-->

Tirani Matahari Terbit Masuknya Jepang Ke Indonesia

Tirani Matahari Terbit Masuknya Jepang Ke Indonesia - Sebelumnya admin telan membagikan artikel sebelumnya yang membahas tentang Membangun Jati Diri Keindonesiaan. Dan untuk lebih jelasnya, langsung saja anda menyimak penjelasan di bawah ini, penuh dengan kesungguhan dan perhatian khusus.

Kedatangan “saudara tua” sebagaimana Jepang menyebut dirinya, mula-mula disambut dengan penuh harapan, tetapi kemudian mengecewakan rakyat. Meskipun demikian, pendudukan Jepang membuka sejarah baru bagi Indonesia Amrin Imran,“Perang Pasifik, dan Jatuhnya Rezim Kolonial Belanda” dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012.
Tirani Matahari Terbit Masuknya Jepang Ke Indonesia
Tirani Matahari Terbit Masuknya Jepang Ke Indonesia


Anda tentu mengenal merk kendaraan bermotor “Yamaha”, “Honda,” dan “Toyota”. Apa yang kamu bayangkan jika mendengar sebutan Yamaha, Honda, dan Toyota. Dari mana asal produk-produk tersebut? Ya, tentu kamu tidak asing dengan negara asal produk-produk tersebut, yakni Jepang, atau sohor dengan nama Negeri Matahari Terbit. Produk-produk itu cukup merajai pasar kendaraan bermotor di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Bahkan penjualan produk sepeda motor merk Yamaha dan Honda mengalami peningkatan jumlah pembelian yang signifikan setiap tahunnya. Gambaran fakta ini menunjukkan secara ekonomis begitu besar pengaruh dan dominasi Jepang di Indonesia. Dominasi produk-produk Jepang di Indonesia sudah berlangsung cukup lama, terutama sejak Orde Baru. Bahkan pernah mendapat protes dari para mahasiswa tahun 1974, sehingga memunculkan peristiwa “Malari”. Apa kamu tahu istilah “Malari”? cari jawabnya!

Berbicara mengenai dominasi ekonomi Jepang di Indonesia, sebenarnya secara historis kita sudah memiliki pengalaman pahit pada saat negeri kita dijajah Jepang tahun 1942 - 1945. Secara ekonomis kekayaan negeri kita dikuras untuk kepentingan Jepang demi memenangkan Perang Asia Timur Raya. Pengalaman sejarah semestinya dapat menjadi pelajaran dalam menyikapi perkembangan pengaruh ekonomi Jepang sekarang ini Kamu bisa menunjukkan beberapa peninggalan penjajahan Jepang yang sampai sekarang masih dapat kita saksikan? Contoh peninggalan jaman penjajahan Jepang yang masih bisa disaksikan antara lain Gua Jepang.

Pernahkah kamu mendengar cerita atau bahkan mengunjungi dan melihat Gua Jepang? Ya, Gua Jepang atau sering juga disebut dengan Lubang Jepang, di beberapa daerah di Indonesia hampir dapat dijumpai gua peninggalan masa pendudukan Jepang itu. Misalnya, di Bukittinggi, Sulawesi Utara, Papua, Bali, dan tempat-tempat lain. Di Bukittinggi, Gua Jepang saat ini digunakan sebagai tempat wisata sejarah.

Pada masa pendudukan Jepang, Gua Jepang digunakan sebagai benteng perlindungan tentara Jepang dari serangan musuh. Gua itu dibangun dengan mengerahkan tenaga kerja murah, yang kemudian dikenal dengan istilah kerja paksa, atau Romusa. Meskipun masa pendudukan Jepang hanya berlangsung singkat, tetapi memberi dampak yang penting dalam perjalanan sejarah bangsa.

Propaganda Jepang mengenai tata pemerintahan baru, keberpihakan sebagai sesama bangsa Asia, dan janji akan kemerdekaan, memberi harapan bagi rakyat Indonesia. Kendati sempat dirusak oleh pemerintah Jepang yang represif, terutama dengan adanya program romusa, dorongan dan gerakan untuk mencapai kemerdekaan tetap digencarkan oleh kaum pergerakan secara terang-terang-terangan maupun “bawah tanah” (Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, (ed) 2012).

Nah, bagaimana kisah pendudukan Jepang selama sekitar 3.5 tahun di Indonesia? Pada uraian berikut akan dibahas mengenai kedatangan Jepang, perkembangan organisasi pergerakan, dan reaksi rakyat Indonesia terhadap kekejaman Jepang. Uraian tersebut akan dibahas melalui bab “Tirani Matahari Terbit”. Istilah ‘tirani’ digunakan untuk menggambarkan tindakan otoriter dan kekejaman Jepang, sedangkan istilah ‘matahari terbit’ digunakan untuk penamaan bagi tentara Jepang. Sebab, posisi negara Jepang jika dilihat dari Indonesia, terletak di arah timur atau sama dengan arah saat matahari terbit, sehingga Negara Jepang disebut Negara Matahari Terbit.

A. Menganalisis Awal Pemerintahan “Saudara Tua”



Gambar di atas, terkait dengan peristiwa pengeboman Pearl Harbour yang menunjukkan kemenangan Jepang terhadap Sekutu pada PD II dalam peristiwa Perang Pasifik. Peristiwa itu telah membuka jalan bagi Jepang untuk memasuki negara di Asia, termasuk Indonesia. Sementara di bawahnya berkaitan dengan gambaran mengenai cara tentara Jepang memasuki kota-kota penting di Indonesia.

Perlu dipahami bahwa “rentetan kemenangan yang dicapai tentara Jepang sejak melancarkan Perang Pasifik membuka pintu bagi mereka untuk menduduki tanah Hindia Belanda”. Kedatangan “saudara tua”, sebagaimana Jepang menyebut dirinya, mula-mula disambut dengan penuh harapan, tetapi kemudian mengecewakan rakyat. Walaupun demikian, pendudukan Jepang membuka sejarah baru bagi Indonesia”.

Nah, sejarah baru yang bagaimana? Sebelum memahami sejarah baru yang dimaksudmu perlu memahami terlebih dulu mengenai bagaimana tentara Jepang itu datang dan kemudian menguasai Indonesia. Ikutilah uraian penjelasan tersebut melalui subbab “Kedatangan Saudara Tua”.

1. Penguasaan Kepulauan Indonesia

Sejak pengeboman Pearl Harbour oleh angkatan udara Jepang pada 8 Desember 1941, serangan terus dilancarkan ke angkatan laut Amerika Serikat di Pasifik. Kemenangan pasukan Jepang seolah-olah tak dapat dikendalikan dan pasukan itu berturut-turut menghancurkan basis militer Amerika. Selain itu, serangan Jepang juga diarahkan ke Indonesia. Serangan terhadap Indonesia muncul dari utara dan timur. Serangan terhadap Indonesia tersebut bertujuan untuk mendapatkan cadangan logistik dan bahan industri perang, seperti minyak tanah, timah, dan aluminium. Sebab, persediaan minyak di Indonesia diperkirakan dapat mencukupi kebutuhan Jepang selama Perang Pasifik.


Pada Januari 1942, Jepang mendarat di Indonesia melalui Ambon dan seluruh Maluku. Meskipun pasukan KNIL (Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger ) dan pasukan Australia berusaha menghalangi, tapi kekuatan Jepang tidak dapat dibendung. Daerah Tarakan di Kalimantan Timur kemudian dikuasai oleh Jepang bersamaan dengan Balikpapan (12 Januari 1942). Jepang kemudian menyerang Sumatera setelah berhasil memasuki Pontianak. Bersamaan dengan itu Jepang melakukan serangan ke Jawa (Februari 1942).

Pada tanggal 1 Maret 1942, kemenangan tentara Jepang dalam Perang Pasifik menunjukkan kemampuan Jepang dalam mengontrol wilayah yang sangat luas, yaitu dari Burma sampai Pulau Wake. Setelah daerah-daerah di luar Jawa dikuasai, Jepang memusatkan perhatiannya untuk menguasai tanah Jawa sebagai pusat pemerintahan­ Hindia Belanda.

Untuk menghadapi gerak invasi tentara Jepang, Belanda pernah membentuk Komando Gabungan Tentara Serikat yang disebut AB­DACOM (American British Dutch Australian Command) yang bermarkas­ di Lembang. Panglima dari pergerakan tersebut bernama Jenderal Sir Archhibald. Kemudian Letnan Jenderal Ter Poorten diangkat sebagai panglima perang tentara Hindia Belanda. Sementara itu, Gubernur Jenderal Carda (Tjarda) pada bulan Februari 1942 sudah mengungsi ke Bandung­.

Dalam upaya menguasai Jawa, telah terjadi pertempuran di Laut Jawa, yaitu antara tentara Jepang dengan Angkatan Laut Belanda di bawah Laksamana Karel Doorman. Dalam pertempuran ini Laksamana Karel Doorman dan beberapa kapal Belanda berhasil ditenggelamkan oleh tentara Jepang. Sisa-sisa pasukan dan kapal Belanda yang berhasil lolos terus melarikan diri menuju Australia. Sementara itu, Jenderal Imamura dan pasukannya mendarat di Jawa pada tanggal 1 Maret 1942. Pendaratan itu dilaksanakan di tiga tempat, yakni di Banten dipimpin oleh Jenderal Imamura sendiri. Kemudian pendaratan di Eretan Wetan-Indramayu dipimpin oleh Kolonel Tonishoridan pendaratan di sekitar Bojonegoro dikoordinir oleh Mayjen Tsuchihashi. Tempat-tempat tersebut memang tidak diduga oleh Belanda.

Untuk menghadapi­ pasukan Jepang, sebenarnya Sekutu sudah mempersiapkan diri, yaitu antara lain berupa tentara gabungan ABDACOM, ditambah satu kompi Akademi Militer Kerajaan dan Korps Pendidikan Perwira Cadangan di Jawa Barat. Di Jawa Tengah, telah disiapkan empat batalion infanteri, sedangkan­ di Jawa Timur terdiri tiga batalion pasukan bantuan Indonesia­ dan satu batalion marinir, serta ditambah dengan satuan-satuan dari Inggris dan Amerika. Meskipun demikian, tentara Jepang mendarat di Jawa dengan jumlah yang sangat besar, sehingga pasukan Belanda tidak mampu memberikan perlawanan.


Pasukan Jepang dengan cepat menyerbu pusat-pusat kekuatan tentara Belanda di Jawa. Tanggal 5 Maret 1942 Batavia jatuh ke tangan Jepang. Tentara Jepang terus bergerak ke selatan dan menguasai kota Buitenzorg (Bogor). Dengan mudah kota-kota di Jawa yang lain juga jatuh ke tangan­ Jepang. Akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942 Jenderal Ter Poorten atas nama komandan pasukan Belanda/Sekutu menandatangani penyerahan tidak bersyarat kepada Jepang yang diwakili Jenderal Imamura. Penandatanganan ini dilaksanakan di Kalijati, Subang. Dengan demikian berakhirlah penjajahan Belanda di Indonesia. Kemudian Indonesia berada di bawah pendudukan tentara Jepang. Gubernur Jenderal Tjarda ditawan. Namun Belanda segera mendirikan pemerintahan­ pelarian (exile government) di Australia di bawah pimpinan H.J. Van Mook.

Menyimak dari gerakan tentara Jepang untuk menguasai Indonesia berlangsung begitu cepat itu memang menarik. Hal ini ada kaitannya dengan perkembangan sebelumnya. Sejak Jepang atau negeri Sakura atau negeri Matahari Terbit berkembang menjadi negara industri dan tampil sebagai imperialis, Jepang mulai membutuhkan daerah-daerah baru. Salah satu daerah baru yang dimaksud adalah Indonesia. Keinginan Jepang untuk menguasai Indonesia karena Indonesia kaya akan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan industri Jepang. Di samping itu, juga terdorong oleh ajaran yang berkaitan dengan Shintoisme, khususnya tentang Hakko ichiu, yakni ajaran tentang kesatuan­ keluarga umat manusia. Ajaran ini diterjemahkan bahwa Jepang sebagai negara maju bertanggung jawab untuk membentuk kesatuan keluarga umat manusia dengan memajukan dan mempersatukan bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Ajaran Hakko ichiu diperkuat­ oleh keterangan antropolog yang menyatakan bahwa bangsa Jepang dan Indonesia serumpun. Untuk merealisasikan keinginannya itu maka sebelum gerakan tentara Jepang itu datang ke Indonesia, Jepang sudah mengirim para spionase untuk datang ke Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya.

2. Selamat Datang “Saudara Tua”

Kedatangan Jepang di Indonesia disambut dengan senang hati oleh rakyat Indonesia. Jepang dielu-elukan sebagai “Saudara Tua” yang dipandang dapat membebaskan dari kekuasaan Belanda. Di mana-mana terdengar ucapan “banzai-banzai” (selamat datang-selamat datang). Sementara itu, pihak tentara Jepang terus melakukan propaganda-propaganda untuk terus menggerakkan dukungan rakyat Indonesia. Setiap kali Radio Tokyo memperdengarkan Lagu Indonesia Raya, di samping Lagu Kimigayo. Bendera yang berwarna Merah Putih juga boleh dikibarkan berdampingan dengan Bendera Jepang Hinomaru. Melalui siaran radio, juga dipropagandakan bahwa barang-barang buatan Jepang itu menarik dan murah harganya, sehingga mudah bagi rakyat Indonesia untuk membelinya.

Simpati dan dukungan rakyat Indonesia itu nampaknya juga karena perilaku Jepang yang sangat membenci Belanda. Di samping itu, diperkuat pula dengan berkembangnya kepercayaan tentang Ramalan Jayabaya.

Tentara Jepang juga mempropagandakan bahwa kedatangannya ke Indonesia untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajahan bangsa Barat. Jepang juga akan membantu memajukan rakyat Indonesia. Melalui program Pan-Asia Jepang akan memajukan dan menyatukan seluruh rakyat Asia. Untuk lebih meyakinkan rakyat Indonesia, Jepang menegaskan kembali bahwa Jepang tidak lain adalah “saudara tua”, jadi Jepang dan Indonesia sama. Bahkan untuk meneguhkan progandanya tentang Pan-Asia, Jepang berusaha membentuk perkumpulan yang diberi nama “Gerakan Tiga A”.

3. Pembentukan Pemerintahan Militer

Pada pertengahan tahun 1942 timbul pemikiran dari Markas Besar Tentara Jepang agar penduduk di daerah pendudukan dilibatkan dalam aktivitas pertahanan dan kemiliteran (termasuk semimiliter). Oleh karena itu, pemerintah Jepang di Indonesia kemudian membentuk pemerintahan militer. Di seluruh Kepulauan Indonesia bekas Hindia Belanda itu wilayahnya dibagi menjadi tiga wilayah pemerintahan militer.

a. Pemerintahan militer Angkatan Darat, yaitu Tentara Kedua Puluh Lima (Tomi Shudan) untuk Sumatera. Pusatnya di Bukittinggi.

b. Pemerintahan militer Angkatan Darat, yaitu Tentara Keenam Belas (Asamu Shudan) untuk Jawa dan Madura. Pusatnya di Jakarta. Kekuatan pemerintah militer ini kemudian ditambah dengan Angkatan Laut (Dai Ni Nankenkantai).

c. Pemerintahan militer Angkatan Laut, yaitu (Armada Selatan Kedua) untuk daerah Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pusatnya di Makassar.



