dalam spesies baru, yaitu Homo florensiensis, atau sebagai satu jenis spesies yang telah ada di kalangan genus Homo?

Dalam pengamatan yang lebih mendalam terhadap manusia Flores itu, ternyata ada percampuran antara karakter kranial yang cukup menonjol antara karakter Homo erectus dan Homo sapiens. Seluruh karakter kranio-fasial dari Manusia Liang Bua 1 (LB1) dan Liang Bua 6 (LB6) menunjukkan dominasi karakter arkaik yang sering ditemukan pada Homo erectus, walaupun beberapa aspek modern Homo sapiens juga sangat terlihat jelas. Namun demikian, karakter Homo sapiens hendaknya dilihat sebagai atribut tingkatan evolusi dalam spesies ini. Bila dikaitkan dengan masa hidup Manusia Liang Bua sekitar 18.000 tahun yang lalu, maka LB 1 dan LB 6 seharusnya dipandang sebagai satu dari variasi Homo sapiens.

3. Perdebatan Antara Pithecantropus ke Homo Erectus

Penemuan fosil-fosil Pithecanthropus oleh Dubois dihubungkan dengan teori evolusi manusia yang dituliskan oleh Charles Darwin. Harry Widiyanto menuliskan perdebatan itu seperti berikut. 
Charles Darwin

Pemenuan fosil Pithecanthropus oleh Dubois yang dipublikasikan pada tahun 1894 dalam berbagai majalah ilmiah melahirkan perdebatan. Dalam publikasinya itu Dubois menyatakan bahwa, menurut teori evolusi Darwin, Pithecanthropus erectus adalah peralihan kera ke manusia. Kera merupakan moyang manusia. Pernyatakan Dubois itu kemudian menjadi perdebatan, apakah benar atap tengkorak dengan volume kecil, gigi-gigi  berukuran  besar, dan tulang paha yang berciri modern itu berasal dari satu individu? Sementara orang menduga bahwa tengkorak tersebut merupakan tengkorak seekor gibon, gigi-gigi merupakan milik Pongo sp., dan tulang pahanya milik manusia modern? Lima puluh tahun kemudian terbukti bahwa gigi-gigi tersebut memang berasal dari gigi Pongo Sp., berdasarkan ciri-cirinya yang berukuran besar, akar gigi yang kuat dan terbuka, dentikulasi yang tidak individual, dan permukaan occulsal yang sangat berkerut-kerut.

Perdebatan itu kemudian berlanjut hingga ke Eropa, ketika Dubois mempresentasikan penemuan tersebut dalam seminar internasional zoologi pada tahun 1895 di Leiden, Belanda, dan dalam pameran publik British Zoology Society di London. Setelah seminar dan pameran itu banyak ahli yang tidak ingin melihat temuannya itu lagi. Dubois pun kemudian menyimpan semua hasil temuannya itu, hingga pada tahun 1922 temuan itu mulai diteliti oleh Franz Weidenreich. Temuan-temuan Dubois itu menandai munculnya sebuah kajian ilmu paleoantropologi telah lahir di Indonesia.

Tahun 1920-an merupakan periode yang luar biasa  bagi teori evolusi manusia. Teori itu terus menjadi perdebatan, para ahli paleontologi berbicara tentang ontogenesa dan heterokronis. Seorang teman Dubois, Bolk melakukan formulasi teori foetalisasi yang sangat terkenal. Dubois telah melakukan penemuan fosil missing-link. Sementara Bolk menemukan modalitas evolusi dengan menafsirkan bahwa peralihan dari kera ke manusia terjadi melalui perpanjangan perkembangan fetus. Dubois dan Bolk kemudian bertemu dalam jalur evolutif dari Heackle yang sangat terkenal, bahwa filogenesa dan ontogenesa sama sekali tidak dapat dipisahkan. Penemuan-penemuan kemudian bertambah gencar sejak tahun 1927. Penemuan situs Zhoukoudian di dekat Beijing, menghasilkan sejumlah besar fosil-fosil manusia, yang  diberi nama Sinanthropus pekinensis. Tengkorak-tengkorak fosil beserta tulang paha tersebut menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan Pithecanthropus erectus.

Seorang ahli biologi menyatakan bahwa standar zoologis tidak dimungkinkan memisahkan Pithecantropus erectus dan Sinanthropus pekinensis dengan genus yang berbeda dengan manusia modern. Pithecanthropus adalah satu tahapan dalam proses evolusi ke arah Homo sapiens dengan kapasitas tengkorak yang kecil. Karena  itulah perbedaan itu hanya perbedaan species bukan perbedaan genus. Dalam pandangan ini maka Pithecanthrotus erectus harus diletakan dalam genus Homo, dan untuk mempertahankan  species aslinya, dinamakan Homo erectus. Maka berakhirlah debat pandang mengenai Pithecanthropus dari Dubois dalam sejarah perkembangan manusia yang berjalan puluhan tahun. Saat ini Pithecanthropus diterima sebagai hominid dari Jawa, bagian dari Homo erectus.

D. Asal Usul dan Persebaran Nenek Moyang Bangsa Indonesia

Mengamati Lingkungan

Coba anda cermati banyaknya suku bangsa di Indonesia memunculkan keberagaman bahasa daerah, dan kebudayaan yang berlaku dalam praktek-praktek kehidupan sehari-hari. Bayangkan saja ada lebih dari 500 suku bangsa Indonesia, sungguh merupakan kekayaan bangsa yang tidak dimiliki oleh negara lain. Namun demikian kekayaan ini akan menjadi masalah jika kita tidak pandai mengelola perbedaan yang ada. Tentu ini berkaitan pula dengan asal mula kedatangan suku bangsa dan kapan mereka datang? Oleh karena itu penting untuk mengetahui bagaimana proses dan dinamika nenek moyang Indonesia sehingga terbentuk keragaman budayanya. Untuk itu kamu harus mempelajarinya, agar kita bisa saling menghargai dan menghormati setiap perbedaan yang ada.

