-->

Membangun Jati Diri Keindonesiaan

Membangun Jati Diri Keindonesiaan - "Hasrat untuk meraih kemajuan bangsa Indonesia muncul ketika banyak pemuda telah mengecap bangku sekolah, baik dalam maupun luar negeri. Selain itu, munculnya surat kabar telah memupuk kesadaran berbangsa dari seluruh lapisan masyarakat bumiputra. Kesadaran ini makin tampak dengan banyaknya organisasi kaum muda, yang mengarahkan tujuannya untuk membentuk suatu bangsa dan negara yang merdeka” Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), Indonesia Dalam Arus Sejarah VI (2012)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa kaum muda terpelajar mempunyai peranan yang cukup penting bagi kesadaran untuk mencapai kemajuan.

Begitu pula dengan reformasi 1998, gerakan itu juga dilakukan oleh kaum muda terpelajar. Peranan mereka dapat menentukan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka penggerak dalam setiap perubahan. Bagaimana dengan kamu? Coba kamu perhatikan gelaja yang nampak pada masyarakat kita di berbagai daerah dewasa ini. Munculnya perilaku anarkis di kalangan pemuda, rasa nasionalisme yang mulai rapuh, banyak di antara remaja kita yang lebih gandrung dengan budaya dan produk luar negeri ketimbang mencintai budaya dan produk negeri sendiri, juga munculnya rasa etnosentrisme hampir dapat kita jumpa di berbagai daerah. Penolakan terhadap seorang pemimpin karena tidak berasal dari suku bangsa yang sama, atau karena perbedaan keyakinan merupakan hal yang sering kali dapat kita lihat dari berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Semangat kebangsaan dan jati diri keindonesiaan di kalangan sebagian remaja juga mulai memudar. Mereka lebih gandrung dengan budaya dan produk luar negeri ketimbang budaya dan produk negeri sendiri. Tetapi di tengah-tengah merosotnya rasa nasionalisme dan jati diri bangsa ini ada seorang bocah berumur 8 tahun yang sudah mahir bermain bola yang bernama Tristan Alif Naufal. Kini ia tengah mendapat undangan untuk berlatih sepak bola di klub Ajax Amsterdam, Belanda. Ia bersama kedua orang tuanya mendapat kesempatan menjadi warga negara Belanda dan mendapat kesempatan menjadi pemain sepak bola di Tim Oranye yang memang sangat menjanjikan. “Aku mau bela Tim Nasional Indonesia. Aku tidak mau jadi warga negara Belanda, aku mau tetap jadi orang Indonesia, ujar Alif”. (Tribun Kaltim, 3 November 2013). Demikian sebuah ilustrasi yang menarik untuk sebuah semangat nasionalisme.

Negara Indonesia ini memang terbentuk melalui proses panjang atas dasar kesepakatan dan kesadaran nasionalisme para pemuda dan terpelajar saat itu. Mereka tidak hanya berasal dari satu suku bangsa, akan tetapi mereka berasal dari suku-suku bangsa yang ada di Hindia-Belanda pada waktu itu. Begitu pula dalam hal keyakinan mereka sadar bahwa mereka memang berbeda, akan tetapi mereka yakin, bahwa mereka mempunyai tujuan yang mulia, yaitu mencapai Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat.

Bagi pemuda-pemuda saat itu perbedaan pendapat adalah hal yang biasa, bukan untuk dipertentangkan dan dipermasalahkan. Catatan sejarah menunjukkan, bahwa pada awal abad ke-20 keindonesiaan digagas oleh kalangan pemuda terpelajar. Pada tahun 1922, De Indishe Vereeninging, yaitu suatu perkumpulan mahasiswa Hindia (nama sebelum menjadi Indonesia) yang berada di negeri Belanda, nama itu kemudian berubah menjadi Indonesische Vereeninging. Ketika nama Indonesia itu digunakan oleh para kaum muda terpelajar Hindia yang sedang belajar di negeri Belanda konsep Indonesia menjadi sebuah konsep politik. Maka, organisasi yang mulanya merupakan perkumpulan sosial kemahasiswaan berubah menjadi organisasi yang memperlihatkan kecenderungan politik. Jadi penggunaan nama Indonesia bukan hanya sekedar didasarkan atas kondisi geografis dan antropologis saja. Pada tahun 1923, perkumpulan itu berubah lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI). Jelaslah bahwa keinginan kuat para pelajar itu untuk menampilkan diri sebagai kekuatan nasionalisme Indonesia. Kenyataan itu menunjukkan hasrat kuat para pemuda itu untuk memperjuangkan tercapainya kemerdekaan Indonesia yang demokratis. Begitu pula dengan majalah organisasi itu juga diubah namanya dari Hindia Poetera menjadi Indonesia Merdeka (baca lebih lanjut Sartono Kartodirdjo: Sejak Indische sampai Indonesia :2005).

Sementara itu, pemuda terpelajar di Indonesia menyebarkan paham kebangsaan, mereka mengekspresikan melalui berbagai cara, antara lain melalui surat kabar, karya sastra, rapat umum, lagu-lagu, serikat buruh, maupun perlawanan terhadap kolonialisme. Pada saat itulah para pelajar dan pemuda terdidik itu mempunyai pandangan dengan cara tersendiri terhadap dunia mereka. Cara pandangan baru itulah yang membuka wawasan dan politik modern yang menjadi cikal bakal pergerakan bangsa dan tumbuhnya nasionalisme saat itu. Hal itu ditandai dengan munculnya berbagai organisasi pergerakan baik lokal maupun nasional. Berbagai organisasi itu misalnya Sarekat Prijaji, Sarekat Dagang Islam, dan National-Indische Partij, di Jawa ada organisasi pemuda Budi Utomo, Tri Koro Dharmo diubah menjadi Jong Java. Munculnya organisasi pemuda itu mendorong pemuda-pemuda dari suku bangsa lain itu juga mendirikan organisasi kepemudaan seperti Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, Jong Ambon, dan Jong Minahasa. Kapankah organisasi-organisasi pemuda itu mulai berazaskan kebangsaan dan nasionalisme itu bangkit?. Pada uraian berikut ini kita akan belajar tentang pergerakan kebangsaan Indonesia, serta dinamikanya dari pandangan lokal hingga tumbuhnya kesadaran nasional.

A. Menganalisis Tumbuhnya Ruh Kebangsaan dan Nasionalisme

surat kabar Hindia Putera


surat kabar Slompret Melayu

Koran di era itu memiliki makna yang strategis dalam perjuangan mencapai kemerdekaan. Koran dapat memuat ide-ide pembaruan, ide-ide nasionalisme sehingga bisa menggelorakan semangat kebangsaan pada setiap jiwa rakyat Indonesia. Pada uraian berikut ini kita akan mengkaji tentang tumbuhnya ruh kebangsaan Indonesia yang tidak dapat dilepaskan dari peran pers, juga adanya gerakan pembaruan dalam Islam dan sudah tentu sangat terkait dengan bagaimana kebijakan Pemerintah Belanda .

1. Politik Etis

Memasuki abad ke-20, kebijakan pemerintah kolonial Belanda mendorong untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara. Kebijakan itu diikuti dengan penaklukkan terhadap wilayah-wilayah yang belum dikuasai, jika perlu dengan pendekatan militer. Daerah-daerah kolonial yang masih terpisah disatukan dalam penerapan adminstrasi baru yang berpusat di Batavia, yang disebut Pax Neerlandica. Pemerintah kolonial pun melakukan perjanjian-perjanjian. Selanjutnya sistem administrasi tradisional berubah ke sistem administrasi modern. Suatu sistem yang mana pemerintahan mengambil alih sistem pemimpin pribumi ke sistem birokrasi kolonial. Kebijakan ini ditetapkan untuk mengambil posisi penting dari pemimpin daerah ke tangan Belanda. Sistem itu memisahkan pemimpin pribumi dari akar hubungan tradisonal dengan rakyatnya, mereka kemudian dijadikan pegawai dalam birokrasi kolonial.


Sementara itu pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ekonomi yang berbasis pada sistem kapitalisme Barat melalui komersialisasi, sistem moneter, dan komoditas barang. Sistem itu didukung dengan kebijakan pajak tanah, sistem perkebunan, perbankan, perindustrian, perdagangan, dan pelayaran. Dampak dari itu kehidupan rakyat Hindia Belanda mengalami penurunan kesejahteraan. Kebijakan itu mendapat kritik dari politikus dan intelektual di Hinda Belanda, yaitu C.Th. Van Deventer dalam tulisannya yang berjudul “Een Eereschlud’ (hutang kehormatan), yang dimuat di majalah De Gids (1899). Dalam tulisannya Van Deventer mengatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda telah mengeksploitasi wilayah jajahannya untuk membangun negeri mereka dan memperoleh keuntungan yang besar. Kritikan itu mendapat perhatian dari berbagai kalangan, beberapa kelompok yang sependapat dengan Van Deventer mengungkapkan perlunya suatu kewajiban moral bagi Belanda untuk memberikan balas budi. Keuntungan yang didapat dari hasil ekploitasi di tanah Hindia harus dikembalikan. Untuk itulah perlu dilakukan perbaikan kesejahteraan penduduk melalui berbagai bidang kehidupan, pendidikan, dan besarnya partisipasi masyarakat dalam mengurus pemerintahan. Kritik-kritik itu mendapat perhatian serius dari pemerintah Belanda. Ratu Wilhelmina kemudian mengeluarkan suatu kebijakan baru bagi masyarakat Hindia Belanda yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan baru itu adalah Politik Etis.
Sekolah untuk Anak-anak Indonesia pada Masa Kolonial Hindia Belanda

Awal abad ke-20, politik kolonial memasuki babak baru, yaitu era Politik Etis, yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916) Ada tiga program Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan trasmigrasi. Adanya Politik Etis membawa pengaruh besar terhadap perubahan arah kebijakan politik negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol baru yaitu “kemajuan”. Dunia mulai bergerak dan berbagai kehidupanpun mulai mengalami perubahan. Pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura. Di Batavia lambang kemajuan ditunjukkan dengan adanya trem listrik yang mulai beroperasi pada awal masa itu. Dalam bidang pertanian pemerintah kolonial memberikan perhatiannya pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun irigasi. Di samping itu pemerintah juga melakukan emigrasi sebagai tenaga kerja murah di perkebunan-perkebunan daerah di Sumatera.