Pembagian administrasi semacam itu tentu juga terkait dengan perbedaan kepentingan Jepang terhadap tiap-tiap daerah di Indonesia, baik dari segi militer maupun politik ekonomi. Pulau Jawa yang merupakan pusat pemerintahan yang sangat penting waktu itu masih diberlakukan pemerintahan sementara. Hal ini berdasarkan Osamu Seirei (Undang-Undang yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara Ke-16). Di dalam undang-undang itu antara lain berisi ketentuan sebagai berikut.


a. Jabatan Gubernur Jenderal pada masa Hindia Belanda dihapuskan dan segala kekuasaan yang dahulu dipegangnya diambil alih oleh panglima tentara Jepang di Jawa.

b. Para pejabat pemerintah sipil beserta pegawainya di masa Hindia Belanda tetap diakui kedudukannya, asalkan memiliki kesetiaan terhadap tentara pendudukan Jepang.

c. Badan-badan pemerintah dan undang-undang di masa Belanda tetap diakui secara sah untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer Jepang.
Adapun susunan pemerintahan militer Jepang tersebut adalah sebagai berikut.


a. Gunshirekan (panglima tentara) yang kemudian disebut dengan Seiko Shikikan (panglima tertinggi) sebagai pucuk pimpinan. Panglima tentara yang pertama dijabat oleh Jenderal Hitoshi Imamura.
b. Gunseikan (kepala pemerintahan militer) yang dirangkap oleh kepala staf. Kepala staf yang pertama adalah Mayor Jenderal Seizaburo Okasaki. Kantor pusat pemerintahan militer ini disebut Gunseikanbu. Di lingkungan Gunseikanbu ini terdapat empat bu (semacam departemen) dan ditambah satu bu lagi, sehingga menjadi lima bu. Adapun kelima bu itu adalah sebagai berikut.

  1. Somobu (Departemen Dalam Negeri).
  2. Zaimubu (Departemen Keuangan).
  3. Sangvobu (Departemen Perusahaan, Industri dan Kerajinan Tangan) atau urusan Perekonomian.
  4. Kotsubu (Departemen Lalu Lintas).
  5. Shihobu (Departemen Kehakiman).
c. Gunseibu (koordinator pemerintahan dengan tugas memulihkan ketertiban dan keamanan atau semacam gubernur) yang meliputi:.
  1. Jawa Barat : pusatnya di Bandung.
  2. Jawa Tengah : pusatnya di Semarang.
  3. Jawa Timur : pusatnya di Surabaya.
  4. Ditambah dua daerah istimewa (Kochi) yakni Yogyakarta dan Surakarta.

Di dalam pemerintahan itu, Jepang juga membentuk kesatuan Kempetai (Polisi Militer). Di samping susunan pemerintahan tersebut, juga ditetapkan­ lagu kebangsaan yang boleh diperdengarkan hanyalah Kimigayo. Padahal sebelum tentara Jepang datang di Indonesia, Lagu Indonesia Raya sering diperdengarkan di radio Tokyo.

Pada awal pendudukan ini, secara kultural Jepang juga mulai melakukan perubahan-perubahan. Misalnya, untuk petunjuk waktu harus digunakan tarikh Sumera (tarikh Jepang), menggantikan tarikh Masehi.Waktu itu tarikh Masehi 1942 sama dengan tahun 2602 Sumera. Setiap tahun (mulai tahun 1942) rakyat Indonesia­ harus merayakan Hari Raya Tencosetsu (hari raya lahirnya Kaisar Hirohito). Dalam bidang politik, Jepang melakukan kebijakan dengan melarang penggunakan bahasa Belanda dan mewajibkan penggunakan bahasa Jepang.

4. Pemerintahan Sipil

Untuk mendukung kelancaran pemerintahan pendudukan Jepang yang bersifat militer, Jepang juga mengembangkan pemerintahan sipil. Pada bulan Agustus 1942, pemerintahan militer berusaha me­ningkatkan sistem pemerintahan, antara lain dengan mengeluarkan UU No. 27 tentang aturan pemerintahan daerah dan dimantapkan dengan UU No. 28 tentang pemerintahan shu serta tokubetsushi. Dengan UU tersebut, pemerintahan akan dilengkapi dengan pemerintahan sipil. Menurut UU No. 28 ini, pemerintahan daerah yang tertinggi adalah shu (karesidenan). Seluruh Pulau Jawa dan Madura, kecuali Kochi Yogyakarta dan Kochi Surakarta, dibagi menjadi daerah-daerah shu (karesidenan), shi (kotapraja), ken (kabupaten), gun (kawedanan), son (kecamatan), dan ku (desa/kelurahan). Seluruh Pulau Jawa dan Madura dibagi menjadi 17 shu.

Pemerintahan shu itu dipimpin oleh seorang shucokan. Shucokan memiliki kekuasaan seperti gubenur pada zaman Hindia Belanda meliputi kekuasaan legislatif dan eksekutif. Dalam menjalankan pemerintahan shucokan dibantu oleh Cokan Kanbo (Majelis Permusyawaratan Shu). Setiap Cokan Kanbo ini memiliki tiga bu (bagian), yakni Naiseibu (bagian pemerintahan umum), Kaisaibu (bagian ekonomi), dan Keisatsubu (bagian kepolisian). Pemerintah pendudukan Jepang juga dapat membentuk sebuah kota yang dianggap memiliki posisi sangat penting sehingga menjadi daerah semacam daerah swatantra (otonomi). Daerah ini ini disebut tokubetsushi (kota istimewa), yang posisi dan kewenangannya seperti shu yang berada langsung di bawah pengawasan gunseikan. Sebagai contoh adalah Kota Batavia, sebagai Batavia Tokubetsushi di bawah pimpinan Tokubetu shico.

SIMPUL SEJARAH

  1. Setelah berhasil melakukan pengeboman Pearl Harbour tahun 1941, gerakan Jepang menuju Asia, termasuk ke Indonesia tidak bisa terbendung.
  2. Jepang berhasil menguasai Kepulauan Indonesia dengan cepat dan merata.
  3. Masuk dan kedatangan tentara Jepang disambut baik oleh rakyat Indonesia karena dipandang sebagai kekuatan pembebas.
  4. Jepang kemudian membentuk pemerintahan militer yang diperkuat dengan pemerintahan sipil.

B. Menganalisis Organisasi Pergerakan Masa Pendudukan Jepang

Album Pahlawan Bangsa
Banyak organisasi pergerakan yang dibentuk pada zaman Jepang. Sama seperti organisasi-organisasi pergerakan pada umumnya, yaitu organisasi yang bersifat semimiliter dan militer. Berikut ini akan dipaparkan tentang perkembangan organisasi pergerakan di zaman pendudukan Jepang.

Ada satu perkembangan yang berbeda apabila kita memahami perkembangan organisasi pergerakan antara zaman kolonial Belanda dengan era pendudukan Jepang. Pada masa kolonial Belanda umumnya organisasi pergerakan yang muncul dan berkembang diprakarsai oleh para pejuang rakyat Indonesia, tetapi pada zaman Jepang banyak organisasi atau perkumpulan yang berdiri diprakarsai oleh Jepang, sementara para tokoh Indonesia mencoba memanfaatkan organisasi itu untuk kepentingan perjuangan. Hal ini juga tampak berhubungan dengan perkembangan padangan sikap para tokoh Indonesia dalam menghadapi pendudukan Jepang. Banyak di antara para tokoh Indonesia yang mencoba­ memanfaatkan masa pendudukan Jepang untuk melanjutkan perjuangan menuju kemerdekaan. Mereka mengambil sikap dan strategi bekerja sama dengan­ Jepang.

Sebagai contoh, pada masa pendudukan Jepang Sukarno bersedia bekerjasama dengan Jepang. Faktor penyebabnya adalah adanya kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905. Sementara, Moh. Hatta dan Syahrir yang dikenal antifasisme, semestinya menentang Jepang, namun keduanya menyusun­ strategi yang saling melengkapi. Moh. Hatta mengambil sikap kooperatif­ dengan Jepang, sementara Syahrir akan menyusun “gerakan bawah tanah (gerakan rahasia).

Syahrir yang radikal dan bergerak di “bawah tanah”, mendapat dukungan dari tokoh-tokoh lain, seperti Cipto Mangunkusumo dan mantan anggota PNI Baru, Amir Syarifudin. Padahal Amir Syarifudin dikenal sebagai sosok yang bersikap anti-Jepang. Bahkan Amir Syarifudin dimanfaatkan oleh Belanda untuk menyusun gerakan perlawanan terhadap Jepang. Untuk ini Amir Syarifudin telah menerima sejumlah uang dari seorang pejabat Belanda (Van der Plas), sebagai imbalan. Sedangkan terhadap umat Islam, Jepang berusaha sekuat tenaga untuk mendekatinya. Sebab, umat Islam dinilai secara mayoritas anti peradaban Barat, sehingga diharapkan menjadi kekuatan besar dan mau membantu­ Jepang dalam menghadapi Sekutu. Sukarno dan Moh. Hatta bergabung dalam mengambil sikap kooperatif dengan Jepang. Langkah tersebut diambil semata-mata demi tujuan yang lebih penting, yakni kemerdekaan. Bahkan kedua tokoh ini juga mengusulkan agar segera dibentuk organisasi politik, karena setelah Jepang berkuasa di Indonesia, semua organisasi politik yang pernah berkembang di zaman Hindia Belanda dibubarkan.

1. Organisasi yang Bersifat Sosial Kemasyarakatan

a. Gerakan Tiga A

Untuk mendapatkan dukungan rakyat Indonesia, Jepang membentuk sebuah perkumpulan yang dinamakan Gerakan Tiga A (3A). Perkumpulan ini dibentuk pada tanggal 29 Maret 1942. Sesuai dengan namanya, perkumpulan ini memiliki tiga semboyan, yaitu Nippon Cahaya AsiaNippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia. Sebagai pimpinan Gerakan Tiga A, bagian propaganda Jepang (Sedenbu) telah menunjuk bekas tokoh Parindra Jawa Barat yakni Mr. Syamsuddin sebagai ketua dengan dibantu beberapa tokoh lain seperti K. Sutan Pamuncak dan Moh. Saleh.

Jepang berusaha agar perkumpulan ini menjadi wadah propaganda yang efektif. Oleh karena itu, di berbagai daerah dibentuk­ komite-komite. Sejak bulan Mei 1942, perhimpunan itu mulai diperkenalkan­ kepada masyarakat melalui media massa. Di dalam Gerakan Tiga A juga dibentuk subseksi Islam yang disebut “Persiapan Persatuan Umat Islam”. Subseksi Islam dipimpin oleh Abikusno Cokrosuyoso. 

Ternyata sekalipun dengan berbagai upaya, Gerakan Tiga A ini kurang mendapat simpati dari rakyat. Gerakan Tiga A hanya berumur beberapa bulan saja. Jepang menilai perhimpunan itu tidak efektif. Bulan Desember 1942 Gerakan Tiga A dinyatakan gagal. Mengapa “Gerakan Tiga A” ini dinyatakan gagal oleh Jepang, kira-kira apa alasannya?

b. Pusat Tenaga Rakyat

“Gerakan Tiga A” telah gagal. Kemudian Jepang berusaha mengajak tokoh pergerakan nasional untuk melakukan kerjasama. Jepang kemudian mendirikan organisasi pemuda, Pemuda Asia Raya di bawah pimpinan Sukardjo Wiryopranoto. Organisasi itu juga tidak mendapat sambutan rakyat. Jepang kemudian membubarkan organisasi itu.

Dukungan rakyat terhadap Jepang memang tidak seperti awal kedatangannya. Hal ini sangat mungkin juga karena sikap dan tindakan Jepang yang berubah. Seperti telah disinggung di depan, Jepang mulai melarang pengibaran bendera Merah Putih dan yang boleh dikibarkan hanya bendera Hinomaru serta mengganti Lagu Indonesia Raya dengan lagu Kimigayo. Jepang mulai membiasakan mengganti kata-kata banzai (selamat datang) dengan bakero (bodoh). Masyarakat mulai tidak simpati terhadap Jepang.“Saudara tua” tidak seperti yang mereka janjikan.
               
Sementara perkembangan Perang Asia Timur Raya mulai tidak menggembirakan. Kekalahan Jepang di berbagai medan pertempuran telah menimbulkan rasa tidak percaya dari rakyat. Oleh karena itu, Jepang harus segera memulihkan keadaan. Jepang harus dapat bekerja sama dengan tokoh-tokoh nasionalis terkemuka,­ antara lain Sukarno dan Moh. Hatta. Karena Sukarno masih ditahan di Padang oleh pemerintah Hindia Belanda, maka segera dibebaskan­ oleh Jepang. Tanggal 9 Juli 1942 Sukarno sudah berada di Jakarta dan bergabung dengan Moh. Hatta.

Jepang berusaha untuk menggerakkan seluruh rakyat melalui tokoh-­tokoh nasionalis.Jepanginginmembentukorganisasimassayangdapatbekerjauntuk menggerakkan rakyat. Bulan Desember 1942 dibentuk panitia persiapan untuk membentuk sebuah organisasi massa. Kemudian Sukarno, Hatta, K.H. Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantara dipercaya untuk membentuk gerakan baru. Gerakan itu bernama Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dibentuk tanggal 16 April 1943. Mereka kemudian disebut sebagai empat serangkai. Sebagai ketua panitia adalah Sukarno. Tujuan Putera adalah untuk membangun dan menghidupkan kembali segala sesuatu yang telah dihancurkan oleh Be­landa. Menurut Jepang, Putera bertugas untuk memusatkan segala potensi masyarakat Indonesia guna membantu Jepang dalam perang. Di samping tugas di bidang propaganda, Putera juga bertugas memperbaiki bidang sosial ekonomi.

Menurut struktur organisasinya, Putera memiliki pimpinan pusat dan pimpinan daerah. Pimpinan pusat dikenal sebagai Empat Serangkai. Ke­mudian pimpinan daerah dibagi, sesuai dengan tingkat daerah, yakni tingkat syuken, dan gun. Putera juga mempunyai beberapa penasihat yang berasal dari orang-orang Jepang. Mereka adalah S. Miyoshi, G. Taniguci, Iciro Yamasaki, dan Akiyama.

Putera pada awal berdirinya, cepat mendapatkan sambutan dari organisasi­ massa yang ada. Misalnya dari Persatuan Guru Indonesia; Perkumpulan Pegawai Pos Menengah; Pegawai Pos Telegraf Telepon, dan Radio; serta Pengurus Besar Istri Indonesia di bawah pimpinan Maria­ Ulfah Santoso. Dari kalangan pemuda terdapat sambutan dari organisasi­ Barisan Banteng dan dari pelajar terdapat sambutan dari organisasi­ Badan Perantaraan Pelajar Indonesia serta Ikatan Sport Indonesia juga bergabung ke dalam Putera.