Memahami Teks

Menurut Sarasin bersaudara, penduduk asli Kepulauan Indonesia adalah ras berkulit gelap dan bertubuh kecil. Mereka mulanya tinggal di Asia bagian tenggara. Ketika zaman es mencair dan air laut naik hingga terbentuk Laut Cina Selatan dan Laut Jawa, sehingga memisahkan pegunungan vulkanik Kepulauan Indonesia dari daratan utama. Beberapa penduduk asli Kepulauan Indonesia tersisa dan menetap di daerah-daerah pedalaman, sedangkan daerah pantai dihuni oleh penduduk pendatang. Penduduk asli itu disebut sebagai suku bangsa Vedda oleh Sarasin. Ras yang masuk dalam kelompok ini adalah suku bangsa Hieng di Kamboja, Miaotse, Yao-Jen di Cina, dan Senoi di Semenanjung Malaya.

Beberapa suku bangsa seperti Kubu, Lubu, Talang Mamak yang tinggal di Sumatra dan Toala di Sulawesi merupakan penduduk tertua di Kepulauan Indonesia. Mereka mempunyai hubungan erat dengan nenek moyang Melanesia masa kini dan orang Vedda yang saat ini masih terdapat di Afrika, Asia Selatan, dan Oceania. Vedda itulah manusia pertama yang datang ke pulau-pulau yang sudah berpenghuni. Mereka membawa budaya perkakas batu. Kedua ras Melanesia dan Vedda hidup dalam budaya mesolitik.

Pendatang berikutnya membawa budaya baru yaitu budaya neolitik. Para pendatang baru itu jumlahnya jauh lebih banyak daripada penduduk asli. Mereka datang dalam dua tahap. Mereka itu oleh Sarasin disebut sebagai Proto Melayu dan Deutro Melayu. Kedatangan mereka terpisah diperkirakan lebih dari 2.000 tahun yang lalu.

1. Proto Melayu

Proto Melayu diyakini sebagai nenek moyang orang Melayu Polinesia yang tersebar dari Madagaskar sampai pulau-pulau paling timur di Pasifik. Mereka diperkirakan datang dari Cina bagian selatan. Ras Melayu ini mempunyai ciri-ciri rambut lurus, kulit kuning kecoklatan-coklatan, dan bermata sipit. Dari Cina bagian selatan (Yunan) mereka bermigrasi ke Indocina dan Siam, kemudian ke Kepulauan Indonesia. Mereka itu mula-mula menempati pantai- pantai Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Barat. Ras Proto Melayu membawa peradaban batu di Kepulauan Indonesia. Ketika datang para imigran baru, yaitu Deutero Melayu (Ras Melayu Muda). Mereka berpindah masuk ke pedalaman dan mencari tempat baru ke hutan-hutan sebagai tempat huniannya. Ras Proto Melayu itu pun kemudian mendesak keberadaan penduduk asli. Kehidupan di dalam hutan-hutan menjadikan mereka terisolasi dari dunia luar, sehingga memudarkan peradaban mereka. Penduduk asli dan ras proto melayu itu pun kemudian melebur. Mereka itu kemudian menjadi suku bangsa Batak, Dayak, Toraja, Alas, dan Gayo.

Kehidupan mereka yang terisolasi itu menyebabkan ras  Proto Melayu sedikit mendapat pengaruh dari kebudayaan Hindu maupun Islam dikemudian hari. Para ras Proto Melayu itu kelak mendapat pengaruh Kristen sejak mereka mengenal para penginjil yang masuk ke wilayah mereka untuk memperkenalkan agama Kristen dan peradaban baru dalam kehidupan mereka. Persebaran suku bangsa Dayak hingga ke Filipina Selatan, Serawak, dan  Malaka menunjukkan rute perpindahan mereka dari Kepulauan Indonesia. Sementara suku bangsa Batak yang mengambil rute ke barat menyusuri pantai-pantai Burma dan Malaka Barat. Beberapa kesamaan bahasa yang digunakan oleh suku bangsa Karen di Burma banyak mengandung kemiripan dengan bahasa Batak.

2. Deutero Melayu

Deutero Melayu merupakan ras yang datang dari Indocina bagian utara. Mereka membawa budaya baru berupa perkakas dan senjata besi di Kepulauan Indonesia, atau Kebudayaan Dongson. Mereka seringkali disebut juga dengan orang-orang Dongson. Peradaban mereka lebih tinggi daripada rasa Proto Melayu. Mereka dapat membuat perkakas dari perunggu. Peradaban mereka ditandai dengan keahlian mengerjakan logam dengan sempurna. Perpindahan mereka ke Kepulauan Indonesia dapat dilihat dari rute persebaran alat-alat yang mereka tinggalkan di beberapa kepulauan di Indonesia, yaitu berupa kapak persegi panjang. Peradaban ini  dapat dijumpai di Malaka, Sumatera, Kalimantan, Filipina, Sulawesi, Jawa, dan Nusa Tenggara Timur.

Dalam bidang pengolahan tanah mereka mempunyai kemampuan untuk membuat irigasi pada tanah-tanah pertanian yang berhasil mereka ciptakan, dengan membabat hutan terlebih dahulu. Ras Deutero Melayu juga mempunyai peradaban pelayaran lebih maju dari pendahulunya karena petualangan mereka  sebagai pelaut dibantu dengan penguasaan mereka terhadap ilmu perbintangan. Perpindahan ras Deutero Melayu juga menggunakan jalur pelayaran laut. Sebagian dari ras Deutero Melayu ada yang mencapai Kepulauan Jepang, bahkan kelak ada yang hingga sampai Madagaskar.
Kedatangan ras Deutero Melayu di Kepulauan Indonesia makin lama semakin banyak. Mereka pun kemudian berpindah mencari tempat baru ke hutan-hutan sebagai tempat hunian baru. Pada akhirnya Proto dan Deutero Melayu membaur dan selanjutnya menjadi penduduk di Kepulauan Indonesia. Pada masa selanjutnya mereka sulit untuk dibedakan. Proto Melayu meliputi penduduk di Gayo dan Alas di Sumatra bagian utara, serta Toraja di Sulawesi. Sementara itu, semua penduduk di Kepulauan Indonesia, kecuali penduduk Papua dan yang tinggal di sekitar pulau-pulau Papua, adalah ras Deutero Melayu.