Zaman kemajuan ditandai dengan adanya surat-surat R.A. Kartini kepada sahabatnya Ny. R.M. Abendanon di Belanda, yang merupakan inspirasi bagi kaum etis pada saat itu. Semangat era etis adalah kemajuan menuju modernitas. Perluasan pendidikan gaya Barat adalah tanda resmi dari bentuk Politik Etis itu. Pendidikan itu tidak saja menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh negara, akan tetapi juga pada sektor swasta Belanda.

Adanya pendidikan gaya Barat itu membuka peluang bagi mobilitas sosial masyarakat di tanah Hindia/Indonesia. Pengaruh pendidikan Barat itu pula yang kemudian memunculkan sekelompok kecil intelektual bumiputra yang memunculkan kesadaran, bahwa rakyat bumiputra harus mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain untuk mencapai kemajuan. Golongan intelektual bumiputra itu disebut “priyayi baru” yang sebagian besar adalah guru dan jurnalis di kota-kota. Pendidikan dan pers itu pula menjadi untuk menyalurkan ide-ide dan pemikiran yang ingin membawa kemajuan, dan pembebasan bangsa dari segala bentuk penindasan dari kolonialisme Belanda. Mereka tidak memandang Jawa, Sunda, Minangkabau, Ambon, atau apa pun karena mereka adalah bumiputra. Pengalaman yang mereka peroleh di sekolah dan dalam kehidupan setelah lulus sangatlah berbeda dengan generasi orang tua mereka. Para kaum muda terpelajar inilah yang kemudian membentuk kesadaran “nasional” sebagai bumiputra di Hindia, dan bergerak bersama “bangsa-bangsa” lain dalam garis waktu yang tidak terhingga menuju modernitas, suatu dunia yang memberi makna baru bagi kaum pelajar terdidik saat itu. Mereka tentunya tidak mengenal satu sama lain di Batavia, Bandung, Semarang, Solo, Yogyajakarta, Surabaya, dan seluruh wilayah Hindia. Mereka saling berbagi pengalaman, gagasan, dan asumsi tentang dunia, Hindia, dan zaman mereka. Pemerintah Kolonial Belanda juga membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) yang sejumlah tokoh Indonesia bergabung di dalamnya. Mereka itu penggerak wacana perubahan di lembaga tersebut.

2. Pers Membawa Kemajuan

Pada awal abad ke-20, para priyayi baru menuangkan gagasannya melalui pers (media cetak) mengenai isu-isu perubahan. Isu-isu yang dipopulerkan, yaitu terkait dengan peningkatan status sosial rakyat bumiputra dan peningkatan kehidupan di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Kata kemajuan menjadi populer pada saat itu. Kemajuan saat itu diartikan dengan pendidikan, pencerahan, peradaban, modernisasi, dan kesuksesan hidup. Pers merupakan sarana berpartisipasi dalam gerakan emansipasi, kemajuan dan pergerakan nasional. Pada dekade itu ditandai dengan jumlah penerbitan surat kabar berbahasa Melayu yang mengalami peningkatan. Orang-orang pertama yang aktif dalam dunia pers saat itu adalah orang Indo seperti H.C.O. Clockener Brousson dari Bintang Hindia, E.F Wigger dari Bintang Baru, dan G. Francis dari Pemberitaan Betawi. Pada abad itu penerbit Tionghoa mulai bermunculan. Para penerbit Tionghoa itulah yang menjadikan pertumbuhan surat kabar berkembang pesat. Dalam perkembangan kemudian kaum bumiputra juga mengambil bagian. Mereka mulanya magang pada jurnalis Indo dan Tionghoa, kemudian peran mereka meningkat sebagai redaktur surat kabar orang Indo dan Tionghoa. Bermula dari itulah para bumiputra itu mendirikan sendiri penerbitan surat kabar mereka. Penerbit bumiputra pertama di Batavia yang muncul pada pertengahan abad ke-20 adalah R.M. Tirtoadisuryo, F.D.J Pangemanan, dan R.M. Tumenggung Kusuma Utaya, sebagai redaktur Ilmoe Tani, Kabar Perniagaan, dan Pewarta Prijaji. Di Surakarta R.Dirdjoatmojo menyunting Djawi Kanda yang diterbitkan oleh Albert Rusche & Co., Di Yogjakarta Dr. Wahidin Sudirahusada sebagai redaktur jurnal berbahasa Jawa, Retnodhoemillah diterbitkan oleh Firma H. Buning.

Bermunculannya media cetak itu segera diikuti oleh sejumlah jurnalis bumiputra lainnya. Mereka adalah R. Tirtodanudja dan R. Mohammad Jusuf. Keduanya adalah redaktur Sinar Djawa, yang diterbitkan Honh Thaij & Co. Djojosudiro, redaktur Tjahaja Timoer yang diterbitkan di Malang oleh Kwee Khaij Khee. Di Bandung Abdull Muis sebagai redaktur Pewarta Hindia yang diterbitkan oleh G. Kolff & Co. Para jurnalis bumiputra itulah yang memberikan wawasan dan ”embrio kebangsaan” melalui artikel, komentar-komentar mereka dalam surat pembaca, dan mengungkapkan solidaritas diantara mereka dan para pembaca yang sebagian besar adalah kaum muda terpelajar. Misalnya Pewarta Prijaji yang disunting oleh R.M.T. Kusumo Utaya seorang Bupati Ngawi, yang menyerukan persatuan di kalangan priyayi. Mereka juga mendapatkan dukungan dari simpatisan dan pelanggan dengan 15 cabang di Jawa, Madura, dan Sumatera (lebih lanjut baca Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak : Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926).
               

Sementara itu pergerakan kebudayaan “cetak” mulai masuk di beberapa kota kolonial lain, seperti Surabaya, Padang, dan Semarang. Kapitalisme cetak mempermudah kaum terdidik untuk memperoleh informasi. Pada tahun 1901, sebuah majalah bulanan Insulinde diterbitkan atas kerjasama para terpelajar di Kota Padang dengan guru-guru Belanda di sekolah raja (Kweekschool) Bukittinggi, terutama van Ophuysen, ahli bahasa Melayu. Ketua redaksi majalah itu adalah Dja Endar Muda, seorang wartawan keturunan Tapanuli yang juga telah menerbitkan surat kabar Pertja Barat dan majalah bulanan berbahasa Batak, Tapian Nauli. Majalah Insulinde itu disebarkan ke seluruh Sumatera dan Jawa. Majalah itulah yang pertama memperkenalkan slogan “kemajuan” dan “zaman maju”. Satu diantara artikel menarik yang dimuat dalam Insulinde adalah kisah kemenangan Jepang, negara “kecil” yang menang mengalahkan Tiongkok “yang besar”. Kemenangan Jepang itu disebabkan keberhasilannya dalam memasuki “dunia maju”. Ulasan tentang perkembangan yang terjadi di “dunia maju” secara terbuka mengajak para pembaca untuk ikut serta dalam zaman “kemajuan”. Majalah itu tidak saja memuat artikel tentang bangsa Hindia Belanda, akan tetapi juga memuat tentang berita Asia dan Eropa.
Dr. Abdul Rivai

Sementara itu, tokoh muda dr. Abdul Rivai yang baru datang dari Belanda menganjurkan pada tokoh muda di Hindia untuk membentuk sebuah organisasi. Dalam tulisan-tulisannya dalam Bintang Hindia ia selalu memuat tentang “kemajuan” dan “dunia maju”. Rivai menggolongkan masyarakat menjadi tiga golongan, yaitu kaum kolot, kaum kuno, dan kaum muda. Menurut Rivai, kaum muda adalah orang yang senantiasa ingin mendapatkan harga diri melalui pengetahuan dan ilmu. Untuk mencapai kemajuan dan terwujudnya dunia maju, Rivai menganjurkan agar ada organisasi bernama Persatuan Kaum Muda didirikan dengan cabang di semua kota-kota penting di Hindia.

Seorang pensiunan “dokter Jawa” yaitu Wahidin Soedirohoesodo tertarik dengan tulisan Rivai. Saat itu ia sebagai editor majalah berbahasa Jawa, Retnodhumilah, dalam tulisan itu disarankan agar kaum lanjut usia dan kaum muda membentuk organisasi pendidikan yang bertujuan untuk memajukan masyarakat. Gagasan Wahidin akhirnya terwujud ketika para pelajar “Stovia”, Sekolah dokter Jawa, mendirikan suatu organisasi bernama Boedi Oetomo, pada 2 Mei 1908 (untuk lebih jelasnya dapat dibaca dalam Taufik Abdullah dan A.Blapian (ed), 2012).

Beberapa surat kabar yang kemudian membawa kemajuan bagi kalangan pribumi yaitu Medan Prijaji ( 1909-1917) dan juga terbitan wanita pertama yang terbit berkala yaitu Poetri Hindia (1908-1913). Seorang editornya yang dikenal yaitu R.M. Tirtoadisurya memuat tentang tulisannya, bahwa untuk memperbaiki status dagang “pedagang bangsa Islam”, perlu ada organisasi yang anggota-anggotanya terdiri atas para pedagang sehingga “orang kecil tidak bisa dikalahkan karena mereka bersatu”. Ia kemudian dikenal sebagai pendiri Sarekat Dagang Islamijah atau lebih dikenal dengan Sarekat Dagang Islam (SDI). Pada perkembangannya SDI mengubah dirinya menjadi Sarekat Islam (SI) dengan pimpinan Haji Samanhudi. Begitulah semangat nasionalisme tumbuh dan dibangun melalui tulisan di media cetak. Begitu pula di tanah Sumatera, gagasana untuk melawan sistem pemerintahan kolonial ditunjukkan melalui surat kabar Oetoesan Melajoe (1913). Juga untuk kemajuan kaum perempuan diterbitkan majalah Soenting Melajoe, yang berisi tentang panggilan perempuan untuk memasuki dunia maju tanpa meninggalkan peranannya sebagai sendi kehidupan keluarga Minangkabau. Sementara itu anak-anak muda berpendidikan Barat di Padang menerbitkan majalah perempuan Soeara Perempuan (1918), dengan semboyannya Vrijheid (kemerdekaan) bagi anak perempuan untuk ikut dalam kemajuan tanpa hambatan adat yang mengekang.