Putera pun berkembang dan bertambah kuat. Sekalipun di tingkat daerah tidak berkembang baik, namun Putera telah berhasil mempersiapkan rakyat secara mental bagi kemerdekaan Indonesia. Melalui­ rapat-rapat dan media massa, pengaruh Putera semakin meluas. Perkembangan Putera akhirnya menimbulkan kekhawatiran di pihak Jepang. Oleh karena, Putera telah dimanfaatkan oleh pemimpin-pemimpin nasionalis untuk mempersiapkan ke arah kemerdekaan,­ tidak digunakan sebagai usaha menggerakkan massa untuk membantu Jepang, maka pada tahun 1944 Putera dinyatakan bubar oleh Jepang.

c. MIAI dan Masyumi

Berbeda dengan pemerintah Hindia Belanda yang cenderung anti terhadap umat Islam, Jepang lebih ingin bersahabat dengan umat Islam di Indonesia. Jepang sangat memerlukan kekuatan umat Islam untuk membantu melawan Sekutu. Oleh karena itu, sebuah organisasi Islam MIAI yang cukup berpengaruh yang dibekukan oleh pemerintah kolonial Belanda, mulai dihidupkan kembali oleh pemerintah pendudukan Jepang.Tepat pada tanggal 4 September 1942 MIAI diizinkan aktif kembali. Dengan demikian diharapkan MIAI segera dapat digerakkan sehingga umat Islam di Indonesia dapat dimobilisasi untuk keperluan perang.

Dengan diaktifkannya kembali MIAI, maka MIAI menjadi organisasi pergerakan yang cukup penting di zaman pendudukan Jepang.MIAI menjadi tempat bersilaturakhim, menjadi wadah tempat berdialog, dan bermusyawarah untuk membahas berbagai hal yang menyangkut kehidupan umat, dan tentu saja bersinggungan dengan perjuangan. MIAI senantiasa menjadi organisasi pergerakan yang cukup diperhitungkan dalam perjuangan membangun kesatuan dan kesejahteraan umat. Semboyan yang terkenal adalah “berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali Allah dan janganlah berpecah belah”.Dengan demikian pada masa pendudukan Jepang, MIAI berkembang baik.Kantor pusatnya semula di Surabaya kemudian pindah ke Jakarta.

Adapun tugas dan tujuan MIAI waktu itu adalah:
  1. Menempatkan umat Islam pada kedudukan yang layak dalam masya­ rakat Indonesia
  2. Mengharmoniskan Islam dengan tuntutan perkembangan zaman.
  3. Ikut membantu Jepang dalam Perang AsiaTimur Raya

Untuk merealisasikan tujuan dan melaksanakan tugas itu, MIAI membuat program yang lebih menitikberatkan pada program-program yang bersifat sosio-religius.Secara khusus program-program itu akan diwujudkan melalui rencana: (1) pembangunan masjid Agung di Jakarta, (2) mendirikan universitas, dan (3) membentuk baitulmal. Dari ketiga program ini yang mendapatkan lampu hijau dari Jepang hanya program yang ketiga.

MIAI terus mengembangkan diri di tengah-tengah ketidakcocokan dengan kebijakan dasar Jepang. MIAI menjadi tempat pertukaranpikiran dan pembangunan kesadaran umat agar tidak terjebak pada perangkap kebijakan Jepang yang semata-mata untuk memenangkan perang Asia Timur Raya. Pada bulan Mei 1943, MIAI berhasil membentuk Majelis Pemuda yang diketuai oleh Ir. Sofwan dan juga membentuk Majelis Keputrian yang dipimpin oleh Siti Nurjanah. Bahkan dalam mengembangkan aktivitasnya, MIAI juga menerbitkan majalah yang disebut “Suara MIAI”.

Keberhasilan program baitulmal, semakin memperluas jangkauan perkembangan MIAI. Dana yang terkumpul dari program tersebut semata-mata untuk mengembangkan organisasi dan perjuangan di jalan Allah, bukan untuk membantu Jepang.

Arah perkembangan MIAI ini mulai dipahami oleh Jepang. MIAI tidak memberi konstribusi terhadap Jepang. Hal tersebut tidak sesuai dengan harapan Jepang sehingga pada November 1943 MIAI dibubarkan. Sebagai penggantinya, Jepang membentuk Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Harapan dari pembentukan majelis ini adalah agar Jepang da­pat mengumpulkan dana dan dapat menggerakkan umat Islam untuk menopang kegiatan perang Asia Timur Raya.

Ketua majelis ini adalah Hasyim Asy’ari dan wakil ketuanya dijabat oleh Mas Mansur dan Wahid Hasyim. Orang yang diangkat menjadi penasihat dalam majelis ini adalah Ki Bagus Hadikusumo dan Abdul Wahab. Masyumi sebagai induk organisasi Islam, anggotanya sebagian besar dari para ulama. Dengan kata lain, para ulama dilibatkan dalam kegiatan pergerakan politik.

Masyumi cepat berkembang, di setiap karesidenan ada cabang Masyumi. Oleh karena itu, Masyumi berhasil meningkatkan hasil bumi dan pengumpulan dana.Dalam perkembangannya, tampil tokoh-tokoh muda di dalam Masyumi antara lain Moh. Natsir, Harsono Cokroaminoto, dan Prawoto Mangunsasmito. Perkembangan ini telah membawa Masyumi semakin maju dan warna politiknya semakin jelas. Masyumi berkembang menjadi wadah untuk bertukar pikiran antara tokoh-tokoh Islam dan sekaligus menjadi tempat penampungan keluh kesah rakyat. Masyumi menjadi organisasi massa yang pro rakyat, sehingga menentang­ keras adanya romusa. Masyumi menolak perintah Jepang dalam pembentukannya sebagai penggerak romusa. Dengan demikian Masyumi telah menjadi organisasi pejuang yang membela rakyat.

Sikap tegas dan berani di kalangan tokoh-tokoh Islam itu akhirnya dihargai­ Jepang. Sebagai contoh, pada suatu pertemuan di Bandung, ketika pembesar Jepang memasuki ruangan, kemudian diadakan acara seikerei (sikap menghormati Tenno Heika dengan membungkukkan badan sampai 90 derajat ke arah Tokyo) ternyata ada tokoh yang tidak mau melakukan seikerei, yakni Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka)Akibatnya, muncul ketegangan dalam acara itu. Namun, setelah tokoh Islam itu menyatakan bahwa seikerei bertentangan dengan Islam, sebab sikapnya seperti orang Islam rukuk waktu sholat. Menurut orang Islam rukuk hanya semata-mata kepada Tuhan dan menghadap ke kiblat. Dari alasan itu, akhirnya orang-­orang Islam diberi kebebasan untuk tidak melakukan seikerei.


Jawa Hokokai

Tahun 1944, situasi Perang Asia Timur Raya mulai berbalik, tentara Sekutu dapat mengalahkan tentara Jepang di berbagai tempat. Hal ini menyebabkan kedudukan Jepang di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Oleh karena itu, Panglima Tentara ke-16, Jenderal Kumaikici Harada membentuk organisasi baru yang diberinama Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa). Untuk menghadapi situasi perang tersebut, epang membutuhkan persatuan dan semangat segenap rakyat baik lahir maupun batin. Rakyat diharapkan mem­ berikan darma baktinya terhadap pemerintah demi kemenangan perang. Kebaktian yang dimaksud memuat tiga hal: (1) mengorbankan diri, (2) mempertebal persaudaraan, dan (3) melaksanakan suatu tindakan dengan bukti. 

Susunan dan kepemimpinan organisasi Jawa Hokokai berbeda­ dengan Putera. Jawa Hokokai benar-benar organisasi resmi pemerintah­. Oleh karena itu, pimpinan pusat Jawa Hokokai sampai pimpinan daerahnya langsung dipegang oleh orang Jepang. Pimpinan pusat dipegang oleh Gunseikan, sedangkan penasihatnya adalah Ir. Sukarno dan Hasyim Asy’ari. Di tingkat daerah (syu/shu) dipimpin oleh Syucokan/Shucokandan seterusnya sampai daerah ku oleh Kuco, bahkan sampai gumi di bawah pimpinan Gumico. Dengan demikian,Jawa Hokokai memiliki alat organisasi sampai ke desa-desa, dukuh,bahkan sampai tingkat rukun tetangga (Gumi atau Tonari Gumi). Tonari Gumi dibentuk untuk mengorganisasikan seluruh penduduk dalam kelompok-­kelompok yang terdiri atas 10 - 20 keluarga. Para kepala desa dan kepala dukuh atau ketua RT bertanggung jawab atas kelompok masing-masing.

Adapun program-program kegiatan Jawa Hokokai antara lain sebagai berikut:
  1. Melaksanakan segala tindakan dengan nyata dan ikhlas demi pemerin-­ tah Jepang.
  2. Memimpin rakyat untuk mengembangkan tenaganya berdasarkan se­ mangat persaudaraan.
  3. Memperkokoh pembelaan tanah air.

Jawa Hokokai adalah organisasi pusat yang anggota-anggotanya­ terdiri atas bermacam-macam hokokai (himpunan kebaktian) sesuai dengan bidang profesinya. Misalnya Kyoiku Hokokai (kebaktian para pendidik guru-guru) dan Isi Hokokai (wadah kebaktian para dokter). Jawa Hokokai juga mempunyai anggota istimewa, seperti Fujinkai (organisasi­ wanita), dan Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan). Di dalam membantu memenangkan perang, Jawa Hokokai telah berusaha antara lain dengan pengerahan tenaga dan memobilisasi potensi sosial ekonomi, misalnya dengan penarikan hasil bumi, sesuai dengan target yang di tentukan.

Organisasi Jawa Hokokai ini tidak ber­kembang di luar Jawa, sehingga Golongan nasionalis di luar Jawa kurang mendapatkan wadah. Penguasa di luar Jawa seperti di Sumatra berpendapat bahwa di Sumatra terdapat banyak suku, bahasa, dan adat istiadat, sehingga sulit dibentuk organisasi yang besar dan memusat, kalau ada hanya lokal di tingkat daerah saja. Dengan demikian, organisasi Jawa Hokokai ini juga dapat berkembang sesuai yang diinginkan Jepang.

2. Organisasi-organisasi Militer dan Semimiliter


Sesuai dengan sifat pemerintahan militer, Jepang berusaha mengerahkan rakyat Indonesia, terutama para pemuda melalui berbagai macam organisasi yang bersifat semimiliter dan juga yang bersifat militer.

a. Pengerahan Tenaga Pemuda

Kelompok pemuda memegang peranan penting di Indonesia, apalagi melihat jumlahnya yang cukup besar. Menurut penilaian­ Jepang, para pemuda apalagi yang tinggal di daerah pedesaan, belum terpengaruh oleh alam pikiran Barat. Mereka secara fisik.cukup kuat, semangat, dan pemberani. Oleh karena itu, perlu dikerahkan untuk membantu memperkuat posisi Jepang dalam menghadapi perang. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka para pemuda­ dijadikan sasaran utama bagi propaganda Jepang. Dengan“Gerakan Tiga A” serta semboyan Jepang, Indonesia sama saja, Jepang saudara tua, tampaknya cukup menarik bagi kalangan pemuda. Pernyataan Jepang tentang persamaan, dinilai sebagai suatu perubahan baru dari keadaan di masa Belanda yang begitu diskriminatif.

Sebelum secara resmi Jepang membentuk organisasi-organisasi semimiliter, Jepang telah melatih para pemuda untuk menjadi pemuda yang disiplin, memiliki semangat juang tinggi (seishin), dan berjiwa ksatria (bushido) yang tinggi.Sesuai dengan sifat pemuda yang energik, maka yang ditekan­kan kepada para pemuda adalah seishin (semangat) dan bushido (jiwa satria). Selain itu, juga dikembangkan jiwa disiplin dan menghilangkan­ rasa rendah diri. Salah satu cara untuk menanamkan nilat-nilai tersebut kepada kaum muda adalah dengan pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan khusus. Pendidikan­ umum, seperti sekolah rakyat (sekolah dasar) dan sekolah menengah. Sedangkan pendidikan khusus adalah latihan-latihan yang diadakan oleh Jepang.Latihan-latihan yang diadakan Jepang, antara lain BPAR (Bari­ san Pemuda Asia Raya).Wadah ini digunakan untuk menanamkan semangat Jepang. BPAR diadakan dari tingkat pusat di Jakarta. Kemudian di daerah-daerah dibentuk Komite Penginsafan Pemuda, yang anggota-anggotanya terdiri atas unsur kepanduan. Bentuk komite seperti ini sifatnya lokal dan disesuaikan dengan situasi daerah masing-masing.

Barisan­ Pemuda Asia Raya tingkat pusat diresmikan pada tanggal 11 Juni 1942 dengan pimpinan dr. Slamet Sudibyo dan S.A. Saleh. Sebenarnya, BPAR bagian dari Gerakan Tiga A. Program latihan di BPAR diadakan dalam jangka waktu tiga bulan dan jumlah peserta tidak dibatasi. Se­mua pemuda boleh masuk mengikuti latihan. Di dalam latihan-latihan­ tersebut ditekankan pentingnya semangat dan keyakinan, mengingat­ mereka akan menjadi pimpinan para pemuda.

Selain BPAR, Jepang juga membentuk wadah latihan yang disebut San A Seinen Kutensho di bawah Gerakan Tiga Ayang diprakarsai oleh H.Shimuzu dan Wakabayashi. Di dalam San A Seinen Kurensho latihan­ diadakan selama satu setengah bulan. Latihan-latihannya bersifat­ khusus, yakni ditujukan kepada para pemuda yang sudah pernah aktif di dalam organisasi, misalnya kepanduan. Di samping latihan-­latihan yang berkaitan dengan kedisiplinan dan semangat, pemuda juga diajari mengenai pengetahuan-pengetahuan praktis seperti memasak, merawat rumah, serta berkebun. Selain itu, pemuda juga diajari­ bahasa Jepang. Pada tahap pertama pelatihan, telah dilatih sebanyak 250 orang.

Meskipun telah dibentuk San A Seinen Kutensho, perkumpulan kepanduan juga masih diadakan, misalnya “Perkemahan Kepanduan Indonesia” (Perkindo) yang diadakan di Jakarta. Gerakan kepanduan merupakan wadah yang cukup baik untuk membina­ kader yang penuh semangat dan disiplin. Perkumpulan ini pernah dikunjungi oleh Gunseikan dan tokoh Empat Serangkai dari Putera.

b. Organisasi Semimiliter

Seinendan

Seinendan (Korps Pemuda) adalah organisasi para pemuda yang berusia 14-22 tahun. Pada awalnya, anggota Seinendan 3.500 orang pemuda dari seluruh Jawa.Tujuan dibentuknya Seinendan adalah untuk mendidik dan melatih para pemuda agar dapat menjaga dan mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan sendiri. Bagi Jepang, untuk mendapatkan tenaga cadangan guna memperkuat usaha mencapai kemenangan­ dalam perang Asia Timur Raya, perlu diadakannya pengerahan kekuatan pemuda. Oleh karena itu, Jepang melatih para pemuda atau para remaja melalui oraganisasi Seinendan. Dalam hal ini seinendan difungsikan sebagai barisan cadangan yang mengamankan garis belakang.

Pengkordinasian kegiatan Seinendan ini diserahkan kepada penguasa setempat. Misalnya di daerah tingkat syu, ketuanya syucokan sendiri. Begitu juga di daerah
Latihan Seinendan
Chudancho Latief Hendraningrat sedang memberikan pelajaran

ken, ketuanya kenco sendiri dan seterusnya. Untuk memperbanyak jumlah Seinendan, Jepang juga menggerakkan Seinendan bagian putri yang disebut Josyi Seinendan.Sampai pada masa akhir pendudukan Jepang, jumlah Seinendan itu mencapai sekitar 500.000 pemuda. Tokoh-tokoh Indonesia yang pernah menjadi anggota Seinendan antara lain,Sukarni dan Latif Hendraningrat.