3. Melanesoid

Ras lain yang juga terdapat di Kepulauan Indonesia adalah ras Melanesoid. Mereka tersebar di lautan Pasifik di pulau-pulau yang letaknya sebelah Timur Irian dan benua Australia. Di Kepulauan Indonesia mereka tinggal di Papua. Bersama dengan Papua-Nugini dan Bismarck, Solomon, New Caledonia dan Fiji, mereka tergolong rumpun Melanesoid. Menurut Daldjoeni suku bangsa Melanesoid sekitar 70% menetap di Papua, sedangkan 30% lagi tinggal di beberapa kepulauan di sekitar Papua dan Papua-Nugini.

Pada mulanya kedatangan Bangsa Melanesoid di Papua berawal saat zaman es terakhir, yaitu tahun 70.000 SM. Pada saat itu Kepulauan Indonesia belum berpenghuni. Ketika suhu turun hingga mencapai kedinginan maksimal, air laut menjadi beku. Permukaan laut menjadi lebih rendah 100 m dibandingkan permukaan saat ini. Pada saat itulah muncul pulau-pulau baru. Adanya pulau-pulau itu memudahkan mahkluk hidup berpindah dari Asia menuju kawasan Oseania.

Bangsa Melanesoid melakukan perpindahan ke timur hingga ke Papua, selanjutnya ke Benua Australia, yang sebelumnya merupakan satu kepulauan yang terhubungan dengan Papua. Bangsa Melanesoid saat itu hingga mencapai 100 ribu jiwa meliputi wilayah Papua dan Australia. Peradaban bangsa Melanesoid dikenal dengan paleotikum.

Pada saat masa es berakhir dan air laut mulai naik lagi pada tahun 5000 S.M, kepulauan Papua dan Benua Australia terpisah seperti yang dapat kita lihat saat ini. Pada saat itu jumlah penduduk mencapai 0,25 juta dan pada tahun 500 S.M. mencapai 0,5 jiwa.

Asal mula bangsa Melanesia, yaitu Proto Melanesia merupakan penduduk pribumi di Jawa. Mereka adalah manusia Wajak yang  tersebar ke timur dan menduduki Papua, sebelum zaman es berakhir dan sebelum kenaikan permukaan laut yang terjadi pada saat itu. Di Papua manusia Wajak hidup berkelompok-kelompok kecil di sepanjang muara-muara sungai. Mereka hidup dengan menangkap ikan di sungai dan meramu tumbuh-tumbuhan serta akar-akaran, serta berburu di hutan belukar. Tempat tinggal mereka berupa perkampungan-perkampungan yang terbuat dari bahan- bahan yang ringan. Rumah-rumah itu sebenarnya hanya berupa kemah atau tadah angin, yang sering didirikan menempel pada dinding gua yang besar. Kemah-kemah dan tadah angin itu hanya digunakan sebagai tempat untuk tidur dan berlindung, sedangkan aktifitas lainnya dilakukan di luar rumah.

Bangsa Proto Melanesoid terus terdesak oleh bangsa Melayu. Mereka yang belum sempat mencapai kepulauan Papua melakukan percampuran dengan ras baru itu. Percampuran bangsa Melayu dengan Melanesoid menghasilkan keturunan Melanesoid-Melayu, saat ini mereka merupakan penduduk Nusa Tenggara Timur dan Maluku.

4. Negrito dan Weddid

Sebelum kedatangan kelompok-kelompok Melayu tua dan muda, negeri kita sudah terlebih dulu kemasukkan orang-orang Negrito dan Weddid. Sebutan Negrito diberikan oleh orang-orang Spanyol karena yang mereka jumpai itu berkulit hitam mirip dengan jenis-jenis Negro. Sejauh mana kelompok Negrito itu bertalian darah dengan jenis-jenis Negro yang terdapat di Afrika serta kepulauan Melanesia (Pasifik), demikian pula bagaimana sejarah perpindahan mereka, belum banyak diketahui dengan pasti.

Kelompok Weddid terdiri atas orang-orang dengan kepala mesocephal dan letak mata yang dalam sehingga nampak seperti berang; kulit mereka coklat tua dan tinggi rata-rata lelakinya 155 cm. Weddid artinya jenis Wedda yaitu bangsa yang terdapat di pulau Ceylon (Srilanka). Persebaran orang-orang Weddid di Nusantara cukup luas, misalnya di Palembang dan Jambi (Kubu), di Siak (Sakai) dan di Sulawesi pojok tenggara (Toala, Tokea dan Tomuna)
Untuk lebih jelasnya kamu dapat membaca buku Daldjoeni yang berjudul Geografi Kesejarahan II di Indonesia
Periode migrasi itu berlangsung berabad-abad, kemungkinan mereka berasal dalam satu kelompok ras yang sama dan dengan budaya yang sama pula. Mereka itulah nenek moyang orang Indonesia saat ini.

Sekitar 170 bahasa yang digunakan di Kepulauan Indonesia adalah bahasa Austronesia (Melayu-Polinesia). Bahasa itu kemudian dikelompokkan menjadi dua oleh Sarasin, yaitu Bahasa Aceh dan bahasa-bahasa di pedalaman Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Kelompok kedua adalah bahasa Batak, Melayu standar, Jawa, dan Bali. Kelompok bahasa kedua itu mempunyai hubungan dengan bahasa Malagi di Madagaskar dan Tagalog di Luzon. Persebaran geografis kedua bahasa itu menunjukkan bahwa penggunanya adalah pelaut-pelaut pada masa dahulu yang sudah mempunyai peradaban lebih maju. Di samping bahasa-bahasa itu, juga terdapat bahasa Halmahera Utara dan Papua yang digunakan di pedalaman Papua dan bagian utara Pulau Halmahera

Untuk lebih jelasnya kamu dapat membaca buku Bernard H.M. VlekkeNusantara: Sejarah Indonesia

E. Corak kehidupan Masyarakat Masa Pra-aksara

1. Pola Hunian

Song Keplek situs hunian pada masa akhir Pleistosen-Holosen

Mengamati Lingkungan

Coba anda amati baik-baik gambar di atas. Gambar itu menunjukkan salah satu pola hunian masyarakat pra-aksara. Mengapa memilih tinggal di gua? Untuk memahami pola hunian manusia purba kamu dapat mengkaji uraian berikut.