Wacana kemajuan terus merebak melalui pers. Pers bumiputra juga mempunyai fungsi untuk memobilisasi pergerakan nasional pada saat itu. Harian Sinar Djawa, memuat tentang perlunya rakyat kecil untuk terus menuntut ilmu setinggi mungkin. Koran itu memuat dua hal penting, yaitu tentang “bangsawan usul” dan “bangsawan pikiran”. Bangsawan usul adalah mereka yang mempunyai keturunan dari keluarga raja-raja dengan gelar bendara, raden mas, raden, raden ajeng, raden ngabei, raden ayu, dll. Bangsawan pikiran adalah mereka yang mempunyai gelar meester, dokter, dsb, yang diperoleh melalui pendidikan.
               
Surat kabar yang paling mendapat perhatian pemerintah kolonial saat itu adalah De Express. Surat kabar itu memuat berita-berita propaganda ide-ide radikal dan kritis terhadap sistem pemerintahan kolonial. Puncaknya saat Cipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, dan Abdul Muis mendirikan Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid (Panitia untuk Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda dari Perancis), yang kemudian disebut dengan Komite Boemipoetera (1913). Tujuan panitia itu untuk mengumpulkan dana dari rakyat untuk mendukung perayaan kemerdekaan Belanda. Di balik itu tujuan panitia adalah mengkritik tindakan pemerintah kolonial yang merayaan kemerdekaannya di tanah jajahan dengan mencari dana dukungan dari rakyat.

Kritik tajam yang ditujuan oleh Suwardi Surjaningrat dengan menulis di brosur yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was ( Seandainya Saya Menjadi Seorang Belanda). Pemerintah Kolonial menilai tulisan itu dapat menghasut rakyat untuk melawan pemerintah. Pada 30 Juli 1913, polisi Belanda menangkap Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Kemudian menyusul Adbul Moeis sebagai pembaca naskah itu dalam surat kabar De Preanger Bode. Juga Widnjadisastra sebagai editor Kaoem Moeda, karena telah mencetak dan menyebarluaskan tulisan itu. Pemerintah kolonial selanjutkan memutuskan “Tiga Serangkai” itu untuk ditangkap, yaitu Cipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, dan Douwes Dekker, untuk diasingkan ke luar Jawa. Cipto mulanya diasingkan ke Bangka, kemudian ke Belanda.

Seorang jurnalis bumiputera yang gigih memperjuangkan kebebasan pers dikenal dengan nama Semaun. Ia mengkritik beberapa kebijakan kolonial melalui Sinar Hindia. Kritikannya mengenai haatzaai artikelen, yang menurutnya sebagai sarana untuk membungkam rakyat dan melindungi kekuasaan kolonial dan kapitalis asing. Atas kritikannya itulah ia diadili dan dijebloskan ke penjara. Seorang aktivis dan juga jurnalis, Marco Kartodikromo dikenal dengan kritikannya yang tajam terhadap program Indie Weerbaar dalam bentuk syair. Kritik tajam Marco itu ditujukan pada dewan kota yang sebagian besar adalah orang Eropa.

3. Modernisme dan Reformasi Islam

Semangat kebangkitan juga didorong oleh gerakan modernis Islam. Semangat modernisme itu berlandaskan pada pencarian nilai-nilai yang mengarah pada kemajuan dan pengetahuan. Modernisme diartikan sebagai cara berpikir dengan peradaban Barat, dengan merujuk upaya mengejar ketertinggalan melalui pencarian mendasar etik kepada Islam untuk kebangkitan politik dan budaya. Reformasi biasanya diartikan sebagai pembaruan melalui pemurnian agama. Reformasi agama (Islam) diartikan sebagai gerakan untuk memperbaharui cara berpikir dan cara hidup umat menurut ajaran yang murni.

Gerakan femormasi Islam telah dirintis di Sumatera Barat pada abad ke-19 yang berlanjut ke Jawa dan berbagai daerah lainnya. Jika pada abad ke-19, gerakan itu lebih menekankan pada gerakan salafi melawan kaum adat, pada abad ke-20 lebih menekankan pada pencarian etik modernitas dari dalam melawan tradisonalisme dan kemunduran umat Islam, serta menghadapi Barat yang menjajah mereka. Pada awal abad ke-20, empat ulama muda Minangkabau kembali dari menuntut ilmu di Mekah. Mereka adalah Syekh Muhammad Taher Jamaluddin (1900), Syekh Muhammad Jamil Jambek (1903), Haji Abdul Karim Amrullah (1906), dan Haji Abdullah Akhmad (1899). Mereka adalah murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, seorang imam besar Mazhab syafi’i di Masjid Mekah yang berasal dari Minangkabau. Mereka itu kembali ke Minangkau dengan membawa pemikiran baru. Berbekal ilmu pengetahuannya itu mereka merancang perubahan di Minangkabau.

Perintis pembaruan itu adalah Syekh Taher Jamalludin yang sebagaian besar pengalamannya berasal dari Asia Barat. Majalah Al Imam adalah sarana yang mereka gunakan untuk menyebarkan gerakan pembaruan keluar dari Minangkabau. Di samping itu Al-Imam juga memuat ajaran agama dan peristiwa-peristiwa penting dunia. Tokoh yang kemudian muncul adalah H. Abdullah Akhmad yang mendapat pendidikan di Mekah, selanjutnya mendirikan sekolah dasar di Padang (1909). Ia mendirikan majalah Al-Munir yang menjebarkan agama Islam yang sesungguhnya dan terbit di Padang tahun 1910-1916.

Di Padang Panjang, Haji Abdul Karim Amrullah mulai menumbuhkan kesadaran akan perlunya perubahan metode pengajaran dan sistem pendidikan tradisonal menjadi lebih modern seperti sekolah Belanda. Sementara itu, berdiri pula Sekolah Diniyah di Padang (1915). Pendirinya adalah Zainuddin Labai. Sekolah itu memberikan pengajaran umum. Sekolah itu merupakan sekolah agama modern. Tahun1923, Rahmah, adik Zainuddin Labai mendirikan Sekolah Diniyah Puteri. Sekolah itu merupakan sekolah agama putri pertama di Indonesia. Berdirinya sekolah putri di tanah Minangkabau membuktikan bahwa sistem matrilinial yang berlaku dalam tradisi kekerabatan Minangkabau mempunyai pengaruh positif terhadap kemajuan kaum perempuan.

KESIMPULAN

  1. Sistem pemerintahan kolonial yang ingin mencapai misinya dengan Pax Neerlandica di seluruh daerah yang menghasilkan pajak. Untuk melakukan hal itu dilakukan kebijakan baru dengan bantuan pemerintah pribumi untuk memberlakukan sistem pajak baru dan sistem kerja paksa. Kebijakan itu mendapat perlawanan dari Raja/ Sultan di tanah Hindia.
  2. Kritis keras muncul dari politikus dan intelektual Belanda C.H.Van Deventer, terhadap sistem pemerintahan kolonial waktu itu. Kritik itu mendapat perhatian dari pemerintah Belanda. Kemudian dibuatlah kebijakan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang dikenal dengan politik etis. Politik etis ini meliputi bidang pendidikan, pertanian dan emigrasi.
  3. Bidang pendidikan membuka wawasan bagi kaum muda terpelajar. Mereka adalah golongan baru yang membawa ide-ide pada kesadaran kebangsaan. Sarana komunikasi dan transportasi adalah hal penting yang menghubungkan para kaum terpelajar untuk membentuk suatu ideologi kebangsaan.
  4. Bidang pendidikan pula yang mendorong perubahan sosial masyarakat saat itu, melalui pendidikan tidak saja menciptakan tenaga-tenaga profesional, akan tetapi juga mendorong gerakan kebangsaan

B. Menganalisis Perjuangan Organisasi Pergerakan Kebangsaan


Perhatikan kutipan dari buku Van Miert berikut ini:

“Pada 31 Oktober 1920 anggota dari dua perhimpunan pelajar terbesar di Hindia Belanda, Jong Java dan Jong Sumatranen Bond berkumpul di sebuah ruangan di Batavia untuk mendengarkan pidato P. Fournier, seorang pimpinan gerakan teosofi Hindia. Itu adalah pertemuan pertama Studiegroep Politiek Wetenshappen (Kelompok Studi Ilmu Politik)...” Kepala yang dingin dan hati yang gembira”. Begitulah Fournier menyimpulkan kualitas-kualitas terpenting yang harus dipunyai seorang pemimpin politik. Hati yang gembira maksudnya adalah cinta yang menggelora terhadap tanah air, hasrat yang menyala-nyala untuk bekerja demi kemajuan bangsa.” Begitulah jiwa politik yang diharapkan oleh Fournier kepada para pelajar. Bagi Fournier, dalam sosok seorang politikus diperlukan kepala yang dingin, jangan sampai terbawa oleh situasi dan kondisi yang ada oleh pergolakan politik yang ada pada jamannya. (Kamu dapat membaca lebih lanjut Hans van Miert, 2003).

1. Organisasi Awal Pergerakan

Pada awal abad ke-20, di Nusantara muncul berbagai kelompok dan organisasi yang memiliki konsep nasionalisme, seperti Sarekat Dagang Islam (kemudian menjadi Sarekat Islam), Budi Utomo (BU), Jong Java, Jong Celebes, Jong Minahasan, Jong Sumatranen Bond, dan lainnya. Munculnya organisasi-organisasi itu mendanai fase perubahan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Kalau sebelumnya berupa perlawanan fisik kedaerahan menjadi pergerakan nasional yang bersifat modern. Organisasi-organisasi itu mengusung tujuan yang sama, yakni untuk lepas dari penjajahan.

a. Budi Utomo

Boedi Oetomo (BO) atau Budi Utomo (BU) merupakan pergerakan nasional yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908, di Jakarta. Organisasi ini dirintis oleh dr. Wahidin Sudirohusodo. BU didirikan dengan tujuan untuk menggalang dana untuk membantu anak-anak bumiputra yang kekurangan dana. Namun ide itu kurang mendapat dukungan dari Kaum Tua. Ide dr. Wahidin itu kemudian diterima dan kembangkan oleh Sutomo. Seorang mahasiswa School tot Opleiding voor Inlandsche Arsten (STOVIA). Sutomo kemudian dipilih sebagai ketua organisasi itu. Sebagian besar pendiri BU adalah pelajar STOVIA, seperti Sutomo, Gunawan Mangunkusumo, Cipto Mangunkusumo, dan RT Ario Tirtokusumo. Pada tanggal 29 Agustus 1908, dr. Wahidin Sudirohusodo mendirikan BU di Yogyakarta.