Keibodan

Organisasi Keibodan (Korps Kewaspadaan) merupakan organisasi semimiliter yang anggotanya para pemuda yang berusia antara 25-35 tahun. Ketentuan utama untuk dapat masuk keibodan adalah mereka yang berbadan sehat dan berkelakuan baik. Apabila dilihat dari usianya, para anggota Keibodan sudah lebih matang dan siap untuk membantu Jepang dalam keamanan dan ketertiban. Pembentukan Keibodan ini memang dimaksudkan untuk membantu tugas polisi, misalnya menjaga lalu lintas dan pengamanan desa. Untuk itu anggota Keibodan juga dilatih kemiliteran. Pembina Keibodan adalah Departemen Kepolisian (Keimubu) dan di daerah syu (shu) dibina oleh Bagian Kepolisian (Keisatsubu). Di kalangan orang-orang Cina juga dibentuk Keibodan yang dinamakan Kakyo Keibotai.

Untuk meningkatkan kualitas dan keterampilan Keibodan maka Jepang mengadakan program latihan khusus untuk para kader. Latihan khusus tersebut diselenggarakan di sekolah Kepolisian di Sukabumi. Jangka waktu latihan tersebut selama satu bulan. Mereka dibina secara khusus dan diawasi secara langsung oleh para polisi Jepang. Mereka tidak boleh terpengaruh oleh kaum nasionalis.

Organisasi Seinendan dan Keibodan dibentuk di daerah-­daerah seluruh Indonesia, meskipun namanya berbeda-beda. Misalnya di Sumatra disebut Bogodan dan di Kalimantan disebut Borneo Konan Kokokudan. Jumlah anggota Seinendan diperkirakan mencapai dua juta orang dan Keibodan mencapai sekitar satu juta anggota.

Di samping Seinendan dan Keibodan,­ pada bulan Agustus 1943 juga dibentuk Fujinkai (Perkumpulan Wanita). Anggotanya minimal harus berusia 15 tahun. Fujinkai bertugas di garis belakang untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat melalui kegiatan pendidikan dan kursus-kursus. Ketika situasi perang semakin memanas, Fujinkai ini juga diberi latihan militer sederhana, bahkan pada tahun 1944 dibentuk “Pasukan Srikandi”.


Organisasi sejenis juga dibentuk untuk usia murid SD yang disebut Seinentai (barisan­ murid sekolah dasar), kemudian dibentuk Gakukotai (barisan murid sekolah lanjutan).

Barisan Pelopor

Pada pertengahan tahun, diadakan rapat Chuo-Sangi-In (Dewan Pertimbangan Pusat). Salah satu keputusan rapat tersebut adalah merumuskan cara untuk menumbuhkan keinsyafan dan kesadaran yang mendalam di kalangan rakyat untuk memenuhi kewajiban dan membangun persaudaraan untuk seluruh rakyat dalam rangka mempertahankan tanah airnya dari serangan musuh. Sebagai wujud konkret dari kesimpulan rapat itu maka pada tanggal 1 November 1944, Jepang membentuk organisasi baru yang dinamakan “Barisan Pelopor”.Melalui organisasi ini diharapkan adanya kesadaran rakyat untuk berkembang, sehingga siap untuk membantu Jepang dalam mempertahankan Indonesia.Organisasi semimiliter “Barisan Pelopor” ini tergolong unik karena pemimpinnya adalah seorang nasionalis, yakni Ir. Sukarno, yang dibantu oleh R.P. Suroso, Otto Iskandardinata, dan Buntaran Martoatmojo.

Organisasi “Barisan Pelopor” berkembang di daerah perkotaan. Organisasi ini mengadakan pelatihan militer bagi para pemuda, meskipun hanya menggunakan peralatan yang sederhana, seperti senapan kayu dan bambu runcing. Di samping itu, mereka juga dilatih bagaimana menggerakkan massa, memperkuat pertahanan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Keanggotaan dari Barisan Pelopor ini mancakup seluruh pemuda, baik yang terpelajar maupun yang berpendidikan rendah, atau bahkan tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Keanggotaan yang heterogen ini justru diharapkan menimbulkan semangat solidaritas yang tinggi, sehingga timbul ikatan emosional dan semangat kebangsaan yang tinggi.

Barisan Pelopor ini berada di bawah naungan Jawa Hokokai. Anggotanya mencapai 60.000 orang. Di dalam Barisan Pelopor ini, dibentuk Barisan Pelopor Istimewa yang anggotanya dipilih dari asrama-asrama pemuda yang terkenal. Anggota Barisan Pelopor Istimewa berjumlah 100 orang, di antaranya ada Supeno, D.N. Aidit, Johar Nur, dan Asmara Hadi. Ketua Barisan Pelopor Istimewa adalah Sudiro. Barisan Pelopor Istimewa berada di bawah kepemimpinan para nasionalis,sehingga berkembang pesat. Dengan adanya organisasi ini, semangat nasionalisme dan rasa persaudaraan di lingkungan rakyat Indonesia menjadi berkobar.

Hizbullah

Pada tanggal 7 September 1944, PM Jepang, Kaiso mengeluarkan­ janji tentang kemerdekaan untuk Indonesia. Sementara keadaan di medan perang, Jepang mengalami berbagai kekalahan. Jepang mulai merasakan berbagai kesulitan. Keadaan tersebut memicu Jepang untuk menambah kekuatan yang telah ada. Jepang merencanakan untuk membentuk­ pasukan cadangan khusus dan pemuda-pemuda Islam sebanyak 40.000 orang.

Rencana Jepang untuk membentuk pasukan khusus Islam tersebut, cepat tersebar di tengah masyarakat. Rencana ini segera mendapat sambutan positif dari tokoh-tokoh Masyumi, sekalipun motivasinya berbeda. Begitu pula para pemuda Islam lainnya,mereka menyambut dengan penuh antusias. Bagi Jepang, pasukan khusus Islam itu digunakan untuk membantu memenangkan perang, tetapi bagi Masyumi pasukan itu digunakan untuk persiapan menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia. Berkaitan dengan hal itu maka para pemimpin Masyumi mengusulkan kepada Jepang untuk membentuk pasukan sukarelawan­ yang khusus terdiri atas pemuda-pemuda Islam. Oleh karena itu, pada tanggal 15 Desember 1944 berdiri pasukan sukarela­wan pemuda Islam yang dinamakan Hizbullah (Tentara Allah) yang dalam istilah Jepangnya disebut Kaikyo Seinen Teishinti.

Tugas pokok Hizbullah adalah sebagai berikut:

a. Sebagai tentara cadangan dengan tugas:
  1. melatih diri, jasmani maupun rohani dengan segiat-giatnya,­
  2. membantu tentara Dai Nippon,
  3. menjaga bahaya udara dan mengintai mata-mata musuh, dan
  4. menggiatkan dan menguatkan usaha-usaha untuk kepen­tingan perang.
b. Sebagai pemuda Islam, dengan tugas:
  1. menyiarkan agama Islam,
  2. memimpin umat Islam agar taat menjalankan agama, dan
  3. membela agama dan umat Islam Indonesia.
Untuk mengoordinasikan program dan kegiatan Hizbullah, maka dibentuk pengurus pusat Hizbullah. Ketua pengurus pusat Hizbullah adalah KH. Zainul Arifin, dan wakilnya adalah Moh. Roem. Anggota pengurusnya an­tara lain, Prawoto Mangunsasmito, Kiai Zarkasi, dan Anwar Cokroaminoto.

Setelah itu, dibuka pendaftaran untuk anggota Hizbullah. Pada tahap pertama pendaftaran melalui Syumubu (kantor Agama). Setiap karesidenan diminta mengirim 25 orang pemuda Islam, rata-rata mereka para pemuda berusia 17-25 tahun. Berdasarkan usaha tersebut, terkumpul 500 orang pemuda. Para anggota Hizbullah ini kemudian dila­tih secara kemiliteran dan dipusatkan di Cibarusa, Bogor,­ Jawa Barat. Pada tanggal 28 Februari 1945, latihan secara resmi dibuka oleh pimpinan tentara Jepang. Pembukaan latihan ini dihadiri oleh pengurus Masyumi, seperti KH. Hasyim Asyari, K.H. Wahid Hasyim, dan Moh. Natsir. Dalam pidato pembukaannya, pimpinan tentara Jepang menegaskan bahwa para pemuda Islam dilatih agar menjadi kader dan pemimpin barisan Hizbullah. Tujuannya adalah agar para pemuda dapat mengatasi kesukaran perang dengan hati tabah dan iman yang teguh. Para pelatihnya­ berasal dari komandan-komandan Peta dan di bawah pe­ ngawasan perwira Jepang, Kapten Yanagawa Moichiro (pemeluk Islam, yang kemudian menikah dengan seorang putri dari Tasik).

Latihan dilakukan di Cibarusa selama tiga setengah bulan. Program latihannya di samping keterampilan fisik kemiliteran,­ juga dalam bidang mental rohaniah. Keterampilan fisik kemiliteran dilatih oleh para komandan Peta, sedangkan bidang mental kerohanian dilatih oleh K.H. Mustafa Kamil (bidang kekebalan), K.H. Mawardi (bidang tauhid), K.H. Abdul Halim (bidang politik), dan Kiai Tohir Basuki (bidang sejarah). Sementara itu, sebagai ketua asrama adalah K.H. Zainul Arifin.

Ternyata latihan di Cibarusa telah berhasil membina­ kader-kader pejuang yang militan. Pelatihan itu juga menumbuhkan semangat nasionalisme para kader Hizbullah. Setelah selesai pelatihan, mereka kembali ke daerah masing-masing untuk membentuk cabang-cabang Hizbullah beserta program pelatihannya. Dengan demikian, berkembanglah kekuatan Hizbullah di berbagai daerah.

Para anggota Hizbullah menyadari bahwa tanah Jawa adalah pusat pemerintahan tanah air Indonesia maka harus dipertahankan. Apabila Jawa yang merupakan garis terdepan diserang musuh, Hizbullah akan mempertahankan dengan penuh semangat. Semangat ini tentu pada hakikatnya bukan karena untuk membantu Jepang, tetapi demi tanah air Indonesia. Jika Barisan Pelopor disebut sebagai organisasi semimiliter di bawah naungan Jawa Hokokai, maka Hizbullah merupakan organisasi semimiliter berada di bawah naungan Masyumi.

3. Organisasi Militer

a. Heiho

Heiho (Pasukan Pembantu) adalah prajurit Indonesia yang langsung ditempatkan di dalam organisasi militer Jepang, baik Angkatan Darat maupun Angkatan Laut. Syarat-syarat untuk menjadi tentara Heiho antara lain: (1) umur 18-25 tahun, (2) berbadan sehat, (3) berkelakuan baik, dan (4) berpendidikan minimal sekolah dasar. Tujuan pembentukan Heiho
Latihan militer dalam Heiho

adalah membantu tentara Jepang. Kegiatannya antara lain, membangun kubu-kubu pertahanan, menjaga kamp tahanan, dan membantu perang tentara Jepang di medan perang. Sebagai contoh, banyak anggota Heiho yang ikut perang melawan tentara Serikat di Kalimantan, Irian, bahkan ada yang sampai ke Birma.

Organisasi Heiho lebih terlatih di dalam bidang militer dibanding dengan organisasi-organisasi lain. Kesatuan Heiho merupakan bagian integral dari pasukan Jepang. Mereka sudah dibagi-bagi menurut kompi dan dimasukkan ke kesatuan Heiho menurut daerahnya,di Jawa menjadi bagian Tentara ke-16 dan di Sumatera menjadi bagian Tentara ke-25. Selain itu, juga sudah terbagai menjadi Heiho bagian angkatan darat, angkatan laut, dan juga bagian Kempeitei (kepolisian). Dalam Heiho, telah ada pembagian tugas, misalnya bagian pemegang senjata antipesawat, tank, artileri, dan pengemudi.

Sejak berdiri sampai akhir pendudukan Jepang, diperkirakan jumlah anggota Heiho mencapai sekitar 42.000 orang dan sebagian besar sekitar 25.000 berasal dari Jawa. Namun,dari sekian banyak anggota Heiho tidak seorang pun yang berpangkat perwira, karena pangkat perwira hanya untuk orang Jepang.

b. Peta

Sekalipun tidak dapat dilepaskan dari rasa ketakutan akan adanya serangan Sekutu, Jepang berusaha agar Indonesia dapat dipertahankan dari serangan Sekutu. Heiho sebagai pasukan yang terintegrasi dengan pasukan Jepang masih dipandang belum memadai. Jepang masih berusaha agar ada pasukan yang secara konkret mempertahankan Indonesia. Oleh karena itu, Jepang berencana membentuk pasukan untuk mempertahankan tanah air Indonesia yang disebut Pasukan Pembela Tanah Air (Peta). Jepang berupaya mempertahankan Indonesia dari serangan Sekutu secara sungguh-sungguh. Hal ini bisa saja didasari oleh rasa was-was yang makin meningkat karena situasi di medan perang yang bertambah sulit sehingga di samping Heiho, Jepang juga membentuk organisasi Peta (Pembela­ Tanah Air).

Peta adalah organisasi militer. Karena itu, para anggota Peta juga mendapatkan latihan kemiliteran. Mula-mula yang ditugasi untuk melatih anggota Peta adalah seksi khusus dari bagian intelijen yang disebut Tokubetsu Han. Bahkan sebelum ada perintah pembentukan Peta, bagian Tokuhetsu Han sudah melatih para pemuda Indonesia­ untuk tugas intelijen. Latihan tugas intelijen dipimpin oleh Yanagawa. Latihan ini kemudian berkembang secara
Pelatihan calon tentara Peta

sistematis dan terprogram. Penyelenggaraannya berada di dalam Seinen Dojo (Panti Latihan Pemuda) yang terletak di Tangerang. Mula-mula anggota yang dilatih hanya 40 orang dari seluruh Jawa.

Pada akhir latihan angkatan ke-2 di Seinen Dojo, keluar perintah­ dari Panglima tentara Jepang Letnan Jenderal Kumaikici Harada untuk membentuk Tentara “Pembela Tanah Air”(Peta). Berkaitan dengan itu, Gatot Mangkuprojo diminta untuk mengajukan rencana pembentukan organisasi Tentara Pembela Tanah Air. Akhirnya, pada tanggal 3 Oktober 1943 secara resmi berdirilah Peta. Berdirinya Peta ini berdasarkan peraturan dari pemerintah Jepang yang disebut Osamu Seinendan, nomor 44. Berdirinya Peta ternyata mendapat sambutan hangat di kalangan pemuda. Banyak di antara para pemuda yang tergabung dalam Seinendan mendaftarkan diri menjadi anggota Peta. Anggota Peta yang bergabung berasal dari berbagai golongan di dalam masyarakat.

Peta sudah mengenal adanya pangkat yang berbeda-beda dalam organisasi, misalnya daidanco (komandan batalion), cudanco (komandan kompi), shodanco (komandan peleton), bundanco (komandan regu), dan giyuhei (prajurit sukarela). Pada umumnya, para perwira yang menjadi komandan batalion atau daidanco dipilih dari kalangan tokoh-tokoh masyarakat atau orang-orang yang terkemuka,­ misalnya pegawai pemerintah, pemimpin agama, politikus, dan penegak hukum. Untuk cudanco dipilih dari mereka yang sudah bekerja, tetapi pangkatnya masih rendah, misalnya guru-guru  sekolah. Shodanco dipilih dari kalangan pelajar seko­lah lanjutan. Adapun budanco dan giyuhei dipilih dari para pemuda tingkat sekolah dasar.