Memahami Teks

Dalam buku Indonesia Dalam Arus Sejarah, Jilid I diterangkan tentang pola hunian manusia purba yang memperlihatkan dua karakter khas hunian purba yaitu, (1) kedekatan dengan sumber  air dan (2) kehidupan di alam terbuka. Pola hunian itu dapat dilihat dari letak geografis situs-situs serta kondisi lingkungannya. Beberapa contoh yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-situs purba di sepanjang aliran Bengawan Solo (Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngawi, dan Ngandong) merupakan contoh- contoh dari adanya kecenderungan manusia purba menghuni lingkungan di pinggir sungai. Kondisi itu dapat dipahami mengingat keberadaan air memberikan beragam manfaat. Air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Air juga diperlukan oleh tumbuhan maupun binatang. Keberadaan air pada suatu lingkungan mengundang hadirnya berbagai binatang untuk hidup di sekitarnya. Begitu pula dengan tumbuh-tumbuhan, air memberikan kesuburan bagi tanaman. Keberadaan air juga dimanfaatkan manusia sebagai sarana penghubung dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui sungai, manusia dapat melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lainnya.
Situs gua bekas tempat tingga

2. Dari Berburu-Meramu sampai Bercocok Tanam

Mengamati Lingkungan

Sering kali kita mendengar aktivitas pembukaan lahan di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk membuka lahan baru untuk pertanian, perumahan atau untuk kegiatan industri dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup. Sebenarnya nenek moyang kita juga sudah melakukan hal serupa. Pola hidup berpindah-pindah dan melakukan aktivitas bercocok tanam demi kelangsungan hidup mereka. Bagaimana pendapat kamu mengenai kesamaan aktivitas dari dua kehidupan manusia yang terpisah jarak jutaan tahun tersebut? Untuk mendapatkan pemahaman tentang aktivitas bercocok tanam manusia purba di Kepulauan Indonesia silahkan telaah bacaan berikut.

Memahami Teks


Mencermati hasil penelitian baik yang berwujud fosil maupun artefak lainnya, diperkirakan manusia zaman pra-aksara mula-mula hidup dengan cara berburu dan meramu. Hidup mereka umumnya masih tergantung pada alam. Untuk mempertahankan hidupnya mereka menerapkan pola hidup nomaden atau berpindah-pindah tergantung dari bahan makanan yang tersedia. Alat-alat yang digunakan terbuat dari batu yang masih sederhana. Hal ini terutama berkembang pada manusia Meganthropus dan Pithecanthropus. Tempat-tempat yang dituju oleh komunitas itu umumnya lingkungan dekat sungai, danau, atau sumber air lainnya termasuk di daerah pantai. Mereka beristirahat misalnya di bawah pohon besar. Mereka juga membuat atap dan sekat tempat istirahat itu dari daun-daunan.

Masa manusia purba berburu dan meramu itu sering disebut dengan masa food gathering. Mereka hanya mengumpulkan dan menyeleksi makanan karena belum dapat mengusahakan jenis tanaman untuk dijadikan bahan makanan. Dalam perkembangannya mulai ada sekelompok manusia purba yang bertempat tinggal sementara, misalnya di gua-gua, atau di tepi pantai.

Peralihan Zaman Mesolitikum ke Neolitikum menandakan adanya revolusi kebudayaan dari food gathering menuju food producing dengan Homo sapien sebagai pendukungnya. Mereka tidak hanya mengumpulkan makanan tetapi mencoba memproduksi makanan dengan menanam. Kegiatan bercocok tanam dilakukan ketika mereka sudah mulai bertempat tinggal, walaupun masih bersifat sementara. Mereka melihat biji-bijian sisa makanan yang tumbuh di tanah setelah tersiram air hujan. Pelajaran inilah yang kemudian mendorong manusia purba untuk melakukan cocok tanam. Apa yang mereka lakukan di sekitar tempat tinggalnya, lama kelamaan tanah di sekelilingnya habis, dan mengharuskan pindah. mencari tempat yang dapat ditanami. Ada yang membuka hutan dengan menebang pohon-pohon untuk membuka lahan bercocok tanam. Waktu itu juga sudah ada pembukaan lahan dengan cara membakar hutan. Bagaimana pendapat kamu tentang hal ini dan kira-kira apa bedanya dengan pembakaran hutan yang dilakukan oleh manusia modern sekarang ini?

Kegiatan manusia bercocok tanam   terus  mengalami perkembangan. Peralatan pokoknya adalah jenis kapak persegi dan kapak lonjong. Kemudian berkembang ke alat lain yang lebih baik. Dengan dibukanya lahan dan tersedianya air yang cukup maka terjadilah persawahan untuk bertani. Hal ini berkembang karena saat itu, yakni sekitar tahun 2000 – 1500 S.M ketika mulai terjadi perpindahan orang-orang dari rumpun bangsa Austronesia dari Yunnan ke Kepulauan Indonesia. Begitu juga kegiatan beternak juga mengalami perkembangan. Seiring kedatangan orang-orang dari Yunnan yang kemudian dikenal sebagai nenek moyang kita itu, maka kegiatan pelayaran dan perdagangan mulai dikenal. Dalam waktu singkat kegiatan perdagangan dengan sistem barter mulai berkembang. Kegiatan bertani juga semakin berkembang karena mereka sudah mulai bertempat tinggal menetap.

1. Sistem Kepercayaan


Sebagai manusia yang beragama tentu kamu sering mendengarkan ceramah dari guru maupun tokoh agama. Dalam ceramah-ceramah tersebut sering dikatakan bahwa hidup hanya sebentar sehingga tidak boleh berbuat menentang ajaran agama, misalnya tidak boleh menyakiti orang lain, tidak boleh rakus, bahkan melakukan tindak korupsi yang merugikan negara dan orang lain. Karena itu dalam hidup ini manusia harus bekerja keras dan berbuat sebaik mungkin, saling tolong menolong. Kita semua mestinya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa bila berbuat dosa karena melanggar perintah agama, atau menyakiti orang lain.