Para tokoh pendiri BU berpendapat bahwa untuk mendapatkan kemajuan, maka pendidikan dan pengajaran harus menjadi perhatian utama. Organisasi itu mempunyai corak sebagai organisasi modern, yaitu mempunyai pimpinan, ideologi dan keanggotaan yang jelas. Corak baru itu kemudian diikuti oleh organisasi-organisasi lain yang membawa pada perubahan sosial-politik. Organisasi BU bersifat kooperatif terhadap pemerintah kolonial Belanda. BU bersifat tidak membedakan agama, keturunan, dan jenis kelamin. Pada mulanya organisasi ini orientasinya hanya sebatas pada kalangan priyayi, namun pancaran etnonasionalisme semakin terlihat saat dilaksanakan kongres BU yang diselenggarakan pada 3-5 Oktober 1908, di Yoyakarta. Dalam kongres itu dibahas tentang dua prinsip perjuangan, golongan muda menginginkan perjuangan politik dalam menghadapi pemerintah kolonial, sedangkan golongan tua mempertahankan cara lama yaitu perjuangan sosio-kultural.

Perdebatan itu tidak saja menyangkut tujuan BU tetapi juga pemakaian Bahasa Jawa dan Bahasa Melayu. Perdebatan juga menyangkut tentang sikap menghadapi westernisasi. Radjiman berpendapat bahwa “Bangsa Jawa tetap Jawa” dan menunjukkan identitasnya yang masih Jawasentris. Sementara Cipto Mangunkusuma berpendapat bahwa bangsa Indonesia perlu memanfaatkan pengetahuan Barat dan unsur-unsur lain sehingga dapat memperbaiki taraf kehidupannya. Cipto Mangunkusumo juga berpendapat bahwa sebelum memecahkan masalah budaya perlu diselesaikan masalah politik. Orientasi politik semakin menonjol di kalangan muda kemudian mencari organisasi yang sesuai dengan mendirikan Sarekat Islam. Dalam perkembangannya, meskipun ada kelompok muda yang radikal, tetapi kelompok tua masih meneruskan cita-cita BU yang mulai disesuaikan dengan kondisi politik pada saat itu. Pada waktu dibentuk Dewan Rakyat (Volksraad) pada tahun 1918, wakil-wakil BU duduk di dalamnya. Pemerintah dengan demikian tidak menaruh curiga karena sifat BU yang moderat. Seorang pimpinan BU yang menyaksikan rapat. Bupati mengeluh tentang mereka yang hanya ingin mempertahankan kedudukannya sebagai bupati karena warisan, sedangkan zaman mulai berubah. Agus Salim tidak lama setelah rapat Volksraad dibuka, berharap agar kaum kuno atau golongan konservatif itu bukan merupakan golongan suara yang dominan dalam dewan tersebut.

Pemerintah Hindia Belanda mengakui BU sebagai organisasi yang sah pada Desember 1909. Dukungan dari Pemerintah Hindia Belanda ini tidak lain sebagai bagian dari pelaksanaan Politik Etis. Sambutan baik pemerintah inilah yang menyebabkan BU sering dicurigai oleh kalangan bumiputera sebagai organ pemerintah. BU mulai kehilangan wibawanya pada tahun 1935, organisasi itu bergabung dengan organisasi lain menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra). Namun demikian, dengan segala kekurangannya BU telah mewakili aspirasi pertama rakyat Jawa ke arah kebangkitan dan juga aspirasi rakyat Indonesia. Keberadaan BO memberikan inspirasi untuk organisasi-organisasi modern lainnya, seperti Jong Sumatra, Jong Ambon, Sedio Tomo, Muhammadiyah, dan lain-lain.

b. Sarekat Islam

Pada mulanya SI lahir karena adanya dorongan dari R.M. Tirtoadisuryo seorang bangsawan, wartawan, dan pedagang dari Solo. Tahun 1909, ia mendirikan perkumpulan dagang yang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Perkumpulan itu bertujuan untuk memberikan bantuan pada para pedagang pribumi agar dapat bersaing dengan pedagang Cina. Saat itu perdagangan batik mulai dari bahan baku dikuasai oleh pedagang Cina, sehingga pedagang batik pribumi semakin terdesak. Kegelisahan Tirtoadisuryo itu diutarakan pada H. Samanhudi. Atas dorongan itu H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam di Solo (1911). Pada mulanya SI bertujuan untuk kesejahteraan sosial dan persamaan sosial. Mula-mula SI merupakan gerakan sosial ekonomi tanpa menghiraukan masalah kolonialisme.

Jelaslah bahwa tujuan utama SDI adalah melindungi kegiatan ekonomi pedagang Islam agar dapat terus bersaing dengan pengusaha Cina. Agama Islam digunakan sebagai faktor pengikat dan penyatu kekuatan pedagang Islam yang saat itu juga mendapat tekanan dan kurang diperhatikan dari pemerintah kolonial. Sebagai perkumpulan dagang SDI kemudian berpindah ke Surabaya yang merupakan kota dagang di Indonesia. SDI selanjutnya dipimpin oleh Haji Umar Said Cokroaminoto. Cokroaminoto dikenal sebagai seorang orator yang cakap dan bijak, kemampuannya berorator itu memikat anggota-anggotanya. Di bawah kepemimpinannya diletakkan dasar-dasar baru yang bertujuan untuk memajukan semangat dagang bangsa Indonesia. Disamping itu SDI juga memajukan rakyat dengan menjalankan hidup sesuai ajarana agama dan menghilangkan paham yang keliru tentang agama Islam. SDI kemudian berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) pada tahun 1913.

Pada kongres SI yang pertama, tanggal 26 Januari 1913, dalam pidatonya di Kebun Bintang Surabaya, ia menegaskan bahwa tujuan SI adalah menghidupkan jiwa dagang bangsa Indonesia, memperkuat ekonomi pribumi agar mampu bersaing dengan bangsa asing. Usaha di bidang ekonomi itu nampak sekali dengan didirikannya koperasi di Kota Surabaya. Di Surabaya pula berdiri PT. Setia Usaha, yang bergerak tidak saja menerbitkan surat kabar “Utusan Hindia”, juga bergerak di bidang penggilingan padi dan perbankan. Usaha itu dimaksudkan untuk membebaskan kehidupan ekonomi dari ketergantungan bangsa asing.
Rumah Cokroaminoto
Dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, SI sudah mempunyai cabang di berbagai kota. Organisasi itu tumbuh menjadi besar. Kemajuan yang dicapai oleh SI itu dianggap ancaman bagi pemerintah kolonial. Pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan untuk menghambat laju pertumbuhan SI, yaitu cabang harus berdiri sendiri dan terbatas daerahnya. Pemerintah kolonial tidak keberatan SI daerah mengadakan perwakilan yang diurus oleh pengurus sentral. Kemudian dibentuklah Central Sarikat Islam (CSI) yang mengorganisasikan 50 cabang kantor SI daerah.

Ketika pemerintah kolonial mengijinkan berdirinya partai politik, SI yang semula merupakan organisasi nonpolitik berubah menjadi partai politik. SI mengirimkan wakilnya dalam Volksraad (Dewan Rakyat) dan memegang peran penting dalam Radicale Concentratie, yaitu gabungan perkumpulan yang bersifat radikal. Pemerintah kolonial yang dianggap cenderung kearah kapitalisme mulai ditentang. SI juga aktif mengorganisasi perkumpulan buruh. Dalam suatu pembukaan rapat Volksraad masih terekam dalam ingatan bersama kaum terpelajar bumiputera tentang Janji November (November Beloofte). Dalam pidatonya itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengatakan bahwa dalam zaman baru hubungan pemerintah kolonial dan proses demokratisasi dimulai. Ia juga mengatakan, bila saatnya kelak Volksraad menjadi dewan rakyat, sebuah lembaga bagi rakyat Hindia untuk menyampaikan hasrat untuk merdeka. Namun Volksraad tidak pernah menjadi badan rakyat Hindia, Volksraad tetap menjadi alat bagi pemerintah kolonial. Karena kecilnya capaian yang diraih oleh dewan rakyat tersebut, mendorong Cokroaminoto dan Agus Salim untuk mengubah aliran politik SI dari kooperatif ke nonkooperatif dan menolak ikut serta dalam setiap dewan rakyat yang didirikan pemerintah.

Dalam kongres SI tahun 1914, yang diselenggarakan di Yogyakarta Cokroaminoto dipilih sebagai pimpinan SI. Gejala konflik internal mulai kelihatan dan kewibawaan CSI mulai berkurang. Dalam kondisi itu Cokroaminoto tetap mempertahankan keutuhan dengan mengatakan kecenderungan untuk memisahkan diri dari CSI harus dikutuk. Karena itu perpecahan harus dihindari, persatuan, harus dijaga karena Islam sebagai unsur penyatu. Dalam kongres tahunan yang diselenggrakan SI pada tahun 1916, Cokroaminoto menyampaikan dalam pidatonya perlunya pemerintahan sendiri untuk rakyat Indonesia. Pada tahun itu kongres pertama SI yang dihadiri oleh 80 anggota SI lokal dengan anggotanya sebanyak 36.000 orang. Kongres itu merupakan Kongres Nasional karena SI mempunyai cita-cita supaya penduduk Indonesia menjadi satu nation atau suku bangsa, dengan kata lain mempersatukan etnis Indonesia menjadi bangsa Indonesia.

Cokroaminoto dikenal sebagai seorang politikus dan orator yang cerdas. Seorang pemuda yang tinggal indekost di rumahnya tertarik dengan cara berpidatonya. Setiap hari pemuda itu sering mengikuti diskusi-diskusi yang diadakan di rumah Cokroaminoto. Dia juga meniru cara Cokro berpidato dengan berlatih pidato di balkon rumah Cokro. Kelak pemuda itu kita kenal sebagai seorang orator yang cerdas dan menjadi presiden pertama Indonesia, Sukarno.

Sebelum kongres tahunan berikutnya (1917) di Jakarta, muncul aliran revolusioner sosialis ditubuh SI, yang berasal dari SI Semarang yang dipimpin oleh Semaun. Kongres tetap berjalan dan memutuskan bahwa azas perjuangan SI adalah pemerintahan berdiri sendiri dan perjuangan melawan penjajahan dari kolonialisme. Sejak itu Cokroamitono dan Abdul Muis mewakili SI dalam Dewan Rakyat. SI semakin mendapat simpati dari rakyat. Keanggotaannya pun semakin meningkat. Sementara itu pengaruh Semaun semakin menjalar ke tubuh SI. Sejak itulah pengaruh sosial-komunis masuk ke dalam tubuh SI pusat maupun cabang-cabangnya. Sebagai organisasi besar SI telah disusupi oleh orang-orang yang menjadi anggota Indische Sociaal Democratische Vereninging (ISDV), seperti Semaun dan Darsono.