Untuk mencapai tingkat perwira Peta, para anggota harus mengikuti pendidikan khusus. Pertama kali pendidikan itu dilaksanakan di Bogor dalam lembaga pelatihan yang diberi nama Korps Latihan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa (Jawa Boei Giyugun Kanbu Kyoikutai). Setelah menyelesaikan pelatihan, mereka ditempatkan di berbagai daidan (batalion) yang tersebar di Jawa, Madura, dan Bali.

Menurut struktur organisasi kemiliteran, Peta tidak secara resmi ditempatkan pada struktur organisasi tentara Jepang, hal ini memang berbeda dengan Heiho. Peta dimaksudkan sebagai pasukan gerilya yang membantu melawan apabila sewaktu-­waktu terjadi serangan dari pihak musuh. Jelasnya, Peta bertugas membela dan mempertahankan tanah air Indonesia dari serangan Sekutu. Dalam kedudukannya di struktur oraganisasi militer Jepang, Peta memiliki kedudukan yang lebih bebas/fleksibel dan dalam hal kepangkatan ada orang Indonesia yang sampai mencapai perwira. Oleh karena itu, banyak di antara berbagai lapisan masyarakat yang tertarik untuk menjadi anggota Peta. Sampai akhir pendudukan Jepang, anggota­ Peta ada sekitar 37.000 orang di Jawa dan sekitar 20.000 orang di Sumatra. Di Sumatra namanya lebih terkenal dengan Giyugun (prajurit-prajurit sukarela). Orang-orang Peta inilah yang akan banyak berperan di bidang ketentaraan di masa-masa berikutnya. Beberapa tokoh terkenal di dalam Peta, antara lain Supriyadi dan Sudirman.

SIMPUL SEJARAH

  1. Organisasi pergerakan di zaman pendudukan Jepang berdiri karena prakarsa Jepang.
  2. Ada organisasi yang kooperatif, tetapi ada gerakan bawah tanah.
  3. Organisasi yang bersifat sosial kemasyarakatan misalnya Gerakan Tiga A, Putera, Jawa Hokokai.
  4. Organisasi bersifat militer dan semimiliter antara lain: Seinendan, Keibodan, Barisan Pelopor, Heiho, dan Peta.

C. Menganalisis Pengerahan dan Penindasan Versus Perlawanan

Pengerahan romusa yang sedang bekerja

Di balik senyum manis dan propaganda yang menjanjikan, ternyata Jepang bertindak kejam. Jepang telah mengerahkan semua potensi dan kekuatan yang ada untuk menopang perang yang sedang mereka hadapi untuk melawan Sekutu. Jepang juga menguras aset kekayaan yang dimiliki Indonesia untuk memenangkan perang dan melanjutkan industri di negerinya.

Nah, uraian berikut akan membahas mengenai kebijakan dan tindakan Jepang dalam mengerahkan semua kekuatan yang ada di Indonesia dan juga kekejaman Jepang dalam berbagai bentuk kerja paksa, serta kebijakan-kebijakan lain yang menyakitkan rakyat Indonesia. Oleh karena itu, wajar jika kemudian muncul berbagai perlawanan.

1. Ekonomi Perang

Selama masa pendudukan Jepang di Indonesia, diterapkan konsep “Ekonomi perang”. Artinya, semua kekuatan ekonomi di Indonesia digali untuk menopang kegiatan perang. Perlu dipahami bahwa sebelum memasuki PD II, Jepang sudah berkembang menjadi negara industri dan sekaligus menjadi kelompok negara imperialis di Asia. Oleh karena itu, Jepang melakukan berbagai upaya untuk memperluas wilayahnya. Sasaran utamanya antara lain Korea dan Indonesia. Dalam bidang ekonomi, Indonesia sangat menarik bagi Jepang. Sebab Indonesia merupakan kepulauan yang begitu kaya akan berbagai hasil bumi, pertanian, tambang, dan lain-lainnya. Kekayaan Indonesia tersebut sangat cocok untuk kepentingan industri Jepang. Indonesia juga dirancang sebagai tempat penjualan produk-produk industrinya. Meletusnya PD II pada hakikatnya merupakan wujud konkret dari ambisi dan semangat imperialisme masing-masing negara untuk memperluas daerah kekuasaannya. Oleh karena itu, pada saat berkobarnya PD II, Indonesia benar-benar menjadi sasaran perluasan pengaruh kekuasaan Jepang. Bahkan, Indonesia kemudian menjadi salah satu benteng pertahanan Jepang untuk membendung gerak laju kekuatan tentara Serikat dan melawan kekuatan Belanda.

Setelah berhasil menguasai Indonesia, Jepang mengambil kebijakan dalam bi­ dang ekonomi yang sering disebut self help. Hasil perekonomian di Indonesia dijadikan modal untuk mencukupi kebutuhan pemerintahan Jepang yang sedang berkuasa di Indonesia­. Kebijakan Jepang itu juga sering disebut dengan Ekonomi Perang. Untuk lebih jelasnya perlu dilihat bagaimana tindakan-tindakan Jepang dalam bidang ekonomi di Indonesia.

Pada waktu Jepang mendarat di Indonesia pada tahun 1942, ternyata tentara Hindia Belanda telah membumihanguskan objek-objek vital yang ada di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar Jepang mengalami kesulitan dalam upaya menguasai Indonesia. Akibat dari pembumihangusan itu, keadaan perekonomian di Indonesia menjadi lumpuh pada awal pendudukan Jepang. Sehubungan dengan keadaan tersebut, langkah pertama yang diambil Jepang adalah melakukan pengawasan dan perbaikan prasarana ekonomi. Beberapa prasarana seperti jembatan, alat transportasi, teleko­munikasi, dan bangunan-bangunan diperbaiki. Kemudian beberapa peraturan yang mendukung program pengawasan kegiatan ekonomi dikeluarkan termasuk­ ditetapkannya peraturan pengendalian kenaikan harga. Bagi mereka yang melanggar, akan dijatuhi hukuman berat.

Sementara itu, bidang perkebunan di masa Jepang mengalami kemunduran. Hal ini berkaitan dengan kebijakan Jepang yang memutuskan hubungan dengan Eropa (yang merupakan pusat perdagangan dunia). Karena tidak perlu memperdagangkan hasil perkebunan yang laku di pasaran dunia, seperti tebu (gula), tembakau, teh, dan kopi, maka Jepang tidak lagi mengembangkan jenis tanaman tersebut. Bahkan tanah-tanah perkebunan­ diganti menjadi tanah pertanian sesuai dengan kebutuhan Jepang. Tanah-tanah itu diganti dengan tanaman padi untuk menghasilkan bahan makanan dan bahan-bahan lain yang sangat dibutuhkan, misalnya jarak. Tanaman jarak waktu itu sangat dibutuhkan karena dapat digunakan sebagai minyak pelumas mesin-­mesin, termasuk mesin pesawat terbang. Tanaman kina juga sangat dibutuhkan,­ yaitu untuk membuat obat antimalaria, sebab penyakit malaria sangat mengganggu dan melemahkan kemampuan tempur para prajurit. Pabrik obat yang sudah ada di Bandung sejak zaman Belanda terus dihidupkan. Tanaman tebu di Jawa juga mulai dikurangi. Pabrik-pabrik gula sebagian besar mulai ditutup. Penderesan getah karet di Sumatra mulai­ dihentikan. Tanaman-tanaman tembakau, teh, dan kopi di berbagai tempat dikurangi. Oleh karena itu, pada masa Jepang ini, hasil-hasil perkebunan sangat menurun. Produksi karet juga turun menjadi seperlimanya produksi tahun 1941. Pada tahun 1943 produksi teh turun menjadi sepertiganya dari zaman Hindia Belanda. Beberapa pabrik tekstil juga mulai ditutup karena pengadaan kapas dan benang begitu sulit. Dalam bidang transportasi, Jepang merasakan kekurangan­ kapal-kapal. Oleh karena itu, Jepang terpaksa mengadakan industri kapal angkut dari kayu. Jepang juga membuka pabrik mesin, paku, kawat, dan baja pelapis granat, tetapi semua usaha itu tidak berkembang lancar karena kekurangan suku cadang.

Kebutuhan pangan untuk menopang perang semakin meningkat, se­hingga kegiatan penanaman untuk menghasilkan bahan pangan terus ditingkatkan. Dalam hal ini, organisasi Jawa Hokokai giat melakukan kampanye untuk meningkatkan usaha pengadaan pangan terutama beras dan jagung. Tanah pertanian baru, bekas perkebunan dibuka untuk menambah produksi beras. Di Sumatra­ Timur, daerah bekas perkebunan yang luasnya ribuan hektar ditanami kembali sehingga menjadi daerah pertanian baru. Di tanah Karo juga dibuka lahan pertanian baru dengan meng­gunakan tenaga para tawanan. Di Kalimantan dan Sulawesi juga dibuka tanah pertanian baru untuk menambah hasil beras. Untuk kepentingan penambahan lahan pertanian ini, Jepang melakukan penebangan hutan secara liar dan besar-besaran. Di Pulau Jawa dilakukan penebangan hutan secara liar sekitar 500.000 hektar. Penebangan hutan secara liar dan berlebihan tersebut mengakibatkan hutan menjadi gun­ dul, sehingga timbullah erosi dan banjir pada musim penghujan. Penebangan hutan secara liar tersebut juga berdampak pada berkurangnya sumber mata air. Dengan demikian, sekalipun tanah pertanian semakin luas, tetapi kebutuhan pangan tetap tidak tercukupi. Keadaan ini semakin menambah beban bagi pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia. Untuk mengatasi keadaan ini kemudian pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan beberapa ketentuan yang sangat ketat yang terkait dengan produksi padi.
  1. Padi berada langsung di bawah pengawasan pemerintah Jepang. Hanya pemerintah Jepang yang berhak mengatur untuk produksi, pungutan dan penyaluran padi serta menentukan harganya. Dalam kaitan ini Jepang telah membentuk badan yang diberi nama Shokuryo Konri Zimusyo (Kantor Pengelolaan Pangan).
  2. Penggiling dan pedagang padi tidak boleh beroperasi sendiri, harus diatur oleh Kantor Pengelolaan Pangan.
  3. Para petani harus menjual hasil produksi padinya kepada pemerintah sesuai dengan kuota yang telah ditentukan dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah Jepang. Begitu juga padi harus diserahkan ke penggilingan padi yang sudah ditunjuk pemerintah Jepang. Dalam hal ini, berlaku ketentuan hasil keseluruhan produksi, petani berhak 40%, kemudian 30% disetor kepada pemerintah melalui penggilingan yang telah ditunjuk, dan 30% sisanya untuk persiapan bibit dengan disetor ke lumbung desa.
Dalam rangka mengendalikan kebijakan di bidang ekonomi, maka semua objek vital dan alat-alat produksi dikuasai oleh Jepang dan di bawah pengawasan yang sangat ketat. Pemerintah Jepang juga mengeluarkan peraturan untuk menjalankan perekonomian di bidang perkebunan. Perkebunan-perkebunan diawasi dan dipegang sepenuhnya oleh pemerintah Jepang. Banyak perkebunan yang dirusak dan diganti dengan tanaman yang sesuai untuk keperluan biaya perang. Rakyat dilarang menanam tebu dan membuat gula. Beberapa perusahaan swasta Jepang yang menangani pabrik gula adalah Meiji Seito Kaisya.

2. Pengendalian di Bidang Pendidikan dan Kebudayaan

Pemerintah Jepang mulai membatasi kegiatan pendidikan. Jumlah sekolah juga dikurangi secara drastis. Jumlah sekolah dasar menurun dari 21.500 menjadi 13.500 buah. Sekolah lanjutan menurun dari 850 menjadi 20 buah. Kegiatan perguruan tinggi boleh dikatakan macet. Jumlah murid sekolah dasar menurun 30% dan jumlah siswa sekolah lanjutan merosot sampai 90%. Begitu juga tenaga pengajarnya mengalami penurunan secara signifikan. Muatan kurikulum yang diajarkan juga dibatasi. Mata pelajaran bahasa Indonesia dijadikan mata pelajaran utama, sekaligus sebagai bahasa pengantar. Kemudian, bahasa­ Jepang menjadi mata pelajaran wajib di sekolah.

Para pelajar harus menghormati budaya dan adat istiadat Jepang. Mereka juga harus melakukan kegiatan kerja bakti (kinrohosyi). Kegiatan kerja bakti itu meliputi, pengumpulan bahan-bahan untuk perang, penanaman bahan makanan, penanaman pohon jarak, perbaikan jalan, dan pembersihan asrama. Para pelajar juga harus mengikuti kegiatan latihan jasmani dan kemiliteran. Mereka harus benar-benar menjalankan semangat Jepang (Nippon Seishin). Para pelajar juga harus menyanyikan lagu Kimigayo, menghormati bendera Hinomaru dan melakukan gerak badan (taiso) serta seikerei.

Akibat keputusan pemerintah Jepang tersebut, membuat angka buta huruf menjadi meningkat. Oleh karena itu, pemuda Indonesia mengadakan program pemberantasan buta huruf yang dipelopori oleh Putera. Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa kondisi pendidikan di Indonesia pada masa pendudukan Jepang mengalami kemunduran.Kemunduran pendidikan itu juga berkaitan dengan kebijakan pemerintah Jepang yang lebih berorientasi pada kemiliteran untuk kepentingan pertahanan Indonesia dibandingkan pendidikan. Banyak anak usia sekolah yang harus masuk organisasi semimiliter sehingga banyak anak yang meninggalkan bangku sekolah.Bagi Jepang, pelaksanaan pendidikan bagi rakyat Indonesia bukan untuk membuat pandai, tetapi dalam rangka untuk pembentukan kader-kader yang memelopori program Kemakmuran­ Bersama Asia Timur Raya. Oleh karena itu, sekolah selalu menjadi­ tempat indoktrinasi kejepangan.

3. Pengerahan Romusa

Berbagai kebijakan dan tindakan Jepang seperti disebutkan di atas telah membuat penderitaan rakyat. Rakyat petani tidak dapat berbuat banyak kecuali harus tunduk kepada praktik-praktik tirani Jepang. Penderitaan rakyat ini semakin dirasakan dengan adanya kebijakan untuk pengerahan tenaga romusa. Kamu tahu apa yang dimaksud dengan romusa? Coba cari jawabnya!

Perlu diketahui bahwa untuk menopang Perang Asia Timur Raya, Jepang mengerahkan semua tenaga kerja dari Indonesia.Tenaga kerja inilah yang kemudian kita kenal dengan romusa. Mereka dipekerjakan di lingkungan terbuka, misalnya di lingkungan pembangunan kubu-kubu pertahanan, jalan raya, lapangan udara. Pada awalnya, tenaga kerja dikerahkan di Pulau Jawa yang padat penduduknya, kemudian di kota-kota dibentuk barisan romusa sebagai sarana propaganda. Desa-desa diwajibkan untuk menyiapkan sejumlah tenaga romusa. Panitia pengerahan tersebut disebut Romukyokai, yang ada di setiap daerah.