Menhir yang ada di Limapuluh Koto


Nenek moyang kita mengenal kepercayaan kehidupan setelah mati. Mereka percaya pada kekuatan  lain  yang  maha  kuat di luar dirinya. Mereka selalu menjaga diri agar setelah mati tetap dihormati. Berikut ini kita akan menelaah bagaimana sistem kepercayaan manusia zaman pra-aksara, yang menjadi nenek moyang kita. Perwujudan kepercayaannya dituangkan dalam berbagai bentuk diantaranya karya seni. Satu di antaranya berfungsi sebagai bekal untuk orang yang meninggal. Tentu kamu masih ingat tentang perhiasan yang digunakan sebagai bekal kubur. Seiring dengan bekal kubur ini, maka pada zaman purba manusia mengenal penguburan mayat. Pada saat inilah manusia mengenal sistem kepercayaan. Sebelum meninggal manusia menyiapkan dirinya dengan membuat   berbagai   bekal   kubur, dan juga tempat penguburan yang menghasilkan karya seni cukup bagus
pada   masa   sekarang.   Untuk   itulah kita mengenal dolmen, sarkofagus, menhir dan lain sebagainya.

Memahami Teks

Masyarakat zaman pra-aksara terutama periode zaman Neolitikum sudah mengenal sistem kepercayaan. Mereka sudah memahami adanya kehidupan setelah mati. Mereka meyakini bahwa roh seseorang yang telah meninggal akan ada kehidupan  di alam lain. Oleh karena itu, roh orang yang sudah meninggal akan senantiasa dihormati oleh sanak kerabatnya. Terkait dengan itu maka kegiatan ritual yang paling menonjol adalah upacara penguburan orang meninggal. Dalam tradisi penguburan ini, jenazah orang yang telah  meninggal  dibekali  berbagai  benda dan peralatan kebutuhan sehari-hari, misalnya barang-barang perhiasan, periuk dan lain-lain yang dikubur bersama mayatnya. Hal ini dimaksudkan agar perjalanan arwah orang yang meninggal selamat dan terjamin dengan baik.  Dalam  upacara  penguburan ini semakin kaya orang yang meninggal maka upacaranya juga semakin mewah. Barang-barang berharga yang ikut dikubur juga semakin banyak.


Selain upacara-upacara penguburan, juga ada upacara- upacara pesta untuk mendirikan bangunan suci. Mereka percaya manusia yang meninggal akan mendapatkan kebahagiaan jika mayatnya ditempatkan pada susunan batu-batu besar, misalnya pada peti batu atau sarkofagus.

 Sarkofagus atau kubur batu

Batu-batu besar ini menjadi lambang perlindungan bagi manusia yang berbudi luhur juga memberi peringatan bahwa kebaikan kehidupan di akhirat hanya akan dapat dicapai sesuai dengan perbuatan baik selama hidup di dunia. Hal ini sangat tergantung pada kegiatan upacara kematian yang pernah dilakukan untuk menghormati leluhurnya. Oleh karena itu, upacara kematian merupakan manifestasi dari rasa bakti dan hormat seseorang terhadap leluhurnya yang telah meninggal. Sistem kepercayaan masyarakat pra-aksara yang demikian itu telah melahirkan tradisi megalitik (zaman megalitikum = zaman batu besar). Mereka  mendirikan bangunan batu-batu besar seperti menhir, dolmen, punden berundak, dan sarkofagus. Pada zaman pra- aksara, seorang dapat dilihat kedudukan sosialnya dari cara penguburannya. Bentuk dan bahan wadah kubur dapat digunakan sebagai petunjuk status sosial seseorang. Penguburan dengan sarkofagus misalnya, memerlukan jumlah tenaga kerja yang  lebih banyak dibandingkan dengan penguburan tanpa wadah. Dengan kata lain, pengelolaan tenaga kerja juga sering digunakan sebagai indikator stratifikasi sosial seseorang dalam masyarakat. 

Sistem kepercayaan dan tradisi batu besar seperti dijelaskan di atas, telah mendorong berkembangnya kepercayaan animisme. Kepercayaan animisme merupakan sebuah sistem kepercayaan yang memuja roh nenek moyang. Di samping animisme, muncul juga kepercayaan dinamisme. Menurut kepercayaan dinamisme ada benda-benda tertentu yang diyakini memiliki kekuatan gaib, sehingga benda itu sangat dihormati dan dikeramatkan.

Seiring dengan perkembangan pelayaran, masyarakat zaman pra-aksara akhir juga mulai mengenal sedekah laut. Sudah barang tentu kegiatan upacara ini lebih banyak dikembangkan di kalangan para nelayan. Bentuknya mungkin semacam selamatan apabila ingin berlayar jauh, atau mungkin saat memulai pembuatan perahu. Sistem kepercayaan nenek moyang kita ini sampai sekarang masih dapat kita temui dibeberapa daerah.

F. Perkembangan Teknologi
Cobek, peralatan dari batu yang masih digunakan sampai sekarang
Coba amati gambar di atas. Gambar apa dan untuk apa kira-kira? Gambar itu merupakan gambar peralatan rumah tangga yang sudah sangat lama dikenal di lingkungan ibu rumah tangga di Indonesia, apalagi di Jawa. Yang jelas peralatan itu terbuat dari batu yang merupakan warisan nenek moyang. Peralatan dari batu ini sampai sekarang masih digunakan oleh masyarakat kita.

Berikut ini kita akan membahas tentang teknologi bebatuan yang telah dikembangkan sejak kehidupan manusia purba.