Pada kongres SI kelima tahun 1921, Semaun melancarkan kritik terhadap kebijakan SI Pusat sehingga timbul perpecahan. Di satu pihak aliran yang diinginkan SI adalah ekonomi dogmatis yang diwakili oleh Semaun, yang kemudian dikenal dengan SI Merah beraliran komunis. Di sisi lain, SI menginginkan aliran nasional keagamaan yang diwakili oleh Cokroaminoto, yang kemudian dikenal dengan SI Putih. Rupanya gejala perjuangan dua aliran itu tidak dapat dipersatukan. Agus Salim dan Abdul Muis mendesak agar ditetapkan disiplin partai yang melarang keanggotaan rangkap. Usulan itu sangat mengkhawatirkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Oleh karena itu, Tan Malaka meminta displin partai diadakan perkecualian bagi PKI. Namun demikian, disiplin partai dapat diterima oleh kongres dengan suara mayoritas. Konsekuensi dari itu Semaun dikeluarkan dari SI, karena tidak boleh rangkap anggota. Dengan demikian, langkah pertama dari pengaruh PKI ke dalam tubuh SI telah dapat diatasi.

Sementara itu dalam kongres di Madiun 1923, Central Sarekat Islam (CSI) diganti menjadi Partai Sarekat Islam (PSI), dan memberlakukan disiplin partai. Di lain pihak, SI yang mendapat pengaruh PKI menyatakan diri bernaung dalam Sarekat Rakyat yang merupakan bentukan PKI. Azas perjuangan PSI adalah nonkooperasi artinya oraganisasi itu tidak mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial. Namun organisasi itu mengijinkan anggotanya duduk di dalam Dewan Rakyat atas nama pribadi. Kongres PSI tahun 1927 menegaskan azas perjuangan organisasi itu adalah mencapai kemerdekaan nasional berdasarkan agama Islam. Karena PSI menggabungkan diri dalam Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), nama PSI ditambah dengan Indonesia untuk menunjukkan perjuangan kebangsaan. Selanjutnya organisasi itu bernama Partai Sarikat Islam Indonesia (1927). Maka muncullah pengaruh positif bagi perkembangan nasionalisme PSI. Perubahan nama itu berkaitan dengan kehadiran Sukiman yang baru datang dari Belanda. Dalam konggres Pemuda tahun 1928, PSII aktif mengambil bagian dalam PPPKI.

Banyaknya anggota muda dalam PSII membawa perbedaan paham antara golongan muda dengan golongan tua. Pada 1932, timbulah perpecahan dalam tubuh organisasi itu. Muncullah Partai Islam Indonesia (PARII) dibawah Dr. Sukiman yang berpusat di Yogyakarta. Agus Salim dan A.M. Sangaji mendirikan Barisan Penyedar yang berusaha menyadarkan diri sesuai dengan tuntutan zaman. Persatuan dalam PSII tak dapat dipertahankan lagi, Sukiman kemudian memisahkan diri yang diikuti oleh Wiwoho, Kasman Singodimedjo dll. Pada tahun 1940, Sekar Maji Kartosiwiryo mendirikan PSII tandingan terhadap PSII yang dipimpin Abikusno Cokrosuyoso. Akibat perpecahan itu PSII mengalami kemunduran. Peranannya sebagai Partai Islam kemudian dilanjutkan oleh Partai Islam Indonesia yang merupakan lanjutan dari PARII di bawah pimpinan Dr. Sukiman.

c. Indische Partij (IP)

Indische Partij merupakan organisasi politik yang anggota-anggotanya berasal dari keturunan campuran Belanda-pribumi (Indo-Belanda) dan orang asli pribumi. Munculnya organisasi ini karena adanya sejumlah golongan orang Indo-Belanda yang dianggap lebih rendah kedudukannya dari pada orang Belanda asli (totok). Secara hukum mereka itu masuk dalam bangsa kelas I, karena kedudukan ayahnya yang orang Belanda. Namun demikian secara sosial karena ibunya orang pribumi mereka anggap lebih rendah oleh golongan Belanda totok. Sejumlah orang dari golongan Indo Belanda itu kemudian mendirikan perkumpulan Indische Bond (1898). E.F.E Douwes Dekker yang kemudian berganti nama Dr. Danudirjo Setiabudhi berkeinginan untuk melanjutkan Indische Bond sebagai organisasi politik yang kuat. Keinginan Douwes Dekker itu semakin menguat saat ia bertemu dengan dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat atau dikenal dengan Ki Hajar Dewantoro. Mereka kemudian dikenal dengan “Tiga Serangkai”.

Douwes Dekker adalah cucu Eduard Douwes Dekker atau Multatuli, seorang penulis Max Havelaar yang membela petani Banten dalam masa Tanam Paksa. Ia seorang campuran ayah Belanda dan ibunya Indo. Pengalaman hidupnya itulah yang menjiwai gerak politiknya. Kedekatannya dengan buruh perkebunan kopi, saat ia menjadi pengawas perkebunan di Jawa, yang menjadi alasan pemerintah Kolonial Belanda untuk memecatnya. Kondisi itulah yang mendorong dia untuk mendirikan organisasi yang bertujuan untuk mendapatkan kemerdekaan bagi Indie (istilah Indonesia pada waktu itu). Bersama-sama dengan Suwardi Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo maka dibentuklah Indische Partij (IP) pada tahun 1912. Keinginan IP untuk mewujudkan cita-citanya itu mendapat respon positif dari masyarakat saat itu. Keanggotaan IP berkembang dengan pesat. Sebagai seorang koresponden surat kabar de Locomotief di Semarang, kemudian harian Soerabajasch Handelsblad, Bataviaasch Nieuwsblad, dan akhirnya di majalah Het Tijdschrift dan surat kabar De Expres, Douwes Dekker dengan mudah dapat mengutarakan gagasannya. Ia berpendapat hanya melalui kesatuan aksi melawan kolonial dapat mengubah sistem yang berlaku. Ia juga berpendapat bahwa setiap gerakan politik haruslah mempunyai tujuan akhir, yaitu kemerdekaan. Pendapat itulah yang kemudian ditulis dalam Het Tijdschrift dan De Expres. Kedekatan Douwes Dekker dengan pelajar STOVIA di Jakarta membuka peluang bagi pemuda terpelajar saat itu untuk menuangkan gagasan-gagasan mereka dalam surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad, saat ia menjadi redaktur surat kabar itu. Pengaruh BU juga mendasari jiwa Douwes Dekker saat ia melakukan propaganda ke seluruh Jawa dari tanggal 15 September hingga 3 Oktober 1912. Dalam perjalanannya itu ia menyelenggarakan rapat-rapat dengan elit lokal di Yogjakarta, Surakarta, Madiun, Surabaya, Tegal, Semarang, Pekalongan, dan Cirebon. Dalam pertemuannya dengan para tokoh elit BU itu Douwes Dekker mengajak membangkitkan semangat golongan bumiputera untuk menentang penjajah. Kunjungannnya itu menghasilkan tanggapan positif di kota-kota yang dikunjunginya. Dari itulah IP kemudian mendirikan 30 cabang dengan jumlah anggota 730 orang. Kemudian terus bertambah hingga mencapai 6000 orang yang terdiri dari orang Indo dan bumiputera. Dalam Anggaran Dasar IP disebutkan, untuk membangun patriotisme Bangsa Hindia kepada tanah airnya yang telah memberikan lapangan hidup, dan menganjurkan kerjasama untuk persamaan ketatanegaraan guna memajukan tanah air Hindia dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka.
Tiga Serangkai IP Sebelum Menjalani Masa Pembuangan ke Belanda

Bagi pemerintah kolonial keberhasilan IP mendapat simpatisan dari masyarakat merupakan suatu yang berbahaya. Organisasi itu kemudian dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan berbahaya (pertengahan 1913). Pemimpinnya kemudian ditangkap dan dibuang. Douwes Dekker diasingkan ke Timor, Kupang. Cipto Mangunkusumo dibuang ke Bkamu. Suwardi Suryaningrat dibuang ke Bangka. Tiga Serangkai itu kemudian dibuang ke Negeri Belanda. Pembuangan Tiga Serangkai itu membawa dampak luas, tidak saja di Hindia Belanda, akan tetapi juga di Negara Belanda. Di Hindia Belanda, keberadaan mereka semakin mendorong bumiputera untuk memperjuangkan hak-haknya. Sementara di Negeri Belanda menjadi perdebatan politik di kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Belanda tentang pergerakan rakyat Indonesia.

Karena alasan kesehatan, pada 1914 Cipto Mangunkusumo dipulangkan ke Indonesia. Douwes Dekker dipulangkan pada 1917 dan Ki Hajar Dewantoro dipulangkan pada 1918. Setelah IP dibubarkan dan pimpinannya menjalankan pembuangan organisasi itu kemudian bernama Insulinde. Namun organisasi itu kurang mendapat sambutan dari masyarakat. Kemudian tahun 1919 berganti nama menjadi Nationaal Indische Partij (NIP). Ki Hajar Dewantoro kemudian mendirikan Perguruan Taman Siswa (1922), sebagai badan perjuangan kebudayaan dan perjuangan politik.

2. Organisasi Keagamaan

Pada abad ke-19, muncul gerakan pembaruan di negara-negara Islam, di Asia Barat. Pemikiran itu merupakan reaksi atas tantangan Barat. Gerakan itu berpusat di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir dengan pimpinan Jamaluddin Al Afghani. Pengaruh gerakan itu sampai di Indonesia dengan tokoh-tokohnya Muhammad Iqbal dan Amir Ali. Reformasi Islam dapatlah dikatakan sebagai gerakan emansipasi keagamaan, yaitu dengan perbaikan kaum muslim melalui pendidikan yang sedapat mungkin sejajar dengan pendidikan barat. Di Jakarta, tahun 1905, berdiri perkumpulan Jamiyatul khair yang mendirikan sekolah dasar untuk masyarakat Arab. Sekolah modern itu disamping mengajarkan agama juga mengajarkan pelajaran berhitung, sejarah, geografi, dll.

a. Muhammadiyah

Keberadaan organisasi BU telah memberikan inspirasi kepada KH Ahmad Dahlan untuk mendirikan sebuah orgaisasi yang bersifat modern bernama Muhammadiyah. Organisasi yang didirikan Ahmad Dahlan pada 18 November 1912, bercirikan organisasi sosial, pendidikan, dan keagamaan. Salah satu tujuan pendirian Muhammadiyah adalah memurnikan ajaran Islam. Islam seharusnya bersumber pada Al-Quran dan Al-Hadis. Tindakannya adalah amar makruf nahimunkar, atau mengajak hal yang baik dan mencegah hal yang jelek.
Lambang Muhammadiyah

Pembaruan model Wahabiyah di Arab pun dimulai, antara lain dengan manajemen organisasi modern, pendirian lembaga pendidikan dan dakwah melalui media atau surat kabar.