Rakyat yang dijadikan romusa pada umumnya adalah rakyat yang bertenaga kasar. Pada awalnya, rakyat Indonesia melakukan tugas romusa secara sukarela, sehingga Jepang tidak mengalami kesulitan untuk memperoleh tenaga. Sebab, rakyat sangat tertarik dengan propaganda tentara Jepang sehingga rakyat rela membantu untuk bekerja apa saja tanpa digaji. Oleh karena itu, di beberapa kota pernah terdapat beberapa romusa yang sifatnya sementara dan sukarela. Romusa sukarela terdiri atas para pegawai yang bekerja (tidak digaji) selama satu minggu di suatu tempat yang penting. Salah satu contoh ada rombongan dari Jakarta dipimpin oleh Sukarno. Para pekerja sukarela ini bekerja dalam suasana yang disebut “Pekan Perjuangan Mati-Matian”. Akan tetapi lama-kelamaan karena kebutuhan yang terus meningkat di seluruh kawasan Asia Tenggara, pengerahan tenaga yang bersifat sukarela ini oleh pemerintah Jepang diubah menjadi sebuah keharusan dan paksaan.

Rakyat Indonesia yang menjadi romusa itu diperlakukan dengan tidak senonoh, tanpa mengenal peri kemanusiaan. Mereka dipaksa bekerja sejak pagi hari sampai petang, tanpa makan dan pelayanan yang cukup, padahal mereka melakukan pekerjaan kasar yang sangat memerlukan banyak asupan makanan dan istirahat. Mereka hanya dapat beristirahat pada malam hari. Kesehatan mereka tidak terurus. Tidak jarang di antara mereka jatuh sakit bahkan mati kelaparan.
romusa sedang bekerja

Untuk menutupi kekejamannya dan agar rakyat merasa tidak dirugikan, sejak tahun 1943, Jepang melancarkan kampanye dan propa­ganda untuk menarik rakyat agar mau berangkat bekerja sebagai romusa. Untuk mengambil hati rakyat, Jepang memberi julukan mereka yang menjadi romusa itu sebagai “Prajurit Ekonomi” atau “Pahlawan Pekerja”. Para romusa itu diibaratkan sebagai orang-orang yang sedang menunaikan tugas sucinya untuk memenangkan perang dalam Perang Asia Timur Raya. Pada periode itu sudah sekitar 300.000 tenaga romusa dikirim­ ke luar Jawa, bahkan sampai ke luar negeri seperti ke Birma, Muangthai, Vietnam, Serawak, dan Malaya. Sebagian besar dari mereka ada yang kembali ke daerah asal, ada yang tetap tinggal di tempat kerja, tetapi kebanyakan mereka mati di tempat kerja.

Bagaimana dampak dari kebijakan dan tindakan Jepang tersebut? 

Yang jelas penderitaan rakyat tidak berkurang tetapi justru semakin bertambah. Kehidupan rakyat benar-benar menyedihkan. Bahan makanan sulit didapatkan karena banyak petani yang menjadi pekerja romusa. Gelandangan di kota-kota besar makin tumbuh sumbur, seperti di kota Surabaya, Jakarta, Bandung, dan Semarang. Tidak jarang mereka mati kelaparan di jalanan atau di bawah jembatan. Penyakit kudis menjangkiti masyarakat. Pasar gelap tumbuh di kota-kota besar. Akibatnya, barang-barang keperluan sulit didapatkan dan semakin sedikit jumlahnya. Masyarakat hidup dalam kesulitan. Uang yang dikeluarkan Jepang tidak ada jaminannya, bahkan mengalami inflasi yang parah. Bahan-bahan pakaian sulit didapatkan, bahkan masyarakat menggunakan karung goni sebagai bahan pakaian mereka. Obat-obatan juga sangat sulit didapatkan. Penderitaan rakyat Indonesia semakin tidak tertahankan.

4. Perang Melawan Tirani Jepang

Jepang yang mula-mula disambut dengan senang hati, kemudian berubah menjadi kebencian. Rakyat bahkan lebih benci pada pemerintah Jepang daripada pemerintah Kolonial Belanda. Jepang seringkali bertindak sewenang-wenang. Rakyat tidak bersalah ditangkap, ditahan, dan disiksa. Kekejaman itu dilakukan oleh kempetai (polisi militer Jepang). Pada masa pendudukan Jepang banyak gadis dan perempuan Indonesia yang ditipu oleh Jepang dengan dalih untuk bekerja sebagai perawat atau disekolahkan, ternyata hanya dipaksa untuk melayani para kempetai. Para gadis dan perempuan itu disekap dalam kamp-kamp yang tertutup sebagai wanita penghibur. Kamp-kamp itu dapat kita temukan di Solo, Semarang, Jakarta, dan Sumatra Barat. Kondisi itu menambah deretan penderitaan rakyat di bawah kendali penjajah Jepang. Oleh karena itu, wajar kalau kemudian timbul berbagai perlawanan.

a. Aceh Angkat Senjata

Salah satu perlawanan terhadap Jepang di Aceh adalah perlawananan rakyat yang terjadi di Cot Plieng yang dipimpin oleh Abdul Jalil. Abdul Jalil adalah seorang ulama muda, guru mengaji di daerah Cot Plieng, Provinsi Aceh. Karena melihat kekejaman dan kesewenangan pemerintah pendudukan Jepang, terutama terhadap romusa, maka rakyat Cot Plieng melancarkan perlawanan. Abdul Jalil memimpin rakyat Cot Plieng untuk melawan tindak penindasan dan kekejaman yang dilakukan pendudukan Jepang.

Di Lhokseumawe, Abdul Jalil berhasil menggerakkan rakyat dan para santri di sekitar Cot Plieng. Gerakan Abdul Jalil ini di mata Jepang dianggap sebagai tindakan yang sangat membahayakan. Oleh karena itu, Jepang berusaha membujuk Abdul Jalil untuk berdamai. Namun, Abdul Jalil bergeming dengan ajakan damai itu. Karena Abdul Jalil menolak jalan damai, pada tanggal 10 November 1942, Jepang mengerahkan pasukannya untuk menyerang Cot Plieng.

Kemudian, pertempuran berlanjut hingga pada tanggal 24 November 1942, saat rakyat sedang menjalankan ibadah salat subuh. Karena diserang, maka rakyat- pun dengan sekuat tenaga melawan. Rakyat dengan bersenjatakan pedang dan kelewang, bertahan­ bahkan dapat memukul mundur tentara Jepang. Serangan tentara Jepang diulang untuk yang kedua kalinya, tetapi dapat digagalkan oleh rakyat. Kekuatan Jepang semakin ditingkatkan. Kemudian, Jepang­ melancarkan serangan untuk yang ketiga kalinya dan berhasil menghancurkan pertahanan rakyat Cot Plieng, setelah Jepang membakar masjid. Banyak rakyat pengikut Abdul Jalil yang terbunuh. Dalam keadaan terdesak, Abdul Jalil dan beberapa pengikutnya berhasil meloloskan diri ke Buloh Blang Ara. Beberapa hari kemudian, saat Abdul Jalil dan pengikutnya sedang menjalankan sholat, mereka ditembaki oleh tentara Jepang sehingga Abdul Jalil gugur sebagai pahlawan bangsa. Dalam pertempuran ini, rakyat yang gugur sebanyak 120 orang dan 150 orang luka-luka, sedangkan Jepang kehilangan 90 orang prajuritnya.

Kebencian rakyat Aceh terhadap Jepang semakin meluas sehingga muncul perlawanan di Jangka Buyadi bawah pimpinan perwira Gyugun Abdul Hamid. Dalam situasi perang yang meluas ke berbagai tempat, Jepang mencari cara yang efektif untuk menghentikan perlawanan Abdul Hamid. Jepang menangkap dan menyandera semua anggota keluarga Abdul Hamid. Dengan berat hati akhirnya Abdul Hamid mengakhiri perlawanannya. Berikutnya perlawanan rakyat berkobar di Pandrah Kabupaten Bireuen. Perlawanan disebabkan oleh masalah penyetoran padi dan pengerahan tenaga romusa. Kerja paksa yang diadakan Jepang terlalu memakan waktu pajang sehingga para petani hampir tidak memiliki kesempatan­ untuk menggarap sawah. Di samping itu, Jepang menancapi bambu runcing di sawah-sawah dengan maksud agar tidak dapat digunakan Sekutu untuk mendaratkan pasukan payungnya. Tindakan Jepang itu sangat merugikan rakyat. Dan yang memberatkan lagi, Jepang juga memaksa rakyat untuk menyerahkan hasil panennya sebanyak 50 – 80%.

b. Perlawanan di Singaparna

Singaparna merupakan salah satu daerah di wilayah Jawa Barat, yang rakyatnya dikenal sangat religius dan memiliki jiwa patriotik. Rakyat Singaparna sangat anti terhadap dominasi asing. Oleh karena itu, rakyat Singaparna sangat benci terhadap pendudukan Jepang, apalagi ketika mengetahui perilaku pemerintahan Jepang yang sangat kejam. Kebijakan-kebijakan Jepang yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat, banyak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam—ajaran yang banyak dianut oleh masyarakat Singaparna. Atas dasar pandangan dan ajaran Islam, rakyat Singaparna melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Jepang. Perlawanan itu juga dilatarbelakangi oleh kehidupan rakyat yang semakin menderita.


Pengerahan tenaga romusa dengan paksa dan di bawah ancaman ternyata sangat mengganggu ketenteraman rakyat. Para romusa dari Singaparna dikirim ke berbagai daerah di luar Jawa. Mereka umumnya tidak kembali karena menjadi korban keganasan alam maupun akibat tindakan Jepang yang tidak mengenal perikemanusiaan. Mereka banyak yang meninggal tanpa diketahui di mana kuburnya. Selain itu, rakyat juga diwajibkaan menyerahkan­ padi dan beras dengan aturan yang sangat menjerat dan menindas rakyat, sehingga penderitaan­ terjadi di mana-mana. Kemudian secara khusus rakyat Singaparna di bawah Kiai Zainal  Mustafa menentang keras untuk melakukan seikeirei. Itulah sebabnya rakyat Singaparna mengangkat senjata melawan Jepang.
Kiai Zainal Mustafa

Perlawanan meletus pada bulan Februari, 1944. Perlawanan dipimpin oleh Kiai Zainal Mustafa, seorang ajengan di Sukamanah, Singaparna. Ia adalah pendiri Pesantren Sukamanah. Pendiri pesantren Sukamanah ini tidak mau kerja sama dengan Jepang. Ia sangat menentang kebijakan-kebijakan Jepang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan Zainal Mustafa secara diam-diam telah membentuk­ “Pasukan Tempur Sukamanah” yang dipimpin oleh ajengan Najminudin.

Kiai Zainal Mustafa memulai pertempuran pada salah satu hari Jumat di bulan Februari 1944. Sebelum perang itu dimulai, ada beberapa utusan dari kepolisian Tasikmalaya dan beberapa orang Indonesia yang ingin mengadakan perundingan dengan Zainal Mustafa. Namun, polisi Jepang itu dilucuti senjatanya dan ditahan oleh pengikut Zainal Mustafa. Kemudian ada seorang polisi yang disuruh kembali ke Tasikmalaya untuk melaporkan yang baru saja terjadi dan menyampaikan ultimatum dari Kiai Zainal Mustafa kepada pihak Jepang agar besok segera memerdekakan Jawa dan jika tidak, maka akan terjadi pertempuran yang akan mengancam keselamatan orang-orang Jepang.

Hari berikutnya datang kembali rombongan utusan Jepang ke Sukamanah untuk mengadakan kembali perundingan dengan Zainal Mustafa, akan tetapi utusan Jepang itu bersikap congkak dan sombong untuk menunjukkan bahwa Jepang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan lebih kuat. Hal ini menyulut kemarahan pengikut Zainal Mustafa, sehingga utusan Jepang itu pun dilucuti senjatanya dan ditangkap bahkan ada yang dibunuh, sementara ada juga yang berhasil melarikan diri. Setelah kejadian ini, Jepang mengirimkan pasukan ke Sukamanah, yang terdiri dari 30 orang kempetai dan 60. orang polisi negara istimewa (tokubetsu keisatsu) dari Tasikmalaya dan Garut. Pertempuran terjadi­ lebih kurang satu jam di kampung Sukamanah. Pihak rakyat menyerang dengan mempergunakan pedang dan bambu runcing yang diikuti dengan teriakan takbir. Zainal Mustafa dengan pengikutnya bertempur mati-matian untuk menghadapi gempuran dari pihak Jepang. Karena jumlah pasukan yang lebih besar dan peralatan senjata yang lebih lengkap, tentara Jepang berhasil mengalahkan pasukan Zainal Mustafa. Dalam pertempuran ini banyak berguguran para pejuang Indonesia. Kiai Zainal Mustafa ditangkap Jepang bersama gurunya Kiai Emar. Selanjutnya Kiai Zainal Mustafa bersama 27 orang pengikutnya diangkut ke Jakarta. Pada tanggal 25 Oktober 1944, mereka dihukum mati. Sementara Kiai Emar disiksa oleh polisi Jepang dan akhirnya meninggal.

c. Perlawanan di Indramayu

Perlawanan terhadap kekejaman Jepang juga terjadi di daerah Indramayu. Latar belakang dan sebab-sebab perlawanan itu tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Singaparna. Para petani dan rakyat Indramayu pada umumnya hidup sangat sengsara. Jepang telah bertindak semena-mena terhadap para petani Indramayu. Mereka harus menyerahkan sebagian besar hasil padinya kepada Jepang. Tentu kebijakan ini sangat menyengsarakan rakyat. Begitu juga kebijakan untuk mengerahkan tenaga romusa juga terjadi di Indramayu, sehingga semakin membuat rakyat menderita.

Perlawanan rakyat Indramayu antara lain terjadi di Desa Kaplongan, Distrik Karangampel pada bulan April 1944. Kemudian pada bulan Juli, muncul pula perlawanan rakyat di Desa Cidempet, Kecamatan Lohbener. Perlawanan tersebut terjadi karena rakyat merasa tertindas dengan adanya kebijakan penarikan hasil padi yang sangat memberatkan. Rakyat yang baru saja memanen padinya harus langsung dibawa ke balai desa. Setelah itu, pemilik mengajukan permohonan kembali untuk mendapat sebagian padi hasil panennya. Rakyat tidak dapat menerima cara-cara Jepang yang demikian. Rakyat protes dan melawan. Mereka bersemboyan “lebih baik mati melawan Jepang daripada mati kelaparan”. Setelah kejadian tersebut, maka terjadilah perlawanan yang dilancarkan oleh rakyat. Namun, sekali lagi rakyat tidak mampu melawan kekuatan Jepang yang didukung dengan tentara dan peralatan yang lengkap. Rakyat telah menjadi korban dalam membela bumi tanah airnya.

d. Rakyat Kalimantan Angkat Senjata

Perlawanan rakyat terhadap kekejaman Jepang terjadi di banyak tempat. Begitu juga di Kalimantan, di sana terjadi peristiwa yang hampir sama dengan apa yang terjadi di Jawa dan Sumatra. Rakyat melawan Jepang karena himpitan penindasan­ yang dirasakan sangat berat. Salah satu perlawanan di Kalimantan adalah perlawanan yang dipimpin oleh Pang Suma, seorang pemimpin Suku Dayak. Pemimpin Suku Dayak ini memiliki pengaruh yang luas di kalangan orang-orang atau suku-suku dari daerah Tayan, Meliau, dan sekitarnya.