Memahami Teks

Perlu anda ketahui bahwa sekalipun belum mengenal tulisan manusia purba sudah mengembangkan kebudayaan dan teknologi. Teknologi waktu itu bermula dari teknologi bebatuan yang digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan. Dalam praktiknya peralatan atau teknologi bebatuan tersebut dapat berfungsi serba guna. Pada tahap paling awal alat yang digunakan masih bersifat kebetulan dan seadanya serta bersifat trial and eror. Mula-mula mereka hanya menggunakan benda-benda dari alam terutama batu. Teknologi bebatuan pada zaman ini berkembang dalam kurun waktu yang begitu panjang. Oleh karena  itu,  para ahli kemudian membagi kebudayaan zaman batu di era pra-aksara ini menjadi beberapa zaman atau tahap perkembangan. Dalam buku R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I, dijelaskan bahwa kebudayaan zaman batu ini dibagi menjadi tiga yaitu, PaleolitikumMesolitikum dan Neolitikum

1. Antara Batu dan Tulang

Peralatan pertama yang digunakan oleh manusia purba adalah alat-alat dari batu yang seadanya dan juga dari tulang. Peralatan ini berkembang pada zaman Paleolitikum atau zaman batu tua. Zaman batu tua ini bertepatan dengan zaman Neozoikum terutama pada akhir zaman Tersier dan awal zaman Quartair. Zaman ini berlangsung sekitar 600.000 tahun yang lalu. Zaman ini merupakan  zaman  yang sangat penting karena terkait dengan munculnya kehidupan baru, yakni munculnya jenis manusia purba. Zaman ini dikatakan zaman batu tua karena hasil kebudayaan terbuat dari batu yang  relatif masih sederhana dan kasar. Kebudayaan zaman Paleolitikum ini secara umum ini terbagi menjadi Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong.

a. Kebudayaan Pacitan

Kebudayaan ini berkembang di daerah Pacitan, Jawa Timur. Beberapa alat dari batu ditemukan di daerah  ini.  Seorang  ahli, von Koeningwald dalam penelitiannya pada tahun 1935 telah menemukan beberapa hasil teknologi bebatuan atau alat-alat dari batu di Sungai Baksoka dekat Punung. Alat batu itu masih kasar, dan bentuk ujungnya agak runcing, tergantung kegunaannya. Alat batu ini sering disebut dengan kapak genggam atau kapak perimbas. Kapak ini digunakan untuk menusuk binatang atau menggali tanah saat mencari umbi-umbian. Di samping kapak perimbas, di Pacitan juga ditemukan alat batu yang disebut dengan chopper sebagai alat penetak. Di Pacitan juga ditemukan alat-alat serpih.


Alat-alat itu oleh Koeningswald digolongkan sebagai alat- alat “paleolitik”, yang bercorak “Chellean”, yakni suatu tradisi yang berkembang pada tingkat awal paleolitik di Eropa. Pendapat Koeningswald ini kemudian dianggap kurang tepat setelah Movius berhasil menyatakan temuan di Punung itu sebagai salah satu corak perkembangan kapak perimbas di Asia Timur. Tradisi kapak perimbas yang ditemukan di Punung itu kemudian dikenal dengan nama “Budaya Pacitan”. Budaya itu dikenal sebagai tingkat perkembangan budaya batu awal di Indonesia.

Kapak perimbas itu tersebar di wilayah Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Flores, dan Timor. Daerah Punung merupakan daerah yang terkaya akan kapak  perimbas  dan  hingga  saat  ini  merupakan  tempat  penemuan  terpenting di Indonesia. Pendapat para ahli condong kepada jenis manusia Pithecanthropus atau keturunan-keturunannya sebagai pencipta budaya Pacitan. Pendapat ini sesuai dengan pendapat tentang umur budaya Pacitan yang diduga dari tingkat akhir Plestosin Tengah atau awal permulaan Plestosin Akhir.

b. Kebudayaan Ngandong

Kebudayaan Ngandong berkembang di daerah Ngandong dan juga Sidorejo, dekat Ngawi. Di daerah ini banyak ditemukan alat-alat dari batu dan juga alat-alat dari tulang. Alat-alat dari tulang ini berasal dari tulang binatang dan tanduk rusa yang diperkirakan digunakan sebagai penusuk atau belati. Selain itu, ditemukan juga alat-alat seperti tombak yang bergerigi. Di Sangiran juga ditemukan alat-alat dari batu, bentuknya indah seperti kalsedon. Alat- alat ini sering disebut dengan flake.


Sebaran artefak dan peralatan paleolitik cukup luas sejak dari daerah-daerah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Halmahera.
Artefak yang ditemukan di situs Ngebung

2. Antara Pantai dan Gua

Zaman batu terus berkembang memasuki zaman batu madya atau batu tengah yang dikenal zaman Mesolitikum. Hasil kebudayaan batu madya ini sudah lebih maju apabila dibandingkan hasil kebudayaan zaman Paleolitikum (batu tua). Sekalipun demikian, bentuk dan hasil-hasil kebudayaan zaman Paleolitikum tidak serta merta punah tetapi mengalami penyempurnaan. Bentuk flake dan alat-alat dari tulang terus mengalami perkembangan.  Secara garis besar kebudayaan Mesolitikum ini terbagi menjadi dua kelompok besar yang ditandai lingkungan tempat tinggal, yakni di pantai dan di gua.

a. Kebudayaan Kjokkenmoddinger

Kjokkenmoddinger istilah dari bahasa Denmark, kjokken berarti dapur dan modding dapat diartikan sampah (kjokkenmoddinger = sampah dapur). Dalam kaitannya dengan budaya manusia, kjokkenmoddinger merupakan tumpukan timbunan kulit siput dan kerang yang menggunung di sepanjang pantai Sumatra Timur antara Langsa di Aceh sampai Medan. Dengan kjokkenmoddinger ini dapat memberi informasi bahwa manusia purba zaman Mesolitikum umumnya bertempat tinggal di tepi pantai. Pada tahun 1925 Von Stein Callenfals melakukan penelitian di bukit kerang itu dan menemukan jenis kapak genggam (chopperyang berbeda dari chopper yang ada di zaman Paleolitikum. Kapak genggam yang ditemukan di bukit kerang di pantai Sumatra Timur ini diberi nama pebble atau lebih dikenal dengan Kapak Sumatra. Kapak jenis pebble ini terbuat dari batu kali yang pecah, sisi luarnya dibiarkan begitu saja dan sisi bagian dalam dikerjakan sesuai dengan keperluannya. Di samping kapak jenis pebble juga ditemukan jenis kapak pendek dan jenis batu pipisan (batu-batu alat penggiling). Di Jawa batu pipisan ini umumnya untuk menumbuk dan menghaluskan jamu.
Kjokkenmoddinger yang terdapat di Pulau Bintan, Kep. Riau



b. Kebudayaan Abris Sous Roche

Kebudayaan abris sous roche merupakan hasil kebudayaan yang ditemukan di gua-gua. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia purba pendukung kebudayaan ini tinggal di gua-gua. Kebudayaan ini pertama kali dilakukan penelitian oleh Von Stein Callenfels di Gua Lawa dekat Sampung, Ponorogo. Penelitian dilakukan tahun 1928 sampai 1931. Beberapa hasil teknologi bebatuan yang ditemukan misalnya ujung panah, flakke, batu penggilingan. Juga ditemukan alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Kebudayaan abris sous roche ini banyak ditemukan misalnya di Besuki, Bojonegoro, juga di daerah Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong.