Sistem pendidikan dibangunnya dengan cara sendiri, menggabungkan cara tradisional dengan cara modern. Model sekolah Barat ditambah pelajaran agama yang dilakukan di dalam kelas. Dalam bidang kemasyarakatan organisasi ini mendirikan rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu yang dikelola oleh lembaga-lembaga. Usaha di bidang sosial itu ditandai dengan berdirinya Pertolongan Kesengsaraan Umum (PKU) pada tahun 1923. Itulah bentuk kepedulian sosial dan tolong menolong sesama muslim.

Selanjutnya organisasi wanita juga dibentuk dengan nama ‘Aisyiah di Yogyakarta, sebagai bagian dari organisasi wanita Muhammadiah. Nama ‘Aisyiyah terinspirasi dari nama ‘Aisyah, istri nabi Muhammad yang dikenal taat beragama, cerdas, dan rajin bekerja untuk mendukung ekonomi rumah tangga. Diharapkan profil ‘Aisyah juga menjadi profil warga ‘Aisyiyah.

‘Aisyiyah yang masih eksis sampai kini didirikan sebagai pembaru peran kaum perempuan, terutama di bidang keagamaan. Ketika ‘Aisyiyah berdiri, perempuan tidak mendapatkan akses pendidikan dan kemasyarakatan karena dianggap tidak perlu mengenyam pendidikan, apalagi mempunyai peran kemasyarakatan. ‘Aisyiyah berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama mempunyai kewajiban untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, termasuk melalui bidang pendidikan.

b. Nahdlatul Ulama (NU)

Logo NU

Pembaruan Islam yang dilakukan di kota-kota mendorong kaum tua yang ingin mempertahankan tradisi mereka untuk mendirikan organisasi. Reaksi positif dari golongan tradisionalisme adalah lahirnya organisasi di kalangan mereka. Saat itu kebetulan bertepatan dengan akan dilakukannya Kongres Islam sedunia (1926), di Hijaz. Para ulama terkemuka saat itu kemudian membentuk lembaga yang bernama Jam’iyatul Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926, di Surabaya. Sebagai pendiri organisasi ini adalah Kyai Haji Hasyim Ashari dan sejumlah ulama lainnya. Organisasi itu berpegang teguh pada Ahlusunnah wal jam’ah. Tujuan organisasi ini terkait dengan masalah sosial, ekonomi, dan pendidikan.

Pada dasarnya NU tidak berurusan dengan permasalahan politik. Dalam kongres yang diadakan di Surabaya, 28 Oktober 1928, diambil keputusan untuk menentang kaum reformis dan perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Paham Wahabi. Pada gilirannya pertentangan antara kaum reformis dan tradisionalis itu tidak saja dapat dikurang, mereka bahkan melakukan kerjasama dalam melakukan perubahan. NU termasuk organisasi yang giat mengubah tradisi berkhutbahnya dari berbahasa Arab menjadi bahasa daerah yang dapat dimengerti oleh jamaahnya. Perubahan itu kemudian dapat memberikan dampak yang positif bagi pengikutnya. Perubahan cara berpikir pun mulai terlihat yang kemudian diikuti dengan perbaikan organisasi secara lebih modern, lembaga-lembaga sosial mulai didirikan, seperti rumah sakit, rumah yatim piatu, serta sekolah-sekolah. Yang tidak kalah penting dalam konteks Indonesia adalah bangkitnya nasioalisme modern, yaitu nasionalisme non kesukuan yang merupakan modal penting dalam terbentuknya negara-bangsa di kemudian hari

Pada tahun 1935, NU berkembang dengan pesat, NU sudah mempunyai 68 cabang dengan jumlah anggota 6.700. Pada tahun 1938, dalam kongresnya di Menes, Pandeglang, Banten, NU berusaha untuk dapat memperluas pengaruhnya ke seluruh Jawa. Kongres selanjut di Surabaya, tahun 1940, diputuskan untuk mendirikan Wanita Nahdlatul Ulama Muslimat dan pemudanya dibentuklah Organisasi Ansor.

c. Organisasi Islam lainnya

Gerakan Islam modern juga dilakukan oleh keturunan Arab di Indonesia. Pada tahun 1914 didirikan perkumpulan Al-Irsyad oleh Syekh Ahmad Surkati. Ia berkeinginan agar pendidikan agama Islam dilakukan sejak dini dan diajarkan terus menerus. Juga dikembangkannya ukhuwwah Islamijah di antara pemeluk agama Islam. Banyaknya keturunan Arab yang berdomisili di Indonesia, mendorong A.R. Baswedan untuk mendirikan Partai Arab Indonesia pada tahun 1934. Mereka berpendapat bahwa Indonesia sebagai tanah airnya, karena mereka dilahirkan dari seorang perempuan Indonesia.

Di Sumatra Barat, berdiri Sumatra Thawalib. Organisasi itu didirikan oleh kalangan pemuda Sumatra Barat, tahun 1918. Para pemuda itu mendapat pendidikan Islam di Mekah. Mereka belajar pada Syekh Akhmad Khatib, ketika kembali ke Sumatera Barat, mereka membawa pemikiran Islam modern yang digerakan oleh Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh. Organisasi itu bertujuan untuk mengusahakan dan memajukan ilmu pengetahuan dan pekerjaan yang berguna bagi kemajuan dan kesejahteraan menurut ajaran Islam. Kemudian organisasi itu berubah menjadi Persatuan Muslim Indonesia yang memperluas tujuan, yaitu Indonesia Merdeka dan Islam Jaya.

Organisasi itu khususnya bergerak dalam bidang pendidikan dan politik. Secara cepat pengaruh organisasi itu meluas di Sumatera Barat. Sebagai organisasi politik yang radikal, Thawalib kemudian dilarang untuk beraktivitas oleh pemerintah pada tahun 1936.

Persatuan Tarbiyah Islamiyah, organisasi ini didirikan oleh ulama-ulama di Sumatera Barat yang tidak setuju dengan Thawalib, antara lain Syekh Sulaiman ar Rasuly. Kegiatan organisasi itu terutama bergerak di bidang pendidikan, yaitu dengan mendirikan madrasah. Mereka juga membuat majalah sebagai sarana menyalurkan gagasan dan ide-ide kemajuan, antara lain Suara Tarbiyatul Islamiyah (SUARTI), Al Mizan, dan Perti Bulanan. Setelah kemerdekaan organisasi itu bernama Partai Tarbiyatul Islamiyah (PERTI). Organisasi yang sejalan dengan PERTI adalah Persatuan Muslim Tapanuli (PMT). Organisasi PMT ini didirikan oleh Syekh Musthafa Purba, baru pada tahun 1930 juga karena tidak sepaham dengan Thawalib.

Selanjutnya di Bandung berdiri Persatuan Islam (PERSIS). Organisasi itu muncul sebagai reaksi dari pembatasan gerak Jamiyatul Khair, pada tahun 1923 oleh Kiai Hasan. Organisasi itu bertujuan untuk meningkatkan kesadaran beragama dan semangat ijtihat dengan melakukan dakwah dan pembentukan kader melalui madrasah dan sekolah.

Di Kalimantan Selatan juga berdiri organisasi yang merupakan kelanjutan dari SI. Usaha SI di bidang pendidikan dilanjutkan dengan mendirikan madrasah Daru Salam. Madrasah ini dilengkapi dengan asrama dan sawah sebagai tempat untuk belajar hidup mandiri para santri.

Kegagalan SI juga mendorong masyarakat Aceh untuk melanjutkan perjuangan SI, maka didirikanlah Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Organisasi itu dibentuk oleh Tengku M.Daud Beureureh pada 5 Mei 1939. Tujuan organisasi itu meningkatan pendidikan agar terlaksana syari’at Islam dalam masyarakat. Kemudian Nahdatul Wathan yang juga merupakan organisasi kelanjutan SI di Nusa Tenggara barat. Organisasi itu juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran beragama. Perhatian utama organisasi itu adalah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan.

d. Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI)

MIAI merupakan gabungan dari organisasi politik dan beberapa organisasi massa yang bersifat moderat terhadap Belanda. Golongan Muslim yang tergabung dalam organisasi memilih sikap nonkooperasi terhadap pemerintahan kolonial. Saat Jepang berkuasa, organisasi ini mendapat kelonggaran menjalankan aktivitasnya, sementara aktivitas organisasi yang lain dilarang. Karena MIAI dipandang sebagai organisasi yang anti barat.

Suatu ketika seluruh pemuka agama diundang oleh Gunsikan, Mayor Jenderal Okazaki ke Jakarta. Mereka diajak untuk bertukar pendapat. Pertemuan itu menghasilkan MIAI harus menambah azas dan tujuannya. Kegiatan MIAI menyelenggarakan badan amal dan peringatan hari keagamaan.

memuaskan pemerintah Jepang. Pada Oktober 1943 MIAI dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Masyumi dipimpin oleh K.H. Hasyim Asyari, K.H Mas Mansyur, K.H Farid Ma’aruf, K.H Hasyim, Kartosudarmo, K.H Nachrowi, dan Zainal Arifin.

3. Organisasi pemuda

Di samping organisasi keagamaan juga berkembang organisasi dan partai politik. Organisasi itu masih bersifat kedaerahan dan menentang kolonialisme. Organisasi itu mempunyai tujuan untuk kebangsaan dan cinta tanah air. Pada kalangan pemuda berkembang berbagai gerakan untuk membebaskan tanah air dari penjajahan. Tri Koro Dharmo, didirikan di Jakarta pada 7 Maret 1915. Organisasi itu didirikan di Gedung Kebangkitan Nasional dengan ketua dr. Satiman Wiryosanjoyo. Perkumpulan itu beranggotakan pemuda-pemuda Jawa. Dalam kongresnya di Solo organisasi itu berubah nama Jong Java. Kemudian pada 1920-an Jong Java mulai melakukan perubahan pandangan dari kedaerahan ke nasional. Setelah Sumpah Pemuda ia berfusi dalam Indonesia Moeda.