Pang Suma dan pengikutnya melancarkan perlawanan terhadap Jepang dengan taktik perang gerilya. Mereka hanya berjumlah sedikit, tetapi dengan bantuan rakyat yang militan dan dengan memanfaatkan keuntungan alam —rimba belantara, sungai, rawa, dan daerah yang sulit ditempuh— perlawanan berkobar dengan sengitnya. Namun, harus dipahami bahwa di kalangan penduduk juga berkeliaran para mata-mata Jepang yang berasal dari orang-orang Indonesia sendiri. Lebih menyedihkan lagi, para mata-mata itu juga tidak segan-segan menangkap rakyat, melakukan penganiayaan, dan pembunuhan,­ baik terhadap orang-orang yang dicurigai atau bahkan terhadap saudaranya sendiri. Adanya mata-mata inilah yang sering membuat perlawanan para pejuang Indonesia dapat dikalahkan oleh penjajah. Demikian juga perlawanan rakyat yang dipimpin Pang Suma di Kalimantan ini akhirnya mengalami kegagalan juga.

e. Perlawanan Rakyat Irian

Pada masa pendudukan Jepang, penderitaan juga dialami oleh rakyat di Papua. Mereka mendapat pukulan dan penganiayaan yang sering di luar batas kemanusiaan. Oleh karena itu, wajar jika kemudian mereka melancarkan perlawanan terhadap Jepang.

Gerakan perlawanan yang terkenal di Papua adalah “Gerakan Koreri” yang berpusat di Biak dengan pemimpinnya bernama L. Rumkorem. Biak merupakan pusat pergolakan untuk melawan pendudukan Jepang. Rakyat Irian memiliki semangat juang pantang menyerah, sekalipun Jepang sangat kuat, sedangkan rakyat hanya menggunakan senjata seadanya untuk melawan. Rakyat Irian terus memberikan perlawanan di berbagai tempat. Mereka juga tidak memiliki rasa takut. Padahal kalau ada rakyat yang tertangkap, Jepang tidak segan-segan memberi hukuman pancung di depan umum. Namun, rakyat Irian tidak gentar menghadapi semua itu. Mereka melakukan taktik perang gerilya. Tampaknya, Jepang cukup kewalahan menghadapi keberanian dan taktik gerilya orang-orang Irian. Akhirnya, Jepang tidak mampu bertahan menghadapi para pejuang Irian tersebut. Jepang akhirnya meninggalkan Biak. Oleh karena itu, dapat dikatakan Pulau Biak ini merupakan daerah bebas dan merdeka yang pertama di Indonesia.

Ternyata perlawanan di tanah Irian ini juga meluas ke berbagai daerah, dari Biak kemudian ke Yapen Selatan. Salah seorang pemimpin perlawanan di daerah ini adalah Silas Papare. Perlawanan di daerah ini berlangsung sangat lama bahkan sampai kemudian tentara Jepang dikalahkan Sekutu. Setelah berjuang bergerilya dalam waktu yang sangat lama, rakyat Yape Selatan mendapatkan bantuan senjata dari Sekutu, bantuan senjata itu membantu rakyat Yape Selatan untuk mengalahkan Jepang. Hal tersebut menunjukkan bagaimana keuletan rakyat Irian dalam menghadapi kekejaman pendudukan Jepang.

f. Peta di Blitar Angkat Senjata

Penderiatan rakyat sangat berat. Tidak ada sedikit pun dari pemerintah pendudukan Jepang yang memikirkan bagaimana hidup rakyat yang diperintahnya.Yang ada pada benak Jepang adalah memenangkan perang dan bagaimana mempertahankan Indonesia dari serangan Sekutu. Namun, justru rakyat yang dikorbankan. Penderitaan demi penderitaan rakyat ini mulai terlintas di benak Supriyadi seorang Shodanco Peta yang akhirnya tumbuh kesadaran nasionalnya untuk melawan Jepang.

Sebagai komandan Peta, Supriyadi cukup memahami bagaimana penderitaan rakyat akibat penindasan yang dilakukan Jepang. Masalah pengumpulan hasil padi, pengerahan romusa, semua dilakukan secara paksa dengan tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, sungguh kekejaman yang luar biasa. Hal semacam ini juga dirasakan Supriyadi dan kawan-kawannya di lingkungan Peta. Mereka
Daidan Peta di Blitar
kerap menyaksikan sikap congkak dan sombong dari para syidokan yang melatih mereka. Para pelatih Jepang sering merendahkan para prajurit bumiputera. Hal ini menambah rasa sakit hati dan sekaligus rasa benci pasukan Supriyadi terhadap pemerintahan Jepang di Indonesia. Penderitaan rakyat itulah yang menimbulkan rencana para anggota Peta di Blitar untuk melancarkan perlawanan terhadap pendudukan Jepang. Rencana perlawanan itu tampaknya sudah bulat tinggal menunggu waktu yang tepat. Dalam perlawanan Peta tersebut, direncanakan akan melibatkan rakyat dan beberapa kesatuan lain

Apa pun yang terjadi, Supriyadi dengan teman-temannya sudah bertekad bulat untuk melancarkan serangan terhadap pihak Jepang. Pada tanggal 29 Februari 1945 dini hari, Supriyadi dengan teman-temannya mulai bergerak. Mereka melepaskan tembakan mortir, senapan mesin, dan granat dari daidan, lalu keluar dengan bersenjata lengkap. Setelah pihak Jepang mengetahui adanya gerakan penyerbuan itu, mereka segera mendatangkan pasukan yang semuanya orang Jepang. Pasukan Jepang juga dipersenjatai dengan beberapa tank dan pesawat udara. Mereka segera menghalau para anggota Peta yang mencoba melakuakn perlawanan. Tentara Jepang mulai menguasai keadaan dan seluruh kota Blitar mulai dapat dikuasai. Pimpinan tentara Jepang kemudian menyerukan kepada segenap anggota Peta yang melakukan serangan, agar segera kembali ke induk kesatuan masing-masing.

Beberapa kesatuan mulai memenuhi perintah pimpinan tentara Jepang itu. Tetapi mereka yang kembali ke induk pasukannya memenuhi panggilan justru ditangkapi, ditahan, dan disiksa oleh polisi Jepang. Selanjutnya diserukan kepada anak buah Supriyadi agar menyerah dan kembali ke induk pasukannya.Kurang lebih setengah dari batalion Supriyadi memenuhi panggilan tersebut.Namun, pasukan yang lain tidak ingin kembali dan tetap setia melakukan perlawanan Peta yang dipimpin oleh Supriyadi. Mereka yang tetap melakukan perlawanan itu antara lain peleton pimpinan Shodanco, Supriyadi, dan Muradi. Mereka membuat pertahanan di lereng Gunung Kawi dan Distrik Pare.

Untuk menghadapi perlawanan Peta di bawah pimpinan Supriyadi, Jepang mengerahkan semua pasukannya dan mulai memblokir serta mengepung pertahanan pasukan Peta tersebut. Namun, pasukan Supriyadi tetap bertahan. Mengingat semangat, tekad, dan keuletan pasukan Supriyadi dan Muradi tersebut, maka Jepang mulai menggunakan tipu muslihat. Komandan pasukan Jepang Kolonel Katagiri pura-pura menyerah kepada pasukan Muradi. Kolonel Katagiri kemudian bertukar pikiran dengan anggota pasukan Peta dengan lemah lembut, penuh kesantunan, sehingga hati para pemuda yang telah memuncak panas itu bisa membalik menjadi dingin kembali. Kolonel Katagiri berhasil mengadakan persetujuan dengan mereka. Para pemuda­ Peta yang melancarkan serangan bersedia kembali ke daidan beserta senjata-senjatanya. Katagiri menjanjikan, bahwa segala sesuatu­ akan dianggap soal interen daidan, dan akan diurus oleh Daidanco Surakhmad. Mereka akan diterima kembali dan tidak akan dibawa ke depan pengadilan militer.

Dengan hasil kesepakatan itu, maka pada suatu hari kira-kira pukul delapan malam Shodanco Muradi tiba bersama pasukannya­ kembali ke daidan. Di sini sudah berderet barisan para perwira di bawah pimpinan Daidanco Surahmad. Sejenak kemudian Shodanco Muradi maju, lapor kepada Daidanco Surakhmad, bahwa pasukannya­ telah kembali. Mereka juga menyatakan menyesal atas perbuatan melawan Jepang dan berjanji untuk setia kepada kesatuannya. Mereka tidak menyadari bahwa telah masuk perangkap, karena dari tempat-tempat yang gelap pasukan Jepang telah mengepung mereka. Mereka kemudian dilucuti senjatanya dan ditawan, diangkut ke Markas Kempetai Blitar.

Tidak terlalu lama akhirnya perlawanan Peta di Blitar di bawah pimpinan Supriyadi ini dapat dipadamkan. Tokoh-tokoh dan anggota Peta yang ditangkap kemudian diadili di depan Mahkamah Militer Jepang di Jakarta.

Setelah melalui beberapa kali persidangan, mereka kemudian dijatuhi hukuman sesuai dengan peranan masing-masing dalam perlawanan itu. Ada yang mendapat pidana mati, ada yang seumur hidup, dan sebagainya. Mereka yang dipidana mati antara lain, dr. Ismail, Muradi, Suparyono,­ Halir Mangkudijoyo, Sunanto, dan Sudarno. Sementara itu, Supriyadi tidak jelas beritanya dan tidak disebut-sebut dalam pengadilan­ tersebut.

SIMPUL SEJARAH

  1. Jepang telah melakukan kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat Indonesia. Salah satunya kebijakan Ekonomi Perang, produk ekonomi yang semua diperuntukkan pemenangan Perang Asia Timur Raya.
  2. Pengendalian pendidikan dan kebudayaan yang berdampak pada kemunduran bidang ekonomi, rakyat menjadi bodoh dan banyak buta huruf. Bidang seni dan budaya juga diawasi.

D. Dampak Kedatangan Saudara Tua dalam Berbagai Kehidupan

Apakah yang terlintas dalam pikiranmu, ketika kamu menanyakan alamat seseorang? Tentu kamu akan menanyakan di jalan apa, di Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) berapakah orang tersebut tinggal. Selain memudahkan pencarian alamat, apakah sebenarnya fungsi RT dan RW saat ini? Istilah RT dan fungsinya ini diefektifkan pada pendudukan Jepang di Indonesia, tujuannya mematai-matai pribumi untuk kerja romusa.
RT dan RW mempunyai peranan yang cukup penting pada masa pendudukan Jepang. Saat itu Jepang membuat suatu kebijakan mengerahkan massa untuk bekerja lebih giat. Kerja itu kemudian menjurus ke arah kerja paksa, atau yang kita kenal dengan romusa.
Penderitaan rakyat, kelaparan rakyat ada di berbagai daerah

Untuk melaksanakan tugas pengerahan massa dengan baik, maka dibentuklah tonarigumi (RT), merupakan organisasi sosial yang efektif untuk mengawasi pengerahan tenaga kerja rakyat. Karena tenaga sepenuhnya disediakan untuk kepentingan Jepang, rakyat sendiri menjadi tidak terurus, ditambah lagi harus melakukan kerja paksa, maka kehidupan rakyat semakin menderita. Coba amati gambar di samping!

1. Dampak Pendudukan Jepang di Indonesia

a. Bidang Politik

Dalam bidang politik, Jepang melakukan kebijakan dengan melarang penggunaan bahasa Belanda dan mewajibkan penggunaan bahasa Jepang. Struktur pemerintahan dibuat sesuai dengan keinginan Jepang, misalnya desa dengan Ku,kecamatan dengan So,kawedanan dengan Gun, kotapraja dengan Syi, kabupaten dengan Ken, dan karesidenan dengan Syu. Setiap upacara bendera dilakukan penghormatan kearah Tokyo dengan membungkukkan badan 90 derajat yang ditujukan pada Kaisar Jepang Tenno Heika.

Seperti telah diterangkan di atas bahwa Jepang juga membentuk pemerintahan militer dengan angkatan darat dan angkatan laut. Angkatan darat yang meliputi Jawa-Madura berpusat di Batavia. Sementara itu di Sumatera berpusat di Bukittinggi, angkatan lautnya membawahi Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian, sebagai pusatnya di Ujungpandang. Pemerintahan itu berada dibawah pimpinan Panglima Tertinggi Jepang untuk Asia Tenggara yang berkedudukan di Dalat (Vietnam).

Jepang juga membentuk organisasi-organisasi dengan maksud sebagai alat propaganda, seperti gerakan Tiga A dan Gerakan Putera, tetapi gerakan tersebut gagal dan dimanfaatkan oleh kaum pergerakan sebagai wadah untuk pergerakan nasional. Tujuan utama pemerintah Jepang adalah menghapuskan pengaruh Barat dan menggalang masyarakat agar memihak Jepang. Pemerintah Jepang juga menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia yang diucapkan oleh PM Tojo dalam kunjungannya ke Indonesia pada September 1943. Kebijakan politik Jepang yang sangat keras itu membangkitkan semangat perjuangan rakyat Indonesia terutama kaum nasionalis untuk segera mewujudkan cita-cita mereka, yaitu Indonesia merdeka.

b. Keadaan Sosial-Budaya dan Ekonomi

Untuk membiayai Perang Pasifik, Jepang mengerahkan semua tenaga kerja dari Indonesia. Mereka dikerahkan untuk membuat benteng-benteng pertahanan. Mula-mula tenaga kerja dikerahkan dari Pulau Jawa yang padat penduduknya. Kemudian di kota-kota dibentuk barisan romusa sebagai sarana propaganda. Propaganda yang kuat itu menarik pemuda-pemuda untuk bergabung dengan sukarela. Pengerahan tenaga kerja yang mulanya sukarela lama-lama menjadi paksaan. Desa-desa diwajibkan untuk menyiapkan sejumlah tenaga romusa. Panitia pengerahan disebut dengan Romukyokai, yang ada disetiap daerah.

Para pekerja romusa itu diperlakukan dengan kasar dan kejam. Mereka tidak dijamin kehidupannya, kesehatan dan makan tidak diperhatikan. Banyak pekerja romusa yang jatuh sakit dan meninggal. Untuk mengembalikan citranya, Jepang mengadakan propaganda dengan menyebut pekerja romusa sebagai “pahlawan pekerja” atau “prajurit ekonomi”. Mereka digambarkan sebagai sosok yang suci dalam menjalankan tugasnya. Para pekerja romusa itu juga dikirim ke Birma, Muangthai, Vietnam, Serawak, dan Malaya.

Saat itu kondisi masyarakat menyedihkan. Bahan makanan sulit didapat akibat banyak petani yang menjadi pekerja romusa. Gelandangan di kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, dan Semarang semakin tumbuh sumbur. Tidak jarang mereka mati kelaparan di jalanan atau di bawah jembatan. Penyakit kudis menjangkiti masyarakat. Pasar gelap tumbuh di kota-kota besar. Barang-barang keperluan sulit didapatkan dan semakin sedikit jumlahnya. Uang yang dikeluarkan Jepang tidak ada jaminannya, bahkan mengalami inflasi yang parah. Bahan-bahan pakaian sulit didapatkan, bahkan masyarakat menggunakan karung goni sebagai bahan pakaian mereka. Obat-obatan juga sangat sulit didapatkan.