3. Mengenang Api

Mengamati Lingkungan

Bagi manusia, api merupakan faktor penting dalam kehidupan. Sebelum ditemukan teknologi listrik, aktivitas manusia sehari-hari hampir dapat dipastikan tidak dapat terlepas dari api untuk memasak. Pelajaran dan pengetahuan apa yang kamu peroleh melalui uraian tersebut.

Memahami Teks

Sisa-sisa pembakaran


Bagi manusia purba, proses penemuan api merupakan bentuk inovasi yang sangat penting. Berdasarkan data arkeologi, penemuan api kira-kira terjadi pada 400.000 tahun yang lalu. Penemuan pada periode manusia Homo erectus. Api digunakan untuk menghangatkan diri dari cuaca dingin. Dengan api kehidupan menjadi lebih bervariasi dan berbagai kemajuan akan dicapai. Teknologi api dapat dimanfaatkan manusia  untuk  berbagai  hal. Di samping itu penemuan api juga memperkenalkan  manusia pada teknologi memasak makanan, yaitu memasak dengan cara membakar dan menggunakan bumbu dengan ramuan tertentu. Manusia juga menggunakan api sebagai senjata. Api pada saat itu digunakan manusia untuk menghalau binatang buas yang menyerangnya. Api dapat juga dijadikan sumber penerangan. Melalui pembakaran pula manusia dapat menaklukkan alam, seperti membuka  lahan  untuk garapan dengan cara membakar hutan. Kebiasaan bertani dengan menebang lalu bakar (slash and burn) adalah kebiasaan kuno yang tetap berkembang sampai sekarang.


Gambaran hunian manusia purba

Pada awalnya pembuatan api dilakukan dengan cara membenturkan dan menggosokkan benda halus yang mudah terbakar dengan benda padat lain. Sebuah batu yang keras, misalnya batu api, jika dibenturkan ke batuan keras lainnya akan menghasilkan percikan api. Percikan tersebut kemudian ditangkap dengan dedaunan kering, lumut atau material lain yang kering hingga menimbulkan api. Pembuatan api juga dapat dilakukan dengan menggosok suatu benda terhadap benda lainnya, baik secara berputar, berulang, atau bolak-balik. Sepotong kayu keras misalnya, jika digosokkan pada kayu lainnya akan menghasilkan panas karena gesekan itu kemudian menimbulkan api.

Penelitian-penelitian arkeologi di Indonesia sejauh ini belum menemukan sisa pembakaran dari periode ini. Namun bukan berarti manusia purba di kala itu belum mengenal api. Sisa api yang tertua ditemukan di Chesowanja, Tanzania, dari sekitar 1,4 juta tahun lalu, yaitu berupa tanah liat kemerahan bersama dengan sisa tulang binatang. Akan tetapi belum dapat dipastikan apakah manusia purba membuat api atau mengambilnya dari sumber api alam (kilat, aktivitas vulkanik, dll). Hal yang sama juga ditemukan di China (Yuanmao, Xihoudu, Lantian), di mana sisa api berusia sekitar 1 juta tahun lalu. Namun belum dapat dipastikan apakah  itu api alam atau buatan manusia. Teka-teki ini masih belum dapat terpecahkan, sehingga belum dipastikan apakah bekas tungku api di Tanzania dan Cina itu merupakan hasil buatan manusia atau pengambilan dari sumber api alam.

4. Sebuah Revolusi 

Perkembangan zaman batu yang dapat dikatakan paling penting dalam kehidupan manusia adalah zaman batu baru atau neolitikum. Pada zaman neolitikum yang juga dapat dikatakan sebagai zaman batu muda. Pada zaman ini telah terjadi “revolusi kebudayaan”, yaitu terjadinya perubahan pola hidup manusia. Pola hidup food gathering digantikan dengan pola food producing. Hal ini seiring dengan terjadinya perubahan jenis pendukung kebudayannya. Pada zaman ini telah hidup jenis Homo sapiens sebagai pendukung kebudayaan zaman batu baru. Mereka mulai mengenal bercocok tanam dan beternak sebagai proses untuk menghasilkan atau memproduksi bahan makanan. Hidup bermasyarakat dengan bergotong royong mulai dikembangkan. Hasil kebudayaan yang terkenal di zaman neolitikum ini secara garis besar dibagi menjadi dua tahap perkembangan.

a. Kebudayaan Kapak Persegi


Nama    kapak    persegi  berasal  dari penyebutan oleh von Heine Geldern. Penamaan ini dikaitkan dengan bentuk alat tersebut. Kapak persegi ini berbentuk persegi panjang dan ada juga yang berbentuk trapesium. Ukuran alat ini juga bermacam-macam. Kapak persegi yang besar sering disebut dengan beliung atau pacul (cangkul), bahkan sudah ada yang diberi tangkai sehingga persis seperti cangkul zaman sekarang. Sementara yang berukuran kecil dinamakan tarah atau tatah.  Penyebaran  alat-alat  ini  terutama di Kepulauan Indonesia bagian barat, seperti Sumatra, Jawa dan Bali. Diperkirakan sentra- sentra teknologi kapak persegi ini ada di Lahat (Palembang), Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya (Jawa Barat), kemudian Pacitan-Madiun, dan di Lereng Gunung Ijen (Jawa Timur). Yang menarik, di Desa Pasirkuda dekat Bogor juga ditemukan batu asahan. Kapak persegi ini cocok sebagai alat pertanian.




b. Kebudayaan Kapak 


Lonjong Nama kapak lonjong ini disesuaikan dengan bentuk penampang alat ini yang berbentuk lonjong. Bentuk keseluruhan alat ini lonjong seperti bulat telur. Pada ujung yang lancip ditempatkan tangkai dan pada bagian ujung yang lain diasah sehingga tajam. Kapak yang ukuran besar sering disebut walzenbeil dan yang kecil dinamakan kleinbeil. Penyebaran jenis kapak lonjong ini terutama di Kepulauan Indonesia bagian timur, misalnya di daerah Papua, Seram, dan Minahasa.