Pemuda Sumatera juga mendirikan persatuan pemuda Sumatera yang dikenal dengan Jong Sumatera Bond. Organisasi itu dirikan pada 1917, di Jakarta. Persatuan itu bertujuan untuk memperkukuh hubungan antarpelajar yang berasal dari Sumatera. juga menumbuhkan kesadaran di antara anggotanya, dan membangkitkan kesenian Sumatera. Tokohnya adalah Moh. Hatta dan Moh. Yamin.

Perkumpulan yang lainnya dibentuk berdasarkan daerah yang ada, antara lain Jong Minahasa, Jong Celebes, dan Jong Ambon. Perkumpulan ini kemudian berfusi dalam Indonesia Muda. Di samping itu juga muncul Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), pada 1925, oleh mahasiswa Jakarta dan Bandung. Tujuan PPPI adalah kemerdekaan tanah air Indonesia Raya. Organisasi bersifat anti-imperialisme. Di Bandung pada tahun 1927, berdiri Jong Indonesia. Berbeda dengan organisasi-organisasi pemuda sebelumnya, organisasi ini sudah bersifat nasional. Organisasi itu kemudian berganti nama Pemuda Indonesia dan organisasi wanitanya bernama Putri Indonesia.

Pada tahun 1926, diadakanlah Kongres Pemuda Indonesia I di Jakarta yang dihadiri oleh organisasi-organisasi pemuda yang masih bersifat kedaerahan itu. Meskipun dalam Kongres I itu belum menghasilkan keputusan penting, namun setidaknya benih-benih kebangsaan dan nasionalisme sudah ditanamkan pada saat itu.

4. Organisasi Wanita

Organisasi wanita yang berkembang sebelum tahun 1920, lebih menekankan pada perbaikan status sosial di dalam keluarga. Organisasi itu juga menekankan pada pentingnya pendidikan dan masih bersifat kedaerahan. Pada tahun 1912, berdiri organisasi Putri Mardika di Jakarta.

Organisasi itu bertujuan untuk membantu bimbingan dan penerangan pada gadis bumiputera dalam menuntut pelajaran dan mengemukakan pendapat dimuka umum, serta memperbaiki hidup wanita sebagai manusia yang mulia. Berbagai aktivitas dilakukan oleh organisasi itu, terutama memberikan beasiswa untuk menunjang pendidikan dan menerbitkan majalah wanita Putri Mardika. Beberapa tokoh yang pernah duduk dalam kepengurusan Putri Mardika, yaitu Sabaruddin, R.A Sutinah, Joyo Pranoto, Rr. Rukmini, dan Sadikun Tondokusumo.

Kartini Fonds, didirikan atas usaha Ny. C. Th. Van Deventer, seorang penasehat Politik Etis. Perkumpulan itu didirikan pada 1912 dengan tujuan untuk mendirikan sekolah Kartini. Pada tahun 1913- 1915 berdiri berbagai organisasi wanita, terutama di Jawa dan Minangkabau. Fokus perhatian mereka adalah mendobrak semua tradisi yang mengungkung wanita dan keinginan memajukan mereka. Corak pergerakan wanita pada mulanya untuk berbaikan kedudukan dalam kehidupan berumah tangga dengan memperbaiki pendidikan dan mempertinggi kecakapan wanita. Sebagai contoh pada tahun 1913 berdiri Kautamaan Istri di Tasikmalaya yang bertujuan mendirikan sekolah anak-anak remaja putri, sekolah perempuan di Cianjur (1916), Ciamis (1916), Sumedang (1916), dan Cicurug (1918). Selanjutnya juga berdiri sekolah-sekolah Kartini di Jakarta (1913), Madiun (1914), Malang dan Cirebon (1916), Pekalongan (1917), dan kota-kota lain. Sementara itu, di Sumatera Barat didirikan Kerajinan Amai Setia (KAS), yang diketua Rohana Kudus. Organisasi itu bertujuan untuk meningkatkan derajat wanita dengan belajar membaca dan menulis, baik huruf Arab maupun Latin. Juga belajar membuat kerajinan tangan, mengatur rumah tangga, dan pada 1914 Kerajinan Amai Setia itu berhasil mendirikan sekolah perempuan pertama di Sumatera Barat.

Munculnya organisasi-organisasi wanita di berbagai daerah tersebut mendorong pergerakan wanita untuk lebih berperan untuk meningkatkan kesejahteraan kaum perempuan. Organisasi itu pun tumbuh semakin banyak. Di Jawa misalnya terbentuk Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), Wanita Susilo di Pemalang (1918), Wanito Rukun Santoso di Malang, Putri Budi Sejati di Surabaya (1919). Organisasi-organisasi lainnya pun merasa perlu untuk membentuk organisasi wanita sebagai bagiannya, seperti SI yang kemudian mendirikan Sarekat Siti Fatimah di Garut (1918). Organisasi dan partai kemudian memberikan perhatian yang besar pada organisasi wanita. Mereka berpandangan, bahwa melalui organisasi wanita itulah peran
Organisasi Putri Indonesia Bandung 1930

pertama sebagai pendidikan anak-anak dapat dilakukan. Dengan demikian cita-cita perjuangan dan kemerdekaan disampaikan sejak dini pada anak-anak.

Seiring meningkatnya pendidikan pada kaum perempuan, semakin meningkat pula perkumpulan-perkumpulan wanita. Mereka tidak saja bergerak dalam bidang pendidikan, tetapi juga di bidang sosial. Perkumpulan kaum wanita ini juga lahir sebagai organisasi wanita dari organisasi-organisasi pergerakan yang sudah ada. Organisasi yang dimaksud misalnya ‘Aisyiah. Sejak itu, saat K.H. Ahmad Dahlan mendirikan dan mengembangkan organisasi Muhammadiyah, juga mendorong dan memberikan bantuan pada kaum wanita Muhammadiyah untuk mendalami dan mengamalkan ajaran agama Islam. Pada tahun 1914, wanita Muhammadiyah bergabung dalam organisasi Sopo Tresno, yang kemudian berganti nama menjadi Aisyiah, dengan Nyai Dahlan sebagai ketuanya. Organisasi itu berkembang dengan jumlah anggota mencapai 5000 orang dan mempunyai 47 cabang dengan 50 kring. Aisyiah mempunyai sekolah perempuan sebanyak 32 sekolahan dengan 75 guru. Selanjutnya muncul berbagai organisasi wanita di berbagai tempat. Tahun 1920 di Gorontalo berdiri organisasi Gorontalosche Muhammedaansche Vrouwen Vereninging. Pada tahun itu juga Sarekat Kaum Ibu Sumatera di Bukittinggi mendirikan Nahdatul Fa’at di Sumatera Barat. Wanita Utama (1921) dan Wanita Khatolik (1924) didirikan di Yogyakarta. Sarekat Ambon mendirikan INA TUNI (1927) di Ambon, Wanita Taman Siswa (1922), Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling (1925), dan Putri Indonesia (1927). Di Manado berdiri organisasi Puteri Setia (1928), Wanita Perti bagian dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah, dan Mameskransje Help Elkander (Sahati) di Jakarta.

5. Partai Komunis Indonesia

Dalam kongres nasional SI yang pertama penggabungan prinsip Islam dan sosialisme dibicarakan. Sosialisme dipandang sebagai simbol modern yang berlawanan dengan imperialisme. Suatu paham yang dipandang dapat membawa keadilan sosial, kemakmuran, dan kemerdekaan bangsa terjajah. Sementara itu di Belanda, Sneevliet, Brandstrder, dan Dekker mendirikan ISDV. Mereka berusaha mencari kontak dengan IP dan SI untuk mendekati rakyat tetapi tidak berhasil.

Untuk mendapatkan pengaruh yang luas di kalangan masyarakat Indonesia, Sneevliet berusaha memasukkan ajaran-ajaran komunis kepada masyarakat. Pilihan Sneevliet agar dapat menguasai masyarakat yaitu melalui organisasi yang mempunyai wibawa dan pengaruh yang luas, maka dipilihlah SI. Pada waktu itu SI merupakan organisasi dengan pengaruh yang cukup kuat di kalangan penduduk bumiputera. Anggotanya adalah kalangan pemuda dan berpikiran radikal. Pengikut ISDV kemudian membentuk fraksi dalam tubuh SI.

Cepatnya pengaruh komunis di Indonesia mencerminkan buruknya perekonomian dan hubungan antara gerakan politik dan pemerintah Belanda. Radikalisme kaum komunis menyebabkan pemerintah Belanda mengusir kaum komunis Belanda untuk pergi dari Indonesia. Dengan kepergian kaum komunis itu maka terjadilah pergantian pimpinan. Tahun 1920 organisasi itu kemudian berganti nama Partai Komunis Hindia dan tahun 1924 berganti menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Komunisme mudah menarik bagi kaum terjajah, karena mereka beranggapan segara terbebas dari penjajah. Itulah sebabnya komunisme dapat dengan cepat menyebarkan pengaruhnya ke masyarakat Indonesia. Pada saat bersamaan pemerintah Belanda mengadakan penangkapan terhadap orang PKI yang mengadakan aksi politik. Semaun dan Darsono melarikan diri ke Rusia. Kedudukan pimpinan PKI digantikan oleh Tan Malaka. Karena keterlibatan SI dan PKI dalam pemogokan besar-besaran pada tahun 1922, maka Tan Malaka dan Abdul Muis ditangkap dan diasingkan. PKI selanjutnya bergabung dengan Comintern (Communist International).

SI kemudian terpecah menjadi SI Putih dan SI Merah. SI Putih dibawah H. Agus Salim memutuskan hubungan dengan PKI. Meskipun prinsip persatuan dipegang teguh dalam menghadapi pemerintah, tetapi karena kondisi sosio politik menguntungkan PKI bila terus diadakan kerjasama, maka Cokroaminoto pada tahun 1923 melaksanakan “disiplin partai”. Penerapan disiplin itu melarang anggota SI merangkap sebagai anggota PKI.