Semua objek vital dan alat-alat produksi dikuasai Jepang dan diawasi sangat ketat. Pemerintah Jepang mengeluarkan peraturan untuk menjalankan perekonomian. Perkebunan-perkebunan diawasi dan dipegang sepenuhnya oleh pemerintah Jepang. Banyak perkebunan yang dirusak dan diganti tanamannya untuk keperluan biaya perang. Rakyat dilarang menanam tebu dan membuat gula. Beberapa perusahaan swasta Jepang yang menangani pabrik gula adalah Meiji Seito Kaisya.

Masyarakat juga diwajibkan untuk melakukan pekerjaan yang dinilai berguna bagi masyarakat luas, seperti memperbaiki jalan, saluran air, atau menanam pohon jarak. Mereka melakukannya secara bergantian. Untuk mejalankan tugas tersebut dengan baik, maka dibentuklah tonarigumi (rukun tetangga) untuk memobilisasi massa dengan efektif.

Sementara itu, komunikasi di Indonesia mengalami kesulitan baik komunikasi antar pulau maupun komunikasi dengan dunia luar,karena semua saluran komunikasi dikendalikan oleh Jepang. Semua nama-nama kota yang menggunakan bahasa Belanda diganti dengan Bahasa Indonesia, seperti Batavia menjadi Jakarta dan Buitenzorg menjadi Bogor. Sementara itu, untuk mengawasi karya para seniman agar tidak menyimpang dari tujuan Jepang, maka didirikanlah pusat kebudayaan pada tanggal 1 April 1943 di Jakarta, yang bernama Keimun Bunka Shidosho.

Jepang yang mula-mula disambut dengan senang hati, kemudian berubah menjadi kebencian. Rakyat bahkan lebih benci pada pemerintah Jepang daripada pemerintah Kolonial Belanda. Jepang seringkali bertindak sewenang-wenang. Seringkali rakyat yang tidak bersalah ditangkap, ditahan, dan disiksa. Kekejaman itu dilakukan oleh kempetai (polisi militer Jepang). Pada masa pendudukan Jepang banyak gadis dan perempuan Indonesia yang ditipu oleh Jepang dengan dalih untuk bekerja sebagai perawat atau disekolahkan, tetapi ternyata hanya dipaksa untuk melayani para kompetai. Para gadis dan perempuan tersebut di sekap dalam kamp-kamp yang tertutup sebagai wanita penghibur. Kamp-kamp tersebut dapat ditemukan di Solo, Semarang, Jakarta, dan Sumatera Barat.

c. Pendidikan

Pada masa pendudukan Jepang, keadaan pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Pendidikan tingkat dasar hanya satu, yaitu pendidikan enam tahun. Hal itu sebagai politik Jepang untuk memudahkan pengawasan. Para pelajar wajib mempelajari bahasa Jepang. Mereka juga harus mempelajari adat istiadat Jepang dan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo, serta gerak badan sebelum pelajaran dimulai. Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar di semua sekolah dan dianggap sebagai mata pelajaran wajib.


Sementara itu, Perguruan Tinggi di tutup pada tahun 1943. Beberapa perguruan tinggi yang dibuka lagi adalah Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) di Jakarta dan Perguruan Tinggi Teknik (Kogyo Daigaku) di Bandung. Jepang juga membuka akademi pamong praja (Konkoku Gakuin) di Jakarta, serta Perguruan Tinggi Hewan di Bogor. Pada saat itu, perkembangan perguruan tinggi benar-benar mengalami kemunduran.

Satu hal keuntungan pada masa Jepang adalah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Melalui sekolah-sekolah itulah Jepang melakukan indoktrinisasi. Menurut Jepang, pendidikan kader-kader dibentuk untuk memelopori dan melaksanakan konsepsi kemakmuran Asia Raya. Namun, bagi bangsa Indonesia tugas berat itu merupakan persiapan bagi pemuda-pemuda terpelajar untuk mencapai kemerdekaan.

Para pelajar juga dianjurkan untuk masuk militer. Mereka diajarkan heiho atau sebagai pembantu prajurit. Pemuda-pemuda juga dianjurkan masuk barisan seinenden dan keibodan (pembantu polisi). Mereka dilatih baris berbaris dan perang meskipun hanya bersenjatakan kayu. Dalam seinenden mereka dijadikan barisan pelopor atau suisintai. Barisan pelopor itu mendapat pelatihan yang berat. Latihan militer itu kelak sangat berguna bagi bangsa kita.

d. Birokrasi dan Militer

Dalam bidang birokrasi, dengan dikeluarkannya UU no. 27 tentang Aturan Pemerintah Daerah dan UU No.28 tentang Aturan Pemerintah Syu dan Tokubetshu Syi, maka berakhirlah pemerintahan sementara. Kedua aturan itu merupakan pelaksanaan struktur pemerintahan dengan datangnya tenaga sipil dari Jepang di Jawa. Mereka ditempatkan di Jawa untuk melakukan tujuan reorganisasi Jepang, yang menjadikan Jawa sebagai pusat perbekalan perang di wilayah selatan.

Sesuai dengan undang-undang itu, seluruh kota di Jawa dan Madura, kecuali Solo dan Yogyakarta, dibagi atas syu, syi, ken, gun, son, dan ku. Pembentukan provinsi yang dilakukan Belanda diganti dan disesuaikan dengan struktur Jepang, daerah pemerintahan yang tertinggi, yaitu Syu. Meskipun luas wilayah Syu sebesar karesidenan, namun fungsinya berbeda. Apabila residen merupakan pembantu gubernur, maka Syu adalah pemerintah otonomi dibawah shucokan yang berkedudukan sama dengan gubernur. Pada pendudukan Jepang juga dibentuk Chou Sangi yang fungsinya tidak jauh berbeda dengan Volkstraad. Dalam Volkstraad masih dapat dilakukan kritik pemerintah dengan bebas. Sementara chou sangi tidak dapat melakukan hal itu.
Kedatangan tentara Jepang di Borneo Februari 1942

Pada masa pendudukan Jepang, rakyat Indonesia mendapatkan banyak manfaat dalam bidang militer. Mereka mendapat kesempatan untuk berlatih militer. Mulai dari dasar-dasar militer, baris berbaris, latihan menggunakan senjata, hingga organisasi militer, dan latihan perang. Melalui propagandanya, Jepang berhasil membujuk penduduk untuk menghadapi sekutu. Karena itulah mereka melatih menduduk dengan latihan-latihan militer. Bekas pasukan Peta itulah yang menjadi kekuatan inti Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

2. Janji kemerdekaan

Pada tahun 1944, Jepang terdesak, Angkatan Laut Amerika Serikat berhasil merebut kedudukan penting Kepulauan Mariana, sehingga jalan menuju Jepang semakin terbuka. Jenderal Hedeki Tojo pun kemudian digantikan oleh Jenderal Jiniaki Kaiso sebagai perdana menteri. Angkatan udara Sekutu yang di Morotai pun mulai mengadakan pengeboman atas kedudukan Jepang di Indonesia. Rakyat mulai kehilangan kepercayaannya terhadap Jepang dalam melawan Sekutu.

Sementara itu Jenderal Kiniaki Kaiso memberikan janji kemerdekaan (September 1944). Sejak itulah Jepang memberikan izin kepada rakyat Indonesia untuk mengibarkan bendera Merah Putih di samping bendera Jepang Hinomaru. Lagu Indonesia Raya boleh dinyanyikan setelah lagu Kimigayo. Sejak itu pula Jepang mulai mengerahkan tenaga rakyat Indonesia untuk pertahanan. Mereka disiapkan untuk menghadapi musuh. Pada saat itu suasana kemerdekaan terasa semakin dekat.
Rakyat menyambut janji kemerdekaan dari Jepang

Selanjutnya, Letnan Jenderal Kumakici Harada mengumumkan dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Maret 1945. Badan itu dibentuk untuk menyelidiki dan mengumpulkan bahan-bahan penting tentang ekonomi, politik, dan tatanan pemerintahan sebagai persiapan kemerdekaan Indonesia. Badan itu diketuai oleh Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, R.P Suroso sebagai wakil ketua merangkap kepala Tata Usaha dan seorang Jepang sebagai wakilnya Tata Usaha, yaitu Masuda Toyohiko dan Mr. R. M. Abdul Gafar Pringgodigdo. Semua anggotanya terdiri dari 60 orang dari tokoh-tokoh Indonesia, ditambah tujuh orang Jepang yang tidak punya suara.

Sidang BPUPKI dilakukan dua tahap, tahap pertama berlangsung pada 28 Mei 1945 sampai 1 Juni 1945. Sidang pertama tersebut dilakukan di Gedung Chou Shangi In di Jakarta yang sekarang dikenal sebagai Gedung Pancasila. Pada masa penjajahan Belanda gedung ini digunakan sebagai gedung Volksraad. Meskipun badan itu dibentuk oleh pemerintah militer Jepang, jalannya persidangan baik wakil ketua maupun anggota istimewa dari kebangsaan Jepang tidak pernah terlibat dalam pembicaraan persiapan kemerdekaan. Semua hal yang berkaitan dengan masalah-masalah kemerdekaan Indonesia merupakan urusan pemimpin dan anggota dari Indonesia.

Pada pidato sidang BPUPKI,Radjiman menyampaikan pokok persoalan mengenai Dasar Negara Indonesia yang akan dibentuk. Pada sidang tahap kedua yang berlangsung dari tanggal 10-11 Juni 1945, dibahas dan dirumuskan tentang Undang-Undang Dasar. Dalam kata pembukaannya Rajiman Wedyodiningrat meminta pandangan kepada para anggota mengenai dasar negara Indonesia. Orang-orang yang membahas mengenai dasar negara adalah Muhammad Yamin, Supomo, dan Sukarno.


Dalam sidang pertama, Sukarno mendapat kesempatan berbicara dua kali, yaitu tanggal 31 Mei dan 1 Juni 1945. Namun pada saat itu, seperti apa yang disampaikan oleh Radjiman, selama dua hari berlangsung rapat, belum ada yang menyampaikan pidato tentang dasar negara. Menanggapi hal itu, pada tanggal 1 Juni pukul 11.00 WIB, Sukarno menyampaikan pidato pentingnya. Pada saat itu, Gedung Chuo Shangi In mendapat penjagaan ketat dari tentara Jepang. Sidang saat itu dinyatakan tertutup, hanya beberapa wartawan dan orang teertentu yang diizinkan masuk. Dalam pidatonya, Sukarno mengusulkan dasar-dasar negara. Pada mulanya Sukarno mengusulkan Panca Dharma. Nama Panca Dharma dianggap tidak tepat, karena Dharma berarti kewajiban, sedangkan yang dimaksudkan adalah dasar. Sukarno kemudian meminta saran pada seorang teman, yaitu Muh. Yamin yang merupakan ahli bahasa, selanjutnya dinamakan Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itu didirikan Negara Indonesia, supaya kekal dan abadi.

Pidato Sukarno itu mendapat sambutan sangat meriah, tepukan tangan para peserta, suatu sambutan yang belum pernah terjadi selama persidangan BPUPKI. Para wartawan mencatat sambutan yang diucapkan Sukarno itu dengan cermat. Cindy Adam, penulis buku autobiografi Sukarno, menceritakan bahwa ketika ia diasingkan di Ende, Flores (saat ini menjadi Propinsi Nusa Tenggara Timur) pada tahun 1934-1937, Sukarno sering merenung tentang dasar negara Indonesia Merdeka, di bawah pohon sukun.

Pada kesempatan tersebut Ir. Sukarno juga menjadi pembicara kedua. Ia mengemukakan tentang lima dasar negara. Lima dasar itu adalah (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, (3) Mufakat atau Demokrasi, (4) Kesejahteraan Sosial, (5) Ketuhanan Yang Maha Esa. Pidato itu kemudian dikenal dengan Pancasila .

Sementara itu Muh.Yamin dalam pidatonya juga mengemukakan Azas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia. Menurut Yamin ada lima azas, yaitu ( 1) Peri Kebangsaan, (2) Peri Kemanusian, (3) Peri Ketuhanan, (4) Peri Kerakyatan, dan (5) Kesejahteraan rakyat.

Selanjutnya, sebelum sidang pertama berakhir BPUPKI membentuk panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang. Pembentukan panitia sembilan itu bertujuan untuk merumuskan tujuan dan maksud didirikannya Negara Indonesia. Panitia kecil itu terdiri atas, Ir. Sukarno, Drs Muh. Yamin, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. A.A Maramis, Abdul Kahar Muzakkar, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Cokrosuyoso. Panitia kecil itu menghasilkan rumusan yang menggambarkan maksud dan tujuan Indonesia Merdeka. Kemudian disusunlah rumusan bersama dasar negara Indonesia Merdeka yang kita kenal dengan Piagam Jakarta.

PIAGAM JAKARTA

  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
  2. (menurut) dasar kemanusian yang adil dan beradab.
  3. Persatuan Indonesia
  4. (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dalam permusyawaratan/ perwakilan
  5. (serta dengan mewujudkan suatu ) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

3. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)

BPUKPI kemudian dibubarkan setelah tugas-tugasnya selesai. Selanjutnya dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 7 Agustus 1945. Badan itu beranggotakan 21 orang, yang terdiri dari 12 orang wakil dari Jawa, tiga orang wakil dari Sumatera, dan dua orang dari Sulawesi dan masing-masing satu orang dari Kalimantan, Sunda Kecil, Maluku, dan golongan penduduk Cina, ditambah enam orang tanpa izin dari pihak Jepang. Panitia inilah yang kemudian mengesahkan Piagam Jakarta sebagai pendahuluan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, 18 Agustus 1945.

SIMPUL SEJARAH

  1. Kedatangan Jepang yang dianggap sebagai Saudara Tua pada mulanya disambut dengan penuh harapan. Namun, perlakuan yang kejam terhadap rakyat Indonesia menimbulkan kebencian rakyat Indonesia pada Jepang.
  2. Dampak pendudukan Jepang di Indonesia menjadikan rakyat semakin sengasara, serta kehidupan yang semakin sulit. Semua gerak dikontrol oleh pemerintah Jepang. Selama itu pula, Jepang menerapkan kebijakan ekonomi berdasarkan azas ekonomi perang, yaitu menerapkan berbagai peraturan, pembatasan, dan penguasaan produksi oleh negara untuk kemenangan perang.
  3. Mobilisasi massa menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, bahkan korban jiwa, yaitu romusa yang kemudian oleh pemerintah Jepang disebut sebagai prajurit pekerja.
  4. Pada masa pendudukan Jepang, pembentukan organisasi massa dilakukan atas mobilisasi pemerintah militer Jepang. Meskipun demikian pergerakan terus dilakukan oleh kaum nasionalis baik secara terang-terangan maupun di bawah tanah.
  5. Program militer pertama Jepang adalah Heiho, yaitu perekrutan serdadu pembantu lapangan, yang melibatkan pemuda-pemuda Indonesia dalam kegiatan militer. Keikutsertaan dalam pendidikan militer itu yang kemudian menjadi bekal pemuda-pemuda Indonesia dalam perang revolusi kemerdekaan.
  6. Dasar negara dibentuk melalui Badan Penyidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Akhirnya, kali ini admin telah selesai membagikan artikel yang berhubungan dengan Tirani Matahari Terbit Masuknya Jepang Ke Indonesia. Dan sebelum kami mengakhiri, kami ingin anda membaca artikel penting juga mengenai Perang Melawan Kolonialisme. Semoag bermanfaat dan menjadi sumber bacaan yang bermanfaat buat kita bersama. Insya Allah.

0 Response to "Tirani Matahari Terbit Masuknya Jepang Ke Indonesia"

Posting Komentar

-->