Pada zaman Neolitikum, di samping berkembangnya jenis kapak batu juga ditemukan barang-barang perhiasan, seperti gelang dari batu, juga alat-alat gerabah atau tembikar.

Perlu anda ketahui  bahwa  manusia  purba waktu itu sudah memiliki pengetahuan tentang kualitas bebatuan untuk peralatan. Penemuan dari berbagai situs menunjukkan bahan yang paling sering dipergunakan adalah jenis batuan kersikan (silicified stones), seperti gamping kersikan, tufa kersikan, kalsedon, dan jasper. Jenis- jenis batuan ini di samping keras, sifatnya yang retas dengan pecahan yang  cenderung  tajam dan tipis,  sehingga  memudahkan   pengerjaan. Di beberapa situs yang mengandung fosil-fosil kayu, seperti di Kali Baksoka (Jawa Timur)  dan Kali Ogan (Sumatra Selatan) tampak ada upaya pemanfaatan fosil untuk bahan peralatan. Pada saat lingkungan tidak menyediakan bahan yang baik, ada kecenderungan untuk memanfaatkan batuan yang tersedia di sekitar hunian, walaupun kualitasnya kurang baik. Contoh semacam ini dapat diamati pada situs Kedunggamping di sebelah timur Pacitan, Cibaganjing di  Cilacap, dan Kali Kering di Sumba yang pada umumnya menggunakan bahan andesit untuk peralatan. menggunakan bahan andesit untuk peralatan.

c. Perkembangan Zaman Logam

Mengakhiri zaman batu masa Neolitikum maka dimulailah zaman logam. Sebagai bentuk masa  perundagian.  Zaman  logam di Kepulauan Indonesia ini agak berbeda bila dibandingkan dengan yang ada di Eropa. Di Eropa zaman logam ini mengalami tiga fase, zaman tembaga, perunggu dan besi. Di Kepulauan Indonesia hanya mengalami zaman perunggu dan besi.  Zaman perunggumerupakan fase yang sangat penting dalam sejarah. Beberapa contoh benda- benda kebudayaan perunggu itu antara lain: kapak corong, nekara, moko, berbagai barang perhiasan. Beberapa benda hasil kebudayaan zaman logam ini juga terkait dengan praktik keagamaan misalnya nekara.

5. Konsep Ruang pada Hunian (Arsitektur)

Menurut Kostof, arsitektur telah mulai ada pada saat manusia mampu mengolah lingkungan hidupnya. Pembuatan tanda-tanda di alam yang membentang tak terhingga itu untuk membedakan dengan wilayah lainnya. Tindakan untuk membuat tanda pada suatu tempat itu dapat dikatakan sebagai bentuk awal dari arsitektur. Pada saat itu manusia sudah mulai merancang sebuat tempat.
Lukisan tangan di dalam dinding goa

Bentuk arsitektur pada masa pra-aksara dapat dilihat dari tempat hunian manusia pada saat itu. Mungkin kita sulit membayangkan atau menyimpulkan bentuk rumah dan bangunan yang berkembang pada  masa pra-aksara saat itu. Dari pola mata pencaharian manusia yang sudah mengenal berburu dan melakukan pertanian sederhana dengan ladang berpindah memungkinkan adanya pola pemukiman yang telah menetap. Gambar-gambar dinding goa tidak hanya mencerminkan kehidupan sehari-hari, tetapi juga kehidupan spiritual. Cap-cap tangan dan lukisan di goa yang banyak ditemukan di Papua, Maluku, dan Sulawesi Selatan dikaitkan dengan ritual penghormatan atau pemujaan nenek moyang, kesuburan, dan inisiasi. Gambar dinding yang tertera pada goa-goa mengambarkan pada jenis binatang yang diburu atau binatang yang digunakan untuk membantu dalam perburuan. Anjing adalah binatang yang digunakan oleh manusia pra-aksara untuk berburu binatang.
Pola Lukisan tangan yang ditemukan di Indonesia


Bentuk pola hunian dengan menggunakan penadah angin, menghasilkan pola menetap pada manusia masa itu. Pola hunian itu sampai saat ini masih digunakan oleh Suku Bangsa Punan yang tersebar di Kalimantan. Bentuk hunian itu merupakan bagian bentuk awal arsitektur di luar tempat hunian di goa. Secara sederhana penadah angin merupakan suatu konsep tata ruangan yang memberikan secara implisit memberikan batas ruang. Pada kehidupan dengan masyarakat berburu yang masih sangat tergantung pada alam, mereka lebih mengikut ritme dan bentuk geografis alam. Dengan demikian konsep ruang mereka masih kurang bersifat geometris teratur. Pola garis lengkung tak teratur seperti aliran sungai, dan pola spiral seperti route yang ditempuh mungkin adalah citra pola ruang utama mereka. Ruang demikian belum mengutamakan arah utama. Secara sederhana dapatlah kita lihat bahwa, pada masa pra- aksara konsep tata ruang, atau  yang saat ini kita kenal dengan arsitektur itu sudah mereka kenal. 

Baca juga Pedagang, Penguasa Dan Pujangga pada Masa Klasik (Hindu-Buddha)

Alhamdulillah, akhirnya postingan yang admin bagikan tentang Menelusuri Peradaban Awal di Kepulauan Indonesia, selesai pada waktu yang telah ditentukan walaupun sebenarnya menggunakan waktu yang begitu lama untuk menyelesaikan dan membagikan artikel di atas. Semoga bermanfaat.

0 Response to "Menelusuri Peradaban Awal di Kepulauan Indonesia"

Posting Komentar

-->