PKI mendapat dukungan dari kalangan buruh. Sebagai akibat dari depresi ekonomi pada 1923, kaum buruh yang bergabung dalam Vereeninging voor Spoor en Tramwegpersoneel (VSTP) mendesak melakukan pemogokan untuk menuntut kenaikan upah. Pemogokan itu diikuti oleh buruh percetakan dan juru mudi di Semarang. Pemogokan di Semarang meluas hingga ke Surabaya. Akibat pemogokan tersebut pimpinan PKI Semaun dan Darsono diusir dari Indonesia. Pada tahun 1926-1927 pemimpin PKI melakukan pemberontakan, pimpinannya kemudian dibuang ke Boven Digul. Tindakan itu merupakan penyimpangan dari pola-pola kaum terpelajar, dengan semangat Kebangkitan Nasional.

6. Perhimpunan Indonesia: Manifesto Politik

Pada awal abad ke-20, para pelajar Hindia yang berada di Belanda mendirikan organisasi yang bernama Indische Vereniging (1908), yaitu perkumpulan Hindia, yang beranggotakan orang-orang Hindia, Cina dan Belanda. Organisasi itu didirikan oleh R.M Notosuroto, R. Panji Sostrokartono, dan R. Husein Jajadiningrat. Semula organisasi itu bergerak di bidang sosial dan kebudayaan sebagai ajang bertukar pikiran tentang situasi tanah air. Organisasi itu juga menerbitkan majalah yang diberi nama Hindia Putera.

Banyaknya pemuda-pemuda pelajar di tanah Hindia yang dibuang ke Belanda, semakin menggiatkan aktivitas perkumpulan itu. Dalam perkembangan selanjutnya perkumpulan itu mengutamakan masalah-masalah politik. Jiwa kebangsaan yang semakin kuat diantara mahasiswa Hindia di Belanda mendorong mereka untuk mengganti nama Indische Vereninging menjadi Indonesische Vereeniging (1922). Selanjutnya perkumpulan itu berganti nama Indonesische Vereeniging (1925), dengan pimpinan Iwa Kusuma Sumatri, JB. Sitanala, Moh.Hatta, Sastramulyono, dan D. Mangunkusumo. Nama perhimpunannya diganti lagi menjadi “Perhimpunan Indonesia” (PI). Nama majalah terbitan mereka juga berganti nama Indonesia Merdeka. Itu semua merupakan usaha baru dalam memberikan identitas nasioalis yang muncul di luar tanah air. Mereka juga membuat simbol-simbol baru, merah putih sebagai lambang mereka dan Pangeran Diponegoro sebagai tokoh perjuangan.

Perhimpoenan Indonesia semakin mendapat simpatik dari para mahasiswa Indonesia di tanah Belanda. Jumlah keanggotaannya pun semakin bertambah banyak. Tahun 1926 jumlah anggota mencapai 38 orang. Di tanah Belanda itulah para mahasiswa itu menyerukan pada semua pemuda di Indonesia Hindia untuk bersatu padu dalam setiap gerakan-gerakan mereka. PI bersemboyan “ self reliance, not mendiancy”, yang berarti tidak meminta-minta dan menuntut-nuntut. Dalam Anggaran Dasarnya juga disebutkan, bahwa kemerdekaan Indonesia hanya diperoleh melalui aksi bersama, yaitu kekuatan serentak oleh seluruh rakyat Indonesia berdasarkan kekuatan sendiri. Kepentingan penjajah dan yang terjajah berlawanan dan tidak mungkin diadakan kerjasama (nonkoperasi). Bangsa Indonesia harus mampu berdiri di atas kaki sendiri, tidak tergantung pada bangsa lain.

PI menjadi organisasi politik yang semakin disegani karena pengaruh Moh. Hatta. Di bawah pimpinan Hatta, PI berkembang dengan pesat dan merangsang para mahasiswa yang ada di Belanda untuk terus memikirkan
Foto mahasiswa yang terhimpun dalam PI
kemerdekaan tanah airnya. Aktivitas politik PI tidak saja dilakukan di Belanda dan Indonesia, juga dilakukan secara internasional. Mahasiswa secara teratur melakukan diskusi dan melakukan kritik terhadap pemerintah Belanda. PI juga menuntut kemerdekaan Indonesia dengan segera.

Dengan demikian jelaslah bahwa Perhimpunan Indonesia merupakan manifesto politik pergerakan Indonesia. Karena Perhimpunan itu lahir di negeri asing yang saat itu menjadi penjajah tanah Hindia. Dari tempat penjajah itulah perkumpulan pemuda terpelajar itu berhasil mengobarkan semangat dan panji-panji kemerdekaan Indonesia. jelaslah bahwa para pemuda Indonesia tidak takut untuk membela dan berjuang untuk kemerdekaan tanah airnya dengan segala resikonya.

7. Taman Siswa

Awalnya, Taman Siswa bernama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa (Institut Pendidikan Nasional Taman Siswa). Saat itu Taman Siswa hanya memiliki 20 murid kelas Taman Indria. Namun, kemudian Taman Siswa berkembang pesat dengan memiliki 52  cabang  dengan  murid  kurang dengan murid kurang lebih 65.000 siswa.

Azas Taman Siswa adalah “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Hkamuyani”. Artinya, “guru di depan harus memberi contoh atau teladan, di tengah harus bisa menjalin kerjasama, dan di belakang harus memberi motivasi atau dorongan kepada para siswanya.” Azas ini masih relevan dan penting dalam dunia pendidikan.
Lambang Taman Siswa

Taman Siswa mendobrak sistem pendidikan Barat dan pondok pesantren, dengan mengajukan sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional yang ditawarkan adalah pendidikan bercirikan kebudayaan asli Indonesia.

Taman Siswa mengalami banyak kendala dari pihak-pihak yang tidak mendukung. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan berbagai aturan untuk membatasi pergerakan Taman Siswa, seperti dikenai pajak rumah tangga dan Undang-Undang Ordonansi Sekolah Liar Tahun 1932 yakni larangan mengajar bagi guru-guru yang terlibat partai politik. Taman siswa mampu memberikan kontribusi yang luar biasa bagi masyarakat luas dengan pendidikan, Taman Siswa mampu menyediakan pendidikan untuk rakyat yang tidak mampu disediakan oleh pemerintah kolonial. Saat ini sekolah Taman Siswa masih berdiri dan tetap berperan bagi kemajuan pendidikan di Indonesia.

8. Organisasi Buruh

Perkumpulan Adhi Dharma yang didirikan oleh Suryopranoto (kakak Ki Hajar Dewantara) pada tahun 1915 berperan sebagai organisasi yang membela kepentingan kaum buruh, termasuk membantu para buruh yang dipecat untuk memperoleh pekerjaan baru dan membantu keuangan mereka selama mencari pekerjaan.

Pada bulan Agustus 1918, Suryopranoto membentuk gerakan kaum buruh bernama Prawiro Pandojo ing Joedo atau Arbeidsleger (tentara buruh) yang merupakan cabang dari Adhi Dharma. Organisasi ini didirikan sebagai dampak dari terjadinya aksi perlawanan kaum buruh pabrik gula di Padokan (sekarang pabrik gula Madukismo), Bantul, Yogyakarta.

Bulan November 1918, Suryopranoto mendeklarasikan berdirinya Personeel Fabriek Bond (PFB) yang beranggotakan buruh tetap, Perkumpulan Tani dan koperasi yang kemudian lazim disebut sebagai Sarekat Tani dengan anggota kuli kenceng atau pemilik tanah yang disewa pabrik, serta Perserikatan Kaoem Boeroeh Oemoem (PKBO) yang beranggotakan buruh musiman. PFB didirikan untuk membela kepentingan kaum buruh yang terus mengalami penindasan. Bersama PFB, Suryopranoto memimpin banyak aksi mogok kerja untuk menuntut peningkatan kesejahteraan bagi kaum buruh. Pada tahun 1918 Adi Dharma menjadi bagian dari Sarekat Islam (SI), maka Personeel Fabriek Bond (PFB) yang terbentuk dalam tahun tersebut otomatis berada di bawah perlindungan Central Sarekat Islam (CSI).


Sepulang dari pembuangan penjara Sukamiskin, Suryopranoto dan Adhi Dharma turut berkiprah sebagai pengajar di Taman Siswa, lembaga pendidikan untuk kaum bumiputera yang didirikan oleh sang adik, Suwardi Suryaningrat, yang saat itu telah berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara.

KESIMPULAN

  1. Pendidikan tidak saja dipandang sebagai alat menuju ke arah pembaruan masyarakat, peningkatan kecerdasan, dan alat bagi terbukanya mobilititas sosial tetapi juga mampu membangun ruh nasionalisme.
  2. Tumbuhnya ruh nasionalisme di kalangan kaum terpelajar, kaun terdidik, telah mendorong berkembangnya semangat kebangsaan di berbagai kalangan dan kelompok masyarakat. Lahirlah kemudian berbagai bentuk organisasi pergerakan kebangsaan, sesuai dengan ideologi dan bidang yang diminati dan diyakini oleh para pendirinya. Lahirlah organisasi kebangsaan yang yang berpaham nasionalisme, kominisme, ada yang bergerak dalam bidang pendidikan, melalui bidang agama, ada organisasi kaum buruh, dan juga organisasi yang diembangkan oleh para pemuda dan juga perempuan.
  3. Pada mulanya perjuangan pergerakan organisasi kebangsaan itu bersifat kedaerahan atau kelompok, namun paham kebangsaan dan nasionalisme sudah terlihat dalam tujuan dan cita-cita organisasi itu sehingga sifat kebangsaannya semakin berkembang.
  4. Secara khusus terdapat organisasi pergerakan yang lahir di negeri Belanda (yang menjajah Indonesia) yakni Perhimpunan Indonesia yang telah merintis dan mempopulerkan semangat persatuan dan kesatuan (kerja sama), kemandirian, tidak bekerja sama dengan penjajah untuk kemerdekaan.

Alhamdulillah, akhirnya postingan yang admin bagikan kali ini tentang Membangun Jati Diri Keindonesiaan, selesai dengan tepat waktu. Sebelum kami mnegakhiri pembahasan kali ini, jangan lupa baca juga postingan sebelumnya mengenai Perang Melawan Kolonialisme. Semoga bermanfaat buat kita bersama terutama buat mereka yang meluangkan wwaktunya untuk membaca artikel ini.

0 Response to "Membangun Jati Diri Keindonesiaan"

Posting Komentar

-->